.

Disclaimer

Naruto oleh Masashi Kishimoto

LURAH oleh Vi'keesha Keilantra

.

AU, OOC?,(mungkin banyak terdapat) kesalahan penulisan, gaya bahasa yang membingungkan. Saya hanya meminjam karakter Naruto, jalan cerita serta penokohan sepenuhnya hak saya, -dan lain sebagainya.

.

Judul : LURAH

Penulis: Vi'keesha Keilantra

Karakter Utama: Hinata, Shion, Naruto

Pasangan :Sejujurnya saya agak bingung di bagian ini, apakah pasangan (pair) adalah yang berakhir bersama di akhir cerita atau yang hadir dan ikut melukis di alur? Saya sih lebih suka yang terakhir, maka dari itu mari bertemu dengan bagian kisah Naruto-Hinata, Naruto-Shion, serta Shion-Hinata.

(Tapi bruhh, cerita ini fokusnya bahkan bukan di romance. Ini tu lebih ke… self-acceptance. Oke, mana bisa sih hidup manusia lepas dari romance tapi kan porsinya gak mesti selalu gede, jadi nggak perlulah repot-repot galau soal pair. Nikmatin aja.)

Rated : T -mungkin nanti bertambah

(Catatan ini berlaku untuk tiap chapter ke depannya)

.

.

.

.


.

Lurah n lembah; jurang

.


Shion merengut saat alarm dari smartphone berwarna rose gold milik manusia di sebelahnya berbunyi. Ugh, Shion benci dibangunkan oleh alarm, dan yang membuat Shion lebih benci lagi adalah saat pemilik ponsel masih saja tertidur serta membiarkan alarmnya terus berbunyi mengguncang seluruh kompleks apartemen. Ugh, Shion mulai berlebihan. Dengan tak rela Shion menekan layar smartphone berisik yang telah mengusik tidurnya sekuat tenaga, bahkan sekalipun sudah tidak mengeluarkan bunyi mengganggu, Shion melanjutkan aksinya menekan tombol power benda persegi panjang tersebut dengan brutal.

Shion melemparkan smartphone yang mengganggu tidurnya ke manusia berambut silver ombre di sebelahnya, berharap bisa mengusik si pengganggu (sebenarnya) dari tidur cantik Shion. Tapi, god, bukannya bangun dia malah semakin menarik selimut menutup seluruh tubuhnya. Shion memutar bola mata, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Ini akan jadi hari yang melelahkan, tapi Shion akan menahan diri agar tidak membuang energi dengan marah-marah di pagi hari. Karena, sekali lagi, ini akan jadi hari yang melelahkan. Shion hanya perlu mandi dengan tenang dan mengabaikan si kepala perak yang tak sepenuhnya perak itu.

Namun Shion berubah pikiran. Shion tidak bisa mengabaikan hal ini.

Shion memang masih mengenakan kimono mandi miliknya, tapi itu karena Shion masih harus memastikan bahwa make up yang digunakannya sempurna sebelum dia memakai pakaiannya. Dan mari catat bahwa Shion bahkan sudah selesai mandi sejak dua puluh menit yang lalu. Dua puluh menit tidak terhitung waktu mandi, dan si rambut setengah abu-abu itu bahkan belum bangun!

Be-ra-ni-nya!

Shion membuka tirai pintu kaca balkon mereka dengan, ehem, brutal (sudah berapa banyak kebrutalan Shion pagi ini?), sehingga cahaya matahari masuk dan berkali-kali lipat membuat ruangan itu jauh lebih terang. Tepatnya menjadi silau. Setidaknya bagi manusia yang selimutnya baru saja dilucuti oleh Shion.

"Hei! Apa masalahmu Akasuna?!" Si rambut perak mengerang kesal, sementara alis Shion berkedut.

"Teknisnya miss H-," Shion menghembuskan napas untuk mengurangi rasa kesalnya, "Helen," Shion kembali berusaha menenangkan dirinya sebelum kemudian lanjut berbicara, "kau itu juga Akasuna. Aku kakakmu. Kau adikku. Kalau kau lupa."

