Disclaimer : Naruto is under Masashi Kishimoto rights.

Warning : Canon, OOC, gaje

.

.

.

Beberapa tahun sudah berakhir sejak perang dunia shinobi. Kemenangan diraih Konoha walaupun kehilangan banyak penduduk dan para ninja berbakat. Sungguh pengorbanan yang setimpal untuk semua mendiang pahlawan Konoha.

Langkah-langkah lurus dan pendek diarahkan Naruto kearah makam para pahlawan Konoha. Beberapa tugu orang penting dilewatinya saja untuk menemui tujuannya, makam Jiraiya-sensei. Seseorang yang sangat dikasihinya, sehingga dianggap kakeknya sendiri.

Senyumnya melebar saat apa yang dicari akhirnya ditemukan. Setelah meletakkan sebuket bunga sebagai tanda buah tangan darinya, ia menyapa gurunya itu. Tak tampak kesedihan lagi di pancaran matanya, namun sudah berganti dengan keikhlasan dan kepasrahan atas kematian guru, idola, dan panutannya tersebut.

Setelah dirasa cukup, kaki panjang pemuda itu berjalan bukan kearah pintu keluar. Namun tiba-tiba ia merasa ingin melayat─atau paling tidak mengunjungi─semua pahlawan Konoha yang telah gugur di medan perang karena melindunginya.

Kakinya terus melangkah sampai ia mendengar suatu suara lembut dan menenangkan.

"Neji-nii…"

Pemuda itu melompat keatas pohon dikarenakan rasa penasarannya lebih besar dari rasa sopan santunnya terhadap pembicaraan tersebut. Ia memutuskan untuk mendengar lebih jauh. Ia melihat gadis itu duduk membelakangi tugu makam Neji, dan juga membelakangi Naruto yang sedang duduk diatas pohon.

Punggung gadis cantik itu tampak kesepian dan aura kesedihan tampak jelas dimata safir Naruto. Rambut panjangnya terurai menutupi kepalanya yang ia tundukkan kebawah seraya memeluk lututnya sendiri. Bahunya bergetar, dan kata-katanya terdengar menahan tangis.

"Neji-nii…" ulangnya lagi.

Kali ini ia mengangkat kepalanya sedikit, dan membuat kata-katanya lebih jelas terdengar.

"Neji-niisan. Bisa kau mendengarku?" lagi-lagi tiada jawaban. Tentu saja. Memangnya apa yang ia harapkan? Neji datang dengan seluruh baju putih dan sayap keemasan di belakang punggungnya dan berkata semua akan baik-baik saja? Tidak mungkin.

"Neji-nii. Aku harap kau tidak bosan karena setiap kesini aku selalu mengatakan hal yang sama." Hinata, gadis itu menghela nafasnya. Sebelum berikrar kata-kata yang tak terduga oleh Naruto.

"Seharusnya aku yang mati."

Hening mendominasi siang yang mendung tersebut. Hal yang terdengar selama tiga menit terakhir adalah isak tangis Hinata. Saat tangis itu mereda, ia membalikkan posisi duduknya. Menghadap tugu Neji. Naruto sangat beruntung karena ia berada di atas pohon, jadi ia tidak ketahuan.

"Dulu, kita hanya berbicara kalau penting saja. Kau sangat dingin, dan aku tidak pernah berani memulai bahkan sebuah sapaan. Aku memang bodoh."

Angin seakan menyampaikan perasaan Hinata, Naruto yang mendengarnya merasa sangat sedih.

"Kau memanggilku Hinata-sama, walaupun dalam hati aku ingin kau memanggilku imouto atau Hinata-chan. Mendengarnya akan membuatku senang, terasa seperti semua jarak diantara kita runtuh."

Kata-kata Hinata tadi sangat membuktikan bahwa ia sangat menyanyangi Neji. Dan Naruto tersadar akan sesuatu, selama ini ia memanggil Hinata tanpa embel-embel apapun.

