Yuhuu~ saya datang lagii~

Kali ini saya kembali membawa fic gaje tingkat tinggi, masih dengan pairing fav saya IchiRuki, hohoho

Untuk pairing satu ini, saya nggak akan bosan-bosan bikin fic buat mereka, jadi semoga readers nggak bosan-bosan buat baca juga, fufufu

Let's begin, happy reading minna ^^

DON'T LIKE, DON'T READ

Title : My Stalker, My Protector

Bleach Fanfiction

Disclamer : Tite kubo

Maaf kalau jelek :)

Story : Bii Akari


NORMAL POV

Rukia Kuchiki. Gadis bertubuh mungil yang baru berusia 19 tahun. Rambut gelapnya yang indah dibiarkan terurai, ikut bergoyang-goyang riang setiap kali gadis itu memacu inline skate-nya, menuju setiap meja yang membutuhkan jasanya. Kedua tangannya terus menggenggam nampan hitam yang berisi sepasang piring dan cangkir mungil berwarna putih dengan sedikit motif bunga-bunga di tepinya, sementara kaki kecilnya sibuk berseluncur cepat menuju sebuah meja. Terkadang dia harus memutar tubuhnya dengan cekatan, ataupun berbelok kearah lain guna menghindari beberapa orang yang lalu lalang di sekitarnya. Namun senyum lebar di wajah gadis itu tak pernah lepas, sejak dimulainya pekerjaan part-time yang menguras tenaga gadis Kuchiki itu beberapa jam yang lalu.

"Kuchiki-san!" teriak seorang gadis berambut jingga, kedua tangannya mengayun-ayun lembut di atas kepalanya seakan mengisyaratkan pada gadis beriris violet itu agar segera memenuhi panggilannya.

"Ada apa, Inoue?" tanya Rukia segera, tepat ketika dengan cekatan dia mengerem laju inline skate-nya yang memburu tadi.

"Ada telepon untukmu," ujar gadis bernama Inoue itu, sambil menyerahkan gagang telepon berwarna hitam pada gadis di hadapannya.

Rukia terbengong, otaknya masih berusaha mencerna ucapan Inoue tadi. Entah mengapa rasanya mustahil ada yang menelpon dirinya saat ini. Mengingat hidupnya yang sebatang kara, tanpa teman ataupun keluarga yang rela menghabiskan pulsanya untuk sekedar menelponnya.

"Cepat terima, Kuchiki-san!" seru Inoue, gadis itu sudah tak tahan melihat tingkah konyol Rukia yang masih memandang gagang telepon itu dengan ragu dan tak percaya.

Ditariknya tangan Rukia agar segera menggenggam telepon itu, lalu dengan bahasa isyarat yang tidak jelas, Inoue menginstruksikan kepada Rukia agar segera mendekatkan telinganya, dan menyapa penelponnya di ujung sana.

Dengan ragu, Rukia kembali memandang telepon di genggamannya, lalu sedetik kemudian, gadis itu sudah merapatkan gagang telepon itu di sisi telinganya, "M-moshi moshi~"

Tak ada jawaban, Rukia masih diam dan sabar menunggu balasan dari penelpon misterius itu. Merasa sudah terlalu lama berdiam diri, Rukia pun akhirnya memutuskan untuk membuka suara, "Halo? Siapa ini?" tanyanya pelan, masih menjaga nada bicaranya agar tidak terkesan kasar ataupun kurang ajar.

Masih tak ada jawaban, bibir mungil gadis itu kini sudah mengerucut, merasa jengkel dengan penelpon misterius yang sempat membuat perasaannya berdebar-debar tadi.

"Hei? Kau masih tak mau bicara?" ujar Rukia lagi, kali ini nada suara gadis itu naik satu oktaf, mengingat betapa kesalnya dia pada si penelpon karena terus menerus diabaikan.

"Huh, kalau begitu aku tutup!" bentak Rukia dengan kasar, dibantingnya gagang telepon tak berdosa itu asal-asalan pada tempatnya, masa bodoh dengan Inoue yang memandangnya dengan puluhan kerutan di dahinya.

Rukia merasa kesal, penelpon yang sudah membuatnya cukup terkejut tadi tiba-tiba saja mogok bicara padanya, padahal sebelumnya dia sempat berbicara dengan Inoue, ini aneh. Bukankah orang yang dia cari adalah Rukia, lalu kenapa dia tidak ingin berbicara apapun dan tidak menutup teleponnya? Hanya membiarkan Rukia mengomelinya selama beberapa kali, apa maksudnya itu?

