Taiga melompat dari kereta, tengok ke sana-kemari. Dicarinya Bibi Alex yang seharusnya menjemputnya di stasiun.
"Apa Bibi Alex lupa kalau aku main ke rumahnya?" begitu monolog Taiga, melengkapi perannya sebagai tokoh utama.
Taiga memasuki ruang tunggu stasiun. Bocah itu terseok-seok membawa tas travel besar berisi gombal, dan menggendong ransel yang tadinya berisi makanan. Tubuhnya lemas, maklum saja Taiga itu suka mabuk perjalanan, sedikit-sedikit muntah. Wajar jika snack bekalnya telah habis dimamah biak selama perjalanan. Taiga masih dalam mode mencari, mencari orang dengan ciri-ciri tertentu.
Seingatnya Bibi Alex itu berwajah bule, memakai kacamata padahal penglihatannya baik-baik saja. Wanita yangdapat dikategorikan satu jenis dengan ibu-ibu yang punya kecenderungan suka hebring sendiri apalagi kalau melihat anak yang imut-imut. Dan Taiga umur 13 tahun itu masih dalam kategori unyu-unyu menurut Bibi Alex. Bayangkan saja, waktu ibu Taiga mengirim pas foto terbaru si bocah alis cabang, Bibi Alex langsung mengontak dan jerit-jerit via telepon.
Taiga lelah, berjam-jam dia duduk di kereta sampai pantatnya rata. Sekadar informasi saja, Taiga sudah lapar lagi.
…
...*...*...
…
When Kuroko Was There
Part 1 : Taiga
Proud to you by:
emirya sherman
Disclaimer:
Kuroko no Basuke owned by Fujimaki Tadatoshi.
When Marnie Was There, Based on Joan G. Robinson' s novel and the movie version by Studio Ghibli.
~ I gain no profit by publishing the story ~
Warnings:
AU. Out of Character. Misstypes.
…
Happy reading :)
…..
...*...*...
…..
Gedung olahraga SMP Teikou dipenuhi suara gaduh. Murid-murid sibuk bermain dodge ball. Dari banyaknya manusia entah kenapa hanya Taiga yang selalu dijadikan sasaran bola, badannya nyut-nyutan. Sebagai pembalasan dia melempar bola sekuat tenaga kepada setiap anak yang melemparinya. Dari 11 lemparan, 11 kali pula tepat sasaran. Daiki dan Ryouta adalah lawan paling sengit untuk dihadapi.
Taiga tak mengerti, kenapa dia yang selalu jadi tumbal hantaman bola. Mentang-mentang dia baru pindah dari Amerika 2 bulan lalu. Permainan bola itu awalnya menyenangkan, Taiga mulai menikmati permainan bola itu. Bukan berarti Taiga seorang masochist, melainkan mulai mengerti esensi kepuasan lemparan yang mengenai lawan, terutama jika mengenai jidat bocah laki-laki berkulit remang yang berambut biru di ujung sana. Taiga tak terkalahkan, tetapi semua berubah setelah Bang Hanamiya yang kelas 8 ikut turun lapangan. Semua pemain dilibas tanpa terkecuali dengan permainan licik nan tersusun rapi.
Taiga berang, dia mengamuk sejadi-jadinya. Ryouta dan Daiki yang berusaha melerai pun tidak dihiraukan. Pagi yang memasuki siang itu diwarnai dengan baku hantam bocah-bocah SMP.
Guru piket kala itu, Pak Kagetora menindak boncel-boncel terdakwa perusuhan itu dengan hukuman mencabuti rumput lapangan utama. Hari sudah memasuki siang yang panas bagai kerak neraka. Debu dan potongan rumput terbang ke mana-mana. Taiga tumbang, suara napasnya terdengar ngik-ngik abnormal dan tersengal-sengal. Taiga yang berkekebalan tubuh rendah kumat asmanya.
Ibu Taiga kala itu panik karena sudah satu tahun terakhir asma anaknya tidak kambuh lagi. Beruntung setelah mendapat penanganan di Instalasi Gawat Darurat rumah sakit terdekat dari sekolah itu, keadaan Taiga membaik.
...
...
Nyonya Kagami membuka pintu setelah bel rumah mereka berbunyi beberapa kali, padahal dia sedang menelepon suaminya kalau anak mereka kembali mendapat serangan asma. Dua orang bocah berambut kuning dan biru gelap menyembul di balik pintu.
