Prolog - A New Room
Pintu berwarna putih kekuningan itu bergeser disertai suara derit perlahan, diikuti dengan tatapan mata seorang gadis berambut coklat dengan mata hijau zamrud yang mengamati seluruh ruangan yang tertata cukup apik. Kakinya pun perlahan memasuki ruangan itu, yang beberapa detik kemudian menjadi lincah untuk mengelilingi ruangan yang rasanya familiar baginya.
Bola mata hijau zamrud itu mengamati segala yang berada di dalam ruangan itu: ranjang dengan kasur single bed yang tidak berseprai, televisi berukuran 14 inch yang terletak tepat di depan kasur bertopang sebuah mejanya yang memiliki lemari tanpa tutup di bawahnya, sebuah lemari dua pintu yang tingginya sedikit lebih tinggi daripada gadis itu terletak di sebelah kiri tempat tidurnya, di sebrangnya terhampar sebuah meja kerja yang bersebelahan dengan meja rias.
Ia membuka sebuah pintu yang berisikan kamar mandi di dalamnya. Ia menginjakkan kakinya ke dalam, dan lagi-lagi mengamati kamar mandi yang berisikan sebuah shower dengan keran air panas dan dingin yang dapat diatur –ia sudah mencobanya, dan kedua keran itu berfungsi dengan cukup baik– serta sebuah wastafel dengan dua keran juga –tetapi berbeda dengan keran-keran di shower, keran yang berada di wastafel ini tidak berfungsi dengan baik, tidak ada panas yang terasa ketika keran berwarna merah dibuka sampai poll, namun rasanya gadis bermata hijau ini tidak mau mempermasalahkannya karena menurutnya hal itu tidak terlalu penting–. Ketika gadis ini hendak keluar dari kamar mandi, pria berusia lanjut yang memiliki tempat kos itu menyodorkan sebuah kain padanya, yang dapat berfungsi untuk membatasi antara wastafel dengan shower.
Gadis itu keluar dari kamar mandi dan sekali lagi mengamati keadaan kamar kos itu. Dari kelima barang ala kamar kos biasa, kamar ini masih memiliki ruang kosong yang cukup besar untuk sekedar berbaring bersama ketiga sahabatnya sambil menonton televisi. Jendelanya –yang tadi belum sempat ia perhatikan– menyuguhkan pemandangan yang cukup mempesona. Dengan ketinggian yang tepat, mampu untuk menyamarkan taman kota yang kotor menjadi terlihat indah. Dan jangan lupakan pemandangan langit sana yang mempesona–semua itu dapat dilihat jelas dari sini.
Sepasang mata hijau zamrud itu menoleh ke belakang, menatap pria berusia lanjut yang daritadi mengamatinya.
"Saya ambil kamar ini."
Hetalia Axis Power © Hidekaz Hiramuya
(Author tidak mengambil keuntungan apa-apa, hanya just for fun dan menyalurkan imajinasi *gila* saja)
Return Myself © YukaSvanidz
Warning: tercipta secara mendadak, memungkinkan adanya unsur ketidakjelasan cerita, ketidaksambungan judul dengan isi, typo(s). Cast disini mungkin OOC. Sepertinya, latarnya AU (authornya gak begitu mengerti juga sich *maklumin masih pemula* #dibejek). Ada unsur Nyotalia disini *atau genderswitch yah? #gangertilagiapabedanya #ditabok*. Semua Pair disini straight, meskipun ada yang hasil Nyotalia (atau genderswitch? Whatever deh :p). Dan yang terakhir, fanfiction ini memiliki rating T+ semi M. Mungkin rating dapat naik seiring berjalannya cerita #plak
Review amat dibutuhkan untuk menunjang fanfic ini. Review dapat berupa apa saja, bisa kritikan, saran dan kawan-kawannya.
Casts: PruHun, slight AusHun
Bagian Satu:
A Visitor (Seorang Pengunjung)
Sinar matahari sudah mulai merambat masuk ketika surai rambut coklat panjang itu baru membuka matanya. Mata hijaunya terlihat masih mengantuk, tetapi tubuhnya menolak untuk kembali terlelap, mengingatkan betapa tidak terhormatnya seorang wanita masih terlelap setelah matahari masuk tanpa izin ke dalam kamarnya yang gordennya lupa ditutup.
Apa yang akan dikatakannya bila dia tahu?
Ketika pikirannya mulai terbesit pertanyaan itu, mata zamrud itu jadi enggan menutup lagi. Seluruh tubuhnya telah kompak untuk menjalani hari ini–yang sepertinya menjadi hari yang santai.