"Saat ujian chunnin, kata-katamu sangat menusuk hatiku. Membuatku tersadar bahwa kau sangat membenciku saat itu. Aku… Selama ini aku bertanya dalam hati, apa yang membuatmu sangat tidak menyukai diriku. Apakah aku berbuat kesalahan? Aku ingin minta maaf, tapi tatapanmu membuat lidahku kelu."

"Baru aku mengerti semua hal yang mengganjal dihatimu saat pertarunganmu melawan Naruto. Aku minta maaf, Niisan. Semua hal buruk yang kau rasakan karena aku. Aku tau ini sangat-sangat terlambat tapi, aku minta maaf."

Bagaikan kaset yang diputar ulang, Naruto teringat semua perkataan Neji tentang takdir. Tentang takdir yang tak bisa diubah, tentang kebebasan yang tak pernah ia raih.

"Tak ada yang berubah. Kau, aku, atau siapapun di Hyuuga. Sifatmu tetap sama walaupun kau dan ayah menjadi lebih sering menemaniku berlatih. Hal itu saja membuatku sangat bersyukur. Aku bisa dilatih sepupuku sendiri, Hyuuga Neji sang jenius."

"Sesaat setelah penyerangan Pain di Konoha, kau memarahiku karena bertindak ceroboh dengan turun ke medan perang, berlagak ingin menyelamatkan Naruto walaupun sia-sia, sampai menyatakan perasaanku padanya... Melihat kecemasan di wajahmu, aku... aku merasa dianggap seorang keluarga bagimu. Tidak pernah ada yang begitu mencemaskanku kecuali Ko. Bahkan Ayah dan Hanabi kurasa tak tau apa-apa tentang ini."

Pain. Hal yang paling diingat Naruto saat itu adalah saat ia bertemu dengan Ayahnya, mendengar semua hal tentang impian Nagato dan Jiraiya, dan perasaan Hinata. Hal yang membuat ia hatinya kaget sekaligus hangat disaat bersamaan.

"Akhirnya aku berani memanggilmu kakak. Awalnya kau kaget dan setelah itu kau tersenyum. Senyum yang paling indah yang pernah aku lihat. Dan akhirnya impian kecilku tercapai. Saat itu kau memanggilku Hinata-chan."

Hinata memberi jeda di cerita solonya. Ia tampak mengusap air matanya yang berlomba-lomba turun dengan punggung tangannya.

"Saat itu… saat itu… aku bertekad akan memperbaiki hubunganku denganmu. Aku ingin sebuah kakak sepertimu disampingku. Aku ingin kita sebagai keluarga, bukan sebatas souke dan bunke. Tapi… tapi… kau pergi terlalu cepat, Niisan. Aku bahkan belum memulai, tapi Kami-sama sudah mengakhirinya. Aku tak punya kesempatan lagi. Aku menyesal. Seharusnya aku yang mati saat itu, bukan kau. Seharusnya kau tak menolongku. Kehilangan orang lemah sepertiku tak mengubah apapun, tapi kau... kau orang yang sangat penting. Pengorbanan dan penderitaanmu karena aku terlalu banyak, Niisan. Aku tak punya kakak lagi. Aku… AKU…"

Hinata berteriak dan mencapai puncak kesedihannya saat itu, air matanya meluap-luap tak mau berhenti. Setiap kali ia mengusapnya, air mata itu akan turun kembali. Seperti air terjun yang mata airnya tak akan pernah kering. Matanya sudah sangat merah, suaranya serak karena ia terlalu banyak terisak.

"Aku… aku…" lirihnya pelan, terasa sangat menyedihkan.

Hinata tiba-tiba berdiri, menatap tugu Neji. Lalu, tubuhnya menghilang menjadi daun-daun kecil.

"Hiks… … maaf…" mulutnya berkata tanpa suara.

Akhirnya semua tubuh Hinata berubah menjadi daun kecil, dan terbang terbawa angin. Ia berpindah tempat.

Naruto yang mendengar semua hal itu tertegun. Ternyata selama ini, dibalik senyum manisnya yang malu-malu, Hinata menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Neji.

.

.

.

