Aku menyayanginya, sangat. Bahkan mungkin aku mencintainya.
Aku menyukai semua hal tentangnya. Sepasang netra karamelnya yang hangat, yang mampu membiusku ketika tatapan kami terkunci dengan satu sama lain, yang memancarkan kesan dominan ketika ia sedang berada dalam mode seriusnya. Bibir merahnya yang sering terkatup rapat, namun dapat membuatku terpesona setiap kali merekah membentuk senyuman, yang mampu membuat lututku lemas setiap kali bibir kami bertemu dalam sebuah pagutan intens. Bahunya yang lebar dan kokoh, yang membuatnya terlihat begitu gagah, yang selalu menjadi tempat sandaranku setiap kali aku terlalu lelah dengan semua beban yang berada di pundakku. Dadanya yang bidang, yang selalu menjadi pusat perhatian para wanita dan beberapa pria ketika ia mengenakan kemeja pas badan, yang menjadi tempat bersembunyiku ketika aku ingin meluapkan segala emosi yang tertahan dalam hati. Dan tangannya, yang melingkar dengan mantap di sekeliling tubuhku, membuatku begitu nyaman berada di dalam rengkuhannya.
Jung Jaehyun adalah definisi dari adonis, seseorang yang begitu indah dengan segala kesempurnaannya, yang memiliki puluhan wanita dan bahkan pria yang mengejar-ngejarnya, yang jatuh pada pesonanya, namun ia malah memilihku.
Aku, seorang Lee Taeyong, yang benar-benar biasa saja, dan akan kalah telak bila dibandingkan dengan para wanita dan pria yang mengejar-ngejarnya.
Tapi dia memilihku.
Aku.
"—A man's spirit is free, but his pride binds him with chains of suffocation in a prison of his own insecurities."
Despair
Jung Jaehyun x Lee Taeyong
NCT © SM Entertainment
Alternate Universe
Warn!Possible typo(s), OOC, etc.
"Anaknya benar-benar tampan, Tae. Oh, dan seksi. Sangat seksi. Aku pernah melihatnya sekali, di majalah bisnis milik ayahku, dan… astaga, kau harus lihat sendiri bagaimana seksinya dia."
"Astaga, aku meneleponmu bukan untuk mendengarmu memuji anak dari pemilik perusahaan tempat aku baru diterima bekerja," Aku memutar mataku, tak bisa percaya dengan reaksi sahabatku satu ini. Ten memang benar-benar unik dan berbeda. Kalau orang lain akan langsung memberikan ucapan selamat pada situasi seperti ini, Ten malah memberikanku informasi tentang anak dari pemilik perusahaan tempatku akan mulai bekerja Senin nanti, suatu informasi yang sesungguhnya sama sekali tak kubutuhkan. "Aku menyesal menjadikanmu orang pertama yang kuberitahu tentang berita ini."
"Oh, apakah aku harus merasa terharu karenanya? Apakah aku harus menangis?" Terdengar suara tangisan yang benar-benar palsu di ujung sana, dan aku harus menahan diriku agar tidak tertawa. Seaneh-anehnya sahabatku yang satu ini, aku benar-benar merasa berterimakasih karena ia sudah hadir di dalam hidupku yang berantakan. "Oke, saatnya serius. Selamat, Taeyongie! Aku tahu kau pasti akan mendapatkan pekerjaan ini, tidak ada yang lebih pantas mendapatkannya selain dirimu. Bagaimana kalau kita merayakannya malam ini?"
"Kalau definisi merayakanmu itu minum-minum di bar sampai mabuk, maka tidak, aku tidak tertarik untuk merayakannya," aku terkekeh, meniup helai-helai rambutku yang jatuh di dahi. Tampaknya aku harus memotong rambutku agar dapat terlihat lebih rapi di hari pertama masuk kerja nanti. "Terimakasih, Ten. Aku tidak tahu akan seperti apa hidupku kalau tidak ada dirimu dan Jeno."
