Disclaimer:

Naruto © Kishimoto Masashi

Fukai Aijou © Haruno Aoi

Setting: AU

Warning: Mungkin OOC

Note: Prekuel dari Aisu Kurimu (es krim). Fukai Aijou (perasaan cinta yang mendalam).

.

.

.

-::- Fukai Aijou -::-

*Yatim Piatu*

.

.

.

Seorang pemuda berambut merah meninggalkan sebuah makam yang masih baru—terlihat paling ramai dari makam yang lain karena masih banyak pelayat yang berdoa di depan batu nisan itu. Di belakang si pemuda, berjalan seorang pria berambut pirang pucat yang sedari tadi setia mendampinginya. Sesampainya di dekat mobil sedan berwarna hitam mengkilat, pintu belakang sudah dibukakan untuk pemuda yang memiliki tattoo huruf kanji cinta di dahi kirinya tersebut. Ia duduk di jok belakang mobil diikuti pendampingnya yang menduduki kursi di samping pengemudi.

Ketika mobil mulai dilajukan, pemuda bermata tajam itu membuka blazer hitamnya dengan kasar. Dengan cekatan pula, ia menguraikan ikatan dasi hitam yang melingkari kerah kemeja putihnya. Setelah menjatuhkan blazer dan dasinya di dekat kakinya yang bersepatu pantofel hitam, ia menghempaskan punggung serta kepalanya ke sandaran kursi dan memejamkan mata tidak lama kemudian. Detik berikutnya, airmata menuruni pelipisnya hingga sedikit membasahi rambut merahnya yang tumbuh tidak jauh dari telinga.

"Ayah…" mulutnya menggumam tanpa suara.

Saat ia menampakkan mata hijaunya lagi, titik-titik gerimis mulai membasahi kaca mobilnya dan semakin lama menjadi hujan yang menimbulkan suara berisik. Pandangan matanya terfokus pada keadaan di luar jendela mobil setelah ia menyuruh sopirnya untuk melajukan mobilnya dengan kecepatan di bawah rata-rata. Ia merasa tidak harus pulang tepat waktu ke rumah besarnya karena ia tidak akan menemukan siapa pun selain para pelayannya—ia tidak pernah menganggap keberadaan ibu tirinya yang seumuran dengannya. Atau mungkin, ia tidak perlu kembali ke kediamannya karena ia akan semakin merasa kesepian.

Sejujurnya sejak berusia lima tahun ia sudah memutuskan untuk membenci hujan. Dulu, ia pernah berjongkok seorang diri di teras taman kanak-kanak dan kedinginan karena derasnya hujan yang turun. Malam sebelumnya, ayahnya sudah berjanji akan menjemputnya dan setelah itu akan mengajaknya menemui bunda. Waktu itu, ia belum tahu kalau bunda yang dimaksud oleh ayahnya adalah batu nisan yang bertuliskan nama bundanya. Karena masih teguh memegang janji ayahnya, ia menyuruh sopirnya pulang dan dengan semangat mengatakan kalau ayahnya akan segera datang. Hingga hampir petang, hujan belum reda dan ia memutuskan untuk berjalan kaki sampai gerbang taman kanak-kanak. Menjelang makan malam, ternyata sopir kembali datang—sebagai ganti ayahnya yang tak kunjung menjemputnya. Selain Tuhan, tidak ada yang menyadari bahwa airmatanya telah bercampur air hujan yang membasahi sekujur tubuhnya.

Saat itu, ia juga pernah merasa iri melihat teman-temannya dijemput ibu atau ayahnya, sedangkan ia hanya dijemput sopir dan akan duduk manis di jok belakang mobil selama perjalanan ke kediamannya. Sebenarnya ia ingin bermanja-manja di pangkuan ayah atau bundanya, mendengar dongeng yang dibacakan bunda sebelum tidur, atau disuapi bunda ketika ia sakit setelah kehujanan—bukannya malah melihat dan mendengar kemarahan ayahnya karena ia menolak sopir yang datang menjemputnya. Ia sangat ingin mendapatkan kecupan atau ciuman sayang sebelum masuk ke kelasnya yang memiliki tembok bercat pelangi. Ia juga ingin mendapatkan pelukan menenangkan dari bunda setelah ia terjatuh karena tersandung batu kecil ketika bermain bersama teman-temannya di halaman taman kanak-kanak.

Sambil membetulkan posisi duduknya, ia menghapus airmata yang masih menuruni pipinya. Ia tidak memedulikan pandangan khawatir dari sopir dan pendampingnya yang meliriknya dari kaca spion. Ia juga tidak peduli jika mulai detik ini dua pria paruh baya itu menganggapnya sebagai pemuda cengeng. Bukannya ia tidak rapuh atau tidak pernah merasa kesepian. Selama ini, ia hanya tidak pernah memperlihatkannya. Bagaimana pun ia hanya manusia biasa. Terkadang, ia juga menangis dalam kesendiriannya, tidak hanya saat ini.

Bersamaan dengan mobilnya yang membelok di tikungan, ia terkekeh pelan mengingat bundanya yang sudah menghadap Sang Pencipta tidak lama setelah ia lahir ke dunia. Sekarang, saat ia baru menginjak usia delapan belas tahun, ayah yang sangat dihormatinya juga meninggalkannya untuk selamanya. Seingatnya, ayahnya tidak pernah membelainya atau mengungkapkan kata-kata cinta dan sayang kepadanya. Namun, ia sangat mengagumi sosok ayah yang selama ini membesarkannya seorang diri.

