Disclaimer: Masashi Kishimoto
Warning: Yaoi, gaje, OOC, dan hal-hal lainnya.
Pairing: NaruxSasu
Rating: M for Mature and Sexual content
Homophobia
.
.
(part 1)
Hey, I'm Homophobia
.
_Naruto's POV_
.
Aku cowok SMA biasa dengan rambut pirang berantakan, bersekolah di Konoha Gakuen dan menyandang predikat 'Sang Playboy'... Ok! Memang bukan predikat bagus seperti 'cowok terkeren' atau 'tertampan disekolah' tapi, Hey! Tetap saja aku punya predikat yang dibanggakan.
Aku masih duduk dibangku kelas, sambil sesekali bercanda dengan Kiba dan Shikamaru, atau mengacak-acak rambut Gaara yang terus mengataiku 'Sok Keren' dan tentu saja selalu kutanggapi dengan tertawa keras. Well, seperti yang kalian tahu, hanya kehidupan sehari-hari cowok SMA yang bertahan dari kerasnya 'mata pelajaran' dan 'cinta'. Kenapa aku bilang 'cinta'? Bagiku, tentu saja... Sulit sekali membagi waktu dengan para cewek-cewek ku. Ingat! Cewek-cewek. Kosa kata jamak, yang berarti aku punya banyak cewek. Sebut kan saja seperti, Hinata-dia manis, aku suka. Sakura- sedikit galak tapi baik, Ino-agresif, well aku suka cewek agresif, Temari-aku melirik Gaara-tidak! Coret Temari dari daftar cewekku, aku belum mau dibunuh oleh Gaara karena menyentuh kakaknya itu.
Jadi, seperti yang ku katakan tadi, aku hanya cowok 'Playboy' biasa. Bukan cowok tampan rupawan seperti cerita di dongeng-dong-
"Aku menyukaimu." Pernyataan cinta seseorang langsung membuatku kaget. Aku berbalik dan mendapati sesosok 'cowok' yang menyatakan 'cinta'nya padaku. Aku terdiam.
"Ka...Kau bilang apa tadi?" Tanyaku sambil berusaha membersihkan telinga. Berharap ada serangga atau ular yang menutup pendengaranku saat itu. Mungkin dia bilang 'Aku ingin pinjam pensil atau pulpe-
"Aku menyukaimu." Katanya lagi memperjelas dengan intonasi yang ditekan. Well, jelas sekali dia tidak berniat 'meminjam pensil atau pulpen'. Sekali lagi, aku masih terdiam dengan tampang bodoh.
"E...Eh?" Kataku sedikit kaget. Dia terlihat tidak peduli, cowok berkulit putih bersih dan memiliki rambut-entahlah seperti pantat ayam mungkin- menyatakan cinta dengan gamblangnya di tengah-tengah kelas. Aku bingung harus mengatakan ini pernyataan cinta yang 'romantis' atau 'ironis'.
Dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "Kau itu bodohnya keterlaluan ya, Dobe. Aku bilang 'aku menyukaimu', jelas?" Katanya lagi.
Oke! Aku bingung. Aku sakit kepala, aku bahkan hampir diare mendengar pernyataan 'cinta' yang keluar dari mulut cowok emo itu. Kemudian seperti ada kilatan petir yang menyambar sebagai 'background' nya, aku hampir menjambak rambut pirangku dengan keras.
"A...APA!"
.
Oh ya! Satu hal lagi, namaku Uzumaki Naruto dan aku... 'Homophobia'.
.
.
.
Apa yang akan kau lakukan saat di tembak oleh seseorang? Aku yakin, pasti kalian akan girang sambil jejingkrakkan tidak karuan-seperti Sakura yang kutembak pertama kali- atau tiba-tiba langsung pingsan bersimbah darah dengan rona merah diseluruh wajah-Hinata melakukannya saat aku mengatakan padanya 'jadilah pacarku'- tapi, baru kali ini aku terdiam bingung dan hampir 'sekarat'-istilah kerennya berperang antara hidup dan mati-ketika ditembak oleh cowok stoic didepanku ini.
Aku berusaha mengucapkan sesuatu, "Ka...Kau pasti salah orang, Ha..ha..ha." Kataku lagi sambil tertawa kering. Cowok itu terdiam lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas.