"Astaga, kau seharusnya memperingatkanku lebih dulu untuk menyiapkan tisu kalau kau mau mengatakan hal-hal mengharukan seperti itu," Ten memprotes dengan suara kerasnya yang menyerupai teriakan, hampir membuat telingaku sakit. Aku tahu suara kerasnya itu hanya upayanya untuk menyembunyikan tangisan terharunya. Sahabatku ini memang benar-benar mudah terharu dan menangis, sungguh. "Malam ini aku akan ke rumahmu, siap-siap, ya! Kita akan bersenang-senang!"
Sebelum aku sempat membalas ucapannya, Ten sudah memutus sambungan secara sepihak, membuatku menggerutu sebal karena sifatnya yang suka seenaknya. Tapi beberapa detik setelahnya terulas sebuah senyum di bibirku. Hari ini moodku memang sedang benar-benar baik, setelah mendapat pesan bahwa aku diterima untuk bekerja di salah satu perusahaan terbesar di Korea Selatan.
Jung Group, sebuah perusahaan raksasa yang bergerak di banyak bidang, yang menjadi perusahaan impian bagi sebagian besar penduduk Korea Selatan yang ingin menjadi pekerja kantoran, karena gajinya yang tinggi dan kesempatan untuk bekerja di cabang mereka yang terletak di luar negeri. Siapa yang tidak mau bekerja di luar negeri, dengan penerbangan pulang-pergi serta tempat tinggal yang dibiayai oleh perusahaan?
Memang sih, aku hanya diterima sebagai pegawai magang dengan kontrak bekerja selama satu tahun, tapi aku masih merasa sangat senang karena meskipun hanya pegawai magang, aku tetap digaji dengan jumlah yang hampir sama dengan gajiku semasa aku bekerja di lima pekerjaan sambilan yang berbeda dulu.
Dalam waktu dekat, aku pasti sudah bisa membelikan Jeno sepatu dan tas baru, serta ponsel model terbaru, kalau bisa.
Aku tahu Jeno selalu berkata bahwa ia tidak menginginkan sepatu atau tas baru, bahwa ia tidak membutuhkan ponsel, tapi aku tetap ingin membelikannya.
Adikku, Jeno, memang tidak pernah meminta banyak dariku. Ia selalu berkata bahwa ia sudah bersyukur dengan semua hal yang ia punya, bahwa ia sudah merasa puas dengan hidupnya yang sekarang, asal aku tetap berada di sampingnya, tapi aku juga tahu terkadang ia merasa iri dengan teman-temannya yang sudah memiliki ponsel model terbaru. Aku tahu ia terkadang merasa iri dengan teman-temannya yang datang ke sekolah dengan sepatu baru atau tas baru, sedangkan ia sendiri masih bertahan dengan sepatu yang sudah ia kenakan selama tiga tahun, dan tas yang sudah ia kenakan selama empat tahun.
Aku terkadang merasa bersalah pada Jeno, merasa bersalah karena ia harus bertahan dengan keadaan seperti ini, kehidupan tanpa orangtua dan kondisi ekonomi yang pas-pasan, meskipun Jeno sendiri seringkali berkata bahwa aku sama sekali tak bersalah.
Bahwa bukan salahku kedua orangtua kami meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil lima tahun yang lalu, meninggalkanku hanya berdua dengan Jeno, tanpa sanak saudara yang mau mengurus kami. Untungnya kami masih punya rumah yang sudah kami tinggali sejak kecil, dan aku sudah cukup umur untuk bekerja sambilan saat itu, sehingga kami tidak benar-benar terpuruk.
Dan kami juga beruntung karena ada Ten, dan Jaemin. Jaemin, sahabat Jeno sejak kecil yang selalu bersedia untuk meminjami, bahkan membelikan Jeno barang-barang yang ia butuhkan. Yang selalu menjadi sandaran adikku setiap kali ia ingin menangis, namun tidak ingin menangis di hadapanku karena ia tahu aku juga mengalami luka yang sama.