Ia membuka jendela dan membiarkan sinar matahari masuk menerpa dirinya. Ah, betapa nikmatnya hidup sendiri seperti ini. Tidak ada lagi suara bawel yang dilontarkan oleh wanita setengah baya yang sehari-harinya ia panggil dengan 'ibu'. Tidak ada lagi suara berisik di pintu yang dibuat oleh pria yang menjadi suami dari ibunya–ayahnya. Tidak ada lagi yang mencubiti pipinya dan mencium bibirnya sembarangan–anak-anak yang dikenalnya sebagai sepupunya yang dititipkan dengan seenaknya oleh orangtua yang lebih menghargai pekerjaan daripada keturunan mereka sendiri.
Lima belas menit sesudah ia menjemur dirinya, disambarnya handuk berwarna hijau muda, lalu pergilah ia ke kamar mandi untuk membasuh dirinya dari segala peluh keringat disaat dirinya berada di dunia mimpi–yang mungkin saja terjadi, ia sudah tidak ingat apa isi mimpinya semalam. Ia tipe orang yang jarang memiliki mimpi istimewa untuk diingat–
Meskipun dirinya merupakan kaum Hawa, namun tidak perlu lama-lama ia memakan waktunya hanya untuk mandi pagi. Sepuluh menit kemudian, ia sudah mengambil handuk, mengeringkan tubuhnya yang habis dibasahi shower dan dibersihkan sabun cair. Mungkin lima menit kemudian ia telah selesai mengeringkan diri, dan bersiap untuk melapisi tubuhnya dengan kain-kain yang sudah dibentuk menjadi pakaian.
Dan tepat setengah jam dari waktu dimulai, ia keluar dari kamar mandi. Ia menuju meja rias, mengambil hairdryer, mencolokan kabelnya pada stopkontak yang berada di samping kiri meja itu, menekan tombolnya dan mengarahkannya pada rambut coklatnya yang basah akibat ia keramas tadi.
Tok-tok. Tok. Tok-tok. Tok.
Sepasang bola mata hijau itu terarah pada pintu kamar yang tertutup dan menimbulkan bunyi akibat diketuk seseorang. Ia mematikan hairdryer-nya, mencabut kabelnya lalu setengah berlari untuk membuka pintu tersebut.
"Selamat pagi, gadisku," sambut sosok yang berada di depan pintu membuat gadis bermata hijau itu terkejut. Ia melihat keadaan rambutnya yang kacau: bagian kirinya telah kering, sementara bagian kanannya masih basah. Secepat kilat ia menggunakan tangannya sendiri untuk menyisir rambutnya yang dirasanya masih tidak rapi.
"Tidak perlu canggung begitu, Eliza," tamunya itu memamerkan senyumnya, lalu ia memegang tangan Elizabeta –nama gadis itu–, mengisyaratkannya untuk berhenti berusaha merapikan rambutnya yang malah membuatnya makin berantakan. Dan setelah sepasang tangan gadis itu turun ke bawah, tangan sang pria –tamunya– itu merapikan rambut Eliza yang sedikit teracak, "rambutmu ini bagus, Eliza. Tidak sulit untuk merapikannya."
"Roddy, ke–kenapa tidak memberi kabar kalau hendak datang?" tanya gadis itu, sedikit gelagapan karena masih terkejut bahwa pria yang bernama Roderich itu datang pagi-pagi sekali, dan juga Roderich tidak memberinya kabar kalau ia hendak berkunjung. Itu hal yang berada di luar kebiasaannya. Tidak pernah sekalipun kekasihnya ini –yeah, mereka berpacaran– datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Tidak mengherankan memang, kalau mau dilihat dari sisi kepribadiannya sebagai seorang pria yang dilahirkan dari keluarga aristokrat yang berkeinginan melihat kekasihnya yang sudah perfect ketika mereka akan bertemu. Seorang aristokrat tidak akan suka menunggu kekasihnya berdandan dulu.
"Sengaja. Aku ingin melihatmu tanpa menunggumu bersiap dulu menyambutku. Ternyata, kau manis juga, meski ditemui tanpa riasan."
Perkataan Roderich yang mengandung unsur gombal itu sukses membuat wajah gadis di depannya memerah. Roderich tidak mempedulikannya, ia meminta izin untuk masuk ke dalam kamar gadis itu, yang langsung disetujui gadis itu. Ia mengamati seluruh ruangannya –seperti apa yang dilakukan Elizabeta ketika ingin menyewa kamar di tempat ini– tetapi reaksinya berbeda dengan yang dikeluarkan oleh gadis itu ketika pertama kali melihat tempat ini.