Beberapa hari setelah hari itu telah lewat, berganti hari-hari yang menurut Naruto menyenangkan. Akhirnya semua desa di Negara Hi mengakui dirinya. Semua penderitaan Naruto di masa lalu terasa hilang tak berbekas, dibayar lunas dengan kehangatan yang dipancarkan seluruh penduduk desa kepadanya.

Semuanya...

Mungkin...

Sehari setelah hari itu berakhir, saat ia berjalan-jalan setelah menikmati ramen kesayangannya di Ichiraku, ia melihat Hinata sedang berbicara dengan Tenten. Setelah mengamati gadis itu dengan kurun waktu sangat lama, ia baru menyadari kalau senyuman manis gadis itu palsu.

Hinata berkali-kali tertawa dan ia merasa kalau tawa gadis itu hambar, hanya sebagai rasa hormatnya terhadap Tenten yang berusaha melucu.

Tanpa sadar ia mengikuti gadis cantik itu seharian ini hingga sekarang ia sedang duduk disamping danau dekat hutan tempat berlatih tim tujuh, sampai akhirnya ia dikagetkan dengan tepukan pelan di bahu kirinya.

"Naruto?"

Ternyata Kiba.

"Eh. Ki-kiba. Ada apa?"

"Apa yang sedang kau lakukan?" Kiba celingak-celinguk kesana kemari, berpura-pura tidak tahu mengenai Naruto yang sedang memandangi Hinata dari tadi.

"Ah. Aku sedang eh, selesai berlatih. Lalu istirahat disini."

"Ooh begitu. Beristirahat sambil melihat pemandangan indah adalah yang terbaik."

Naruto menarik nafas lega karena aktivitasnya tidak ketahuan.

"Yah. Aku suka dengan hutan ini. Pohon-pohonnya tinggi dan hijau, apalagi dengan langit yang ber..." Kata-kata Naruto dipotong oleh Kiba

"Woww... Wooww... 'Pemandangan' yang kumaksud adalah dia." Kiba menunjuk dengan jempol kanan ke belakang bahunya. Menunjuk kearah gadis yang sedang menatap sendu kearah danau.

Ups. Ketahuan.

"Aku pun merasa begitu. Kehilangan Neji membuat dia sedih, menyesal, marah, dan kecewa di waktu bersamaan." Kiba memainkan jarinya dan mencabuti rumput-rumput yang ada disekitarnya.

Naruto diam saja. Ia tak tahu harus berkomentar apa.

"Hinata berubah akhir-akhir ini. Saat misi kemarin ia membantai semua musuh yang merepotkan. Kami sampai tak banyak melakukan apa-apa. Aku tahu dia kuat, tapi..." Kiba menghela nafas sejenak.

"Kami merasa kehilangan dia yang dulu."

Naruto terbelalak kaget. Ia tahu Hinata kuat, tapi membantai musuh tanpa perasaan seperti itu bukanlah Hinata yang ia kenal.

"Hibur dia Naruto. Kembalikan Hinata yang dulu. Kembalikan sahabatku yang dulu."

"Entahlah. Apa aku bisa?"

Kiba menepuk bahu Naruto perlahan.

"Kau mataharinya Naruto. Senyummu mengubahnya. Senyummu menyelamatkannya. Tersenyumlah untuknya." Kiba sedikit mengutip kata-kata heroik Hinata saat menyatakan perasaannya pada Naruto dahulu. Hal ini membuat Naruto tersenyum tipis. Ia yang paling ingat detil kata-kata yang dikeluarkan gadis itu untuknya.

Kiba lalu berdiri, dan menghilang menjadi asap putih. Hening beberapa menit, Hinata tak bergerak dari tempatnya, sementara Naruto tetap diam dan berpikir tentang kata-kata Kiba.

Hinata mencoba untuk berdiri, tapi ia terlihat tidak stabil. Sontak Ia memegangi kepalanya, dan akan terjatuh ke danau. Tapi bukan Naruto kalau tak bergerak secepat angin.

"Hiraishin no jutsu."