"Kuchiki-san?" dengan ragu-ragu, Inoue mencoba menegur Rukia yang masih memasang wajah tak bersahabat pada telepon berwarna hitam di hadapannya, mencoba menjaga perasaan gadis yang seusia dengannya itu.

Rukia malah tak merespon panggilan Inoue, dia masih betah memandangi telepon itu dengan tatapan menusuk. Menunggu telepon itu kembali berdering dan mengangkatnya, lalu memaki-maki penelpon tak bertanggung jawab itu sepuas hatinya.

TRIIIIIING

Rukia segera mengangkat telepon yang baru berdering selama tiga detik itu dengan cepat, mendahului Inoue yang bersiap menjalankan tugasnya selaku kasir di cafe mungil itu, "Hei! Apa maumu, hah?!" umpat Rukia dengan jengkel, nada bicaranya terdengar kasar dan ketus, membuat Inoue memandangnya dengan takut-takut.

'Bagaimana kalau itu bukan si penelpon gelap tadi? Bagaimana jika itu seorang pelanggan?' pikir Inoue.

Dan kegelisahan Inoue benar-benar terwujud, begitu melihat tatapan Rukia yang melunak dengan senyum getir yang gugup. Inoue yakin bahwa itu pasti bukan telepon dari orang yang mengerjai mereka tadi.

"Ah, maafkan aku, aku benar-benar, tidak kumohon, tolong, ini adalah kesalahan saya, mohon jangan begitu."

Dengan gugup, Rukia mencengkram gagang telepon itu dengan kuat, menyesali kelakuan konyolnya tadi. Seandainya saja dia tidak mengangkat telepon itu dengan emosi, semua ini tidak mungkin terjadi. Sedangkan Inoue juga terbawa suasana, gadis itu ikut tegang menyaksikan setiap kata yang keluar dari bibir mungil Rukia, dia tahu betul bahwa sekarang keadaannya sedang buruk.

"Iya, tentu, sekali lagi saya mohon maaf, iya, saya sendiri yang akan mengantarnya, baiklah, terimakasih," ujar Rukia, masih dengan nada suara yang pelan dan penuh rendah diri seperti sebelumnya, lalu dengan pelan dia menutup telepon itu dan akhirnya bernapas lega.

"Ada apa, Kuchiki-san?" tanya Inoue takut-takut, dicengkramnya rok mini yang menutupi setengah pahanya dengan kuat-kuat, khawatir mendengar jawaban gadis di hadapannya itu.

"Ah, sial," Rukia tertunduk lesu, kedua mata indahnya dipejamkan beberapa saat, berusaha mengontrol emosinya yang mendadak menggebu-gebu. Bagaimana tidak? Kebodohannya tadi hampir saja mencelakakan karirnya di cafe itu yang baru saja dimulai beberapa bulan yang lalu.

"Inoue, tolong gantikan tugasku sebentar, aku punya urusan mendadak, ini penting!" desak Rukia, dilepaskannya celemek putih bermotif kotak-kotak kecil yang sejak tadi dia pakai, lalu melemparnya di bawah meja kasir dengan asal-asalan, tanpa menghiraukan tatapan bingung yang dilayangkan Inoue.

"Aku pergi dulu!" dan tanpa menunggu persetujuan dari Inoue, dengan cepat Rukia segera meninggalkan gadis bertubuh indah itu, berlarian dengan inline skate-nya menuju dapur kecil di pojok cafe.

"A-ahiya, hati-hati, Kuchiki-san!" teriak Inoue. Dari tingkah laku Rukia tadi, Inoue bisa tahu bahwa sang penelpon lah yang memaksa sahabatnya itu untuk bertindak cepat, meski dia tak tahu pasti apa yang diinginkan oleh penelpon tadi.


Rukia memacu inline skate-nya agar melaju lebih cepat lagi, waktunya hanya tinggal beberapa menit saja dan jika Rukia terlambat, maka pelanggan yang galak itu pasti akan melaporkannya pada atasannya.

"Hos.. Hosh..."

Napas Rukia sudah terpenggal-penggal namun gadis lincah itu tetap mementingkan karirnya dan memilih bertahan dengan kecepatannya semula. Tinggal beberapa blok lagi dan dia sudah bisa bernapas lega.

