"Maaf kalau ruang tamu di rumahmu jadi berantakan, aku ada urusan mendadak..."
"...ha?"
.
.
.
you've got 0 (zero) missed calls
[Assassination Classroom is not mine]
.
.
.
Mendengar suara laki-laki dari nomor tidak dikenal, Rio heran sendiri. Apalagi ketika ditengoknya jam dan diketahuinya saat itu pagi hari di suatu Minggu yang tenang. Sementara suara di seberang terdiam sejenak (sepertinya sama bingungnya dengan Rio), perempuan pirang itu mendadak sadar akan mengapa suara tadi rasanya agak familiar. "Ini... Akabane Karma?"
Ujung sambungan masih membisu. Rio baru saja hendak menyerah dan menutup telepon ketika speaker tiba-tiba menggelegar. "Etto? Wah, sori Nakamura... aku setengah tidur. Aku menganggu waktu istirahatmu, ya? Tutup saja kalau kau mau--"
Rio tergagap memotongnya. Sudah berapa tahun sejak ia terakhir bertemu Karma? Dua, tiga tahun? Sejak ia berangkat ke London kah? "Tu-tunggu! Enggak apa-apa, kok! Memangnya kau mau menghubungi siapa sebenarnya tadi?"
Karma bergumam tidak jelas dahulu selama beberapa saat. Rio pikir Karma tidak bohong waktu mengatakan bahwa ia setengah tidur. "Ah... Nagisa... Namamu di kontakku 'kan di atasnya Nagisa... Kalau enggak telepon Nagisa nanti dia khawatir. Mau bagaimana lagi, jika tidak minum sampai pingsan bisa-bisa dia tahu separuh rahasia negara..."
"Kau mabuk?"
"Eh? Sedikit, mungkin..." ia jelas-jelas berusaha menyembunyikan suara seraknya. Karma berdehem kuat. "Jangan mengira yang aneh-aneh, Nakamura. Aku habis minum bareng Nagisa, tapi mendadak ada masalah genting di kementerian... duh, dasar pekerjaan. Apa boleh buat."
"Oh benar juga, sekarang kau kerja di sana ya," Rio merenung, kemudian terkejut sendiri. "Sebentar, kau di Jepang, 'kan? Di sana bukannya jam... dua pagi? Urusannya jam dua pagi begini?!"
"Yeah," nadanya seratus persen kasual, lalu tampaknya kemudian ia menangkap kengerian di suara Rio. Karma segera menimpali, "enggak apa-apa kok. Aku sudah biasa."
"...kalau katamu begitu."
Karma tidak berbicara dan tidak menutup telepon, layaknya orang linglung, hingga akhirnya Rio mendengar pemuda itu menguap lelah. Suaranya yang seperti orang capek membuat Rio semakin yakin bahwa sosok Karma yang ia ingat dulu tak lagi sama dengan yang sekarang. Semenit kemudian (barangkali Karma barusan ketiduran, microsleep) ia berujar, "Nakamura, aku tutup teleponnya, ya? Sebentar lagi aku sampai kantor dan harus... yah, kerja," Karma terkekeh pelan, "kau saja yang tutup, deh."
Oh. Dia sibuk, rupanya.
"Oke." Entah mengapa pernyataan Karma membuat Rio sedikit... kecewa. Kehilangan mungkin. Apakah kehilangan teman memang terasa seperti ini?
Namun, bagaimanapun juga Rio mengerti. Bukankah Rio yang dahulu menahan diri berjam-jam mendengar Karma mengoceh soal hal apa saja yang akan ia rombak begitu terjun ke dunia politik? Bukankah ia sendiri juga sudah dewasa, punya teman, sahabat, bahkan mantan kekasih? Bukan Rio, tapi Tuhan yang menentukan apakah kehidupan Karma akan tetap berada sejalan bersama dirinya atau tidak. Dibuangnya seluruh rasa penasaran jauh-jauh, Rio tersenyum kecil dan baru saja hendak memencet ikon merah ketika--
"--kalau kau nanti balik ke Tokyo atau aku ada urusan bisnis ke London, kau harus angkat teleponku. Aku mau ngobrol yang pantas, berdua denganmu," suara parau Karma menginterupsi dari ujung sambungan, seolah membaca pikiran Rio. "Bagaimana? Setuju?"
Wow. WOW. Rupanya Karma tidak pernah berubah jauh-jauh amat; ia pemberani, dan selalu lebih berani mengutarakan hal-hal yang tidak mampu Rio ucapkan.
"Baiklah, Mr. Devil's Advocate," balas Rio, barangkali nadanya lebih ringan sekarang. Ia tidak peduli apakah Karma menyadari hal tersebut. "Artinya kau harus jaga dirimu baik-baik sampai saat itu. Aku enggak mau tempat pertemuan kita nanti rumah sakit atau ruang ICU. Setuju?"
Dari ujung Karma, perempuan pirang itu nyaris mendengar suatu suara seperti orang tercekat.
Suaranya lama-kelamaan berubah menjadi kekehan lebar yang begitu tulus--persis tawanya waktu sukses menjahili Terasaka semasa SMP. "Baiiiik, baiklah kalau begitu, Nakamura! Wah, aku benar-benar tidak sabar menceritakan padamu betapa menyedihkannya penguasa-penguasa tolol yang berusaha menjatuhkanku ini," ia berhenti tertawa, dan entah bagaimana caranya Rio bisa merasakan pemuda merah itu tersenyum. "Nah, sampai jumpa."
Bukan selamat tinggal.
"Sampai jumpa."
Dan sesimpel itu, telepon ditutup.
Namun senyum Rio masih mengambang selama seharian penuh, ia berencana menjaganya terus dalam keadaan itu sampai ia bertemu lagi dengan seorang laki-laki berambut merah favoritnya. Rio tidak mau kalah dari Akabane Karma, dalam hal bercerita mengenai petualangan seru selama kehidupannya.
(Baru sekitar satu jam kemudian Rio menyadari--tentunya penuh jeritan dan wajah yang memerah--kalau Karma masih menyimpan nomornya. Karma MASIH MENYIMPAN NOMORNYA, selama tujuh tahun!)
A/N: Di salah satu extras 7 Years Later, ada bagian di mana Nagisa heran kenapa setiap minum sama Karma dia mabuk sampai amnesia. Alasannya, karena Karma kepingin dengan bebas nyerocos (baca: curhat) soal pekerjaannya di depan Nagisa tanpa Nagisa bisa mengingat apapun. Lmao kira-kira di sini ceritanya Karma baru kelar sesi curhat sama Nagisa...