"Tempat ini, apa tidak salah bagimu?" ucap Roderich dengan nada sedikit sinis.
"Salah apanya?" tanya gadis itu kebingungan.
"Warna pada pintunya sudah kusam. Kacanya juga tidak nampak mengkilat. Kasurnya pun sudah tidak begitu keras, dan ini yang penting, kasur yang jelek dapat mengacaukan struktur tulang punggungmu yang harus kau pakai untuk menopang tubuh cantikmu itu, Eliza."
Elizabeta, yang sewajarnya akan bersemu merah ketika mendengar pujian Roderich, tidak bereaksi sama pada saat ini. Ia merasa sebal dengan sikap Roderich ini, sikap untuk selalu ingin memiliki barang-barang yang berkualitas tinggi tanpa memperhatikan harga. Mungkin aristokrat sepertinya tidak akan memikirkan berapa nilai uang yang harus dikeluarkan untuk mendapatkannya, tetapi orang seperti Elizabeta yang dapat dikatakan hanya hidup berkecukupan memikirkan hal ini. Eliza memang orang yang sejatinya mencintai kehidupan yang sederhana. Ia mencintai Roderich bukan karena statusnya yang tinggi atau hartanya yang berlimpah. Ia mencintai pria itu dengan tulus, bahkan berharap pria ini mau hidup sederhana sepertinya.
"Kurasa aku dapat tidur dengan baik di kasur seperti ini. Lihatlah, aku masih berdiri tegak dihadapanmu sekarang, Roddy, tanpa penyakit pada tulang punggung seperti yang kau khawatirkan."
Kalau sudah begini, Roderich hanya dapat menghela nafas. Sebenarnya, bukan ia tidak mau memberikan sebuah kamar kos, atau kalau perlu kamar hotel pada kekasihnya ini. Eliza selalu menolak tawarannya ini, dengan cara mendiamkannya. Dan ia mengerti, kalau Elizabeta mendiamkannya, berarti ia tidak menginginkan penawarannya. Ia tidak dapat memaksa untuk itu, oleh sebab itu, dengan terpaksa ia membiarkan Eliza memiliki gaya hidup seperti sekarang. Mungkin kalau mereka menikah lagi, ia akan dapat mengubahnya.
Elizabeta Hedervary –gadis yang sedang menjemur handuk di gantungan apartemen ketika kekasihnya masih duduk-duduk di ranjangnya yang 'sudah tidak cukup keras'– memang memiliki prinsip untuk tidak bergantung pada siapapun, termasuk Roderich sekalipun. Ia menyadari bahwa hidup senantiasa berubah, dan menggantungkan diri pada seseorang merupakan siksaan baginya. Ia menolak semua tawaran Roderich untuk memberinya fasilitas yang mewah dengan tujuan agar ia tidak memiliki banyak hutang budi kalau ternyata mereka 'retak'. Oleh sebab itu, ia menolak semua lamaran Roderich untuk meminangnya. Bukannya ia tidak mencintainya, tetapi ia masih merasa harus mempunyai bukti bahwa Roderich adalah pria yang ia dambakan. Terdengar egois memang, tetapi bila kau menikah dengan pria yang tidak sesuai kriteriamu, kau akan menderita seumur hidup, bukan?
"Eliza," panggil Roderich ketika Eliza selesai menjemur handuknya, "ini."
Roderich menyodorkan tiket konser kepada Eliza, dan ia bersyukur karena Eliza menerimanya dengan senang hati. Ia rasa, hari ini kurang tepat untuk meyakinkan Eliza bahwa gadis itu tidak seharusnya tinggal di tempat seperti kamar kosnya sekarang ini. Ia yakin bahwa ia akan bisa meyakinkan gadis itu dan membuatnya berbelok pada prinsipnya, yang berarti rintangan menuju altar perkawinan sudah selesai–gadis itu akan menerima lamarannya.
Anak kunci itu berputar-putar pada lubangnya, menimbulkan bunyi 'ceklek' dua kali sebelum akhirnya gagang pintu itu mau membuka. Elizabeta segera menghambur masuk, lalu ia menutup pintunya dan menguncinya dari dalam. Ia menaruh kantong-kantong belanja yang daritadi bergelantungan di tangannya. Yah, seperti biasa, sehabis konser musik, mereka berjalan-jalan, dan Roderich membelikan semua barang yang ia inginkan–asal barang itu bermerek. Eliza masih tidak mengerti, bagaimana cara pria itu memandang nilai nominal uang, tetapi ia tidak dapat menanyakannya karena ia mendapatkan barang-barang bermerek tanpa harus menguras dompet sedikitpun.