Dengan semangat yang tinggi, serta sedikit rasa takut yang mendominasi, Rukia melaju lebih cepat lagi sebab kini waktunya tak tersisa banyak.

'Ah, bodoh.. Di mana rumah pelanggan itu? Huh, apa aku harus mengelilingi seluruh kompleks perumahan mewah ini? Oh tidak...' batin Rukia penuh gelisah, masih sambil mengamati setiap rumah megah yang dia lewati, berharap menemukan tulisan F9 di sana.

Dan benar saja, Rukia harus mengelilingi hampir seluruh kompleks itu untuk bisa menemukan rumah yang sejak tadi dicarinya, tanpa membuang waktu lagi, Rukia pun menekan tombol bel.

TING TONG

Suara bel yang bisa dibilang cukup membahana itu terdengar merdu di telinga sang penghuni rumah, sejak tadi dia telah menunggu pesanannya datang, 'pesanan' yang sejak lama tak pernah lagi dilihatnya.

Melalui intercom, pria bertubuh atletis itu dapat melihat dengan jelas sosok gadis mungil yang berdiri di depan pagar rumahnya, seringai kecil pun terbentuk di wajahnya.

'Tidak berubah...' batinnya.

Sesaat kemudian, pagar besi itu terbuka lebar, mempersilahkan Rukia masuk lebih dalam lagi ke area rumah itu, hingga gadis itu akhirnya berdiri tepat di depan pintu kayu yang terlihat angkuh itu.

Tanpa menunggu lama, pintu itu akhirnya terbuka sedikit, lalu tampaklah sesosok tangan yang terulur ke luar, "Ini uangnya, ambil saja kembaliannya."

"A-ah, arigatou," ucap Rukia sedikit ragu, pelanggannya ini benar-benar aneh. Tapi tanpa macam-macam lagi, Rukia langsung saja merebut uang pembayaran tadi dan memberikan sekotak pesanan pada tangan yang terulur ke luar pintu itu. Dalam hati Rukia sedikit penasaran dengan sesosok tangan itu.

'Pelanggan yang aneh...' pikir Rukia, begitu berjalan pelan meninggalkan rumah mewah tadi.

Dilihat dari bentuk tangannya, orang tadi adalah seorang pria, terlebih lagi dari suara beratnya, tampak jelas bahwa dia adalah orang yang sama dengan orang yang mengomeli Rukia tadi di telepon.

'Kejadian tadi tampaknya tidak asing.. Tapi, dimana aku pernah, ah tidak, aku pasti salah...' pikir Rukia, sambil berjalan pulang menuju cafe tempatnya bekerja.

Tanpa terasa, Rukia telah sampai di tempat kerjanya. Setelah mengucapkan terimakasih pada Inoue, Rukia segera melanjutkan pekerjaannya, berlarian lincah sambil membawa nampan dan pesanan.


"Kuchiki-san, ayo kita pulang," ajak Inoue lembut, sambil memasang senyum terbaiknya kepada gadis mungil yang masih tampak sibuk mengutak-atik loker kerjanya itu.

"Tunggu sebentar, Inoue."

Inoue tersenyum kecil saat memperhatikan wajah Rukia yang terlihat kesal karena pintu lokernya tak bisa tertutup rapat, "Sini aku bantu, Kuchiki-san," tawar Inoue.

Kedua gadis itu pun berusaha keras untuk menutup loker kerja Rukia. Berbagai cara telah mereka lakukan, dimulai dengan membanting-bantingnya dengan kasar, hingga mengganjalnya dari luar. Namun nihil, semua itu tak ada gunanya, karena loker Rukia masih bisa terbuka lebar dengan leluasa.

"Huh, sudahlah, biarkan saja seperti ini," putus Rukia dengan kesal, muak dengan ulah lokernya yang tak mau menurut sejak tadi.

"Tapi itu berbahaya, Kuchiki-san. Bagaimana jika ada yang mengacak-acak isinya? Atau menerormu dengan kertas ancaman, atau mungkin menyelinapkan bom buku di sana? Atau janga-"

"Inoue, hentikan khayalan tingkat tinggimu itu. Aku rasa kau terlalu banyak menonton sinetron," potong Rukia, dengan kekehan kecil di ujung kalimatnya.

