DISCLAIMER : Masato Kato

Warning : semi-canon


Hari itu hari yang buruk untuk melaut. Entah mengapa sepertinya angin kurang bersahabat. Serge, pemuda berusia 20 tahun, sudah lama tidak melakukan perjalanan antar dunia paralel. Telah tiga tahun berlalu sejak semuanya selesai dan apa yang hilang akhirnya terpecahkan, namun Serge masih terkagum-kagum dengan keunikan dunia ini. Probabilitas. Kemungkinan tak terbatas.

Sekalipun tiga tahun telah berlalu, namun Serge masih menjalin hubungan persahabatan dengan dua orang sahabatnya, Glenn dan Norriss. Sesekali mereka mampir ke tempat Serge untuk kemudian iseng melaut dan berburu swordfish, atau berlayar kemana untuk menjelajah lautan menemui teman-teman dan kenalan yang lain. Petualangan melintasi dunia paralel telah membuat mereka menjadi sering merenungkan bersama tentang waktu, tentang masa depan, tentang takdir.

Norriss, si pirang akan berpendapat, "Semua sudah takdirnya seperti itu. Sudah digariskan ada dua masa depan yang berbeda. Memang sudah jalannya seperti itu."

Namun Glenn, si pendekar pedang akan berpendapat berbeda, "Dunia yang seperti itu adalah dunia yang tidak membutuhkan kehidupan. Beberapa tahun lalu, Serge meninggal di dunia yang satu dan hidup di dunia yang lain. Kondisi dunia sudah berbeda."

"Tergantung siapa hidup dan siapa mati, bukan? Kalau begitu sama saja dengan takdir, bukan pilihan."

Glenn merasa yakin bahwa pilihan-lah yang melukis wajah masa depan, bukan takdir. Menurutnya, takdir itu sendiri adalah hasil dari apa yang dituai oleh pilihan manusia-manusia yang hidup di masa lampau dan kini. Namun ia lebih terbiasa mengayunkan pedang daripada berpikir dan berbicara, ia tidak mampu membalas Norriss. Ia hanya bisa berpaling pada Serge, "Menurutmu bagaimana, Serge? Masa depan itu pilihan manusia, bukan?"

Serge tentu saja tidak bisa memilih salah satu pendapat dari kedua sahabatnya. Tidak mungkin ia membela salah satu sementara dia sendiri tidak terlalu memusingkan masalah tersebut. Baginya apapun yang terjadi di masa depan, biarlah terjadi. Bila itu takdir, biarkan takdir berbicara. Bila itu pilihan, ia tidak akan menyesalkan keputusan apapun yang dibuatnya di masa kini dan bertanggung jawab atas apapun yang mungkin terjadi.

Namun Glenn yang tersulut oleh wajah percaya diri Norriss yang tersenyum-senyum penuh kemenangan itu mendesak Serge, "Kau harus pilih salah satu, yang benar aku atau dia?"

Membicarakan siapa benar, siapa salah takkan ada habisnya. Sebaiknya dilihat sendiri saja. Maka Serge memiliki sebuah ide; mencari sebentuk perbedaan masa depan yang berbeda karena pilihan. Serge, Norriss dan Glenn menaiki perahu layar mereka mengembara mendatangi pulau demi pulau. Mereka mencari sesuatu yang unik, sesuatu yang tampaknya berbeda. Mereka telah terbiasa malang melintang dari dunia satu ke dunia lainnya. Glenn dari 'another world', sementara Norriss dari 'Home World', dunia yang sama dengan dunia Serge.

-Home World-

Beberapa hari kemudian mereka tiba di sebuah daerah bernama Izure. Mereka mendaratkan kapal di dermaga desa Izure. Dermaga desa itu tidak jauh berbeda dengan dermaga kampung halaman Serge, arni. Dok yang terbuat dari kayu, suasana pedesaan yang sederhana dan menggambarkan desa nelayan yang tidak terlalu memiliki banyak kesibukan dan kerumitan pemukiman modern.

Para nelayan masih bisa bersantai merokok di siang hari, menunggu malam tiba untuk melaut. Di rumah-rumah, para ibu sibuk mengasinkan ikan-ikan buruk yang sepertinya tidak layak dijual ke pasar. Dan setiap pagi buta, ikan-ikan yang baik didistribusikan ke kota besar untuk dijual. Sesekali mereka melewati beberapa orang pria yang sibuk membanggakan ikan terbesar yang mereka dapatkan selama melaut. Pada restoran pun tidak terdapat banyak variasi menu selain dari makanan yang berbahan dasar ikan. Dekorasinya tidak kaya, hanya bermodal dinding terbuka sehingga angin dari laut dapat masuk langsung ke dalam interior restoran sederhana yang kotor dan jorok itu.