"Hyung, kenapa kau tersenyum seperti itu, sih? Menyeramkan, tahu."
"Hush, Jeno. Sore, Taeyong hyung! Tumben tidak di tempat kerja sambilan?"
Aku tersadar dari lamunanku ketika mendengar dua suara yang sangat familiar bagiku, dan aku langsung tersenyum hangat begitu melihat sosok adikku dan sahabatnya, yang baru pulang sekolah. Tampaknya aku terlalu larut dalam lamunanku tadi, sampai-sampai tak mendengar pintu rumah yang terbuka, lalu tertutup lagi.
"Ah, kalian sudah pulang?" Aku bertanya, bangkit dari dudukku, lalu berjalan menuju dapur. "Apa kalian lapar? Ingin dibuatkan sesuatu?"
"Aku sudah makan tadi," Jeno berkata, tapi ia masih mengekoriku ke dapur, dengan Jaemin yang berada di belakangnya. "Tapi kurasa aku masih bisa makan ramyun."
"Tidak, Jeno, kau sudah makan ramyun selama tiga hari berturut-turut," aku berkata, membalikkan tubuhku agar menghadap adikku, lalu memasang ekspresi serius. "Bagaimana denganmu, Jaemin? Mau sesuatu?"
"Tidak, hyung, aku masih kenyang," Jaemin menjawab dengan nada sopan dan senyuman manisnya. Astaga, kadang-kadang aku begitu ingin agar Jeno dapat bertukar sifat dengan Jaemin, satu hari saja. Jangan salah paham, aku menyayangi adikku dengan sepenuh hatiku, tapi terkadang sifatnya yang terlalu terus terang dan tidak ada manis-manisnya itu membuatku sakit kepala.
"Buatkan aku roti dengan selai cokelat, kalau begitu," Jeno mendudukan dirinya di kursi meja makan, dan Jaemin mengikuti dengan duduk di sebelah Jeno. Aku tersenyum melihat keduanya, mereka benar-benar tak terpisahkan sejak dulu. Aku bahkan tak akan kaget kalau suatu hari nanti mereka memutuskan untuk menikah, sangking tak bisanya berpisah dari satu sama lain. "Tuh kan, Jaemin. Kau lihat senyum di wajah hyungku itu, kan? Menyeramkan, dia tak biasanya murah senyum seperti hari ini."
"Mungkin sesuatu yang baik terjadi dengan Taeyong hyung hari ini?"
Aku yang awalnya sudah dalam proses untuk membuatkan roti untuk Jeno, langsung menghentikan kegiatanku begitu mendengar suara ragu Jaemin. Aku cepat-cepat menghampiri kedua remaja yang umurnya lima tahun dibawahku itu, mendudukan diriku di hadapan mereka.
Aku benar-benar bersemangat untuk menyampaikan kabar baik ini pada mereka. Jeno pasti akan senang karena kakaknya akhirnya tak perlu bekerja dalam lima pekerjaan sambilan yang berbeda-beda lagi, sedangkan Jaemin memang selalu ikut senang setiap kali orang lain sedang senang.
"Sesuatu yang sangat baik memang terjadi padaku hari ini," Aku berkata, merogoh saku celana pendekku untuk mengambil ponselku, ponsel model lama yang hanya bisa digunakan untuk menelepon dan berkirim pesan. Aku membuka aplikasi pesan, dan membuka pesan yang letaknya paling atas di daftar pesan yang kuterima. Pesan yang membuatku berteriak kegirangan seperti seorang gadis. "Baca pesan ini, Jeno, Jaemin."
Jeno menerima ponsel yang kusodorkan padanya, lalu mulai membaca pesan yang tertera di layar ponsel. Jaemin sendiri menyenderkan tubuhnya pada bahu Jeno, agar mempermudahnya untuk membaca pesan di layar ponsel yang berada dalam genggaman Jeno.