Sementara gadis berambut jingga itu terlihat sedikit cemberut, "Ayolah Inoue, aku hanya bercanda. Lagipula, aku yakin tak ada orang yang berniat jahat padaku, tenang saja," sambung Rukia, sambil tersenyum simpul ke arah Inoue, dan mau tidak mau memaksa bibir gadis itu untuk ikut tersenyum juga, sambil mengangguk kecil.

"Yaa~ baiklah, ayo kita pulang," ujar Rukia dengan riang, sambil menarik tangan Inoue dan membawa gadis itu berjalan bersama dengannya. Pulang, menuju rumah sederhana milik Inoue.

Tanpa mereka sadari, sejak tadi ada seorang pria berambut jingga yang menatap mereka dari jauh dengan senyum kecil di wajah tampannya, diam-diam pria itu mengikuti setiap langkah mereka.


Bulan bersinar terang, memperjelas bayangan kecil Rukia yang tengah duduk di kursi kayu itu, di samping jendela luar kediaman Inoue. Sejenak, gadis itu larut dalam pikirannya sendiri, tentang segala masa lalunya yang kelabu. Memikirkan semua itu memang dapat memicu sakit pada bagian kepalanya. Tapi entahlah, semakin Rukia berusaha untuk tidak memikirkannya, semakin terpikir masalah itu olehnya. Rumit, satu kata yang mewakili dirinya saat ini.

"Kuchiki-san," sapa gadis berambut jingga itu dengan riang, menghampiri Rukia yang tampak melamun sendirian.

"Hn, Inoue?" ucapnya pelan, sambil sedikit menengok ke arah gadis yang kini duduk di sampingnya.

"Minumlah, selagi masih hangat," tawar Inoue pelan, menunjuk sebuah mug imut yang diletakkannya di atas meja, tepat di hadapan Rukia.

"Arigatou," jawab Rukia, dengan senyum kecil andalannya.

Tanpa perlu diminta lagi, Rukia segera menyesap ocha hangat itu.

"Hmm, resep baru lagi, Inoue?" tebak Rukia cepat, setelah meneguk minumannya sedikit.

"Hn, bagaimana rasanya?"

"Seperti biasa, kau memang calon ibu rumah tangga yang baik," komentar Rukia, lengkap degan tawa kecil di ujung kalimatnya. Tanpa Rukia sadari, omongan asal-asalannya tadi mengakibatkan sedikit semburat merah tampak di wajah gadis cantik di sampingnya itu.

"A-ah, kau bisa saja, Kuchiki-san," elak Inoue, malu oleh pujian Rukia tadi. Rukia pun hanya tersenyum simpul, meneguk minumannya lagi, dan kembali larut dalam khayalannya.

'Siapa aku, sebenarnya...' batin Rukia.

Hening kembali menguar bebas, membuat suasana malam yang dingin itu semakin terasa. Inoue paham bahwa Rukia sedang bingung, karena itu dia membiarkan teman barunya itu terdiam cukup lama.

"Kau masih memikirkannya?" tebak Inoue. Seketika itu juga, pikiran Rukia buyar, gadis itu sedikit terkejut.

"E-eh, bukan begitu," sergahnya halus, namun hanya mendapat senyum kecil saja dari Inoue.

"Aku paham, Kuchiki-san. Semuanya pasti tidak mudah bagimu."

Rukia tertegun sejenak, lalu dengan pelan, gadis itu mengangguk setuju. "Aku, tidak tahu harus bagaimana lagi, Inoue."

"Kuchiki-san, jangan berbicara seperti itu. Aku akan selalu membantumu, jangan khawatir. Kita lakukan pengobatan lain untuk mengembalikan ingatanmu, semuanya pasti akan kemba-"

"Jangan membodohiku, Inoue."

Ucapan Rukia itu sukses membuat Inoue bungkam, rupanya gadis itu sudah tahu yang sebenarnya.

"Aku mendengar semuanya," lanjut Rukia lirih, tak sanggup menatap sepasang iris Inoue. "Seperti yang dokter itu bilang. Sampai kapan pun, aku tidak akan bisa mengingat segalanya lagi."

Cairan bening itu sudah tak terbendung lagi, bukan dari manik violet Rukia. Melainkan dari iris gadis di sampingnya, mengingat kejadian memilukan itu entah mengapa membuat Inoue merasa sesak, meski yang mengalaminya adalah Rukia, namun hatinya yang serasa teriris.