"Ano ... kami membawakan tasnya Taigacchi-ssu," kata anak yang berambut pirang.
Si rambut biru menambahkan, "Catatan pelajaran hari ini juga sudah saya tuliskan untuk Taiga, Bibi."
Si rambut pirang mulai jengkel, ditendangnya kaki si rambut biru.
"Yang nulis, 'kan, aku-ssu. Dasar daki kamu!"
"Eh, aku juga ikut nulis ya."
"Iya, tapi cuma tanggalnya aja!"
Si nyonya rumah menengahi debat itu, "Ehem, terima kasih ya sudah membawakan tas punya Taiga."
"Err ... kembali kasih, Bibi. Kami dan Taiga memang sekelas kok."
"Kalau begitu kami pamit dulu Bibi. Selamat siang-ssu."
Setelah membungkukkan badan, mereka berdua berbalik untuk pulang. Namun, Ibu Taiga mencegah mereka.
"Apa Taiga akrab dengan kalian? Dia jarang sekali cerita tentang sekolahnya."
Daiki menjawab pertanyaan itu, "Iya. Kami senang kok main sama Taiga. Apalagi kalau dapet uang habis memalak ana―" jawaban itu terputus lantaran Ryouta menyodok rusuk Daiki.
"Hehehe ... kami sering main mini basket bareng, Bibi."
Satu kenyataan terkuak, Taiga, Daiki dan Ryouta merupakan satu komplotan begundal cilik.
...
...
Begitulah awal mulanya. Biar pun mendahului libur, Taiga izin dari sekolahannya untuk istirahat. Taiga rehat mulai dari H-3 libur musim panas.
"Bukankah udara Tokyo kurang baik bagi kesembuhan putra Anda, Nyonya? Mungkin lebih baik jika Taiga tinggal di luar kota Tokyo untuk sementara waktu agar cepat sembuh," begitu kata dokter Midorima.
Jadi, wajar saja jika Nyonya Kagami mempertimbangkan saran ini.
"Ibu ikut tidak?" tanya Taiga sambil menyendok sup.
"Ibu tidak bisa ikut, Taiga. Masih ada pekerjaan yang harus dikerjakan," jawab ibunya.
"Begitu ya."
"Ibu akan menyusul kalau pekerjaan Ibu sudah selesai," Nyonya Kagami melihat ke arah putranya yang menunduk.
"Taiga, kamu ingat dengan Bibi Alex? Udara di Akita tempat Bibi Alex tinggal sangat bersih loh. Tinggal sementara di sana akan baik untukmu. Ibu sudah menelepon Bibi Alex, dia akan menjemputmu."
Dengan tas besar penuh pakaian Taiga diantar sampai stasiun untuk naik kereta menuju Akita. Ibunya membawakan bekal makanan sampai 3 kotak, bahkan juga membelikan makanan ringan saat di stasiun meski tahu harganya lebih mahal.
Setelah menyerahkan belanjaan itu pada Taiga, Ibunya berpesan, "Jangan nakal ya Taiga, kembalilah dengan sehat."
Dari suara bergetar ibunya, Taiga tahu ibunya menahan tangis.
Petugas mengumumkan keberangkatan, Pintu kereta mulai tertutup otomatis. Ibu Taiga melambaikan tangannya.
Di tempat duduknya Taiga melihat kearah luar jendela, "Memang kapan ayah dan ibu tidak sibuk. Rasanya itu sudah lama sekali."
...
...
Seorang wanita berambut pirang melewati pintu, kemudian berlari-lari ke arah Taiga. Di belakang wanita itu, seorang laki-laki berambut gelap mengikuti dengan langkah santai.
Taiga mencium mara bahaya, dan tebakannya benar saja.
"WOAH! TAIGA KAMU SUDAH BESAR YA! YA AMPUN ... HEI LIHAT DIA TATSU!" sembur si wanita pirang.
Namun, Tatsu yang dimaksudnya masih tertinggal di belakang, lantaran tidak sengaja menabrak seorang pengunjung lansia.
Nun di belakang, terdengar omongan macam, "Jangan potong-potong nama orang dong."
Maka sudah dipastikan si wanita ini adalah Bibi Alex yang masih bahagia jomblo.
"Ya ampun aku benar-benar rindu padamu, sini-sini sama Tante ...."