Setelah beberapa detik mereka habiskan untuk membaca kata demi kata yang tertera di layar ponselku, Jaemin-lah yang pertama kali bereaksi, dengan senyum lebarnya dan bagaimana ia langsung bangkit dari duduknya untuk menghampiriku dan memelukku erat.
"Selamat, hyung!" Jaemin berkata dengan tulus, ia benar-benar terdengar ikut senang untukku. "Dengar-dengar, Jung Group itu perusahaan yang sangat besar dan bagus, teman-temanku banyak yang ingin bekerja di sana setelah mereka dewasa nanti."
Aku membalas pelukan Jaemin, tersenyum menatapnya ketika ia melepaskan pelukannya dari tubuhku.
Tatapanku kemudian jatuh pada sosok adikku, yang masih berada di duduknya, matanya masih menatap layar ponsel dengan tatapan serius.
"Jeno…?"
"Hyung, pesan ini sungguhan?" Jeno akhirnya mengalihkan pandangannya untuk menatapku, suaranya terdengar bergetar seakan menahan tangis. "Jung Group? Kalau hyung diterima bekerja di sana, berarti hyung tak perlu bekerja dari pagi sampai pagi lagi, kan? Hyung tak perlu lagi bekerja di lima tempat yang berbeda, kan? Hyung juga sekarang sudah bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersamaku, kan? Pesan ini sungguhan kan, hyung?"
Aku menganggukan kepalaku, sudah ingin bangkit untuk memeluk adikku tersayang, namun aku didahului olehnya, dengan lengannya yang sekarang melingkar di sekeliling pinggangku.
Berada di dalam pelukannya, membuatku tersadar bahwa Jeno sudah tumbuh dengan begitu cepat. Dulu setiap kali kami berpelukan, kepalanya pasti hanya akan mencapai dadaku saja, yang membuatnya dapat menenggelamkan wajahnya di dadaku, tapi sekarang, ia sudah lebih tinggi dariku, sekarang, setiap kali kami berpelukan, aku lah yang akan menaruh kepalaku di atas pundaknya.
Astaga, kenapa aku tiba-tiba merasa sangat emosional begini.
"Aku sangat senang, hyung," Jeno berbisik di telingaku. "Selamat, aku—astaga, aku bahkan tak tahu apa yang harus kuucapkan. Kau tidak akan kelelahan lagi, hyung. Kau—kau diterima di salah satu perusahaan terbesar di Korea Selatan, hyung. Astaga, aku sangat senang."
Aku tertawa, tawa yang bercampur dengan air mata yang mulai meluncur turun di pipiku. Aku tahu mungkin ini kelihatan begitu berlebihan, atau mungkin aku kelihatan cengeng, tapi aku tidak peduli. Baik aku dan Jeno tahu betapa beratnya kehidupan kami setelah kedua orangtua kami meninggal, bagaimana aku, yang waktu itu baru berumur 19 tahun, yang baru saja menjadi mahasiswa tingkat satu di universitas, harus mati-matian menyeimbangkan jadwal kuliahku dan jadwal kerja sambilanku, semua agar aku dapat memenuhi kebutuhan hidup kami. Baik orangtua Ten maupun orangtua Jaemin memang sering menawarkan bantuan pada kami, tapi aku tidak ingin merepotkan orang lain.
Dengan diterimanya aku bekerja di Jung Group, aku hanya dapat berharap bahwa hidupku, dan Jeno, akan menjadi lebih baik. Aku akan membuka lembaran baru dengan diterimanya aku sebagai seorang pegawai magang, beberapa bulan setelah aku lulus dari universitas.
.
.
Tolong bawa aku keluar dari sini. Siapa pun.