"Hei, jangan menangis, Inoue. Seharusnya yang sedih itu aku, kan?" tegur Rukia, sambil menatap Inoue dengan polos.

"Hehe, maaf Kuchiki-san, Ini semua karena aku," tutur Inoue, membuat Rukia mengerutkan keningnya. "Seandainya saja aku mempunyai biaya lebih untuk merujukmu berobat ke Rumah Sakit lain, hiks. Kuchiki-san pasti tidak akan, hiks."

"Sudahlah Inoue. Kau tidak salah apa pun, selama ini kau sudah sangat baik padaku, Arigatou," ujar Rukia, mengusap lembut punggung Inoue agar bisa merasa lebih tenang.

Sementara Inoue berusaha menenagkan dirinya, Rukia tampak merenung sedikit, sebenarnya ada pertanyaan yang terus mengusiknya sejak dulu. Tapi, gadis itu masih sungkan untuk menanyakannya pada Inoue.

Setelah merasa cukup tenang, Inoue pun memandang Rukia dengan lekat-lekat, "Kuchiki-san, sepertinya ini saat yang tepat, ada yang ingin aku katakan padamu."

"Hn?" Rukia merapatkan kedua alisnya, menunggu Inoue kembali berbicara.

"Aku sama sekali tidak bermaksud merahasiakannya, tapi selama ini kau tidak pernah bertanya padaku. Terlebih lagi, sikapmu yang riang itu, aku merasa belum siap mengatakannya. Tapi, sekarang akan ku katakan yang sesungguhnya, alasan aku sedikit mengenalmu, Kuchiki-san."

'Ini dia yang ingin aku tanyakan...' batin Rukia, kini gadis beriris violet itu memasang telinganya baik-baik, menunggu penjelasan yang sebentar lagi akan keluar dari mulut Inoue.


FLASHBACK

"Hei, pasang matamu baik-baik!" maki gadis bertubuh mungil itu, begitu mendapati tubuhnya yang nyaris saja tertindih oleh seorang pria yang menabraknya tadi, untung saja dia berhasil mengelak.

"M-maaf, Nona," ucap pria itu dengan gugup, dan segera saja meninggalkan sang nona yang masih terlihat kesal sambil menggerutu gaje.

'Ah sial, moodku benar-benar buruk hari ini...' batin gadis itu dengan kesal. Menyadari bahwa sejak tadi dia bersikap keterlaluan pada orang-orang di sekelilingnya, ini semua karena ucapan kakeknya seminggu kemarin.

"Jika saja kakek tidak membuat perjanjian konyol itu, aku tidak akan seperti ini," omelnya kesal, entah kepada siapa sambil menghempaskan diri di kursi kayu panjang yang berada di sekitar pantai itu.

'Sekarang lihat, aku bahkan tidak bisa menikmati liburanku,' pikir sang gadis beriris violet, mengamati mentari yang tersuguh di hadapannya, nyaris tenggelam seutuhnya.

Melihat wajah cemberut Rukia, seorang gadis yang sejak tadi duduk di sampingnya -sebelum Rukia datang- tersenyum kecil. Dorogohnya dalam-dalam tas punggung yang sejak tadi dia bawa, demi mencari sekotak jus yang disimpannya di sana.

'Masih dingin,' pikirnya. Dan tanpa ragu, gadis itu pun menawarkan jus jeruknya pada Rukia, "E-ehm, mau jus jeruk?" tawarnya halus, dengan senyum lebar yang menyertainya.

Seketika itu juga Rukia membeku, gadis itu menimbang-nimbang niat baik gadis di sampingnya. "Tenang saja, ini tidak beracun kok," canda gadis itu, membuat Rukia segera tersenyum dan menyambut sekotak jus itu, setelah sebelumnya berterimakasih.

Emosi yang sejak tadi mendidih membuat Rukia tanpa sadar menikmati jus jeruk itu dengan santai, dan tanpa sadar telah menghabisinya dalam sekejap. Melihat Rukia berhenti minum, gadis berambut jingga itu pun membuka mulut, "Ano, kalau boleh tahu, namamu siapa? Kau orang baru di sini, kan?"

