The Fox's Bride
Arc 1 : Berakhirnya Seorang Taishogun
Summary : Dia dikhianati. Pedang yang dia angkat demi membela beralih menghunus. Dan ketika takdir berpihak padanya, kekacauan terjadi. Dendam menjadi musuh abadi.
.
.
.
.
.
.
.
Rate : T
Genre : Drama, Historical, Fantasy, Suspense, Tragedy, Hurt/Comfort
Pair : [Naruto U. Hinata H] Sasuke U
.
.
Naruto milik Kishimoto Masashi-sensei
.
.
.
Musim semi, 1272
Di tengah luasnya samudra, kapal-kapal berlayar. Berangkat dari semenanjung Korea menuju ke sebuah pulau kecil bernama Jepang. Membawa beribu awak tentara yang dilengkapi berbagai persenjataan.
Mendekati bibir pantai yang terletak di daerah Tsushima, salah satu awak maju ke depan. Mengambil napas dalam; meniup trompet, mengabarkan berita bahwa Dinasti Yuan telah tiba.
Sebuah bendera perang dinaikkan.
Teriakan nyaring terdengar. Para awak kapal turun dengan senjata mereka. Membantai habis rakyat tanpa ada perlawanan.
Duka menyelimuti. Pulau yang biasanya penuh akan canda tawa warga, kini dibanjiri genangan darah. Tubuh tidak bernyawa tergolek dimana-mana. Tidak ada rintih, tidak ada tangis. Semua tewas tidak tersisa.
.
Teluk Hakata, Kyusu
Teriakan nyaring kembali terdengar. Bersamaan dengan tarian Katana dari para tentara, hujan anak panah diluncurkan. Begitu banyak pun serempak. Mengguyur para prajurit, menumbangkan satu demi satu.
Benteng pertahanan melemah. Bom diledakkan.
Suara kuda bersahutan. Para tentara Jepang menarik pasukan.
Lengang.
Pasukan Yuan tersenyum simpul.
Sambil berlabuh, mereka pun merayakan kemenangan. Naas, cuaca di teluk Hakata tidak bersahabat. Langit cerah berubah mendung. Awan gelap berkumpul, memenuhi langit. Kilat pun menyambar, membelah angkasa; memperlihatkan cahaya agungnya.
Wushh ...
Angin kencang menghantam. Badai mulai datang. Tangan-tangan perkasa berpegangan. Beradu kuat dengan sapuan angin beserta ombak yang kian merajalela.
Tidak tanggung-tanggung, kapal-kapal Yuan pun terseret menuju laut lepas. Meliuk-liuk dan dihempaskan pada karang.
Pecah.
Tercerai-berai.
Mati.
Pasukan Yuan kehilangan 200 kapal dan 13.000 tentara hanya dalam satu kedipan mata.
Karma—begitulah sang Kamikaze menyebutnya. Duduk di singgasana, ia pun tersenyum lembut. Memandang datar mayat-mayat yang mengapung di perairan. Sementara satu tangannya sibuk mengusap bulu-bulu halus si mungil berekor sembilan.
.
"Danzo-sama, Kaisar Yuan mengirim 6 orang utusan," seorang pengawal bersimpuh. Menunduk dalam dengan kedua tangan terangkat ke atas, memberikan sebuah gulungan berwarna merah.
"Apa itu?" Danzo bertanya. Sedikit mengernyit melihat gulungan yang menurutnya tidak biasa.
"..."
Danzo semakin mengernyit. Penasaran, ia pun meraih gulungan tersebut.
Brakh ...
"Apa maksudnya ini?" teriak Danzo. Matanya berkilat marah, mengabsen satu persatu anak buah; meminta penjelasan atas gulungan kosong tersebut. Namun para Samurai itu mengkeret. Terlalu takut untuk sekedar berserobok dengan mata sang Shogun.
Hening.
Danzo mencengkeram kuat kursinya. Berdiri dari singgasana, bersiap menendang pengawal yang masih bersimpuh di depan.
"Danzo-sama!" suara bariton menggelegar; menghentikan aksi Danzo. Langkahnya pun dipercepat. Buru-buru kemudian ikut bersimpuh dengan segala hormat.
Pria itu berpakaian oranye. Rambutnya diikat satu dan berponi berantakan yang menutupi setengah dari mata.
"Mohon berikan gulungan tersebut pada saya," pintanya mantap.
"Taishogun, aku tidak suka cara berbelas kasih Anda."
Danzo mencibir.
Taishogun kukuh.
Berdeham sejenak, Danzo melemparkan gulungan pada Taishogun, "Mereka membodohiku."
Taishogun terdiam. Mengabaikan apa yang baru saja sang Shogun katakan.
Hidungnya mencium sesuatu. Gulungan tersebut wangi. Khas aroma apel.
"Bisakah kau berdiri dan ambilkan aku lilin?" pintanya ambigu. Membuat kerutan tercipta di kening seorang pengawal yang bersimpuh di samping.
"..."
Mata safir itu mengkilap tajam, "Kau tidak mendengarku?" bibirnya mendesis.
Dua menit lengang.
Danzo dibakar api kemarahan. Pasalnya lilin yang bertiup di sana baru saja memperjelas apa maksud dan tujuan utusan Yuan tersebut.
Sebuah perintah—Pemimpin Jepang harus berlutut di depan Kaisar Yuan di Ibukota.
"Taishogun, penggal kepala mereka!"
.
Seminggu sejak aksi pemenggalan tersebut, Kaisar Yuan; Yuan Huo Fu atau lebih dikenal sebagai Yuan Hiashi, menerima sebuah paket berbungkus sutra. Alih-alih senang, Hiashi marah besar. 6 buah kepala dengan mata terbuka terbungkus apik di sana, "Hanyu, berikan hadiah pada raja Goryeo. Pastikan beliau menerimanya sebelum matahari tenggelam lusa."
Persiapan dimulai. Pasukan Yuan membentuk lembaga kementerian khusus untuk invasi militer ke Jepang. Tidak tanggung-tanggung, Yuan menyiapkan 140.000 armada yang terdiri dari 100.000 orang China dan 40.000 sisanya merupakan bala bantuan dari Goryeo.
Mendarat di teluk Hakata, invasi yang dilakukan pada tahun 1281 tersebut tidak mudah. Jepang telah membangun tembok penghalang yang membentang sejauh bibir pantai pulau Kyusu.
Taktik sembunyi-sembunyi dilakukan. Samurai Jepang yang dipimpin oleh Taishogun; Uzumaki Naruto, menyusup ke lokasi kapal Yuan ketika malam tiba. Bergumul di atas kapal yang terombang-ambing, kedua pasukan tersebut beradu. Menggesekkan mata pedang mereka untuk mengetahui siapa yang paling unggul.
Kegelapan malam bersahabat. Para Samurai Jepang berhasil menumbangkan paling sedikitnya 20 kapal Yuan beserta awaknya dalam satu malam. Membakar habis dan menenggelamkan kapal mereka hingga tidak tersisa.
Terancam dengan aksi para Samurai, Yuan pun melakukan serangan gabungan secara masif. Menggerus pertahanan Jepang hingga separuhnya.
Kemenangan hampir di depan mata. Namun suatu malam, secara tiba-tiba fenomena alam kembali terjadi. Sang Kamikaze kembali memainkan operanya.