–oke, dalam hal ini, mungkin dia mulai, atau malah sudah, bergantung pada kekasihnya itu.
Ia menghampiri jendela dan langsung menutup gordennya. Langit diluar sudah gelap, bumi sudah bergeser sampai pada bagian tempat yang ia pijak berjauhan dengan matahari, yang berakibat langit hanya dihiasi oleh cahaya bulan dan bintang. Dan rasanya, untuk hari ini, kata 'bulan' harus dicoret, karena hari ini sedang berlangung periode 'Bulan Mati' yang membuat eksistensinya menghilang menghiasi langit malam.
Gadis itu memasuki kamar mandinya untuk menyikat giginya dan membasuh mukanya yang sedikit berminyak, lalu ia segera menghempaskan diri ke tempat tidur tanpa mengganti baju. Tubuhnya terlalu lelah, dan matanya terlalu mengantuk untuk menukar T-shirt Giordano serta jeans Logo -nya dengan daster tidur hijau polos yang ia beli sendiri di tempat obral–tentu, mereknya tidak jelas.
Masa bodoh, Roderich tidak akan ada disini dan mengetahui aku tidur tanpa berganti baju. Besok aku harus bangun lebih pagi untuk mempersiapkan diri, siapa tahu ia lupa akan jiwa aristokratnya dan datang pagi-pagi buta hanya untuk mengecekku saat bangun tidur.
–dan gadis itu tertidur.
Pria itu menampilkan seringainya–entah pada siapa.
Ia tersenyum memperhatikan tubuh yang sudah sangat kelelahan dan begitu menikmati tidurnya.
"Akhirnya, kutemukan juga kau. Setelah lima abad," pikirnya
Dan mata merah rubi itu melihatnya –atau lebih tepatnya, menyelidiki– tubuh yang terkapar tanpa daya di kasur tanpa seprai itu. Begitu damai.
"Tetapi, aku yang masih tetap awesome ini tidak akan memutuskan kesimpulan begit saja," batinnya lagi, dan sekarang ia melebarkan senyumnya yang awesome baginya –tetapi, mungkin mengerikan bagi orang lain–
"Tunggu saja. Aku akan memberi pelajaran padamu, wahai manusia yang berani mencorengku namaku habis-habisan, sampai-sampai ke-awesome -anku hampir hilang sama sekali. Tunggu saja waktunya permainan ini dimulai."
Dan sosok itu menghilang tanpa jejak.
TBC (To Be Continue)
Mein Gott!
Ini saya mau buat fanfic PruHun kenapa malahan AusHun yang bertebaran yah? TT_TT
Maaf yah readers semua…ini idenya timbul sangat mendadak ketika saya sedang cuci piring terus kena angin malem dari jendela dapur…terus dikebut dengan sekebut-kebutnya karena takut gak beres chapter 1-nya, jadi chapter-nya jauh dari kata awesome T-T #embermanaember
Dan ini pertama kalinya saya buat fic yang genre-nya Supernatural macem gini… *eh ini genre-nya bener gak sih Supernatural sama Romance? Kalau saya salah DIMOHON DENGAN SANGAT untuk mengatakan genre apa yang bener, saya sih yakin saya nyasar masukin genre #plak!* jadi unsur ketidakjelasan mungkin kental. Kalau fic ini memang benar-benar tidak jelas, tolong katakan sejujurnya di kotak review, dengan senang hati saya hapus fic ini dari FFn.
Juga maaf dengan sifat karakter yang OOC, alias nggak tepat sasaran. Saya pengen buat IC, susah banget rasanya -_-" tapi saya usahakan se-IC mungkin deh karakternya *jatoh"nya sih tetep aja OOC -_-"
Juga rating.. untuk sementara saya letakkan fic saya ini di rating T, tetapi ada kemungkinan berganti rating ke M. Itu sih tergantung otak saya lagi bener atau nggak kerjanya #taboked
Aaaaakhhhh….sampai sini, tolong dikomentari semua yang ada di fic ini. Kalau memang kalian ingin kritik, TOLONG sampaikan kritiknya, tetapi kalau bisa dengan bahasa yang nggak pedes" amat, saya gak biasa makan pedes (?) #salah #dibuang
Yah sekali lagi, tolong RnR yah? Semua komentar kalian akan saya baca dengan senang hati ^^
Sekian!
PS: maaf ini notes-nya terlalu panjang…dan maaf disini isinya permintaan maaf semua T.T