Sejak dulu, aku memang bukan tipe orang yang senang berpesta, bahkan pesta kecil seperti pesta ulangtahun temanku. Bahkan dulu Ten harus menyeretku untuk datang ke pesta ulangtahunnya, semua karena aku malas berada di tengah-tengah khalayak ramai, yang asyik bercengkrama dengan satu sama lain, apalagi waktu itu kami masih kecil dan tentu saja yang datang ke pesta Ten adalah teman-temannya yang seumuran dengan kami, dan anak kecil selalu suka berlarian tak tahu arah, berteriak dengan suara melengking, lalu tertawa-tawa heboh padahal tak ada yang lucu. Ketika anak-anak lain sibuk bermain, sibuk berlarian, aku akan menjadi satu-satunya yang berdiri diam di pojok ruangan, tak tertarik sama sekali untuk ikut-ikutan dalam kegilaan mereka.
Pesta ulangtahun yang diadakan di rumah saja aku sudah tak betah dan ingin cepat-cepat melarikan diri, apalagi ini.
"Ten!" Aku memanggil nama sahabatku dengan suara keras, menelusup diantara orang-orang yang sedang menari di atas lantai dansa, menutup mataku rapat-rapat ketika melihat beberapa pasang orang yang sedang make out dengan satu sama lain. Astaga, apakah mereka tidak bisa menahan hormon mereka sampai mereka tiba di dalam kamar? Kenapa mereka harus menunjukan adegan tak senonoh itu di depan publik?
Tapi mungkin hanya aku saja yang merasa terganggu dengan pemandangan itu, karena mayoritas orang yang berada di dalam klub ini hanya peduli dengan urusan masing-masing. Entah itu minum sampai mabuk, merayu seseorang agar mau dibawa ke tempat tidur, lalu melakukan one night stand, dan melupakan satu sama lain setelahnya, atau berdansa di lantai dansa dengan gila-gilaan, mungkin sekalian make out, seperti beberapa pasangan yang aku lihat sebelumnya.
Dan Ten, sahabatku yang tersayang itu, masuk ke golongan yang terakhir.
Tidak, tidak, bukan golongan pasangan yang make out, tapi golongan yang berdansa di atas lantai dansa dengan gila-gilaan.
Bahkan aku sampai tidak bisa menemukannya setelah ia menghilang hampir satu jam yang lalu, berkata bahwa ia hanya ingin melepaskan penat dengan berdansa sebentar.
Aku tahu aku seharusnya tak pernah mempercayai Ten.
Aku tahu aku seharusnya tak pernah melepaskan pandanganku darinya kalau kami sudah ada di dalam klub begini.
Aku terlalu fokus mencari-cari sosok sahabatku, sampai aku tidak sadar bahwa ada seseorang yang sedang berjalan berlawanan arah denganku, namun dalam satu jalur yang sama.
Dan kalian pasti bisa menebak kelanjutannya.
Ya, kami bertabrakan.
Dan karena aku terkenal dengan tubuhku yang begitu kurus dan lemah karena jarang makan nasi—aku memang tidak suka nasi—tentu saja aku jatuh.
Aduh, pantatku.
"Maafkan aku," Orang yang menabrakku itu—atau aku yang menabraknya, aku tak tahu—mengulurkan tangannya padaku, yang langsung kusambut dengan baik. Ketika aku berhasil berdiri dengan bantuannya, aku baru sadar betapa tampannya orang asing di hadapanku ini.
Wajahnya saja sudah tampan, ditambah dengan kemeja putih yang melekat dengan begitu pas di tubuhnya, menonjolkan dadanya yang bidang, lengan kemejanya yang digulung sampai siku, menunjukan otot-otot tangannya, dan rambut cokelatnya yang berantakan, namun memberikan kesan seksi. Aku yakin ia tidak butuh merayu siapa pun untuk mau dibawa ke tempat tidur, karena pasti orang-orang akan mengantri sendiri untuk dibawa ke atas tempat tidur bersamanya.