Shion kembali berjalan menuju meja rias yang sempat ditinggalkannya. Di belakangnya, si rambut perak yang dipanggil Helen itu mengeluarkan gerutuan tidak jelas sambil berjalan menuju kamar mandi, dan hal itu –entah sudah ke berapa kalinya, membuat Shion kembali memutar bola matanya di pagi hari ini.

"Kau masih punya waktu belasan jam jika masih ingin tidur, kau tahu? Di pesawat milik Sabaku bersaudara tentunya."

Gerutuan yang sedaritadi disuarakan Helen berhenti saat mendengar penjelasan Shion. Ada hening yang tak nyaman sehingga membuat Shion memutar kursi yang didudukinya menghadap Helen yang berhenti di depan pintu kamar mandi dengan mata yang melebar.

"Kau tidak lupa, iya kan?" Shion bertanya dengan santai, tapi tak bertahan lama begitu melihat ekspresi Helen yang tak berubah.

"Oh, Crape! Kau lupa, Helen? Kau lupa! KAU! LU! PA!"

"Um, mungkin maksudmu Crap, bukan Crape Shion."

Shion mendengus, memberikan tatapan yang seakan berkata -aku sengaja, kau tahu, aku tak bisa sembarangan mengumpat- kepada Helen, dan Helen hanya bisa memberikan cengiran gugupnya saat tatapan Shion berubah lebih serius.

"Kita akan pulang ke Suna, Helen. Ini seminggu menjelang pernikahan Gaara." Shion terlihat tak senang dengan wajah Helen yang tiba-tiba berubah menjadi sangat lega. "Lalu kita akan ke Konoha, menetap selama dua bulan menjelang kolaborasi fashion show dengan Yamanaka." Lalu wajah Helen benar-benar berubah menjadi… um… sesuatu.

"Kita akan pulang, Helen. Kita akan pulang." Tak ada respon yang berarti dari Helen yang masih membatu di depan pintu, hingga Shion kembali bersuara, membawa kesadaran Helen ke tempat yang seharusnya. "We're going home, aren't we, Hinata?"

Pertanyaan Shion tak mendapat jawaban selain tubuh Helen yang menghilang ke dalam kamar mandi.

Pertanyaan Shion hanya melebur di udara, menari bersama debu halus yang terlihat karena berkas cahaya mentari pagi, meninggalkan Shion bersama kuas dan para krim juga bubuk warna yang menyapu wajahnya.

Sembilan tahun. Dan Hinata belum juga bisa bebas merasa. Shion harus apa?


Helen hampir lupa kalau dia pernah hidup dengan nama Hinata yang diberikan oleh mantan keluarganya. Ya, mantan keluarga, sebuah sebutan yang terdengar lucu jika saja disebutkan oleh Helen ketika dia masih remaja dan masih menggunakan nama Hinata. Ketika semua masih baik-baik saja. Ketika Helen masih percaya bahwa yang ada hanyalah mantan kekasih, mantan teman, mantan suami, mantan istri, dan entah mantan apapun selama itu bukan mantan yang berkaitan dengan keluarga yang bertalian darah.

Lalu Shion kembali memanggilnya dengan nama itu.

Helen baik-baik saja. Sungguh.

Hanya saja… dia sudah terlalu asing dengan nama Hinata. Dengan Konoha. Bahkan dengan Hyuuga yang mungkin akan ditemuinya tanpa sengaja entah di mana nanti. Asing. Getir. Dan perasaan aneh yang bersarang di perut dan kerongkongannya.

"Are you all right, miss?" Seorang pramugari bertanya kepada Helen.

Helen mengangguk, dan dari sudut matanya dia bisa merasakan bahwa Shion ikut memperhatikannya.

"I'm okay, thanks," jawab Helen, pramugari tadi melemparkan tatapan ragu, tapi kemudian mengangguk dan berlalu.

Selang beberapa detik, Shion mendekat dan melingkarkan tangannya memeluk Helen. Helen balas memeluk Shion, merasakan kulit wajahnya yang menempel pada leher Shion, menerima kenyamanan yang ditawarkan oleh kakak angkatnya. Shion mengecup pucuk kepala Helen dan tangannya sibuk mengelus punggung Helen.