Taiga bergidik ketakutan. Yang benar saja. Hampir saja Taiga bisa lepas dari pelukan maut Bibi Alex, malahan pipinya dicubiti sampai nyeri.
"ARGGG! JANGAN CIUM-CIUM BAABAA!" Teriak Taiga.
"Eh, tolong kamu bedakan ba untuk bibi, dan baa untuk nenek ya Taiga. Ganteng-ganteng kok salah panggil sih."
Laki-laki yang dipanggil Tatsu sampai juga menyusul Alex.
"Sudahlah Baabaa, Taiga baru saja kembali ke Jepang loh."
Alex menengok jengkel, "Kamu juga sudah dibilang panggil Tante saja kenapa sih. Aku bukan nenek-nenek, dasar keponakan kampret."
Taiga meloloskan diri lalu berlari ke belakang si lelaki rambut hitam, kemudian mengusap-usap mukanya dengan tisu antiseptik dari tas ranselnya. Berasa jadi korban pelecahan.
"Hahaha ... eh iya Taiga, kamu masih ingat aku, 'kan? Lama tidak ketemu ya."
"Benar juga, si Tats juga akan liburan di sini."
"Bibi, tolong sebut Tatsuya-nya dengan lengkap dong."
"Yosh, mari kita pulang," seru Bibi Alex, Tatsuya dikacangi.
...
...
Mereka memasuki sebuah mobil kecil, kemudian melaju menuju rumah Alex. Mobil VW Kodok yang mirip dengan kepunyaan salah satu karakter serial komedi terkenal itu penuh dengan perkakas rumah tangga dan bahan makanan. Maklum jika penumpang kesempitan. Taiga memangku sebuah kardus ukuran sedang berisi kentang, Alex di sampingnya memegang wajan, sapu dan tas travel Taiga. Tatsuya yang mengemudi.
"Tai-chan, kalau sempit sini Tante pangku," tawar Bibi Alex masih memaksa untuk dipanggil tante.
"Gak usah makasih, Bibi." Dalam batin menambahkan, "Maaf ya, saya masih punya harga diri. Gila aja, udah SMP masa minta dipangku."
Setelah berkendara cukup lama, mereka mulai menjauhi pusat kota. Di kejauhan Taiga melihat sebuah bangunan tinggi seperti menara. Mau disebut mercusuar pun sepertinya tidak sesuai. Tidak ada mercusuar yang letaknya jauh dari garis pantai.
"Yang di sana itu apa?"
Tatsuya dan Bibi Alex serempak menengok ke arah destinasi telunjuk Taiga, "Oh itu Silo."
"Silo?"
"Tempat penyimpanan makanan ternak, tapi sudah lama sekali tidak digunakan. Katanya ada penunggunya loh. Kekekekeke ...," jawab Bibi Alex.
Taiga berjengit.
"Ah kalau sedang festival tempat itu sering sekali dipakai untuk uji nyali loh, Taiga."
Tatsuya menambahkan. "Kalau kamu sih sudah barang pasti tidak akan berani."
Batin Taiga terkoyak mendengar ejekan Tatsuya.
Mereka mulai memasuki daerah dermaga, kemudian melewati area pasar ikan.
"Ano ... Bang ... Bang Tatsuya bukannya masih SMA? Memang sudah punya SIM? bukannya di Jepang batas diperbolehkan memiliki SIM itu kalau sudah berumur 20 tahun, 'kan?"
Alex disampingnya menjawab, "Tenang Tai-chan, Tatsuya itu jago mengemudi."
"Bukan itu maksudku. Kalau ada polisi bagaimana. Dan tolong Bibi, nama aku Taiga, bukan Tai-chan."
Tatsuya di belakang kemudian melihat lewat kaca.
"Percaya deh sama Abang," Tatsuya menunjuk hidungnya bangga, "tenang saja di daerah sini jarang ada polisi patroli."
Itu yang Taiga takutkan, tidak ada polisi. Lalu siapa yang akan menolong mereka seandainya mereka nyungsep di rawa-rawa. Mana setelah rute menjauhi jalan tol, gaya mengemudi Tatsuya makin amburegul pula.
Tatsuya makin mengebut, menginjak pedal gas gila-gilaan. Mobil tua itu terpental-pental karena aspal yang berlubang. Barang-barang di dalam mobil terlontar ke sana-kemari.