Sebuah badai besar datang. Kali ini lebih besar dari sebelumnya. Air setinggi ratusan kaki menghantam. Meluluhlantakkan pasukan Yuan hingga menewaskan 100.000 jiwa.
"Mereka terdampar di bibir pantai. Haruskah kita membunuhnya?" seorang pengawal bertanya pada Taishogun.
Naruto berhenti sejenak. Safirnya memandang datar, melihat mereka yang dimaksud si pengawal, "Siapa yang menyuruhmu melakukan itu, huh?"
"Ta... tapi—"
"Bawa mereka!"
.
Istana Kekaisaran Kamakura
Keadaan hening mencekam. Sejak kemenangan Jepang dalam invasi Mongol tujuh hari lalu, Kaisar Jepang; Tenno Fugaku, secara tiba-tiba memanggil semua Shogun dari segala penjuru. Di ruang persidangan inilah mereka. Berdiri menunduk menunggu keputusan.
Helaan napas terdengar, "Berapa banyak yang selamat?" tanyanya setelah sekian lama diam.
Danzo melirik ke belakang; tempat Naruto berdiri. Taishogun itu mengangguk, mengerti apa yang harus ia lakukan.
"Yang mulia Fugaku-sama, sekitar 1000 orang selamat sementara sisanya menghilang di lautan," Naruto menjelaskan.
"Bagaimana keadaan mereka?"
"Mereka sudah mendapat penanganan di tempat pelayanan dan dalam kondisi pemulihan. Mungkin sekitar dua atau tiga hari lagi."
Imbuh Naruto.
"Pastikan tidak ada yang kabur, Taishogun. Karena kita akan mengadakan pertemuan dengan Yuan sesegera mungkin," Fugaku tersenyum.
Ambigu.
Para Shogun dan pengikutnya berkasak-kusuk. Menurut mereka keputusan sang Kaisar terlalu sembrono.
"Yang mulia Fugaku-sama! Anda tidak bisa—"
"Aku tidak meminta pendapatmu, Shogun. Aku meminta kalian berdiri di sini untuk mendengar keputusanku dan menyiapkan segalanya. Apa ada yang tidak dimengerti?" Fugaku memandang tajam. Kentara sekali ia tidak ingin didebat.
Pertemuan itu pun berakhir. Para Shogun meninggalkan balai pertemuan dengan menelan kemarahan. Kaisar mereka sedang bermain. Merencanakan sesuatu yang kemungkinan bisa menumbangkan Keshogunan.
Naruto menghela napas. Setelah ini masih banyak pekerjaan menanti. Salah satunya adalah membereskan kekacauan akibat perang. Sudah satu minggu dirinya absen. Ia yakin anak buahnya sedang berleha-leha dan duduk manis sekarang, "Aku harus segera kembali."
Danzo menunggu di depan istana. Sedikit menggerutu karena Naruto tidak kunjung datang.
"Jangan bilang Putra Mahkota cari gara-gara dengannya."
.
Ia mengintip. Memperhatikan keadaan sekitar dengan perasaan waswas. Sudah dua jam sejak ia kabur meninggalkan kelas. Namun orang yang ditunggu belum juga menampakkan batang hidungnya. Kesal, pemuda berusia 17 tahun itu mengentakkan kaki. Mengambil beberapa batu kerikil untuk ia lempar pada orang itu.
Mata hitamnya berbinar tatkala sebuah rambut berwarna pirang terlihat. Sosok itu berjalan menjauhi pavilium dengan mengapit sebuah pedang.
Pluk ...
Naruto berhenti sejenak.
Pluk ...
"Siapa disana!"
Krskk ...
Mata safirnya memicing. Ia tahu siapa orang iseng yang berani melakukan itu padanya.
Naruto menghela napas.
"Putra Mahkota ... aku tahu kau di sana."
"..."
"Putra Mahkota, aku katakan sekali lagi padamu. Jika kau punya waktu bermain, lebih baik kau kembali ke kelas dan dengarkan apa yang Kakashi-sensei katakan."
Naruto hampir saja berlalu kalau tidak secara tiba-tiba sebuah sepatu melayang tepat di kepalanya.
"Sasuke!"
Naruto benar-benar marah. Temannya satu itu benar-benar minta dihajar.
Di sinilah mereka. Berdiri di pavilium samping sambil memberi makan ikan. Sesekali Sasuke mengusap kepalanya yang terasa berdenyut. Naruto benar-benar menghajarnya. Beruntung tidak menggunakan kekuatan penuh atau nyawanya bisa melayang hanya dalam satu kedipan mata.
"Kemampuanmu mengerikan," cibir Sasuke
"Bercandamu yang berlebihan. Terkadang aku tidak bisa membedakan apakah kau ini orang dewasa atau anak kecil."
Naruto tidak mau kalah.
"Kejam sekali. Tidak heran kau tidak memiliki kekasih sampai sekarang. Aku khawatir, bisa-bisa kau jadi perjaka tua!"
Sasuke menaikkan sudut bibir, meremehkan.
"Sepertinya pedangku butuh diasah. Kau mau mencoba?" Naruto menarik sedikit pedangnya sambil tersenyum.
"Seperti kau berani saja. Aku tahu Taishogun tidak akan melakukan hal itu padaku."
Sasuke berujar bangga.
Sett ...
Tes
Sasuke menegang. Pasalnya pedang Naruto tepat berada satu inci dari wajahnya. Menggores sedikit kulit wajah.
"Aku tidak pernah main-main, Putra Mahkota. Tidak ada yang tahu kapan pedang yang membelamu ini berubah menjadi pedang pembunuhmu."
Jadi ... pastikan kau tidak main-main denganku karena aku memiliki batasan untuk melakukannya."
Naruto menyarungkan pedang. Meninggalkan Putra Mahkota yang mencerna apa yang baru saja sang Taishogun katakan.
.
Berita datangnya Kaisar Yuan ke Jepang menyebar cepat ke segala penjuru. Para rakyat dibuat gelisah. Mereka tahu apa yang telah terjadi di Tsushima. Pembantaian massal oleh pasukan Yuan menciptakan luka dan ketakutan.
Petisi diajukan. Demonstrasi terjadi di beberapa daerah Keshogunan. Membuat para Shogun mendesak Kaisar untuk membatalkan niat. Namun bukannya mendengar aksi penolakan tersebut, Kaisar malah semakin mematangkan persiapan penyambutan.
"Haruskah dia ikut?" Hiashi bertanya pada sang sekretaris kerajaan; Hanyu.
"Tenno Fugaku-sama memberikan syarat tersebut. Anda harus datang bersama putri Anda, Yang Mulia." Hanyu berojigi.
"Apa kau yakin mereka tidak akan membahayakan nyawa Putri?"
"Anda di sana. Tidak akan ada yang berani macam-macam dengannya. Saya pastikan itu," Hanyu meyakinkan.
Hiashi mengusap wajah gusar. Syarat pertemuan terlaku berat, "Bagaimana kalau mereka mencemoohnya? Aku yakin aku tidak akan bisa menahan hal itu."
"Kalau begitu kami akan bersiap untuk menyerang."
.
Satu hari sebelum keberangkatan, Hiashi menemui sang putri semata wayang. Duduk di bawah cahaya bulan, Kaisar yang merupakan ayah tunggal itu memandang penuh harap. Ia berharap sang Putri tidak akan menyetujuinya.