Helen merasa agak baikan. Ah, maksudnya, Helen baik-baik saja.

Helen baik-baik saja. Dia sudah mempersiapkan diri sejak mendengar tawaran Yamanaka setahun yang lalu.

Hinata baik-baik saja. Dia sudah menjelma menjadi Helen yang berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkan lukanya.

Helen tak akan pernah ada tanpa Hinata.

Hinata tak akan pernah ada jika Helen tak mau menerimanya.

Baik Helen maupun Hinata, tak ada pemisahnya, tak ada pembedanya. Keduanya adalah satu. Keduanya tetap orang yang sama. Dan dia, memang harus baik-baik saja.

"Yes, we're going home, Shion…"

Shion tertawa kecil, "tentu saja bodoh."

Helen –atau jika kau lebih suka menyebutnya Hinata, memutar bola matanya, tinggal terlalu lama dengan Shion benar-benar membuat mereka berdua semakin mirip dan berbagi kebiasaan yang sama.

"Jadi…" Shion berdehem sebentar, "aku harus memanggilmu apa?"

Hinata terdiam, kemudian tersenyum lebar, "Helen. Aku masih adikmu, bukan?"

Shion menarik kuciran rambut Helen, kemudian mendengus dan berkata, "Kau ini benar-benar bodoh ya? Tentu saja adikku yang cantik tapi bodoh…"

Helen membalas Shion, lalu mereka berdua kembali beradu mulut, dan menciptakan kebisingan yang terasa nyaman sekalipun dengan kata-kata cacian yang terdengar tidak tahu aturan.

Dia ingin dipanggil Helen. Bukan karena dia menganggap Hinata serta masa lalunya sudah mati. Hinata tidak mati. Dia hidup, sebagai Helen yang jauh merasa bebas dan mencintai hidupnya saat ini. Ini pilihan Hinata. Ini pilihan Helen. Dia orang yang sama.

Helen menuruni anak tangga terakhir pesawat yang membawanya dan mendarat di bandar udara internasional Suna, kemudian memandang ke sekelilingnya. Konoha hanya berjarak dua jam perjalanan kereta dari sini. Tak jauh, juga tak dekat. Namun Helen sudah merasa begitu dekat. Ada rindu yang tiba-tiba menjalar dan menjelma menjadi air yang terasa hampir tumpah di kelopak matanya.

"I'm home…" bisiknya. Seakan tak percaya bahwa dia bisa kembali. Dia siap untuk kembali.

"I'm home. I'm home. I'm home…"

"Nope," sebuah suara terdengar di telinga Helen. Shion tersenyum lebar saat bertatapan dengan Helen, kemudian berteriak kencang, "We're homeeeee… Yahoooooo !"

Helen tertawa, berlari dan ikut menirukan kakak angkatnya yang terlihat sangat senang. "We're homeee… Yahoooooooooo !"

Dan di seberang, Kankuro hanya bisa menepuk jidatnya melihat kelakuan dua gadis kembar yang menjadi sepupunya. Bisa-bisanya di umur segini mereka berteriak dan berlari tanpa merasa malu di bandara. Diam-diam Kankuro merasa bersyukur karena Sasori, kakak laki-laki si kembar, sedang menunggu di mobil. Jika Sasori ada di sini, Sasori juga pasti akan ikut berlari dan menari bersama si kembar. Oh tidak, tidak, mungkin harusnya Kankuro saja yang menunggu di mobil.

"Hai Kankuro-nii!" Si kembar menyapa Kankuro bersamaan, sesaat kemudian ada kerlingan jahil di mata Shion yang ikut ditangkap tak hanya oleh mata Kankuro tapi juga oleh mata Helen.

Perasaan Kankuro menjadi tidak enak.

Kankuro ingin membalas sapaan mereka, tapi belum lagi membuka mulutnya untuk menyapa mereka, kedua gadis itu sudah mendaratkan bibir mereka di pipi kiri dan kanan milik Kankuro.

