Assasin
Disclaimer : Naruto belong to Masashi Kishimoto
Satu
—Naruto POV
Waktu terasa cepat berlalu. Dalam kebersamaan dengan seseorang yang kau sayangi. Sepertinya lelah enggan hinggap dan memintamu untuk beristirahat. Beberapa wahana permainan sudah kami jelajahi, penjual pernak-pernik dan makanan tak luput dari perhatiannya. Tak jarang tawanya lepas mendapati sesuatu yang menarik baginya, seperti saat mendapat boneka dari permainan melempar kaleng dan memancing ikan plastik, dan beberapa lainnya yang juga tak kalah seru. Memekik kegirangan dan melompat-lompat mendapati boneka monster biru di pelukannya.
Langkah kakinya 'tak surut di tengah lautan manusia. Kicauan manusia memenuhi telingaku. Pria, wanita, tua, muda. Beberapa berpasangan sama sepertiku. Anak-anak berlarian menghampiri penjual balon. Cahaya lampion terlihat menggantung di atap setiap kios penjual makanan dan pernak-pernik, berderetan di kanan dan kiri jalan.
Hinata sudah tenggelam dengan benda pink di tangannya. Sikapnya berbanding terbalik dengan saat berada di wahana permainan. Ia sibuk menggigiti kecil benda pink itu. Sesekali menatapku sekilas dan tak bergeming lagi. Aku menghela napas lelah, mencari sandaran di punggung kursi. Tangan ku sudah penuh dengan kantong berisi pernak-pernik 'entah itu apa' yang dibeli Hinata.
"Ne, ne. Aku mau coba itu, Naruto!" Ia sudah aktif kembali, battery-nya sudah terisi penuh. Benda pink tadi sudah kandas di mulutnya, menyisakan noda pink di sudut bibirnya. Aku mengusapnya dengan ujung ibu jariku. Hinata menatapku dengan kedua bola mata Amethys-nya yang membulat seperti anak anjing. Kau selalu sukses dengan itu Hinata. Kulihat tangannya menunjuk sesuatu disana. Sebuah kapal besar yang menggantung di tiang-tiang besi dan diayun-ayun.
"Heee.. Kau bisa mual Hime. Nanti benda pink tadi minta keluar dari sini." Candaku, sambil mengelus perutnya. Kekecewaan nampak di wajah polosnya. Bibirnya mengerucut menggumamkan sesuatu.
"Hmm.. Mungkin lain kali.. Sebaiknya kita membeli sesuatu untuk Hanabi." Tentu saja tidak. Minggu lalu Hinata pingsan setelah menunggangi Merry-go-round. Dan benda itu lebih gila.
"Benarkah?" Ucapnya menuntut dan memastikan. Kedua tangannya mengalung menggelayuti lenganku.
Aku hanya mengangguk meyakinkannya. Dan sesungguhnya festival berakhir hari Jum'at. Ini hari terakhir, puncak perayaan festival di alun-alun kota. Aku merasa jahat dengan kepolosannya. Ah, setidaknya demi kebaikannya sendiri.
"Baiklah. Bagaimana dengan permen kapas? Hanabi menyukainya." Ia sudah nampak ceria kembali.
Ya, selain Hanabi, kau tampak menggilai benda pink itu. Ekspresinya sukses mengundang senyumku. Kami pun segera beranjak mengunjungi kios permen kapas. Aku terkekeh mendengarnya berceloteh sepanjang jalan.
"Nah, kita pulang Hinata." Ucapku sambil menarik lengannya. Menggenggamkan permen pink di sana.
Hinata sudah kembali tenggelam dengan benda pinknya itu. Dua lagi di genggaman tanganku. Dan aku dapat menebak, satu untuknya dan sisanya Hanabi. Ia tak pernah bosan dengan benda pink itu. Aku terkekeh memikirkannya.
Sepanjang jalan Hinata kembali berceloteh. Tentang Hanabi dan Ayahnya yang sangat protektif terhadap adiknya. Dan sudah terbukti. Hiasi tidak mengijinkan membawa adiknya ikut ke festival sore tadi. Beberapa kali aku hanya mengangguk tanda memperhatikan.
Kami sudah berada di depan Kediaman Hyuga. Hinata menunduk memainkan jarinya bertautan. Ia nampak memikirkan sesuatu. Mungkin lelah, atau mengantuk. Atau mungkin sesuatu terlewatkan di festival itu. Aku tenggelam dalam tanda tanya.