Dia mulai membuka suaranya lagi, "Siapa Diantara Kalian Yang Bernama 'Uzumaki Naruto'?" Serunya dengan lantang. Beberapa tangan langsung menujuk-dengan tidak beradab-ke arahku. Bahkan Shikamaru yang tadi kulihat sedang tidur, langsung bangun secepat kilat dan menunjuk dengan semangat ke arahku. Ohh Shikamaru... Tunggu saja besok, akan kujadikan dendeng spesial dirimu itu.
Cowok raven itu berbalik menghadapku, "Well..." Katanya, "...Aku tidak salah orang."
Ingin sekali rasanya, aku berlari bertelanjang dada sambil mendayung melewati danau, lalu mendaki gunung dan berteriak 'AKU HOMOPHOBIA!'. Sungguh! Memang terdengar ekstrim, tapi aku benar-benar ingin melakukannya saat ini, terlebih lagi ditembak secara tidak berprikemanusiaan oleh makhluk 'cantik' bergender 'cowok' ini.
Cowok itu mendekat, "Namaku Sasuke Uchiha." Katanya sambil memperkenalkan diri, "Mulai sekarang kau 'pacar'ku." Jelasnya lagi sambil menunjukku.
1 detik... Kelas hening.
2 det-
"WOOOW!" Seluruh kelas bersorak, gemuruhnya hampir bisa membuat gempa lokal di kelas. Aku yakin sebentar lagi kelas akan runtuh. Well, aku tidak peduli. Mataku terbelalak memandang cowok stoic yang dengan angkuhnya berjalan keluar kelas tanpa mempedulikan sorak-sorai seluruh siswa.
Aku terduduk lemas, mataku nanar memandang lantai, "A...Apa yang barusan tadi, ya?"
.
.
.
Jam masih menunjukkan pukul 8 pagi. Aku berharap kelas akan segera bubar. Kau tahu? Menunggu jam pulang sekolah-hingga jam 3 sore-membuat badan pegal-pegal. Tapi sekarang bukan pegal-pegal yang ku alamai, melainkan sakit kepala, mules dan diare akut. Aku berharap Kakashi-sensei segera masuk kelas dan mengajar. Aku ingin sekali belajar dan melupakan kejadian tadi pagi.
Tiba-tiba suara langkah berat memasuki kelasku, aku berharap itu kakashi-sensei yang selalu nyengir walaupun tahu dirinya telat. Tapi tidak! Itu Kurenai-sensei sambil menjinjing buku absen dan dibelakangnya... Oh Tuhan... Aku hampir mati lemas kalau tidak ditahan oleh Gaara, dibelakang Kurenai-sensei berdiri Sasuke dengan beberapa buku tebal dan lengan yang terikat dengan lambang 'Dewan sekolah'. Yup! Sasuke Uchiha adalah 'Presiden Council' di Konoha Gakuen. Tamatlah riwayatku.
Kurenai-sensei berdehem, "Hari ini kita tidak akan belajar, karena para guru akan rapat terkait acara yang akan diselenggarakan untuk ulang tahun Konoha Gakuen..." Wanita itu menghentikan kalimatnya menunggu kelas yang reda karena sorakan senang, kemudian mulai melanjutkannya lagi, "...Sasuke, sebagai perwakilan dewan sekolah akan diberi tanggung jawab mengurus acara dan festival budaya apa saja yang akan diselenggarakan. Kalian harus membantunya juga, mengerti?" Kata Kurenai-sensei mengakhiri pidatonya.
Semua siswa menjawab 'Siap, Sensei!' dengan nada semangat tapi aku mengetahui nada licik dari mereka semua... Aku tahu itu! Apalagi saat Kurenai-sensei pergi dari ruangan dan meninggalkan Sasuke di kelas dengan berbagai buku dan alat tulisnya, semua mata seluruh siswa langsung tertuju padaku. Mata memohon.
Rock lee mendekat ke arahku, "Naruto." Dia mulai pidato 'masa mudanya' yang bagiku terdengar seperti 'doa kematian', "Kau harus membantu Sasuke." Katanya. See?! Bahkan Rock lee pun ikut-ikutan licik. Aku memandang seluruh kelas, kemudian semua siswa mengacungi dua jempol secara bersamaan. Ohh, Jashin-sama, izinkan aku menyembahmu, dan kutuklah mereka semua.