Aku jadi minder sendiri dengan penampilanku sekarang. Ketika Ten datang ke rumahku beberapa jam yang lalu, ia hanya memberitahuku untuk bersiap-siap, mengenakan apa pun yang menurutku nyaman untuk dikenakan, tanpa menyebutkan tujuan kami. Karena itulah aku berakhir dengan sebuah hoodie kebesaran berwarna abu-abu, dengan tudungnya yang menutupi kepalaku dengan sempurna, dan ripped jeans berwarna hitam serta sepatu converse high top merah.
Penampilanku kalah telak bila dibandingkan dengan keindahan yang ada di hadapanku sekarang.
Astaga, apakah aku baru saja menyebut keindahan?
"Halo? Apakah kau tak apa-apa?"
Aku pasti tampak bodoh sekarang, mengerjap-ngerjapkan mata, tersadar dari lamunanku, dan disaat yang bersamaan terpesona dengan suara selembut kapas yang keluar dari mulut pria asing ini. Aku tidak suka dengan suaraku sendiri karena Jeno dan Ten sering menggodaku dengan berkata bahwa suaraku terlalu lembut untuk seorang pria—aku bahkan sempat tak mau bicara seminggu penuh karena godaan mereka—tapi jenis kelembutan di suara pria ini berbeda. Suaranya adalah jenis suara yang akan membuatku rela mendengarnya terus-menerus selama berhari-hari.
Oh, ya. Tadi dia menanyakan keadaanku.
"Ah," Aku berdeham sesaat, dan kalau aku tak salah lihat, pria di depanku ini menatapku dengan pandangan geli. Sial, ia pasti sadar bagaimana aku sempat melamun sesaat tadi. Memalukan, dan sangking malunya, aku memilih untuk menundukan kepalaku, menolak untuk menatapnya. "Aku tidak apa-apa, dan aku juga minta maaf."
"Huh?"
Ah, dia pasti tak mendengarnya. Tentu saja, suara musik yang begitu keras di klub ini tentu meredam suaraku yang pelan tadi. Karenanya, aku mengulang jawabanku tadi, namun kali ini dengan suara yang lebih keras.
"Aku benar-benar minta maaf," Pria itu berkata sekali lagi, dan kali ini aku memberanikan diri untuk menatapnya, dan untungnya, sinar geli di matanya sudah hilang, tergantikan dengan ekspresi bersalah. "Aku tidak melihat arah berjalanku tadi, karena terlalu fokus mencari temanku yang tiba-tiba menghilang."
"Ah, kau juga sedang mencari orang?" Aku bertanya, terkekeh pelan karena satu kesamaan yang kutemukan di antara aku dan dia. "Aku juga. Aku tadi terlalu sibuk mencari-carinya, sampai tidak sadar bahwa ada seseorang yang sedang berjalan ke arah berlawanan."
Dia tertawa, dan ya Tuhan, kenapa seseorang bisa terlihat begitu menawan ketika tertawa?
Pria asing ini terdiam begitu ia selesai dengan tawanya, tak menunjukan tanda-tanda ingin bicara, dan aku sendiri sudah tak tahu harus bicara apa karena aku memang selalu canggung dengan orang asing, tidak seperti Ten yang mudah akrab dengan siapa pun, dan karena itu aku memutuskan untuk kembali fokus dalam misiku untuk mencari sosok sahabatku yang menghilang, dan membawanya pulang dengan selamat sampai ke rumahnya.
Aku tersenyum tipis pada pria di hadapanku, lalu menunjukan gestur bahwa aku akan melanjutkan pencarianku, dan sudah akan berjalan melewatinya kalau saja ia tidak tiba-tiba menutup jalanku, membuat langkahku terhenti. Membuatku mendongakan kepala, menatapnya dengan raut heran.