Di pertigaan, Tatsuya berbelok tajam ke arah kanan menaiki tanjakan. Masih dalam mode sopir kesetanan. Kardus berisi sayuran di pangkuan Taiga terlonjak, isinya mengenai dagunya. Pun Taiga masih dihantam sendok sayur dan sapu dari arah belakang.
"BANG TATSUYA TUH!"
"Ahahahaha .... Lihat Taiga! Kita hampir sampai. Rumahnya yang ada di ujung itu," Tatsuya menunjuk dengan riang tanpa rasa berdosa.
"Bodo! Aku mau muntah!"
...
...
Sambil tertawa mengejek Tatsuya memijat tengkuk Taiga yang mabuk perjalanan. Bibi Alex menyuruh Taiga untuk muntah di area kebun tomat, sekalian untuk pupuk. Padahal isi perut Taiga sudah dikuras habis saat di perjalanan, maka dia hanya memuntahkan cairan lambung yang berasa pedas.
Setelah dirasa selesai Taiga mendongakkan kepala hendak meninju muka Tatsuya yang cekikikan melihat penderitaannya. Baru saja melihat sekilas jidat Tatsuya, Taiga muntah lagi. Tatsuya kembali terbahak, kurang ajar betul.
Mereka berdua kemudian menyusul Bibi Alex yang sudah dari tadi memindahkan barang-barang. Biarlah muntahan Taiga menyatu dengan alam.
"Taiga tidak mau gandengan sama Abang?" tawar Tatsuya.
"Kagak!"
"Duh jangan galak-galak dong. Kita temen satu kamar loh, satu ranjang. Soalnya di rumah, kamarnya hanya ada dua," kata Tatsuya sambil menjawil pipi Taiga.
"Ya Gusti."
Tatsuya mengajak Taiga menaiki kamar di lantai 2. "Ta da ... ini kamarnya."
Kamar itu seperti yang sudah diduga, hanya ada satu ranjang. Interior kamar itu sederhana, satu ranjang, satu meja belajar dan satu lemari pakaian.
Taiga membuka gorden krem yang menutup kamar itu. Pemandangan teluk yang menakjubkan tidak bisa diabaikan begitu saja. Di beranda kamar itu tersaji suasana teluk yang nyaman jauh dari hiruk pikuk kota. Burung-burung camar yang terbang ke sana-kemari, laut yang tenang, kapal-kapal nelayan yang berlabuh, bahkan ada seseorang yang sedang mendayung kapalnya dari tengah teluk. Semuanya terlihat begitu serasi, indah bersamaan dengan sinar matahari yang terbenam. Semua itu tersaji dengan apik jika dilihat dari ketinggian rumah Bibi Alex.
"Bagaimana, lumayan, 'kan?" Tatsuya terkekeh, "jangan anggap remeh rumah tuwir ini."
Pun Tatsuya masih sok-sokan menggoda, "Pemandangan cantik ini, kita bisa melihatnya setiap malam. Hanya aku dan kamu ...."
BUAGH! Taiga menonjok Tatsuya yang memang sedari tadi ingin ditonjoknya, "Jijik lu Bang, gak ingat umur ya?"
"Ya elah, situ tidak bisa diajak bercanda ya."
"Bercanda juga ada batasannya kali, Bang."
"Oke oke. Lagi pula kamu itu tidak selevel denganku, bocah masih SMP juga. Camkan itu."
"Bodo."
Tatsuya menaruh sikunya di pundak Taiga sebagai sandaran, sok asik, "Aku bahkan sengaja jauh-jauh datang dari kota untuk melihat teluk ini."
Taiga merengut, "Aku jauh-jauh dari Tokyo agar penyakit bengek-ku tidak tambah parah."
"Pfft ..." Tatsuya berusaha menahan diri agar tidak menertawakan Taiga. Taiga yang tadi bitchy kok tiba-tiba jadi melankolis begini.
Tatsuya menapok bahu Taiga, "Oke, barang-barang punyamu dibereskan dulu sana. Lemarinya masih ada yang kosong kok."
Tatsuya berlalu dan merebahkan diri ke kasur, bobok ganteng.
...
...
Seperti basa-basi yang biasa diucapkan pemilik rumah pada tamunya, "Anggap saja rumah sendiri." Berdasarkan ungkapan demikian Taiga berani membuka kulkas untuk mencari makanan. Namun nihil, kulkas tak ubahnya desa tak berpenghuni. Apa yang ditemukannya hanya balok es sebagai kepala desa, 3 butir telur bebek sebagai warga, dan 3 biji wortel dan kubis yang kelihatan lembek sebagai tetua adat. Sedih.