Aku menghela napas pasrah lalu berjalan dengan malas ke arah Sasuke, "Ha...Hai.." Kataku gugup. Dia melirikku sebentar lalu ber'Hn' saja. Ingin sekali aku menjitaknya saat itu juga. Tapi niat mulia itu harus tertunda, yup tertunda! Karena tiba-tiba Sakura datang ke kelasku dengan dobrakan pintu yang keras. Dia menatap nyalang keseluruh murid. Seluruh kelas langsung hening dan pura-pura sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Cewek berambut merah muda itu bergerak ke arahku, "Katakan..." Desisnya mengerikan, "...Katakan, siapa cewek yang menembakmu tadi pagi." Suara Sakura terdengar berat, aku meneguk liur susah payah.
"Ha..hai sayang... I..Ini kesalah pahaman semat-"
"Naruto..." Suara Sasuke menginterupsi. Cowok stoic itu masih menulis. "Bisa kau membantuku mengabsen kelas satu persatu?" Tanya nya lagi, mengacuhkan Sakura yang meliriknya tajam.
Aku diam, Sakura mendengus lalu berbalik ke seluruh kelas, "KATAKAN SIAPA GADIS YANG 'MENEMBAK' COWOK KU?!" Teriaknya tidak peduli. Seluruh siswa terdiam, mereka tidak berani menjawab kalau 'cewek' yang dimaksud Sakura adalah 'cowok' yang berada dibelakangnya sendiri yaitu Uciha Sasuke.
Aku panik, "Sa-Sakura~chan... Ja-jangan marah-marah lag-"
"DIAM!" Teriak cewek itu lagi. Aku hampir melonjak dari tempatku. Sakura memang manis, tapi kalau marah dia mengerikan. Seharusnya aku ingat nasehat ibuku, jangan pernah pacaran dengan cewek yang menyandang 'Sabuk Hitam'. Sial!
Sasuke menghentikan kegiatan menulisnya lalu melirik cewek berambut pink itu, "Namamu siapa?" Kata Sasuke dingin, Sakura berbalik dengan angkuh.
"Memangnya ada apa?! Aku tidak perlu mengatakan nam-" Sakura langsung berhenti berceloteh ketika dia melihat lambang 'Dewan Sekolah' yang disandang dilengan Sasuke.
Cowok raven itu terlihat membuka 'Buku Hitam' nya dan siap menuliskan nama Sakura di catatan black list para guru. Gadis itu menggigil ketakutan.
"Ki-kita bisa berdamaikan? Sasuke~kun.." Kata Sakura penuh dengan nada 'manis' yang membuat semua orang terkena diabetes akut. Sasuke melirik cewek itu sekali lagi, lalu menutup bukunya dengan pelan.
"Bisakah kau tinggalkan kelas ini? Kami masih ada rapat yang dibicarakan." Kata Sasuke tegas. Tapi bagiku, cowok raven itu sedang 'mengusir' Sakura dan berharap cewek itu tidak akan kembali lagi. Sakura tersenyum canggung lalu berjalan keluar kelas. Semua siswa langsung berbisik dengan heboh.
"Ehem." Sasuke berdehem pelan. Seluruh kelas hening seketika. Aku bahkan dibuat cengo oleh 'kekuatan' Sasuke. Cowok stoic itu menatapku.
"Kau masih belum mengabsen kelas, Dobe?" Tanya dengan nada biasa, tapi sanggup membuat amarahku memucak tajam.
"Jangan seenaknya memanggil orang 'Dobe', Teme!" Seruku tidak terima. Semua siswa dikelas terkesiap kaget, mereka menutup mulut, mata dan hidung, bersiap-siap menunggu cowok raven itu mengeluarkan 'Buku Hitam' keramatnya.
Tapi bukan Naruto namanya kalau takut. Seperti saat ini, aku mengambil buku milik Sasuke dan melemparkannya ke wajah cowok itu. Ingat! Melempar! Bukan memberi atau mengelus wajah Sasuke! Tidak, aku najis melakukan hal itu.
Sasuke terdiam ketika buku miliknya melandas dengan keras di wajahnya, istilah kerennya sih 'Crush Landing' tapi bodo'lah dengan istilah keren kalau harga diri Uchiha tercoreng seperti itu.
Naruto masih menggeram marah, tapi cowok raven itu tidak melakukan apa-apa sama sekali, mata onyx nya melirik jam tangan... Pukul 8.30 pagi.
"Aku akan menunggu hasil absen mu di ruang council." Kata Sasuke lagi, "Aku harap kau cepat menyelesaikannya, Dobe." Kemudian Sasuke berjalan menjauh sambil menjinjing beberapa bukunya.