Sebuah buku kecil bercoretkan tinta diulurkan—Aku baik-baik saja, Ayah—tulis sang Putri, Yuan Sun Yang namanya.
"Kau tidak perlu memaksakan diri. Katakan saja tidak jika memang tidak mau," paksa Hiashi lembut.
Lakukan apa yang mereka inginkan. Jika memang ini jalannya, maka semua akan baik-baik saja—tulis Sun Yang.
Hiashi menghela napas berat. Memandang Sun Yang dalam; mencoba mencari keraguan dari mata ametis serupa dengan miliknya tersebut yang sayangnya tidak ada.
Ketika fajar menyingsing, rombongan Yuan berlayar dari semenanjung diiringi upacara kehormatan. Mereka; pejabat dan rakyat berbaur, menghantarkan Kaisar dan Putri mereka menuju negeri bunga Sakura dengan penuh harapan.
Perdamaian.
.
"Mereka sudah terlihat di perbatasan," seorang pengawal melapor pada Taishogun, Uzumaki Naruto.
"Mulai persiapan. Pastikan semuanya berjalan aman!" perintah Naruto. Mengencangkan ikatan kepala, Taishogun muda tersebut mulai menuju ke pinggir. Menaikkan bendera diiringi alunan musik tradisional khas Jepang.
Kapal menepi. Para awak turun, berbaris membentuk benteng; mempersilakan sang Kaisar dan tuan Putri untuk turun.
Naruto berlutut, diikuti seluruh hadirin tanpa terkecuali.
Yuan Huo Fu tersenyum. Kaisar Yuan itu menyentuh pundak Naruto; meminta untuk berdiri.
"Selamat datang di negeri kami, Yang Mulia Hiashi-sama." Ucap Naruto setelah berdiri tegak.
Sun Yang maju dengan langkah ringan. Menjinjing gaun sutra berwarna Biru muda yang sengaja dibuat untuk kunjungannya. Mengikis jarak, ia berhenti tepat dua meter di depan Naruto, "Selamat datang juga untuk Putri—" kalimat Naruto tertahan tatkala safirnya mendongak.
Taishogun itu tertegun. Safirnya membeku melihat betapa indah sosok di hadapannya. Cerah dan bersinar bak Amaterasu Omi-Kami yang memeluk Tsukuyomi.
"Gun ... Taishogun!" tegur seorang pengawal di sisi kanan Naruto.
"Eh!"
"Maaf. Maksudku selamat datang tuan Putri—"
"Hinata."
Tegas Hiashi.
Naruto menepi, mempersilakan Kaisar dan Putri Yuan. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Benar-benar malu dengan apa yang baru saja ia lakukan. Sementara sang Putri yang berjalan pelan di belakang sang Kaisar, tersenyum lembut melihat betapa konyolnya Taishogun berambut pirang tersebut.
Berjalan di samping tandu yang membawa Putri Yuan; Hinata, sesekali Naruto mengintip. Ekor matanya melirik ke arah jendela pada tandu. Benaknya begitu terusik, ingin sekali lagi melihat wajah itu.
"Kaisar Yuan telah tiba!"
Genderang ditabuh. Suara sorak memenuhi halaman istana Kekaisaran.
Seorang kasim mengetuk pintu berkali-kali. Berharap sosok di dalam sana mendengar dan segera membukakan pintu, "Putra Mahkota ... Kaisar Yuan telah tiba. Anda harus segera bergegas!"
"..."
"Putra Mahkota!"
Sang kasim menghela napas. Mengumpulkan segala keberanian, ia membuka pintu. Kepalanya tertunduk seiring berjalan mendekat, "Putra Mahkota ... Yang Mulia sudah menunggu."
"..."
"Putra Mah—"
"Astaga!" sang kasim memekik histeris. Pasalnya bukan bersiap, Putra Mahkota; Tenno Sasuke masih terlelap di alam mimpi. Kesal, sang kasim yang berusia 35 tahun itu menarik selimut.
"Bagaimana mungkin kau tidak membangunkan aku?" gerutu Sasuke. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan ke aula pertemuan. Sambil berjalan, sang Kasim yang diketahui bernama Satou membantu mengenakan pakaian. Sementara Sasuke sibuk menyisir rambutnya menggunakan jari. Ia bahkan belum mengenakan alas kaki.
Satou mengulurkan sepatu, "Saya sudah mengetuk puluhan kali, tetapi Anda tidak menyahut."
"Ngomong-ngomong di mana Taishogun? Harusnya dia yang membangunkan aku."
"Anda beruntung beliau tidak ada di tempat. Jika tidak pasti rambut Anda sudah digunduli karena terlambat bangun," Satou membayangkan ngeri.
.
Gyokuro—teh khas Jepang yang memiliki banyak kandungan Animo L-Theanine dikarenakan hasil fotosintesis yang sangat rendah—disajikan. Beberapa kudapan pun turut tersaji. Terpajang apik di atas meja kecil berukiran unik.
"Maafkan atas penyambutan sederhana kami, Yang Mulia Hiashi-sama ..." ucap Fugaku; sesekali melirik pintu, menunggu kedatangan Putra Mahkota.
"Terima kasih sambutannya yang berkesan."
Terima kasih pula pada Taishogun yang telah mengawal kami dengan selamat sampai tujuan," Hiashi melanjutkan.
Fugaku tersenyum; merasa sedikit bangga dengan kinerja Naruto. Taishogun muda itu tidak pernah mengecewakan. Danzo mendidik anak buahnya dengan sangat baik.
Naruto menunduk hormat. Mengabaikan tatapan penasaran dari sosok indah yang duduk berhadapan jauh di depan.
"Dia putrimu?" Fugaku menatap penasaran. Pasalnya sejak tadi Putri Yuan itu hanya diam sambil menyunggingkan sebuah senyum manis.
Setetes peluh turun dari dahi Hiashi. Ketakutan menyelubungi sanubari. Ia pun meneguk ludah kasar, tidak sadar jika ulahnya menyedot perhatian dari dua orang Shogun yang hadir; Orochimaru dan Danzo.
Hinata menggenggam tangan sang ayah; meyakinkan beliau untuk berbicara.
"Maafkan aku, Yang Mulia Fugaku—"
Brakh ...
"Tidak bisakah kau tidak mendorongku?!" Sasuke mengumpat tatkala ia jatuh terjerembap di depan pintu aula pertemuan. Membuat puluhan mata mengarah padanya. Pun tak luput Kaisar Tenno Fugaku yang melotot sempurna; tidak habis pikir dengan ulah sang putra.
"Anda yang menginjak jubah Anda sendiri, Putra Mahkota ..." gumam Satou memelas. Ia sangat mengerti arti tatapan Kaisar Tenno yang mengarah padanya.
Satou membantu Sasuke berdiri. Membungkuk berkali-kali sebelum Naruto menyela. Taishogun itu berdiri, meminta Satou untuk pergi, "Kau berurusan denganku setelah ini, Putra Mahkota," bisik Naruto dingin tepat di telinga Sasuke.
Pertemuan kembali dilanjutkan. Sasuke duduk di samping sang ayah.
Baru dua menit berlalu, "Siapa gadis itu, Ayah?" bisik Sasuke.
"Ayah rasa kau tidak buta untuk tidak melihatnya, Putra Mahkota."
Bisik Fugaku gemas.