.

.

.

Gaara mendatangi sebuah rumah yang direkomendasikan oleh sopir dan pendampingnya. Ia sudah mengatakan pada mereka bahwa ia tidak mau tinggal di hotel atau apartemen setelah meninggalkan kediamannya. Mulai saat ini, ia ingin memenuhi kebutuhannya menggunakan uang hasil jerih payahnya sendiri. Karena itu, ia tidak ingin menghabiskan penghasilannya yang tidak seberapa hanya untuk membayar sewa hotel atau apartemen. Jadi, dua pria yang sudah bertahun-tahun menemaninya itu mencarikan sebuah tempat tinggal yang menetapkan biaya sewa lebih rendah dibandingkan apartemen di sekitarnya.

Dengan sedikit keraguan di hati, Gaara menekan bel yang ada di samping pintu gerbang kayu yang setinggi dadanya. Sambil menekan bel sekali lagi, ia melirik balok kayu yang bertuliskan nama keluarga pemilik rumah. Ia mulai menetapkan hatinya karena mendengar derap langkah kaki yang tergesa-gesa dari dalam rumah. Pintu kayu di hadapannya terbuka tidak lama kemudian.

"Kudengar, di sini menyewakan kamar. Apa aku boleh menyewanya?" tanya Gaara datar setelah perempuan berambut biru gelap sepinggang berjalan menghampiri pintu gerbang.

Hinata, gadis bermata seputih mutiara itu tanpa ragu membuka pintu gerbang rumahnya karena merasa bahwa Gaara bukanlah orang jahat yang akan merampoknya. Ia hanya perempuan miskin, mana mungkin ada seorang pencuri atau perampok yang tertarik pada rumahnya yang mungil dan kelihatan tidak berharga. Walaupun pemuda yang terlihat lebih tua darinya itu tampak menakutkan dengan adanya lingkaran hitam di sekitar mata, namun Hinata tidak menemukan niat buruk dari kilatan mata hijau pemuda berambut merah tersebut.

"Penampilan Kakak menunjukkan kalau Kakak mampu menyewa hotel atau apartemen."

Gaara terhenyak mendengar penuturan Hinata. Ia lupa mengganti mantel dan sepatu bermereknya dengan pakaian yang lebih merakyat. Sambil sedikit membuang muka, ia mengedipkan matanya berulang kali karena belum menemukan kata-kata yang tepat untuk membalas pernyataan Hinata.

"Mengapa memilih rumahku?"

Gaara kembali menatap Hinata dan menjawab dengan cepat, "Aku hanya pekerja paruh waktu." Gaara tidak berdusta karena ia sudah diterima bekerja di sebuah rumah makan yang berada tidak jauh dari tempatnya menempuh pendidikan. "Jadi, aku tidak mampu menyewa apartemen, apalagi hotel," lanjutnya, "Dan, kalau aku tinggal di sini, aku hanya perlu jalan kaki untuk ke kampus."

"Maaf, karena sok tahu." Hinata tersenyum lembut, menciptakan kelegaan untuk Gaara yang mulai merasakan pertanda baik. Sejurus kemudian, Hinata mempersilahkan Gaara untuk memasuki rumahnya, meninggalkan halaman depan kediamannya yang sempit dan berkerikil tajam.

"Maaf, ya, tempatnya sempit," ucap Hinata saat Gaara melepas sepatu mengkilatnya di depan undakan lantai kayu.

"Rumahmu nyaman," gumam Gaara sambil memperhatikan ruangan dengan pintu geser yang sedikit terbuka. Ia bisa melihat meja persegi berkaki rendah di depan televisi yang berukuran tak lebih dari dua puluh inch.

Hinata terkikik pelan karena samar-samar mendengar gumaman Gaara. "Mengapa Kakak bisa mengatakan begitu? Padahal aku yakin kalau Kakak baru kali ini masuk ke dalam gubug reyot ini," Hinata sedikit bergurau, berharap dapat melihat tawa atau senyum dari pemuda minim ekspresi itu, namun ia juga tidak kecewa karena Gaara masih bersedia menanggapinya.

"Aku merasa hangat."

"Lebih tepatnya panas karena tidak ada air conditioner," sahut Hinata yang berjalan di koridor rumahnya, diikuti Gaara yang menjinjing tas besar berwarna coklat, "Kakak akan merasa seolah terbakar saat di musim panas, jika tetap berada di dalam rumah ini."

"Aku harus membuktikan ucapanmu nanti, empat bulan dari sekarang."

Hinata tersenyum senang tanpa membalikkan badannya menghadap Gaara. "Kakak bisa menempati kamar di lantai dua," imbuhnya sambil membimbing Gaara menaiki tangga kayu sempit yang dekat dengan pintu geser dapur.

"Kau tinggal sendiri?" tanya Gaara saat Hinata membuka tirai jendela kaca di kamar yang akan ditempati olehnya.

"Adikku belum pulang dari sekolah," jawab Hinata seraya tersenyum dan mempersilahkan Gaara memeriksa lemari yang juga digunakan untuk menyimpan futon.

"Orang tuamu?"

"Kami… yatim piatu."

.

.

.

Terima kasih sudah bersedia membaca. Sampai jumpa.