"Aku masih merasa sangat bersalah karena telah membuatmu jatuh, jadi bagaimana kalau aku menebusnya dengan mentraktirmu minum di bar?"
Setiap kali pergi ke klub, aku selalu menjauhkan diriku dari yang namanya alkohol. Aku bahkan selalu menjauhi bar, dan selalu duduk sendirian di salah satu sofa yang tersedia, menunggui teman-temanku yang asyik minum-minum atau berdansa di atas lantai dansa. Ya, ini memang bukan kali pertamaku pergi ke klub. Aku sendiri selalu ikut ke klub setiap kali Ten pergi, karena aku merasa harus menjaganya, tapi ini adalah kali pertamaku pergi ke klub hanya berduaan saja dengan sahabatku yang satu itu.
Makanya aku sangat panik saat dia tidak kembali ke tempatku duduk, padahal sudah hampir satu jam berlalu.
Aku adalah tipe yang selalu menjauhi alkohol, tapi entah mengapa, aku menemukan diriku mengangguk ragu pada tawaran pria asing ini. Membiarkannya membawaku ke bar, mendudukan diri di sampingnya di salah satu kursi tinggi yang terletak di depan meja bar.
"Kau mau minum apa?"
Aku bahkan tak tahu satu pun nama minuman alkohol. Aku hanya tahu soju dan bir. Sungguh.
"Jus jeruk?" Akhirnya aku menyahut, meski dengan suara ragu, karena tak yakin apakah bar ini menyediakan jus jeruk atau tidak.
Pria yang kini berada di sampingku itu tertawa lagi, kembali menatapku dengan tatapan gelinya. Pasti dia mengira bahwa ini adalah kali pertamaku ke klub.
"Baiklah, jus jeruk dan blue hawaii, pastikan tidak ada yang memasukan bahan aneh-aneh ke dalam jus jeruknya," Dia berkata, yang ditanggapi dengan cepat oleh sang bartender. Aku terdiam, menatap ke sekitarku, sebelum suaranya kembali mengalun, membuatku kembali memfokuskan perhatianku padanya. "Aku sudah mentraktirmu jus jeruk, tapi aku bahkan belum tahu namamu."
"Oh," Sangking terpesonanya aku dengan wajahnya, proporsi tubuhnya, dan juga suaranya, aku jadi lupa bahwa aku sama sekali belum tahu namanya. Bahkan ketika aku menyetujui tawarannya tadi, tak terpikirkan sama sekali olehku bahwa aku belum tahu apa pun tentangnya. Benar-benar bodoh. "Siapa namamu?"
Aku mendengar suara tawanya untuk kesekian kalinya dalam kurun waktu kurang dari satu jam, dan semua tawanya sepertinya disebabkan olehku. Aku tak tahu apakah aku harus merasa bangga atau malu. "Jaehyun. Kau?"
"Yongie!"
Oke, itu jelas bukan suaraku.
Baik aku maupun pria asing yang sekarang kuketahui bernama Jaehyun itu menoleh ke asal suara yang memang diucapkan dengan sangat keras sehingga kami bisa mendengarnya, dan aku dapat melihat sosok Ten yang sedang berjalan kearahku dengan langkah yang kurang mantap, senyum lebar tertera di wajahnya. Pipinya memerah, matanya hampir terpejam sempurna, dan saat itu lah aku tahu ia mabuk.
Benar-benar mabuk. Aku sendiri heran bagaimana ia bisa berjalan lurus kearahku, meski dengan langkah sempoyongan dan mata yang hampir terpejam.
Sebelum aku sempat bangkit untuk menghampiri sahabatku itu, Ten nyatanya masih mampu berjalan dengan cepat dalam keadaan mabuk, dan tak butuh waktu lama sampai aku merasakan beban tubuh Ten, dengan bagaimana ia melingkarkan lengannya di sekeliling leherku, tubuhnya condong ke arahku.