"Kamu pasti lapar ya Tai-chan. Tunggu dulu ya, makanannya belum siap."
Bibi Alex mendatangi tangga lalu berteriak, "Tatsuya ganteng, sini masak dulu!"
Bibi Alex berteriak memanggil Tatsuya untuk disuruh memasak. Alasannya sederhana, kemampuan masak Bibi Alex itu masih level starter tidak naik-naik sejak belasan tahun mencoba memasak. Hasil masakan Bibi Alex itu bobrok, sebobrok bangunan bekas tempat penyimpakan pakan ternak yang ditunjuk Taiga tadi. Kedatangan Tatsuya untuk liburan di rumahnya dimanfaatkan sebagai tukang masak gratisan. Perkara bagaimana Bibi Alex mendapatkan makanan siap pangan sebelumnya tidak usahlah dibahas.
Bobok ganteng Tatsuya terinterupsi, dengan malas dia menuruni tangga dengan terseok-seok.
...
...
Dengan berbekal wortel rebus, Taiga memilih untuk jalan-jalan. Dikunyahnya wortel itu seiring dengan langkah kakinya.
"Kalau tidak salah Bibi Alex tadi bilang ada jalan pintas di samping kebun."
Taiga mencari dan ditemukannya sebuah jalan kecil yang menurun. Kelihatannya memang jalan meskipun sama sekali tidak mirip dengan jalan. Pintasan itu rindang dinaungi kanopi pepohonan di sekitarnya, dan ditutupi rumput-rumput yang tumbuh liar. Akan patut jika dipakai ular membangun sarang. Ia menuruni jalan itu dengan hati-hati takut terpeleset.
Setelah sampai di jalanan desa yang berkelok, Taiga turun lagi melewati daerah yang hanya ditumbuhi rumput-rumput biasa. Ia memilih untuk mengikuti jalan desa yang tadi dilewatinya. Jalan beraspal itu menurun menuntunnya sampai di daerah rawa pinggir laut, sebelah selatan teluk.
Melewati anak tangga dari kayu, Taiga menuruninya dengan tergesa. Sepatu yang lupa ditalikan membuatnya Satu anak tangga yang rapuh patah tepat pada pertengahan jalan. Taiga terperosok ke tanah, hampir wajahnya jatuh mencium tahi burung yang parkir di sembarang tempat.
"Burung s*alan!"
Setelah bangun dan menepuk kaosnya dengan pelan, Taiga melihat sekitarnya. Hanya ada air laut, gundukan tanah yang membentuk pulau kecil dan rawa dengan rumah besar di ujungnya.
"Ih waw~" begitu komentarnya norak.
Rumah itu bermaterial batu bata bergaya Eropa. Rumah yang terlihat sangat megah saat wujudnya diterpa cahaya matahari sore. Semilir angin menerbangkan membuat suasana makin dramatis. Taiga tergoda untuk melihat rumah itu lebih dekat. Barangkali dia diberi santunan berupa kue beras, atau mungkin jus jambu dari pemilik rumah. Taiga melepas kedua sepatunya, mencelupkan kaki di air dan melewati gundukan pulau-pulau kecil menuju si bangunan Eropa.
Setelah menapaki semacam alas beton yang kelihatannya untuk tempat berlabuh kapal kecil, Taiga mulai melangkahi beton-beton yang dibuat makin tinggi. Di ujungnya terpampang gapura kecil dengan atap melengkung, tidak ada ornamen spesial. Pintu gerbangnya sendiri sudah berkarat terbentuk dari besi yang disusun vertikal setinggi dadanya.
"Ah, sepertinya tidak ada yang tinggal di sini."
Dari dekat rumah itu terlihat tak terurus. Gagal sudah rencananya. Taiga membuka gerbang besi itu dengan pelan.
"Permisi, maaf mengganggu."
Setelah menutup gerbang, Taiga menaiki anak tangga di balik gapura lengkung itu. Sampai di atas dapat dilihatnya dengan jelas si bangunan Eropa yang makin terlihat tak terurus. Taiga berada di halaman samping rumah itu yang menghadap ke teluk.
Taiga memasang kembali sepatunya.
"Woah, rumahnya memang besar."