Pertemuan berjalan lancar. Fugaku berhasil mendapatkan rambu hijau dari Kaisar Yuan. Bahkan Hiashi sempat berterima kasih karena Fugaku bersedia menyelamatkan anak buahnya yang telah membuat kekacauan di Jepang.
"Samudra Anda memang luas, Yang Mulia Fugaku-sama. Saya tidak tahu bagaimana harus berterima kasih."
Hiashi meletakkan teh Gyokusanya.
"Festival musim panas di Jepang begitu indah. Jika Anda berkenan, Anda bisa melihatnya. Akan saya sajikan tarian terindah."
.
Setelah pertemuan, Kaisar Yuan memutuskan singgah untuk beberapa hari. Sikap baik Tenno Fugaku cukup mencurigakan. Ia ingat betul 6 buah kepala yang dikirimkan padanya beberapa tahun silam, "Hanyu, apa kau di sana?"
"Selidiki segala yang berhubungan dengan Kaisar Tenno. Termasuk semua Shogun yang mendukungnya dan latar belakang mereka!"
Hanyu mengangguk patuh.
Sementara itu, Putri Yuan; Yuan Sun Yang atau Hinata tengah menikmati angin malam di teras pavilium. Gadis itu menatap langit; Jepang begitu indah melebihi yang ia bayangkan.
Gadis itu begitu khusyuk hingga tidak menyadari sosok yang memperhatikannya sejak satu jam lalu. Naruto duduk di atas pohon yang menjulang tinggi. Kegelapan dan pakaian serba hitam yang ia kenakan membuatnya tidak mudah terlihat.
Lama memperhatikan, Taishogun tidak sadar ikut tersenyum. Putri Yuan itu memang terlalu indah. Terlalu sayang untuk sekedar diabaikan. Bahkan cahayanya tidak redup di tengah kegelapan. Seolah kegelapan itu sendiri tengah menjaga jarak untuk melindunginya.
"Kau terlambat! Taishogun!" tuding Sasuke saat melihat Naruto melompati pagar.
"Harusnya kau berterima kasih karena aku mengulur waktu untuk membunuhmu," jawab Naruto sambil mencomot kudapan yang tersaji di sisi Sasuke.
"Naru—"
"Putra Mahkota!" Naruto menyela; berhenti mengunyah dango. Tatapannya menajam, sangat tajam hingga bisa menembus mata hitam Sasuke yang serupa dengan Kaisar Tenno.
Sasuke menegang. Naruto sedang serius.
"Pertemuan hari ini adalah sejarah. Bersyukurlah Kaisar Yuan tidak mempermasalahkan sikapmu. Jika tidak, maka dapat dipastikan aula pertemuan tadi berubah menjadi lautan darah. Kekaisaran Jepang bisa runtuh seketika,"
Terlebih tidak banyak Shogun yang mendukung ayahmu."
Sasuke meneguk ludah. Baru sadar apa yang telah ia lakukan, "Apa yang harus aku lakukan?" tanyanya gemetar.
"Kaisar Yuan sangat menyayangi putrinya."
Naruto menelan dango, mengambil segelas air untuk mendorong makanan tersebut.
"Lalu?" Sasuke masih tidak paham.
"Gunakan otakmu untuk berpikir, Sasuke. Aku yakin Kaisar sudah sering mengatakan hal ini," cibir Naruto sebelum benar-benar beranjak keluar dari jendela.
.
Sinkron dengan keadaan Kaisar Yuan, Fugaku juga tengah bersitegang. Duduk di depan meja kecil di ruangannya sambil memandang jauh. Sebuah surat yang baru saja ia tulis telah dilipat rapi.
"Takeda, apa kau di sana?" panggil Fugaku.
Takeda membuka pintu, menunduk sejenak sebelum beranjak masuk.
"Berikan ini pada Shimura Danzo. Pastikan tidak ada yang melihatnya bahkan Taishogun sekalipun."
Takeda mengangguk patuh. Meninggalkan Fugaku yang memejamkan mata dengan berat. Nyata sekali banyak beban yang ia emban. Terlebih satu-satunya pewaris Kekaisaran masih bersikap kekanakan di usianya yang menginjak 18 tahun. Usia yang matang untuk mempelajari pemerintahan.
Dua hari berlalu. Keberadaan Kaisar Yuan di istana menjadi ketakutan tersendiri bagi sebagian besar Shogun. Tidak ada yang berani menginjakkan kaki di sana karena Kaisar Tenno selalu terlihat bersama dengan Kaisar Yuan.
Bosan dengan segala pelayanan dan aturan yang membatasi, Hinata menyelinap keluar. Putri Yuan itu ternyata memiliki sifat sedikit nekat. Tanpa pengetahuan ia berkeliling istana. Padahal bisa saja seseorang membekap dan membunuhnya.
"Dia merepotkan," gumam Naruto saat diam-diam mengikuti dan mengawasi Hinata dari jauh.
"Sialan Kakashi! Teganya dia menyuruhku mengembalikan semua buku-buku ini ke perpustakaan!" gerutu Sasuke. Putra Mahkota itu komat-kamit, menyumpahi sang guru yang selalu terlambat di setiap kesempatan dan memberinya tugas tidak tanggung-tanggung banyaknya.
Karena tumpukan buku yang terlalu tinggi, Sasuke tidak memperhatikan jalan hingga secara tiba-tiba dirinya menabrak sesuatu.
Brukh ...
"Siapa orang gila—"
"Eh?" Sasuke terkejut.
Hinata menundukkan kepala; meminta maaf. Tangan mungilnya segera memungut semua buku-buku yang berserakan akibat ulahnya. Sedangkan Sasuke tidak bergerak. Begitu tertegun akan sikap seseorang yang telah menabraknya. Tidak ada rintihan atau umpatan. Halus, sehalus sutra yang gadis itu kenakan.
Hinata menyodorkan buku tersebut, "Ah, terima kasih," Sasuke sadar.
Gadis itu tersenyum.
"Sekali lagi, terima kasih."
Lagi-lagi Hinata tersenyum. Sasuke mengernyit, "Kau baik-baik saja?"
Hinata mengangguk sambil tersenyum sebelum berlalu kalau tidak secara tiba-tiba Sasuke menarik salah satu pergelangan tangannya, "Kau ... tidak bicara?" tanyanya dengan tatapan sulit diartikan.
Tidak membawa buku kecil dan kuas, Hinata pun meraih tangan Sasuke; menuliskan sesuatu di telapak tangannya—aku tidak bisa bicara. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku.
Sasuke melemas. Putra Mahkota itu tidak bereaksi lagi setelah mencerna apa yang baru saja Hinata tuliskan. Ia hanya berdiri sambil memandang gadis itu yang mulai menjauh dengan segala langkah anggunnya. Ia bahkan tidak menyadari seseorang lain yang ikut beranjak dari sana.
Naruto menunduk, menyembunyikan safirnya yang berubah pancaran.
"Taishogun ... kau mendengarku?" Sasuke melambai. Pasalnya sejak datang sepuluh menit lalu, Taishogun yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri itu hanya diam. Bahkan Sasuke tidak bisa membaca ekspresi dan apa yang tengah Naruto pikirkan. Tidak pernah bisa.
"Dia ... tidak bisa bicara," ucap Sasuke untuk ke-sekian kali.
"Besok aku harus pergi. Danzo-sama memintaku kembali."
Naruto mengalihkan pembicaraan.