Sedetik saja lebih lambat, tubuh Hinata akan basah kuyup karena jatuh ke danau yang dingin di musim gugur.

"Hinata! Hinata!" Naruto berkali-kali memanggil nama yang sama, namun tak ada jawaban. Saat ia memegang tangan dan wajah Hinata, alangkah terkejutnya ia mendapati tubuh mungil gadis itu sedingin es. Hal ini membuat ia panik. Sesegera mungkin ia mengangkat tubuh gadis itu dan membawanya ke apartemennya.

.

.

.

Kerapihan dan keteraturan adalah hal yang sangat mustahil ditemukan di apartemen Naruto, karena itu setelah membaringkan Hinata diatas kasurnya, ia segera membersihkan apartemennya sehingga bisa dibilang sedikit layak untuk ditempati.

Setelah dirasa cukup, pemuda itu duduk disamping Hinata. Ia membelai rambut kebiruan gadis itu dengan lembut, merasakan dan menikmati sensasi aneh di dadanya saat ia menyentuh tubuh gadis itu, tapi ia lebih membilih mengabaikan perasaan itu. Ia yakin gadis ini tumbang karena belum makan, jadi ia memutuskan untuk membelikannya kare dan ramen. Dan tentu saja ramen adalah bagiannya.

"Ngghhh…" tubuh gadis itu menggeliat, tanda ia sudah terganggu dari pingsannya. Saat membuka mata pertama kali, yang dia lihat adalah rambut kuning disebelah tangan kirinya. Ia tak tahu apa yang telah terjadi, jadi ia memutuskan untuk menunggu pemuda itu terbangun.

Selang beberapa menit kemudian, Hinata melihat kepala kuning itu bergerak keatas dan menampakkan mata mengantuk seorang pemuda berkumis kucing di pipinya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan kaget melihat Hinata yang kini sedang menatapnya.

"Kau sudah sadar?"

Hinata mengangguk.

"Kenapa tidak membangunkanku?"

Hinata tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan.

"Apa kau lapar?"

Mata Hinata membelalak. Dia sangat-sangat lapar sekarang. Sebagai jawaban, ia menganggukkan kepalanya kuat berkali-kali. Melihat hal ini, Naruto tersenyum lembut. Ia lalu beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke dapur. Hinata lalu mendudukkan tubuhnya di tempat tidur Naruto, memandangi pemuda itu dan segala aktivitasnya.

"Kau beruntung sekali, karena aku punya ramen dan kare. Sebagai makanan yang penuh karbo, kau sebaiknya makan kare. Dan aku akan makan ramen kesukaanku." Naruto lalu mengambil piring dan gelas dari lemari dan meletakkannya di atas meja. Ia lalu duduk di kursi makannya dan melambaikan tangannya sebagai ajakan untuk Hinata agar bergabung bersamanya. Hinata lalu menurunkan kakinya ke lantai, dan mencoba berdiri namun kepalanya masih terasa berputar-putar. Akhirnya setelah berhasil berdiri, ia malah sempoyongan hampir saja jatuh kalau tangan kuat Naruto tidak menopangnya.

Naruto menuntun Hinata dari tempat tidurnya keruang makan yang hanya berjarak sekitar lima meter itu dengan menggenggam lembut tangan gadis itu. Naruto yang mengenal baik Hinata mengira pipi gadis ini akan memerah semerah-merahnya. Sesaat setelah ia mendudukkan gadis itu di kursi makannya, ia terkejut melihat gadis itu dengan ekspresi datarnya. Seakan tak terjadi apa-apa.

Ada sedikit kekecewaan di hati Naruto melihat gadis itu tidak tersipu malu seperti biasanya saat mereka bertemu. Muka yang memerah, nafas yang tidak beraturan, degup jantung yang temponya dipercepat, dan jari telunjuk yang selalu dimainkannya di depan dadanya. Itulah hal yang semula ia harapkan. Tapi yang ia dapat justru sebaliknya. Gadis ini menatapnya persis seperti Sasuke yang tidak punya ekspresi.