"Ten, kau berat," Meskipun aku protes begitu, aku tidak melakukan apapun untuk membebaskan diriku dari beban tubuh Ten, dan malah menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut.
"Aku kangen sekali pada Yongie," Ten berkata, dan bahkan dari suaranya dapat terdengar jelas bahwa ia sedang mabuk. Sahabatku ini benar-benar. Mungkin seharusnya aku menetap saja di bar, daripada repot-repot mencarinya di lantai dansa. Ia pasti sering bolak-balik ke bar tadi kalau ia sampai semabuk ini. "Aku kembali ke tempatmu menunggu tadi, tapi kau tak ada, aku jadi panik. Aku kira kau tega meninggalkanku."
Ten mulai merengek, dan bahkan sebelum aku sempat mengatakan apa pun, ia sudah sibuk menciumi wajahku, mulai dari dahi, pipi, bahkan sampai hidung, kebiasaanya kalau sudah mabuk. Sebelum aku, banyak orang lainnya yang menjadi korban dari ciuman mabuk Ten, tapi karena aku takut seseorang akan mengambil keuntungan dari kebiasaannya ini, aku selalu memastikan bahwa aku ada bersama Ten setiap kali ia pergi ke klub.
"Ah, kita harus benar-benar pulang sekarang," Aku menghela napas, melepaskan tangannya yang melingkar di leherku dengan pelan, dan sebagai gantinya menaruh salah satu tangannya di sekeliling pundakku, agar aku dapat membantunya berjalan nanti.
Aku bangkit dari dudukku, lalu aku teringat dengan sosok pria yang duduk di sampingku, yang sedaritadi hanya diam tanpa suara, sehingga aku sedikit melupakan keberadaannya.
"Jaehyun, maaf, tapi aku—" Aku menoleh untuk menatapnya dan meminta maaf karena harus pulang lebih dulu tanpa meminum jus jeruk yang ia belikan untukku, namun ucapanku terhenti ketika aku melihat tatapan yang ia layangkan padaku, atau pada Ten, aku sendiri tak yakin.
Tatapannya gelap dan dingin, begitu berbeda dengan tatapan hangat dan geli yang ia layangkan padaku tadi. Aku tak tahu kenapa, tapi aku merasa sedikit takut dengan tatapannya.
"Apa kau butuh bantuan untuk membawanya?"
Bahkan suaranya tidak terdengar lembut dan menyenangkan lagi.
Kini suaranya terdengar berbahaya.
"Tidak perlu," Aku menggelengkan kepalaku kaku. "Aku bisa sendiri. Uh, maafkan aku karena harus pulang duluan, Jaehyun. Mungkin lain kali?"
Jaehyun hanya menganggukan kepalanya singkat, tanpa senyum di wajahnya.
Begitu melihat anggukan Jaehyun, aku hanya tersenyum sesaat sebelum buru-buru melangkah pergi dari hadapannya.
Aku tak mengerti bagaimana dia bisa terlihat begitu berbeda. Awalnya dia begitu menyenangkan dan mempesona, lalu dia terlihat menyeramkan dan berbahaya, dan aku tak tahu apa yang membuatnya terlihat seperti itu.
Mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi dari awal aku berjalan menuju pintu keluar sampai aku benar-benar keluar dari klub, aku dapat merasakan tatapan intens yang terus mengikuti setiap langkahku.
Hai! Fanfic pertama setelah beberapa bulan hiatus dan deactivate akun lama, dan di fandom baru juga. Fandom baru, dan lagi nyoba nulis dari sudut pandang pertama, heuheu. Ini sedikit banyak terinspirasi dari novel-novel seperti Bared To You, Fifty Shades of Grey, tapi yang pasti ngga akan se-eksplisit/se-vulgar kedua novel itu sih karena aku aja belom tau apakah akan beneran ada adegan rated M di fanfic ini, lol.
Makasih buat yang udah baca sampai sini, thanks a lot dan semoga suka! :-)