"Kenapa cepat sekali? Kita bahkan belum tanding sekalipun. Sebelum perang kau berjanji mau tanding panah denganku, bukan?" Sasuke memicing.
"Jika kau bisa mendapatkan nilai bagus maka aku akan datang secepat mungkin."
Sasuke merebahkan diri di kasur, "Kau terlalu banyak janji. Aku jadi bertanya-tanya, berapa banyak perempuan yang telah kau berikan harapan palsu?"
Naruto terkekeh, "Kau terlalu banyak membaca novel pasaran. Tidak heran otakmu itu kosong, Putra Mahkota ..."
"Ah ... kau tidak tahu bagaimana sensasinya," ucap Sasuke dramatis.
Naruto lagi-lagi terkekeh. Ia pun mengelus sarung pedangnya sambil memandang dengan penuh arti, "Daripada kau mengkhawatirkanku, tidakkah lebih baik kau khawatirkan dirimu sendiri?"
Usiamu sudah cukup matang. Tidakkah kau berpikir ingin meminang seorang istri?"
Sasuke rebahan menyamping. Pertanyaan Naruto menohoknya.
"Dan menjadikannya boneka para Shogun? Tidak!" ucap Sasuke tegas. Jelaga hitamnya menajam. Ekspresinya berubah dingin, mengerikan.
"Aku juga salah satu dari mereka, asal kau ingat."
Naruto menggenggam erat pedangnya.
"Yaaahhh ... aku tahu Taishogun adalah orang nomor satu yang terobsesi ingin membunuhku. Itu hal wajar," Sasuke bergurau.
Tawa Naruto pun pecah. Sasuke benar-benar menghibur. Putra Mahkota itu memiliki jalan pemikiran yang sulit diterjemahkan. Ia bahkan tidak tahu apa maksud dan tujuannya bersikap santai dan kekanakan seperti itu.
.
Hari terakhir Kaisar Yuan di Jepang, pihak istana mengadakan pesta. Semua Shogun diundang, termasuk para Taishogun.
Naruto berdiri di balik kegelapan. Danzo telah memerintahkan untuk mengawasi sekitar. Meski tidak dijelaskan, Naruto bisa menerka apa yang mungkin atau sedang terjadi.
Sejauh ini tidak ada yang mencurigakan. Semua berjalan sebagaimana mestinya kecuali sikap para Shogun. Mereka membenci perdamaian dengan Yuan. Namun hanya dalam kurun waktu satu minggu, mereka berubah pikiran. Mustahil.
Hidangan utama disajikan. Semua orang membungkuk sebelum menyantap hidangan yang menggugah selera.
Sasuke duduk bersampingan dengan Hinata. Membuat ia bisa memperhatikan detail tingkah laku dan rupa gadis tersebut.
Cantik.
Itulah kata yang sanggup mewakili sosoknya. Baru pertama kali ini Sasuke melihat gadis seperti itu. Segala gerakan tubuh Hinata membuat denyut nadi dan dadanya berdesir. Geli namun menyenangkan.
Terlalu lama memperhatikan, Sasuke tidak sadar bahwa tangannya salah mengambil makanan. Hingga Hinata menoleh; menatap dengan pandangan bertanya, Sasuke menandaskan makanannya.
"Uhuk ..." Sasuke terbatuk. Tenggorokannya tiba-tiba terasa sakit seperti tercekik. Bukannya memuntahkan apa yang berada di mulut, Sasuke malah nelat menelan. Putra Mahkota itu bahkan sempat menyisir para hadirin, mencari biang keladi atas racun yang sudah masuk ke dalam tubuh, "Sial!"
Kegaduhan terjadi tatkala Sasuke tergeletak tidak berdaya.
Fugaku dan Hiashi berdiri bersamaan. Mendekat ke arah Hinata yang memangku kepala Sasuke.
"Apa dia baik-baik saja?" tanya Hiashi panik saat Fugaku keluar dari kamar sang putra.
"Aku bersyukur karena yang menelan bukan putri Anda. Jika tidak, maka apa yang sudah terjadi selama seminggu ini akan sia-sia," Fugaku menunduk dalam.
"Apa maksud Anda, Yang Mulia Fugaku-sama?" tanya Hiashi.
"Aku tahu putraku itu bodoh dan ceroboh. Tapi aku tidak menyangka, bagaimana bisa dia menghabiskan makanan putri tanpa sadar? Bodohnya lagi, ia sadar itu racun tapi nekat menelannya. Dia benar-benar cari mati!" Fugaku bergurau; menyembunyikan kedua tangan di belakang punggung yang tergenggam erat.
Hiashi tertegun, "Anda tidak khawatir dengan putra Anda?"
Fugaku tertawa nyaring, "Dia itu punya sembilan nyawa. Dia hanya akan mati kalau tidak membaca novel murahan."
Hiashi semakin tidak paham.
"Jangan khawatirkan putraku, yang penting putri Hinata baik-baik saja. Itu sudah lebih dari cukup."
"Anda ... benar-benar menginginkan perdamaian?" Hiashi memandang serius.
"Yang Mulia Hiashi-sama, menurut Anda apa yang lebih penting dari perdamaian?" tanya Fugaku tiba-tiba.
"Tentu saja kebahagiaan putriku," tegas Hiashi.
"Menciptakan dunia damai yang bisa dihuni oleh anak dan cucuku adalah hal yang paling aku inginkan. Bahkan aku sempat berpikir, bagaimana aku bisa melepas gelar Putra Mahkota darinya. Menjadikan ia orang biasa yang hidup tenang dengan istri dan anak-anaknya."
Papar Fugaku.
Degh ...
Hiashi tertegun. Fugaku begitu rapuh. Ia tahu seperti apa beban Fugaku. Menjadi Kaisar Jepang dengan sedikit Shogun yang mendukung adalah hal paling sulit. Terlebih Keshogunan yang kian hari kian membesar.
"Aku akan berkunjung di musim panas nanti. Kuharap Anda menyiapkan tarian indah seperti yang Anda janjikan."
Kudengar, musim panas merupakan musim yang bagus untuk memanen karena matahari sedang bagus-bagusnya."
Hiashi tersenyum simpul. Meninggalkan Fugaku yang terperangah. Ia tahu betul arti dari kata 'memanen' yang Hiashi katakan.
Jadi ketika fajar menjelang keesokan hari, Tenno Fugaku mengirim pasukan yang diketuai oleh Taishogun; Uzumaki Naruto, untuk mengantar rombongan Yuan.
Sebelum masuk ke kapal, Hinata berhenti sejenak. Putri Yuan itu meminta Naruto mendekat hingga keduanya hanya berjarak satu meter. Hinata memberikan sepucuk surat yang langsung dibuka oleh Naruto—terima kasih sudah menjagaku selama seminggu ini. Aku harap lain kali kita bisa bicara lebih banyak. Akan kusiapkan makanan paling enak. Jadi jangan hanya duduk dan menahan perut lapar dari atas sana, kau bisa jatuh sewaktu-waktu. Sampaikan permintaan maaf dan terima kasihku pada Putra Mahkota. Taishogun, terima kasih.
Naruto menahan napas. Wajahnya memerah sempurna. Sedangkan Hinata yang sudah berada di kapal tersenyum manis. Gadis itu tengah menertawakan Naruto. Membuat pria bergelar Taishogun muda itu benar-benar malu hingga menutupi wajah dengan satu tangan.
.