Mereka makan dalam diam. Hinata makan dengan lahap. Naruto tidak makan seperti biasanya, ia hanya memakan ramen itu setengahnya, lalu menatap Hinata yang sedang makan. Kecanggungan seperti ini dirasakan Naruto sangat aneh, karena biasanya ia memulai pembicaraan dengan topik apa saja.

"Kau sudah merasa baikan, Hinata-chan?" Naruto memperlambat kata-kata yang keluar dari kalimatnya dan menakan saat mengatakan 'Hinata-chan'. Ia menambahkan suffiks chan di nama gadis itu.

Hinata sedikit kaget dan membelalakkan matanya. Ia terkejut dengan embel-embel yang ditambahkan pemuda ini dinamanya. Ia merasa hatinya sedikit menghangat.

"Aku tidak apa-apa. Terimakasih, Naruto-kun." Akhirnya ia mengeluarkan suara lembutnya yang ditunggu-tunggu Naruto. Apalagi ditambah senyuman di wajah gadis itu membuat Naruto merasa apa yang dilakukannya tidak sia-sia.

Setelah mengantar Hinata pulang, Naruto merenung sendiri di kamarnya. Ia menyesali dirinya yang menjadi sangat pendiam di depan Hinata. Ia merasa belum bisa menghibur Hinata. Bahkan dengan memanggilnya Hinata-chan, tidak mengubah apapun. Gadis itu hanya tersenyum. Entah sebuah senyum palsu atau tidak.

.

.

.

"Neji-niisan."

"Neji-niisan."

"Neji-niisan."

Hinata berulang kali memanggil nama kakak sepupunya itu. Perang telah selesai. Tugas para shinobi sekarang adalah mengumpulkan mayat-mayat para shinobi yang telah gugur.

Naruto menepuk pundak Hinata, bermaksud menghiburnya. Namun, saat perempuan itu membalikkan badannya yang nampak diwajahnya adalah wajah Neji yang sedang berdarah-darah.

Neji bangkit berdiri, lalu mengistirahatkan wajahnya di sebelah pundak kiri Naruto, lalu berkata.

"Naruto, Hinata-sama bersedia mati untukmu, karena itu nyawamu bukanlah lagi milikmu sendiri." Setelah itu Neji tersungkur.

Naruto kaget sehingga mundur beberapa langkah kebelakang. Ia lalu berbalik kebelakang, lalu dikagetkan dengan Neji yang sedang berteriak kearahnya.

"Buktikan! Apa kau benar-benar Naruto? Bukan salah satu dari makhluk-makhluk putih ini?" Latarnya telah berubah, menjadi saat dimana perang masih terjadi. Naruto terlalu kaget, tidak bisa berkata apapun.

"Dia memang Naruto-kun. Lihat saja matanya, kau akan tahu." Hinata bilang.

Naruto kembali terkaget, ia berbalik dan mendapati Hinata ada dibelakangnya, tersenyum. Kali ini tersenyum dengan tulus.

Naruto tidak tahu harus berbuat apa selain balik tersenyum, namun tiba-tiba waktu berhenti. Melunturkan semua dinding yang ada dihadapannya. Naruto kaget, lalu berbalik kembali.

Disaat itulah ia melihat dirinya sedang terbaring pasrah dengan pisau-pisau hitam menancap dibagian-bagian tubuhnya.

'Apa-apaan ini?' Batinnya tidak mengerti.

Ia lalu melihat Pain yang sedang berjalan kearahnya, melewatinya dan menuju kearah dirinya yang lain.

Namun tiba-tiba.

"Singkirkan tanganmu darinya!"

Hinata datang.

Naruto maju kedepan, berdiri persis di depan wajah Hinata. Hinata tidak melihatnya, ia hanya melihat dengan pasti kedepan, kearah Pain.

"Tak akan kubiarkan kau menyentuhnya satu jari pun!"

Naruto yang saat itu berada di depan Hinata, melihat mata bulan gadis itu berkilat. Sungguh, sungguh Ia kagum dengan kesungguhan gadis itu.

"Apa yang kau lakukan?" Naruto yang lain berteriak kearah Hinata.