"Baiklah, Hinata. Selamat malam."
Ia menatapku. Matanya seperti menyiratkan keresahan yang ia rasakan. Aku tidak tahu, tapi merasakan. Sepertinya perpisahan ini akan lama.
"Se-lamat ma-lam, Naruto."
Ucapnya terputus. Hinata beranjak dari pandanganku. Aku masih menyoroti sosoknya sampai di telan pintu rumah.
Pikiran negatif mendominasi otakku. Aku mengacak rambutku frustasi. Mungkin ia lelah, mungkin lapar atau sakit? Udara terasa semakin panas di kamarku. Kutarik bajuku dan kulempar asal.
Aku beranjak dari kamarku. Menuju loteng rumah tempatku biasa menghabiskan waktu malam. Pandanganku mengedar menyapu sudut kota yang nampak dari atas sini. Jauh di depan terlihat tempat festival dengan lampu-lampu yang masih menyala.
Dan tidak kalah penting adalah alasanku untuk betah berlama-lama disini. Aku bisa mengamati kediaman Hyuga yang tak jauh dari sini. Kamar hinata di lantai atas. Tampak jendela kacanya sudah gelap menunjukkan sudah tidak ada aktifitas disana. Berbeda dengan jendela kamar sebelahnya yang masih menyela. Itu kamar Hanabi, mungkin ia sedang belajar untuk ujian di akademi esok hari.
Sudah sekitar satu jam aku disini. Tanganku terlipat ke belakang di punggung kursi, kepalaku bersandar disana. Menikmati udara malam dan bintang-bintang di langit. Sampai ketenanganku terusik setelah menangkap sosok yang mencurigakan. Sosok itu melompat-lompat di atap rumah penduduk.
Mataku menyipit mengamatinya. Mencoba mengenali siapa dan apa yang ia ingin lakukan. Kekhawatiranku kembali menyeruak. Aku tersentak dan bangkit berdiri, melihatnya berhenti di depan kediaman Hyuga. Pertemuan penting? Atau semacamnya. Tidak, ini buruk. Sosok itu bergerak lebih cepat dari perkiraanku. Ia hilang dibalik gerbang.
Aku segera beranjak melompat dari loteng. Aku terus berlari, melompat dari satu atap ke atap rumah lain. Bergulat dengan asumsi-asumsi di kepalaku. Menolak prasangka buruk dan tidak memperburuk situasi. Langkahku mulai melambat, berlari kecil kemudian berhenti. Mendorong lengan ke pagar tembok untuk menopang tubuhku. Memasok kebutuhan oksigen di paru-paruku.
Aku terhenyak melihat dua penjaga sudah terkapar di balik gerbang Kediaman Hyuga. Tubuhku memanas seketika. Pandangan mengedar ke sepenjuru rumah, memastikan sesuatu yang mungkin masih mengancam—dan tidak ada. Selain pintu depan yang menganga, menampakkan interior rumah yang berantakan.
Aku berlari menerebos masuk, kedua tanganku meraih belati di kedua sisi pinggangku. Seorang penjaga lain tergeletak di ujung tangga. Kamar pertama, aku berhenti disana. Aku menghampiri mayat yang bersimbah darah. Luka sayatan, hampir di sekujur tubuh. Dan sesosok mayat lain, di sebelah kanan mayat tersebut. 'Hanabi..' Dengan luka sayatan yang juga di hampir sekujur tubuh. Kulit memerah disekitar luka. Gorersan luka yang aku kenal, aku sangat menghafalnya dengan presisi. Bahkan tiap luka, aku dapat membayangkan bagaimana ia melakukannya.
Aku beranjak dari sana, menuju kamar berikutnya. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar. Tidak ada darah, tidak juga mayat. Semu benda rapi ditempatnya. Langkahku berhenti di samping meja belajar milik Hinata., kuraih figura foto yang tersusun rapi di antara vas dan buku-buku. Menggumamkan namanya pelan, Lalu kuletakkan kembali figura tersebut ke tempat asal. Pandanganku kembali mengedar, sampai tertuju pada jendela yang terbuka. Pikiranku sudah jauh dari sini, melayang ke suatu tempat yang jauh disana. Morroc dan perjalanan panjang.
Bersambung
Terinspirasi dari chara favorit di salah satu game online mmorpg, dengan side storynya sebagai Assasin.
Maaf saya edit sedikit di chapter awal.
Kritik dan saran diterima
Semoga menghibur
Terimakasih