Lagi-lagi Rukia terdiam, sambil mengamati wajah gadis asing itu baik-baik, "Eh, maaf kalau terdengar lancang. Namaku Inoue, Orihime Inoue," ucapnya pelan, sembari mengulurkan tangannya ke arah Rukia.

Tanpa ragu lagi, Rukia segera menyambutnya, "Rukia Kuchiki."

Singkat. Mereka hanya berbincang hingga matahari tenggelam sepenuhnya, namun meski begitu, Inoue dan Rukia sudah saling mengenal. Setidaknya Inoue tahu bahwa usia mereka sama dan Rukia baru saja datang untuk berlibur. Tanpa disangka, pertemuan yang tak disengaja itu justru menyelamatkan Rukia. Berkat Inoue, yang lagi-lagi tanpa sengaja bertemu dengannya di Rumah Sakit, sesaat setelah dirinya sadar. Akhirnya, Rukia tahu sedikit tentang dirinya, setidaknya dia tahu siapa namanya.

END FLASHBACK


"Jadi begitu," gumam Rukia pelan, mengangguk-angguk mengerti atas penjelasan Inoue tadi.

"Tapi, Kuchiki-san. Boleh aku tahu, mengapa kau langsung saja mempercayai ucapanku waktu itu? Padahal kau bahkan tidak mengenalku," tanya Inoue, sambil memandang Rukia penuh seilidik.

Sementara Rukia, gadis itu kini tertawa terbahak-bahak, "Entahlah, Inoue. Aku merasa seperti bisa mempercayaimu, jadi aku percaya saja pada ucapanmu waktu di Rumah Sakit itu," jelasnya singkat, di sela-sela tawaanya.

"Kuchiki-san, kau ini," ucap Inoue tak percaya. Alasan Rukia tadi memang sungguh tak dapat dipercaya olehnya, mana ada alasan seperti itu?

Mereka berdua pun hanyut dalam tawa masing-masing, menyadari betapa seringnya takdir mempermainkan mereka. Pertemuan pertama, mereka hanya saling berbagi cerita kecil, tertawa bersama sambil menunggu matahari terbenam. Pertemuan kedua, mereka saling berbagi duka, menangis bersama dalam satu ranjang. Dan perjumpaan-perjumpaan selanjutnya, yang entah bagaimana semakin mempererat tali persahaban mereka.

Sebenarnya, ada sedikit rasa takut dalam benak Inoue. Membayangkan ingatan Rukia akan kembali dan pulang bersama keluarganya memang sedikit menyisakan kekosongan di hati Inoue. Tapi, tak bisa dibayangkan betapa senangnya gadis itu saat hal itu terjadi. Kebahagiaan Rukia ada kebahagiaannya juga.

Dan Rukia, gadis itu awalnya sangat takut. Takut pada dirinya sendiri. Namun setelah mendengar secuil kisah mengenai dirinya yang dulu dari Inoue, Rukia sadar bahwa dia tidak seburuk perkiraannya. Dia yang sekarang tampaknya tak jauh beda dengan dulu.

Perlahan, ada segumpal kehangatan yang memenuhi hati mereka, merasuk bagaikan hantu yang membawa kebahagiaan. Ya, mereka bahagia seperti ini, bahkan jika harus tetap seperti ini pun mereka akan tetap bahagia. Besama, dua pribadi yang senasib, tak memiliki siapapun selain diri mereka sendiri. Terlalu naif jika mereka mengatakan bahwa dunia ini tidak kejam, karena memang beginilah adanya. Tak ada yang dapat mereka lakukan selain menerima takdir mereka sendiri.


Gomeen ToT

Kenapa jadi sepanjang ini? Hiks, maafkan diriku karena fic ini panjang dan gaje ditambah lagi typonya, tadinya mau buat one shot, tapi kok, jadinya multy chap lagi sih? Huaaah~ gomenne T.T

Oke, cukup sedih-sedihnya, saya janji ini cuma two-shot, jadi nggak perlu khawatir (?) Oke, two-shot two-shot two-shot *meyakinkan diri sendiri* Oke, cuma two-shot, saya pasti bisa, yosh, two-shot! *apanih?* #plakplak

Oke lupakan, ditunggu reviewnya yaa

saya harap masih ada yang mau review -_-"

Dimohon review, setidaknya biar saya bisa melanjutkan fic gaje ini menjadi two-shot, oke? REVIEW yaaaaa ^^

Arigatou :)