Naruto asli hanya bisa memandangi keduanya. Hal yang pernah terjadi padanya dulu. Ia tahu persis apa yang akan dikatakan gadis ini padanya.

Namun ternyata tidak.

"Aku yang akan membunuhnu, Na-ru-to-kun." Pain berjalan kesamping Hinataa, memberinya sebuah pedang.

"Karena aku...

Kalimat yang seharusnya Naruto ketahui dengan pasti, telah berubah.

"Membencimu!"

.

.

.

Naruto terbangun dari tidurnya dengan keringat dingin mengucur dari seluruh tubuhnya. Apa maksud mimpi tadi? Ia tak berharap siapapun membencinya, apalagi gadis itu. Tidak semenjak pengorbanannya yang begitu besar untuk Naruto.

Berusaha menetralkan jantungnya yang berdetak sangat kencang, ia berjalan kearah dapurnya dan mengambil minuman. Namun saat ia melewati meja makan, ia melihat piring bekas makanan Hinata. Seketika ia teringat gadis itu.

"Hinata..."

Mimpi adalah bunga tidur yang tak akan berlangsung lebih dari dua puluh menit dan akan dilupakan oleh sang pemilik mimpi lima menit setelah terbangun.

Namun tidak dengan mimpi Naruto tadi. Mimpi tentang Hinata dan Neji membuatnya bergidik ngeri, meskipun itu hanya sebuah mimpi, mimpi buruk. Ia mengingat hingga detail apa yang terjadi dalam mimpi tersebut, karena ia memang pernah terjadi sebelumnya.

Namun tidak dengan perkataan terakhir Hinata. Seharusnya ia mengatakan perasaannya terhadap Naruto, perasaan yang selama ini dipendamnya, bukannya hal yang tak pernah ingin Naruto dengarkan.

Atau jangan-jangan...

'Mungkin itulah perasaan Hinata padaku.'

Pergulatan batin di dalam hati Naruto kian menjadi mengingat Neji mati demi melindunginya. Ia semakin resah. Perasaan bersalahnya muncul.

.

.

.

"Jadi, apa yang mau kau bicarakan?" Kiba langsung bertanya tanpa basa-basi setelah bunshin Naruto datang dan menyuruhnya bertemu.

"Ini tentang Hinata."

Kiba tertegun sepersekian detik karena nada bicara lemah seperti itu bukanlah Naruto. Itu lebih seperti narapidana yang akan dipenggal kepalanya esok hari.

"Ada apa dengan Hinata?"

Naruto sangsi untuk menanyakan hal ini kepada Kiba, apakah Hinata masih mencintainya atau tidak. Tetapi rasa bersalah dan cemasnya kian membesar, ia harus melakukannya!

"Menurutmu, setelah perang selesai..." Naruto menghentikan kata-katanya sejenak, menatap Kiba. Kiba sendiri kelihatan sangat penasaran, karena ini menyangkut sahabat baiknya.

"Apakah dia masih menyimpan perasaannya padaku?"

Butuh tiga setengah detik Kiba untuk melongo, ia mengira ada hal yang super-duper gawat telah terjadi, ternyata yang Naruto khawatirkan adalah masalah kecil. Ia tertawa terbahak-bahak.

"Hahahahahahahaa! Apa kau sudah gila? Hinata adalah orang yang sangat memujamu, tau? Dan kau kira setelah memendam perasaannya semenjak akademi, ia akan dengan mudah melupakannya?"

"Jadi? Apa yang sebenarnya yang kau maksud?"

Kiba menghela nafas, maklum atas kemampuan menangkap Naruto yang dibawah rata-rata.

"Maksudku. Tentu saja dia masih menyukaimu, bodoh. Aku kenal Hinata dengan baik."

Perasaan lega membuncah di relung hati Naruto. Ia merasa beban yang selama ini tersangkut di belakang punggungnya dilepas begitu saja.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau bertanya tentang perasaannya?"

Naruto sendiri terdiam. Ia juga bingung dan tak tau harus menjawab seperti apa.