Norriss menemukan sehelai rambut pada makan siangnya dan membuangnya dengan jijik. "Ugh. Desa ini benar-benar cuek."

"Dan sepi pengunjung." Kesimpulan itu didapat Glenn dengan jelas ketika melihat anak-anak desa bergerombol menonton mereka bertiga duduk santai dalam restoran menikmati makan siang.

Seorang gadis bermata indah dengan kulit coklat kemerahan yang eksotis menghampiri meja mereka sambil membawakan makanan pesanan Serge. "Silahkan lobsternya."

"Non, tunggu sebentar." Tegur Komandan Norriss sambil menggerak-gerakkan jari telunjuknya. Gadis itu mendekat. Selain dari sorot matanya yang jernih, ia terlihat seperti gadis dusun yang normal. Dekil, rambut berantakan dan berbau minyak ikan, dengan pakaian lusuh yang sedikit compang-camping.

"Siapa namamu?" Tanya Norriss dengan tatapan malas.

"Michiru."

"Nah, Michiru, bisakah kau ceritakan sedikit tentang desa ini?"

Michiru terlihat sedikit kebingungan. Bila dilihat baik-baik, ia gadis remaja berusia 17 tahun, harusnya gadis seusia itu sedang cantik-cantiknya. Namun ia terlihat seperti anti-sosial yang pemalu. Ia terdiam beberapa lama, kebingungan menjelaskan desa ini. Mata hijaunya yang jernih bergantian menatap ketiga tamu restorannya sambil menyembunyikan bibirnya dibalik nampan.

"Sepertinya dia kebingungan." Glenn kemudian menyuruh gadis itu pergi.

"Bila dilihat baik-baik ..." Norriss memandang kesekeliling. "Desa ini memang tidak punya banyak hal untuk dilihat."

Ketiga orang itu kembali berjalan-jalan dan ketika sampai pada sebuah rumah yang letaknya dekat dengan toko besi, mereka mendengar suara teriakan-teriakan. Kemungkinan besar itu suara perempuan sedang marah. Disusul tak lama kemudian, sebuah suara yang lebih besar, berteriak lebih keras. akhirnya keributan itu berakhir dengan bunyi parang pecah belah membentur lantai kayu.

Seorang lelaki berlari keluar dengan wajah kesal dari rumahnya sendiri. "Istri kurang ajar! Harusnya aku mendengarkan kata hatiku dan memilih untuk tidak menikah denganmu!"

Ia seorang lelaki gagah dengan rambut gimbal dan jambang tumbuh di pipinya yang kasar. Ia memiliki wajah tirus yang gagah dan hidung yang mancung. Sambil pergi meninggalkan rumahnya, ia menggerutu, "Sialan! Gara-gara dia aku kehilangan Minako! Perempuan itu tidak pernah berhenti membuatku sial!"

Keributan rumah tangga mereka di desa yang sesepi itu telah mengundang banyak perhatian orang umum. Dengan segera, orang-orang desa membicarakan pasangan tersebut.

Masashi adalah seorang pelaut yang gagah di masa mudanya. Sepuluh tahun lalu, dia masih seorang pemuda yang nakal dan pemalas. Seluruh desa tahu bahwa dia menyukai seorang kembang desa bernama Minako. Namun karena kemalasannya, Masashi tidak membuat Minako tertarik dan gadis itu lebih memilih Maeda yang kini memiliki armada nelayan sendiri. Masashi yang sakit hati, mengatai Minako sebagai perempuan matre kemudian menikah dengan perempuan yang selama ini memendam cinta yang bertepuk sebelah tangan terhadapnya. Dia adalah istrinya sekarang, Miyuki.

"Sepanjang hari mereka bertengkar. Masashi tidak pernah menganggap Miyuki dan memedulikan perasaannya. aku jadi kasihan pada Miyuki." ujar seorang ibu-ibu sambil melirik cemas ke rumah kecil milik Masashi.

"Masashi sendiri memang bukan suami yang baik. Tapi Miyuki tetap tidak mau meninggalkan dia. Harusnya Masashi merasa malu pada dirinya sendiri." Ujar ibu-ibu yang lain.