Aku mengerang kesal. Kalau saja aku bisa menghajar cowok sombong dan angkuh itu, pasti akan kulakukan sekarang juga.
"Na...Naruto-kun..." Suara Hinata membuatku melupakan rasa marahku, dia berdiri diambang pintu kelas. Aku tersenyum lebar ke arah cewek manis itu. Gadis pemalu itu terlihat menangkupkan kedua tangannya di depan dada, dia menatapku dengan khawatir.
"A...Aku dengar, kau 'ditembak' oleh cewek." Kata Hinata yang langsung kujawab dengan gelengan kepala.
"Ti...tidak ada 'cewek' yang menembakku." Sahutku lagi dengan gugup. Well, aku jujur'kan? Tidak ada 'cewek' yang menambakku, hanya seorang 'cowok' sombong berkulit pucat itu.
Hinata menghela napas lega, "Syukurlah." Katanya sambil tersenyum, kemudian tangan mungilnya terlihat merapikan sedikit rambutnya ke sisi telinga, "Ba..baiklah, aku akan kembali ke kelas." Gadis itu mendongak menatapku, "Kalau kau butuh sesuatu katakan saja, oke?" Jelasnya lagi. Aku hanya mengangguk.
Sebelum keluar dari kelas, Hinata melirikku sebentar dengan tatapan khawatir lalu berjalan pergi. Aku melambai kemudian menghela napas berat... Ini gawat!
.
Pukul 09.00 pagi... Aku sudah membawa buku absen kelas dan beberapa tetek-bengek yang dibutuhkan si muka dingin 'Uchiha Sasuke' itu. Jujur, aku benci harus berada disatu ruangan dengan-kau tahu-cowok 'abnormal' seperti dia. Tapi tentu saja, aku tidak bisa menolak ketika harus membawakan beberapa lembar kertas dan buku absen untuk dirinya. Well, aku hanya tidak mau ditulis ke dalam buku keramat itu. Mengingatnya saja sudah membuat bulu kudukku merinding.
Ketukan halus diruang council membuat Sasuke mengalihkan perhatiannya dari beberapa lembar dokumen, kemudian menjawab ketukan tadi dengan 'Silahkan masuk.'
Aku mulai memutar kenop pintu lalu masuk perlahan, berusaha meyeimbangkan beberapa lembar kertas dan buku absen. Aku meletakkan benda-benda itu di atas mejanya. "Semua absen lengkap." Kataku sambil menyerahkan buku absen siswa kepada cowok raven itu.
"Terima kasih." Kata Sasuke pelan.
Aku menunjuk beberapa lembar kertas, "Itu... Semua ide yang dapat ditampung kelas kami." Aku mengambil salah satu kertas, "Seperti acara-acara sekolah biasa, mereka hanya ingin stand bazzar, sedikit festival karnaval mungkin, entahlah. Kemudian-rumah hantu mungkin." Kataku sambil mengembalikan kertas tadi.
Sasuke terlihat berpikir, "Karnaval mungkin sulit." Katanya pelan, "Seperti iringan marching-band, badut, sirkus dan sej-"
"Tidak... Tidak itu." Kataku menghentikan kalimat Sasuke. "Bukan hal yang 'mewah' seperti itu. Hanya hiasan dan pertunjukkan kecil-kecilan. Dan... kalau menurutmu badut dan sirkus bisa disewa, well, kenapa tidak? Atau suruh saja panita acara melakukan hal itu." Sahutku lagi. Sasuke hanya ber'Hn' saja kemudian fokus kembali ke dokumen-dokumennya.
Aku menggaruk kepalaku malas, "Well, Sasuke." Panggilku pelan. Cowok raven itu mendongak malas.
"Ada apa?" Tanya nya pelan.
"Ucapanmu tadi pagi. Apa kau serius menyatakan cinta padaku? Maksudku, aku takut dengan hal-hal yang berbau... Yah, uhhm... Gay, mungkin?" Kataku berusaha sopan. Sasuke menatapku kemudian fokus kembali ke dokumennya.
"Kalau cuma hal itu yang kau tanyakan, kau bisa pergi sekarang."
Aku menggebrak meja, "JANGAN SEENAKNYA!" Teriakku tidak terima, kemudian berusaha menenangkan amarahku dengan memijat keningku yang berdenyut tidak karuan, "Dengar..." Kataku lagi, "...Aku tidak tahu apa masalahmu denganku, tapi bisa kau tarik kembali 'pernyataan cinta' konyolmu itu? Kalau kau angap itu lelucon, kau salah." Jelasku.