Melintasi halaman yang ditumbuhi rumput liar menuju pintu rumah itu, Taiga dapat melihat entah meja atau kursi besi yang berkarat di halaman itu, rombeng di sana-sini sampai tak berbentuk. Mungkin takluk dengan rumput liar yang memenuhi halaman. Bahkan, lapangan basket mini yang ada di halaman samping rumah itu sudah tak berbekas, hanya ada tiang beserta ringnya yang berkarat.
Taiga melongok ke dalam rumah melalui pintu kaca. Dilihatnya rumah itu diselimuti debu, barang-barang ditutupi kain yang juga sudah berdebu. Berputar ke arah samping kiri, agaknya dia menemukan pintu utama. Dilihat dari manapun juga sudah sangat tua.
Taiga mengangguk, "Hm, rumah ini jelas tidak ada orang yang menghuninya. Mungkin sudah sangat lama ditinggalkan."
Disentuhnya pintu kayu itu, dan dilihatnya tangannya yang penuh debu dan serpihan cat.
Kembali ke halaman rumah yang menghadap ke teluk, Taiga mendongak ke salah kamar lantai dua yang jendela kacanya tertutup rapat. Barangkali siapa pun dulu yang menempati kamar itu sangat beruntung bisa melihat suasana teluk yang indah setiap hari.
...
...
Taiga terbangun di atas balok kayu yang berada di dekat dinding pembatas halaman itu dengan tempat dermaga kecil di bawahnya. Buru-buru dia menuruni tangga. Setelah sampai bawah, didapatinya air laut telah pasang. Jalan berupa gundukan kecil yang dilaluinya tadi sudah terbenam air laut. Dia tidak mengerti kenapa dia tadi harus tepar di halaman rumah tak terurus itu. Ombak bahkan bisa menghantam kakinya. Taiga mundur tiga langkah.
"Alamak, aku bagaimana pulangnya. Renang?"
Bocah itu berjongkok, mengikuti wejangan sesat Daiki.
"Kalau bingung jongkok saja!" Sesatnya bukan main.
"Bibi Alex, Bang Tatsuya ... jemput ...."
Dari kejauhan, Taiga melihat ada sebuah kapal kayu kecil dari tengah teluk dengan seorang pria tua mendekati posisinya. Setelah kapal dapat menjangkaunya, si pria renta yang mendayung kapal itu mengangguk kepada Taiga menawarkan tumpangan.
Taiga tertolong, "Terima kasih Paman, maaf merepotkan."
Si pria tua ini sepertinya habis memancing di tengah teluk yang berombak tenang, terlihat dari peralatannya yang berserakan di atas kapal. Taiga kembali melihat ke rumah Eropa itu saat sudah setengah perjalanan.
"Eh ...."
Taiga memekik kecil melihat lampu di dalam rumah itu seakan menyala. Dilihatnya sekali lagi sambil menyipitkan mata, berharap akomodasi maksimal matanya dapat melihat dengan jelas kilatan lampu di rumah itu.
Namun nihil, yang ditemukannya hanya kegelapan yang menelan rumah di ujung rawa itu. Ingin rasanya kembali mengamati rumah itu, tetapi ombak dan dayungan si pria tua membuat kapal oleng, perutnya serasa jungkir balik. Mabuk perjalanannya jauh lebih penting. Kurang dari 10 hitungan, Taiga muntah. Wortel yang dia makan tadi terjun ke lautan.
...
...
Bibi Alex mengambilkan porsi besar tambahan nasi untuk Taiga, sedangkan Tatsuya sibuk mengunyah makanan.
"Rumah besar di ujung rawa? Lebih baik memang kamu tidak usah mendekati rumah itu Taiga," kata Tatsuya. Wajahnya tumben serius.
Kunyahan nasi melewati kerongkongan dengan terpaksa, Taiga nyaris tersedak, "Memang kenapa Bang?"
"Hmp," Tatsuya menyalakan senter pada ponselnya yang ditaruh di atas pangkuan, kemudian diarahkan ke dagu, sumpitnya ditaruh di masing-masing lubang hidung, "Hantu~"
"Tatsuma, jangan mangada-ada deh."
"Ano ... aku Tatsuya bukan Tatsuma, Bibi."