Hari-hari berlalu dan musim panas semakin dekat. Dua bulan lagi Hinata akan berkunjung ke Jepang; melihat festival musim panas yang konon begitu meriah.
Menulis buku harian di kamar, gadis itu tersenyum mengingat pertemuan pertamanya dengan Taishogun—harusnya aku menanyakan namanya—batin Hinata.
Jika diingat kembali, Taishogun sering berada di luar kamarnya sepanjang malam. Sesekali pergi, tetapi kembali dan bersembunyi.
Ia tidak tahu apakah itu suruhan Kaisar Tenno atau inisiatifnya sendiri. Yang jelas Hinata merasa tidak kesepian selama berada di Jepang.
Benar, aku juga harus memberikan sesuatu sebagai tanda terima kasih pada Putra Mahkota.
Beranjak dari tempat duduk, ia pun meraih beberapa benang wol kualitas terbaik.
.
Istana Kekaisaran Jepang sibuk. Sasuke yang sudah selesai mengikuti pembelajaran dibuat bingung. Pasalnya ini bukan ulang tahunnya tetapi dayang istana bertingkah berlebihan.
"Tidak biasanya Putra Mahkota kita berpikir," sebuah suara mencibir.
"Tidak biasanya Taishogun kita datang untuk menyapaku," Sasuke tidak mau kalah.
Naruto turun dari pohon, mendarat tepat di hadapan Sasuke.
"Mau memanah bersamaku?" tanya Naruto membuat Sasuke berbinar.
"Hadiah apa yang kau bawa? Aku tidak melakukannya secara cuma-cuma."
Naruto mengarahkan ibu jari dan telunjuknya seperti meminum sesuatu. Sasuke semakin berbinar, "Setuju!"
Baru sepuluh menit berlalu. Sasuke sudah mengeluh. Putra Mahkota itu frustrasi dan membanting busurnya, "Sejak kapan kau meningkatkan kemampuanmu?"
"Seseorang bisa karena terbiasa," jawab Naruto bijak.
Sasuke memicing, ia mengendus niat terselubung Naruto, "Kau merugikanku."
Kalah dalam permainan, Sasuke menyeret Naruto keluar istana.
Keduanya mabuk. Sasuke tepar setelah menenggak tiga botol sake di kedai murahan ibukota.
Naruto menatap dengan tatapan sulit diartikan, "Kugantungkan harapanku padamu, Sasuke. Jaga dia dan negeri ini, maka aku akan menjadi orang pertama yang akan berbahagia."
.
Musim panas, 1281
Festival musim panas diadakan di halaman istana Kekaisaran Jepang. Para rakyat berbondong-bondong datang untuk melihat pertemuan Kaisar Tenno dan Kaisar Yuan yang diadakan secara terbuka.
Dijaga oleh para samurai di bawah naungan Shogun; Shimura Danzo, acara itu berlangsung tertib. Tidak seperti sebelumnya di mana mereka lalai, kali ini Taishogun; Uzumaki Naruto sendiri yang mencicipi makanan.
Upacara pembukaan dimulai. Fugaku benar-benar menyajikan tarian terbaik dari para penari terbaik di Jepang.
Tidak ingin kelewatan, Hinata meminta izin untuk berbaur. Hiashi setuju dengan syarat; Hinata harus dikawal. Dan Sasuke dengan senang hati mengajukan Naruto.
Ketiganya berkeliling dengan posisi Naruto berada di belakang. Menjaga jarak, bersiaga jika terjadi sesuatu sewaktu-waktu.
Sejak kejadian racun di acara sebelumnya, para Shogun dan semua orang tahu kalau putri Yuan; Yuan Sun Yang atau Hinata menderita tunawicara sejak lahir.
"Maafkan aku tentang yang waktu itu," Sasuke memulai pembicaraan.
Aku yang harusnya meminta maaf. Apa kau sudah baik-baik saja?—tulis Hinata.
"Seperti yang kau lihat, aku sangat sehat."
"..."
"Kau terlalu murah hati, Putri ..." ucap Sasuke secara tiba-tiba.
Aku tidak murah hati. Jangan memujiku muluk-muluk.
Sasuke tertawa diikuti Hinata yang tersenyum manis, mengundang tatapan datar sepasang mata safir di belakang.
Boleh aku bertanya sesuatu?
"Apa?" Sasuke penasaran.
Bisakah kau mendekat? Aku tidak ingin ada orang lain yang tahu.
Sasuke pun mendekat. Kurang dekat hingga membuat Hinata harus menariknya.
Naruto berhenti berjalan.
Siapa nama asli Taishogun?
Sasuke tergelak. Matanya berair membaca lelucon yang Hinata tulis, "Kenapa tidak kau tanyakan sendiri?"
Hinata mengerutkan kening, mendekatkan wajah pada Sasuke; mengancam.
"Kau terlalu berani, Putri ..." gumam Sasuke.
Hinata baru saja mau menulis sesuatu, tetapi secara tiba-tiba pinggangnya ditarik mendekat. Merapat pada dada bidang sosok di depan.
Hinata terbelalak.
Sasuke memeluknya. Napas pemuda itu menerpa telinga. Hangat dan menggelitik. Hinata diam cukup lama, mencerna apa yang tengah terjadi.
Sasuke memiringkan kepala, "Putri, kau tahu apa yang baru saja kau lakukan?"
Hinata menggeleng.
"Aku katakan padamu, jangan pernah lakukan itu pada seorang pria atau kau akan mendapat akibatnya."
Hinata mendorong Sasuke, alisnya bertaut; meminta penjelasan.
Satu menit lengang.
"Kalau kau tidak mengerti dengan apa yang kau lakukan, maka jangan dilakukan."
Sasuke tersenyum; melepaskan tangannya dari pinggang ramping sang putri Yuan, "Setidaknya itu yang Taishogun katakan padaku."
Ambigu. Sasuke melenggang dengan langkah ringan. Meninggalkan putri Yuan di belakang.
Hinata terdiam, gadis itu benar-benar tidak mengerti. Atau lebih tepatnya belum mengerti.
Sementara tanpa siapa pun ketahui, Sasuke menggigit bibir bawahnya.
Canda tawa menghiasi. Sasuke tertawa ketika Hinata tidak bisa memenangkan satu permainan pun. Membuat gadis itu cemberut dan menggembungkan pipi.
"Taishogun ... cobalah bersenang-senang," goda Sasuke.
"Terima kasih, tetapi aku tidak tertarik."
Sasuke menjauh. Pemuda itu berbisik pada Hinata sambil menatap Naruto; kentara tengah mencibir.
Naruto hanya diam. Ia sadar akan apa yang harus dan tidak boleh ia lakukan. Maka sebelum hari mulai petang, ia pun membawa kedua anak Kaisar kembali pulang.
Dan sesuai prediksi, sebuah berita besar diumumkan. Kaisar Tenno Fugaku mengumumkan pernikahan antara putranya dan putri Yuan; Yuan Sun Yang.
Para Shogun bagai disambar petir.
Hinata dan Sasuke mematung.
Tidak ada lagi yang mereka dengar. Segala hiruk pikuk dan sorak meriah seolah angin lalu yang lewat di telinga.
Semua begitu mendadak.
Naruto menggenggam erat pedangnya.
"Bagaimana mungkin aku menikah dengannya? Ayah?!" Sasuke memekik tatkala berhadapan dengan sang ayah di ruangannya setelah rombongan Yuan pulang.