YAIKS!

Mata Kankuro melotot selebar-lebarnya. Sementara Shion dan Helen sudah kembali berlari dan meninggalkan koper mereka bersama Kankuro.

Kankuro benci skinship dalam bentuk apapun, apalagi dengan bibir manusia yang menempel di tubuhnya. Dan dua gadis itu tahu benar hal itu, tapi mereka malah mencium pipi Kankuro! Di kanan dan di kiri! Kankuro bergidik. Menyeret koper-koper milik dua gadis tadi dengan kesusahan. Tiba-tiba Kankuro jadi merindukan para boneka kayu buatannya. Mereka jauh lebih baik dan tidak merepotkan seperti manusia. Sebentar, kenapa Kankuro terdengar seperti saudara iparnya, ya?

Oh, lihat, si kembar sudah melompat-lompat bersama Sasori. Ya ampun, ini yang mereka yang tidak waras atau Kankuro yang terlalu normal sih?


.

.

Vi' Beeb Beeb…

Okay, saya mengaku bahwa saya bukan penulis yang punya komitmen kuat, tiga tahun yang lalu saya mulai menulis "FRIENDZONE!", ketika saya sedang berada di tengah kegalauan penentuan masa depan sehabis lulus SMA. Dan tiga tahun kemudian, sekarang, saya kembali menulis di tengah keresahan saya terhadap Tugas Akhir yang tidak menarik minat saya, -ketika FRIENDZONE! sendiri masih terabaikan. Tapi yah, siapa peduli, saya menulis untuk diri saya, dan ketika ada yang membacanya, itu hanya bonus kebahagiaan. /gak penting woi/

Saya sering membayangkan untuk lari dari kehidupan saya sehari-hari, banyak ide cerita saya yang bermula dari bayangan saya ini (tapi tentu saja, masih hanya menjadi draft di laptop atau G-drive saya). Kemudian cerita ini juga ikut hadir.

Saya membayangkan Hinata yang berada dalam tekanan hidup sebagai Hyuuga. Saya membayangkan perasaan Hinata terhadap Naruto. Saya juga berpikir, mungkin enak juga ya punya kembaran? Saya teringat Shion yang saat pertama melihatnya dulu mengingatkan saya terhadap Hinata. Purrfecttt.

Lalu Helen ada.

Saya mencoba berada di posisi Helen (Hinata). Jika saya lari dari hidup saya saat ini dan menjadi pribadi yang baru, pribadi yang lama pasti menghantui saya, dan saya tidak bisa benar-benar bahagia. Dan penerimaan diri menjadi kuncinya. Mungkin awalnya Helen ada karena Hinata tak bisa menerima dirinya sendiri, tapi seiring waktu Helen harus belajar bahwa dia adalah Hinata. Makanya saat Shion bertanya pada Helen (Hinata) dia harus memanggil apa, Helen (Hinata) menjawab "Helen" dengan tersenyum lebar, karena dia (mungkin) sudah (mulai) menerima dirinya sebagai Helen dengan utuh, bukan sebagai Helen yang melarikan diri dari masa lalu Hinata.

Krikk… Krikkk…

/Ngomong apa sik Shaaaa/

Oke, catatan ini sudah mulai lebih panjang dibanding cerita di atas.

Ngomong-ngomong, saya memberi nama Helen karena berpikir mencari nama yang bisa cocok juga jika masuk kode H&S atau S&H (untuk bisnis Shion dan Hinata). Harus huruf H! mikirnya begitu. Lalu saya terpikir nama Helen.

Pas nyari artinya di internet…

Tanpa memedulikan kanji Hyuuga Hinata -maksud saya, saya nggak ahli Japanese gitu loh, hyuuga sendiri aja bisa dibaca hinata ternyata, hhhhhhh…- saya menemukan :

Hinata : Sunny Place; Toward the Sun; Sunshine

Helen : Shining Light; Bright

GAK SAMA TAPI MIRIP SISTAAA~

Purrfecttt.

Sayangnya skill nulis saya aja yang nggak purrfecttt.

14042019