Tatsuya kembali dikacangi, "Rumah itu dulu kabarnya memang rumah liburan milik saudagar kaya. Tapi sudah beberapa kali berpindah kepemilikan. Lalu dibiarkan kosong sampai sekarang. "
"Yah, untung ada yang iseng memancing di tengah teluk. Kalau tidak, Taiga mungkin akan bermalam di sana," Tatsuya mengambil lauk, "kamarnya 'kan jadi aku tempati sendiri."
"Memancing di tengah teluk? Itu sih Mbah Shigehiro, memang biasanya memancing di sana kok."
"Begitu ya."
"Taruhan, Taiga pasti tadi muntah-muntah waktu numpang di kapal Mbah Shigehiro."
"Cih, ketahuan."
...
...
Taiga kembali ke sore itu dengan mengenakan kaos oblongnya yang tadi. Kembali berada di rawa dengan banyak gundukan tanah yang dijelajahinya. Di depannya rumah bergaya Eropa itu tampak terang disinari lampu. Kabut putih tipis menyelimuti rumah itu.
Taiga berjalan mendekat, menceburkan kakinya di air laut. Makin lama, makin mendekati rumah itu. Namun, air laut semakin pasang, ombak yang lebih besar memaksanya untuk menghentikan langkah. Didekatnya ada gundukan pulau yang agak besar yang ditumbuhi rumput, maka dinaikinya saja gundukan itu agar tidak terseret ombak.
Dari tempatnya, pandangan Taiga terarah pada sebuah kamar di lantai dua. Sama seperti jendela lainnya, kamar itu tampak diterangi lampu. Makin dilihatnya, dan makin jelas ada anak berambut biru muda yang sedang membaca buku di dalam.
Ia sudah menaiki dataran yang lebih tinggi, tetapi tidak serta merta dapat menyelamatkannya dari ombak yang kian ganas.
Satu sapuan ombak datang, Taiga terseret hingga tenggelam.
...
...
Taiga membuka matanya tiba-tiba, napasnya tersengal-sengal. Saking penasarannya dengan rumah megah di ujung rawa itu sampai terbawa mimpi. Di sampingnya tidak ada Tatsuya.
"Bang Tatsuya kemana sih?"
Bukan maksud hati rindu pada Tatsuya yang usil, melainkan Taiga lega bahwa tidak ada sesosok abang-abang yang memergokinya bangun dari mimpi buruk dengan gelagapan, dan penuh iler.
Taiga turun ke lantai 1, ditemukannya Tatsuya sedang menyetel DVD film horror jadul. Dilihatnya jam dinding yang menunjukkan sekitar jam 1 dini hari.
"Abang udah bangun?"
Tatsuya menoleh, dijawabnya pertanyaan Taiga setelah menelan kunyahan keripik kentang, "Aku bukan sudah bangun, melainkan gak bisa tidur. Kamu itu tidur kayak kuda, gak bisa anteng."
Taiga ikut duduk di samping Tatsuya, dan ikut mengambil keripik dalam toples lalu dimakan.
"Lah, kamu malah ngapain?"
"Aku ikut Abang di sini aja deh. Di kamar banyak nyamuk."
"Halah alasan kamu."
Dan mereka menonton film bersama.
"RETSUYA, TAKIGAWA! TIDUR SANA!" Teriak Bibi Alex yang terganggu dengan suara tivi tengah malam.
Tidak siang, tidak malam selalu salah sebut nama orang.
Tatsuya menyenggol lengan Taiga, "Sana tidur Takigawa."
"Oi siapa yang Takigawa. Bang Retsuya tuh yang disuruh tidur."
...
...
When Kuroko Was There, Part 1 : END
…..
...*...*...
…..
'Emir is typing' corner :
Terinspirasi dari When Marnie Was There dengan otak-atik seperlunya, maklum ini parody gan. Padahal nonton film-nya udah ditahan-tahan biar gak mewek, tapi tetep aja ... sudahlah. Well, yang pasti entah kenapa ide ini jadi makin gembel ditangan saya.
Sekedar trivia aja sih, bagi pembaca yang belum nonton pilemnya juga saya tidak memaksa untuk menontonnya terlebih dahulu.
Karena jelas fanfiksi ini melenceng jauh jika dibandingkan dengan pilem yang saya maksud di atas. Sekali lagi, ini hanya parody gan, ane gak ngambil keuntungan materi. Hanya menyalurkan ide cerita sedeng ini. Hehe ...
Okay ... makasih udah berkunjung ke fanfiksi saya
Jaa nee .…
:D