"Pernikahan sudah diputuskan. Kau tidak bisa menolaknya."
"Aku bukan bermaksud menolak. Aku hanya—" Sasuke mengusap wajah gusar.
"Ayah tahu apa konsekuensinya?" tanya Sasuke kemudian.
"..."
"Jika Ayah tahu, kenapa Ayah lakukan?!" pekik Sasuke keras.
"Para Shogun itu ... tidak akan membiarkan. Ayah tahu apa yang terjadi sebelumnya, bukan? Beruntung itu adalah aku yang kebal racun. Bagaimana kalau itu Hinata? Kaisar Yuan pasti langsung memenggal kepala Ayah!"
"Jika kau bisa berkata seperti itu, bagaimana kau bisa menjelaskan kecerobohanmu di aula? Terjerembap, eh?" cibir Fugaku.
"Ayah?!"
"Kau pikir Ayah bercanda?!" Fugaku meninggikan intonasi.
Sadar sudah kelepasan, Fugaku menghela napas panjang, "Berhenti bermain-main, Sasuke. Nikahi Hinata dan ambil alih Tahta."
"Bagaimana kalau aku tidak mau?" tantang Sasuke
"Sasuke ..." sang Ayah mengiba.
Brakh ...
Sasuke meninggalkan ruangan. Putra Mahkota itu tidak habis pikir dengan sang ayah. Masalah dengan Shogun tidak akan selesai hanya dengan pernikahan. Ia tahu betul siapa mereka.
"Aku tahu kau di sana, Naruto!" Sasuke menghentikan langkah.
Naruto menghadap. Taishogun itu berdiri tepat di hadapan Sasuke.
Sasuke tertawa sumbang, "Apa yang ingin kau katakan? memaksaku?"
"Tidak. Justru aku ingin mengatakan sebaliknya."
Putra Mahkota ... dengarkan aku. Yuan berbeda dengan kita. Kekaisaran Jepang dikenal dengan sistem Monarki di mana Kaisar sebagai kepala negara sedangkan kepala pemerintahan di pegang oleh para Shogun. Kau sangat tahu akan hal itu."
Meski begitu, Kaisar adalah orang yang memegang keputusan."
Jeda sejenak, "Kau mengerti sampai sini?"
Sasuke terdiam.
"Kaisar Tenno melakukan ini bukan tanpa alasan. Beliau memikirkan masak-masak apa yang harus ia lakukan untuk masa depan, terutama Anda."
Jika dengan pernikahan ini Shogun memberontak dan mengadakan perang, aku jamin Yuan tidak akan tinggal diam. Kau sangat tahu kekuatan militer mereka, bukan?"
Tidakkah ini kesempatan bagus? Anda bisa mewujudkan apa yang selama ini Anda impikan"
"Itu pun jika Anda menginkan,"
"Taishogun ..." Sasuke berkaca-kaca.
Naruto menarik diri. Berdiri tegap kemudian bersimpuh penuh hormat. "Saya akan menjadi perisai Anda, Putra Mahkota."
.
Malamnya Sasuke berpikir keras. Demi hasil besar maka dibutuhkan pengorbanan besar pula.
Sasuke menatap sepasang sarung tangan biru yang terbuat dari rajutan benang wol; pemberian Hinata. Ia ragu. Menikah dengan Hinata sama halnya dengan menempatkan gadis itu pada bahaya. Lagi pula ia tidak cukup kuat. Ketika para Shogun menyerang, ia takut Hinata terluka atau sampai terbunuh. Dan jika itu terjadi, ia bisa menggila. Ia tidak siap kehilangan setelah berhasil memiliki. Terlebih dia; Hinata, gadis yang telah merebut hatinya.
Dua bulan berlalu sejak pengumuman itu. Kaisar Tenno tiba-tiba jatuh sakit. Semakin hari semakin parah pula. Bahkan tonik yang diberikan tabib kerajaan tidak banyak membantu. Meski bisa tidur, Fugaku malah kian memburuk.
Sasuke menatap nanar sang Ayah, "Apa ini cara Ayah memaksaku?"
"Uhuk! Sasuke ... bukan begitu. Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu, hanya itu."
Fugaku kembali terbatuk, kali ini mengeluarkan darah. Sasuke panik, "Takeda, Satou! Panggil tabib secepatnya!"
Batuk Fugaku semakin menjadi-jadi, tabib datang sangat terlambat. Fugaku melemas, ia tahu waktunya tidak banyak, "Sasuke putraku, maafkan Ayah. Selama ini Ayah belum menjadi Ayah yang baik dan selalu mengabaikanmu. Maaf juga karena terus memaksamu untuk belajar."
Jangan begadang hanya untuk membaca novel murahan, sesekali bacalah sesuatu yang berguna." Fugaku memaksakan diri tertawa, membuat darah semakin banyak keluar dari mulutnya.
"Ayah ..." Sasuke mendekap tangan sang ayah.
"Jangan bertengkar dengan Taishogun, perlakukan dia dengan baik karena dia orang yang bisa dipercaya."
"Sasuke ... satu lagi pesan Ayah. Buka matamu dan perhatikan baik-baik, jangan terhasut. Dan jangan berpijak pada pijakan yang rapuh, berpeganglah pada akar kuat yang bisa menopangmu."
Ayah titipkan negeri ini pada ... mu"
Fugaku tersenyum. Dan dalam satu tarukan napas panjang, dirinya telah berpulang.
Sasuke terdiam.
.
Duka menyelimuti istana Kekaisaran Jepang. Kaisar Tenno Fugaku telah berpulang. Sasuke berdiri di depan; memegang obor.
Tubuh sang ayah sudah kaku, tetapi bibirnya masih tersenyum seolah mengejek. Sasuke tersenyum culas di sela-sela tangisnya. Sang ayah sangat tahu cara menghancurkan pertahanannya.
Semua pelayat bersimpuh; memberi penghormatan terakhir pada sang Kaisar yang cukup berjasa.
Byar ...
Api dinyalakan. Sasuke yang semula menunduk, mengangkat wajah. Sambil mengusap air mata, pandangannya berubah pancaran. Begitu dingin dan kaku.
Di sinilah Kaisar baru terlahir.
Tenno Sasuke menikah dengan Yuan Sun Yang satu bulan setelahnya. Menaiki Tahta dengan disaksikan ribuan orang dari Kekaisaran.
Hinata menatap wajah suaminya; Sasuke tidak tersenyum sedikit pun. Pria itu memandang lurus ke depan seperti tengah menelanjangi sesuatu. Aura Sasuke pun berubah, Hinata bahkan tidak berani untuk sekedar menyentuh ujung Hakamanya.
Danzo memberikan sebuah pedang baru pada Naruto. Sebuah pedang khusus yang terbuat dari taring Harimau putih; hasil berburu Kaisar Tenno Fugaku satu tahun silam.
"Dengan ini kau diangkat menjadi Taishogun tertinggi, Uzumaki Naruto. Melindungi Kaisar dan Ratu dengan seluruh raga dan tumpah darahmu," ucap Danzo.
"Saya bersumpah, bahwa saya; Uzumaki Naruto, akan mengemban beban ini sampai ajal menjemput!" Naruto menunduk hormat menerima pedang tersebut.
.
Musim gugur, 1283
Naruto pulang setelah satu bulan berperang melawan Korea dengan membawa kemenangan.