"Apakah kau akan membalaskan perasaannya?" Kiba bertanya lagi, karena Naruto tak kunjung menjawabnya.

Naruto terdiam kembali. Ia ingin menajawab tidak, namun entah mengapa lidahnya terasa kelu. Ia tak mampu menjawab iya, maupun tidak.

"Kenapa kau diam saja?" Kiba bertanya lagi, dan Naruto tak menjawab lagi. Ia tetap saja bungkam, walaupun Kiba telah berkali-kali mengganti pertanyaannya.

"Hei. Kalau menurutku kalian berdua cocok lho." Kiba tak lagi memberi pertanyaan. Ia memberi statement yang mendukung mereka berdua.

"Kalian sama-sama kuat, baik, dan pantang menyerah. Kau cerewet dan dia pendiam. Kau percaya diri dan dia pemalu. Kau tukang buat masalah dan dia pemaaf. Kalian sangat saling melengkapi. Kalian berdua berasal dari klan hebat. Dia sangat cantik dan kau tampan. Ditambah lagi Neji sangat mempercayaimu, semuanya lengkap. Hokage dengan ketua dari klan yang paling kuat di Konoha. Cocok, kan?"

Naruto hanya tertawa renyah, tak menyangka Kiba bisa mengertahui dirinya dengan baik.

Keduanya kembali diam. Kiba sibuk dengan pikirannya sendiri dan sesekali berguman hal-hal yang tak penting. Sedangkan Naruto memikirkan kalimat-kalimat Kiba tadi tentang dirinya dan Hinata.

"Hmmmm... Jika perasaannya terbalas, mungkin ia tak akan semenderita hari ini."

Gumaman Kiba yang tak sengaja di dengar Naruto membuat matanya membelalak. Seketika wajahnya menjadi cerah, entah mengapa.

"Benarkah kau berpikir begitu?" Tanyanya tiba-tiba.

"Mungkin. Entahlah. Siapa orang di dunia ini yang tak bahagia jika perasaannya terbalas oleh orang yang dicintainya?" hening sejenak, semua larut dalam perasaan dan pengalaman masing-masing. "Hei, jangan terlalu dipikirkan, jika kau tak ada perasaan apapun dengannya, sebaiknya jangan. Semua orang berhak menyukai orang lain sesukanya." Setelah itu, Kiba berbicara dengan bahasa filosofis yang tinggi, dan membuat Naruto tak fokus dengan setiap kata yang diucapkannya.

Naruto lalu segera melarikan diri, kabur dari Kiba dan kata-katanya yang mulai melantur kesana-kemari.

'Apakah dengan membalas perasaan Hinata dapat membuatnya bahagia kembali?' Naruto bergumam di batinnya sendiri, bertanya dan mencari jawabannya sendiri.

'Tapi aku tak mencintainya. Yang kucintai adalah Sakura. Maksudku, aku menyukai Hinata. Dia anak yang baik dan manis, namun tetap saja aku akan menyukai Sakura lebih dari apapun. Sakura cinta pertamaku.' Pergulatan batin di hati Naruto tetap berlanjut, sebisa mungkin mencari solusi yang tepat.

'Tapi Sakura sudah menjadi milik Sasuke-teme. Aku tak bisa melakukan apapun. Mengejarnya pun tak akan berguna, karena aku akan dibunuh oleh si teme.' Seketika Naruto menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat siapa saja yang melihatnya bingung dengan perangai calon hokage satu ini.

'Mau bagaimana lagi? Ini satu-satunya cara agar aku tak merasa bersalah lagi terhadap Hinata. Aku akan mencoba mencintainya. Aku juga tak akan dihantui Neji dalam mimpi lagi.' Naruto mengepalkan tangannya, membuat keputusan. Ia berlari kearah mansion Hyuuga untuk mewujudkan keputusannya tersebut.

Menemui Hinata, mencoba mencintainya.

Dengan sebuah alasan : rasa bersalah.

.

.

.

TBc (tuberculosis)


R-E-V-I-E-W !

Jayakan naruhina! ^.~