Sasuke mendesah, "Kau juga membuat 'cinta' menjadi hal yang konyol."
"A...Apa?"
Sasuke menatapku tajam, "Kau mempermainkan gadis-gadis itu, bukankah itu lelucon yang konyol?"
"Wooo-woo~... tunggu sebentar." Aku menghentikan perkataannya, "Apa kau mantan mereka? Kau marah karena aku pacaran dengan mereka, begitu?" Terangku lagi dengan nada tidak suka.
Sasuke terlihat merapikan dokumennya, "Aku bukan mantan mereka, aku hanya mendengar gosip ke'Playboy'an mu." Katanya lagi menegaskan setiap kata 'Playboy'. Aku menghempaskan pantatku di kursi lalu mengerang kesal.
"Arghhh... Aku bingung..." Keluhku lagi. Sasuke berjalan ke lemari lalu menaruh beberapa dokumen disana.
"Aku menyukaimu. Itu saja, tidak lebih." Kata cowok raven itu. Aku meliriknya malas.
"Kau tidak mungkin langsung menyukaiku begitu saja." Jawabku.
Sasuke melirikku sebentar, "Suka ya suka... Mau bagaimana lagi? Aku tidak mengerti alasan kau membenciku, tapi yang jelas aku menyukaimu."
"Sejak kapan?" Tanyaku sambil membetulkan letak dudukku. Sasuke terlihat berpikir.
"Saat tahun ajaran pertama, penerimaan siswa baru." Jawab Sasuke kembali duduk dikursi kerjanya.
Aku menjedotkan kepalaku ke meja, "Arghh.. Itu lama sekali... aku tidak ingat."
Sasuke tidak menjawab, "Kau tahu." Dia mulai bicara lagi, "Anak laki-laki yang dilempari seluruh murid lain saat melakukan pidato di acara penerimaan siswa baru?"
Aku mendongak malas, "Hum... Yeah... Aku ingat anak itu. Dia berkacamata tebal, sedikit kutu buku, berambut klimis seperti om-om yang habis kena PHK." Aku tertawa ketika mengingat hal itu.
Sasuke tersenyum sebentar, "Itu aku."
"Ha..ha..ha.. Lucu sek-" Aku terdiam, "Ka...Kau bilang apa?"
Sasuke membetulkan buku absennya, "Aku bilang, itu aku." Perkataanya hampir membuatku jatuh dari kursi, aku terbelalak kaget. Cowok jelek itu kini berubah jadi 'angsa'? Wow! Bahkan pesulap handal dunia tidak bisa melakukan hal itu tanpa operasi plastik.
Naruto mendekatkan wajahnya ke arah cowok itu, Sasuke sedikit risih, "Aku tidak melakukan operasi plastik kalau kau penasaran." Katanya lagi. Aku nyengir.
"Tidak aku hanya... Uhm, heran." Jawabku sambil menggaruk kepala.
Sasuke bangkit lalu menatapku, "Aku menyukaimu saat acara penerimaan siswa baru." Jelasnya lagi, "Saat aku dilempari, kau maju di depan stadium sambil berteriak..." Sasuke menutup matanya berusaha kembali ke masa dulu.
.
.
"HENTIKAN!" Teriakan Naruto membahana didepan pergelaran acara penerimaan siswa baru.
Sasuke yang berada diatas panggung berusaha menutupi kepala dan berjongkok ketakutan.
Naruto terlihat marah, "Yang Berani Melempar Ayo Maju, Kuhajar Kalian Semua!"
Beberapa nada tertawa mengejek terdengar membahana. Saat itu beberapa guru berusaha meredam emosi siswa-siswa lain. Tapi tidak berhasil.
.
.
Aku diam. Aku bahkan lupa sama sekali tentang hal itu, "Benarkah aku se-ekstrim itu?" Tanyaku kebingungan. Sasuke menatapku lalu tersenyum.
"Yup! Kau melakukannya dengan sangat berani."
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, "Memangnya kenapa aku bisa berteriak marah seperti itu?"
Sasuke berpikir, "Itu karena... Aku mengaku didepan seluruh siswa tentang orientasi seksualku." Jawab cowok raven itu yang hampir membuatku terlonjak kaget.
"Kenapa kau mengakuinya?!"
