Eka terah—satu darah
Dwi warna—dua warna
Tri rupa—tiga perwujudan
Untuk tiga logika.
Dalam tiga masa.
Menanti tiga kehancuran.
. . .
TRISANGHARAKALPA
prolog
Disclaimer:
Hetalia © Hidekaz Himaruya
Warnings:
OC. More OC.
. . .
Agni
Api yang panas—membakar, meraung.
Menghanguskan semuanya, sampai yang tersisa hanyalah abu.
Ia terengah. Langkahnya tertatih. Hutan tak juga berakhir. Tapi itu lebih baik dari pada berbalik dan menghadapi kenyataan bahwa sekarang dirinya akan hancur. Kerajaan yang dulunya kuat, kini tak ada apa-apanya ketika diserang kekuatan dari Barat. Dhamasraya terus saja mengawasinya dengan mata tajam.
"Dapunta Hyang, mengapa jadi seperti ini sekarang?"
Ia bergumam, namun ia tahu lelaki itu tak akan datang lagi. Tak akan datang untuk kedua kalinya dan mengawali kejayaannya kembali.
Lalu satu hancur—dan tinggallah dua.
. . .
Banyu
Air mengalir, beriak dan menghanyutkan.
Tampaknya tenang, tapi didera batu tajam penuh berduri.
Takut. Ia takut.
Sebenarnya itu hal yang konyol mengingat justru ialah yang paling ditakuti dulunya. Sang Imperium besar yang menguasai Nusantara. Tetapi mereka berperang menumpahkan darah dagingnya sendiri—bagaimana ia tidak takut?
Mungkin inilah memang yang ditakdirkan untuknya—hancur di tangan keserakahan.
Tetapi ia masih takut. Begitu takut—yang tak pernah sekalipun ia rasakan sebelumnya sepanjang nafas masih berhembus. Dari Barat, mereka diserang ketika lemah.
Tinggal menunggu waktu saja.
Dan yang kedua musnah—tinggal duduk menunggu yang satu lagi.
. . .
Bantala
Tanah yang diam dan kaku.
Di bawah kaki yang menantang, tersimpan sejuta misteri, menentukan takdir.
Jatuh. Jatuh begitu keras sampai ia tak bisa membedakan saat ia mulai jatuh dan saat ketika debamnya menggema ke semua penjuru.
Mereka menatapnya dengan kasihan. Tapi malah menjebaknya dalam putaran perangkap yang membuatnya menderita. Ia hancur perlahan dari dalam—karena tangan-tangan serakah dari Barat yang terus saja mencuri semua yang ia miliki. Dan ia?
Ia tak kunjung juga menyadari hal itu.
Sementara mereka yang seharusnya mampu mengeluarkan dirinya dari perangkap ini malah menutup mata, memblokir telinganya. Sama saja dengan orang bisu tuli. Tak pernah menyadari keadaannya yang sebenarnya.
Oh, apakah dunia memang seperti ini? Apakah takdir selalu berakhir dengan kehancuran?
Mungkin memang begitulah sejarah dan takdirnya.
Kehancuran ketiga—lalu tak ada lagi yang tersisa.
.
.
.
(akhir dari prolog)
*) Trisangharakalpa—tiga hari kehancuran. Atau seperti itulah berdasarkan skill bahasa Sansekerta saya yang minim dengan modal kamus. Correction accepted.
Agni—api. Banyu—air. Bantala—tanah. Bahasa sansekerta juga.
. . .
Oh, well. Saya bikin barang aneh (lagi?) orz. Gara-gara baca sebuah novel yang menceritakan sejarah Nusantara di masa lalu, jadi kepengen nulis tentang kerajaan-kerajaan kuno. Akan ada tiga chapter dalam fic ini (Empat kalau menghitung prolog. Mungkin lima kalau saya jadi bikin epilog #ambigu)
Review, please? ._.
-knoc