Sorak meriah mengiringi setiap langkah. Para rakyat begitu memujanya. Mengelu-elukan dia melebihi sang Kaisar. Semua pujian halus selalu dilontarkan di setiap langkah dan kegiatannya. Dia adalah pria baik yang menjunjung tinggi adat dan kehormatan.
"Taishogun telah tiba!" Danzo meneriakkan suara; bangga.
Gerbang istana terbuka. Namun alih-alih mendapat sambutan, pasukan Naruto justru ditembak panah beracun. Melesat dengan kecepatan sepersekian detik.
"Apa yang kalian lakukan?!" teriak Naruto.
"Anda adalah pengkhianat besar, Taishogun. Hukuman mati telah dijatuhkan pada Anda!"
"Jangan asal bicara!" Danzo tidak terima.
"Anda juga akan dihukum mati, Danzo-sama. Kesalahan Anda adalah Anda telah memihak dan berada di kubunya," jelas seorang prajurit.
"Di mana Kaisar?"
Izinkan aku bertemu dengannya," pinta Naruto.
Prajurit itu menatap Taishogun di samping kemudian mengangguk, "Anda dan Danzo-sama diizinkan masuk."
Naruto mengikuti. Naas, setelah ia masuk ke gerbang dalam, semua pasukannya ditembaki anak panah berapi dan beracun hingga tewas tidak tersisa.
Halaman utama istana
Hinata berdiri di tengah-tengah. Mengenakan pakaian terbaik dengan riasan terbaik pula. Sedangkan Kaisar Tenno Sasuke berdiri di lantai dua. Memandang dingin dirinya.
"Yang Mulia Sasuke-sama, sesungguhnya apa yang sedang terjadi?" tanya Naruto saat telah berada tiga meter di depan Hinata.
"Kau bertanya padaku?" Sasuke berujar dingin.
"Aku rasa kekasihmulah yang berhak menjelaskan, bukan begitu? Hi-na-ta?"
Degh ...
"Apa yang Anda bicarakan?!" Naruto berteriak.
"Jangan berlagu tidak tahu, Taishogun. Aku tahu semuanya. Jadi tutup mulutmu karena aku tidak ingin mendengar apa pun!" Sasuke menatap dingin.
"Satou! Ambil pedang Taishogun dan berikan pada Hinata!"
Naruto kebingungan. Sesungguhnya ia tidak mengerti apa yang baru saja Sasuke katakan. Kekasih? Ia berani bersumpah bahwa ia sudah menyerah sejak pernikahan keduanya; Sasuke dan Hinata.
Satou memberikan pedang Naruto pada Hinata, "Maafkan aku, Yang Mulia. Aku bersumpah, jika sesuatu terjadi padamu maka aku akan membunuh diriku sendiri."
Hinata tersenyum culas. Satou orang yang baik.
"Hinata ... bunuh Taishogun!" perintah Sasuke mutlak.
Degh ...
Naruto membeku. Ditatapnya Sasuke dengan pandangan sulit dipercaya.
Mata Hinata berkaca-kaca. Gadis itu berteriak sekuat tenaga. Namun percuma, tidak ada satu pun suara yang keluar dari bibirnya. Naruto menatap nanar. Ia tidak menyangka Sasuke tega melakukan itu pada orang yang ia cinta.
"Hinata ... bunuh dia atau kau yang akan aku bunuh sekarang juga," ancam Sasuke yang sudah bersiap dengan busur dan anak panah.
Naruto kalap. Ia melihat tangan Hinata yang gemetar memegang pedang. Gadis itu berniat menghabisi nyawanya sendiri.
Melangkah maju, Naruto menarik ujung pedang. Dengan tangan kanan yang bersimpah darah, ia mengarahkan mata pedang tepat di depan dadanya.
Hinata menangis. Ia menggeleng; melarang Naruto melakukannya.
"Ironis sekali. Cinta Taishogun kita berujung tragis," Sasuke kembali berucap. Pelan dan sadis.
Naruto tersenyum lembut pada Hinata; memberi kekuatan untuk bertahan.
"Sasuke ... dengarkan aku. Jika kau ingin menghukumku, maka hukum aku. Jika kau ingin membunuh, maka bunuh aku. Namun jangan buat tangan seseorang yang kau cinta berlumur akan darah. Kau tidak akan bisa menanggungnya. Segala luka dan kesedihan yang kau torehkan padanya saat ini, akan menjadi luka abadi. Jadi kumohon hentikan semua ini!"
Aku akan melakukan apa pun yang kau inginkan."
Sasuke tidak menjawab. Pemuda kecil yang kini sudah menjadi pria itu malah melesitkan anak panah; mengincar Hinata.
Settt ...
Uhuk ...
Naruto batuk darah. Anak panah baru saja menancap di punggung sementara ia berhasil menghunuskan pedang pada dirinya sendiri.
Ia tersenyum.
Hinata membeku dengan wajah dan pakaian yang berlumur darah.
"Syukur-lah ..." Narutu tumbang.
"..."
"SASUKEEEEE!" teriak Danzo; berlari membawa pedang, bersiap membunuh sang Kaisar.
Sett ...
Diezh ...
"Uhuk!"
"Kau—" Danzo menuding sosok di depan sebelum pada akhirnya ikut tumbang.
Kedua pahlawan invasi Mongol telah tewas. Penyebabnya adalah sang Kaisar yang selama ini mereka bela. Pedang yang digunakan untuk melindungi berbalik menghunus, menembus jantung; sebuah pengkhianatan.
Sasuke berdiri dengan angkuh. Memerintahkan Taishogun; Kabuto, untuk membuang jasad Naruto ke gunung. Sementara Hinata kembali di seret masuk ke istana.
Taishogun ...
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continue
Mina-san ... bertemu lagi dengan Nao di cerita baru. Adakah yang merindukan Nao? Atau belum kenal Nao? Okey, Nao adalah author sejak tahun 2016, merintis karir sebagai Author di fandom kecil Fairy Tail dan mulai menulis cerita di Naruto sejak 2017. Sudah 'Hiatus' lama karena alasan 'malas'. Bagi yang sudah kenal, mohon dimaklumi, hehehe ...
Sebenarnya Nao tidak sepenuhnya hiatus karena Nao lumayan aktif di beberapa event yang Nao publish di akun wattpad, silakan cek : Nao_Vermillion
Sedikit cerita, The Fox's Bride ini terinspirasi dari Drama populer 'Goblin' sedangkan judulnya sendiri terinspirasi dari sebuah anime 'The Ancient Magus Bride'.
Mengambil latar di jaman Kamakura, cerita ini akhirnya dibuat dengan berbagai perubahan di sana sini sesuai kebutuhan dengan catatan bukan bermaksud membelokkan sejarah.
Sekedar informasi, jika biasanya Nao membuat cerita dengan cara kejar setoran, maka kali ini The Fox's Bride dibuat dengan Pra Publish. Terdiri dari 3 chapter saja.
Jika ada yang bertanya 'Fantasy' tidak terasa, maka Nao akan jawab; tunggu chapter selanjutnya.
Bagi yang sudah lama mengikuti cerita Nao, dan mengatakan 'Hurt' juga kurang kena, maka mohon dimaklumi. Nao masih belum move on dari cerita I'm not The Doll Princess.
Semoga cerita ini berkenan. Terima kasih sudah membaca.
Best Regards,
Nao Vermillion