Sasuke mengangkat kedua bahunya, "Entahlah, dulu aku bodoh dan naif. Berusaha jujur, berharap mereka akan menerimaku, nyatanya tidak." Kata Sasuke, "Tapi seseorang menerimaku dengan baik." Sasuke tersenyum padaku.
.
.
Cowok pirang bermata shappire itu masih melindungi Sasuke dari lemparan kaleng dan botol minuman. Bahkan ada beberapa yang melempari Sasuke dengan makanan. Banyak siswa berteriak, "Menjijikan!' atau "Mati saja kau!" dan sejenisnya.
Naruto berdiri dengan kesal.
"SASUKE TIDAK MENJIJIKAN! AKU MENYUKAINYA!"
.
.
Naruto menelungkupkan wajahnya dimeja kerja Sasuke, "Ugghh... Aku tidak ingat kalau aku sangat memalukkan begitu. Padahal maksudku, aku menyukaimu sebagai teman."
Sasuke menghentak-hentakan lembaran kertas ke meja, membuatnya sedikit rapi, "Kau sudah tahu'kan? Sekarang kau bisa keluar."
Aku mendesah kesal. Mengesalkan ketika harus lupa sesuatu hal yang penting, tapi Aku ingat sedikit, karena hal itu juga, banyak cewek-cewek yang menyukaiku. Well, semua cewek menyukai sikap 'ekstrim' cowok.
Aku berjalan ke arah pintu kemudian berbalik menatap Sasuke, "Dengar." Kataku lagi, "Kejadian yang lalu lupakan saja, aku tidak tertarik pada cowok. Aku homophob-"
"Hn... Aku tahu, Dobe." Jawab Sasuke tidak peduli sambil melambaikan tangannya, menyuruhku cepat-cepat keluar.
Aku diam lalu menutup pintu ruang council.
Sasuke yang terlihat tidak peduli, kembali menulis sesuatu di lembaran kertas dokumen, sedetik kemudian dia berhenti menulis dan menjatuhkan keningnya ke atas meja dengan suara -Duk- kecil.
Cowok raven itu mengerang kesal.
"Urrghhh... Seharusnya aku tidak memberitahunya. Bagaimana ini... Uurgghh... Aku terlalu bodoh karena jujur..." Erang Sasuke sambil menghentak-hentakkan kepalan tangannya ke meja.
Wajah Sasuke memerah, "Naruto, bodoh!" Bisiknya pelan.
.
.
.
Rambut pirangku berantakan, mungkin karena aku terus mengacak-acaknya. Tapi, jangan salahkan aku. Sikapku selalu begini kalau sedang stres, terlebih lagi ketika aku tahu Sasuke menyukaiku. Bukannya aku tidak tertarik, hanya saja, kau tahu, berdekatan dengan dia saja aku langsung gatal-gatal. Tapi tetap saja, aku tidak suka menghina orang. Toh, dia yang gay kok aku yang repot. Kalau tidak suka tinggal menjauh'kan? Ngapain harus mencaci maki atau mengejeknya. Manusia memang tidak masuk akal.
"Kau sedang ada pikiran?" Tanya Ino sambil menyentuh keningku. Aku tersenyum lembut.
"Tidak ada apa-apa." Kataku bohong pada cewek ketiga ku itu. Gadis itu diam dan masih menikmati makanannya. Yup! Kami sedang berada di taman sekolah sambil makan dengan saling-suap-suapan-ala-remaja-ababil. Hell yeah!
Sekali lagi aku melirik jam tanganku, pukul 10 pagi, tidak ada kerjaan. Membosankan! Para guru juga sedang rapat mengenai acara ulang tahun Konoha Gakuen. Mataku beralih menatap jalan, tembok, atap, Sasuke, jalan, lor-
Tunggu dulu! Apa tadi aku melihat Sasuke? Aku mengedarkan pandangan, mata biru sapphireku menatap sosok Sasuke yang berada diatas atap sekolah. Sepertinya dia sibuk melakukan sesuatu, tangannya terlihat berusaha memasang lampu-lampu kecil disekitar atap, sesekali cowok raven itu kelihatan letih ketika harus mengangkat poster yang lebih besar 10 kali lipat dari tubuhnya itu. Dia ingin merentangkannya di atap sehingga tulisan 'Happy Birthday Konoha Gakuen' terlihat jelas.
Ino mengunyah onigiri miliknya sambil menatap Sasuke, "Dia tekun sekali." Kata gadis itu yang membuyarkan tatapanku pada Sasuke. Aku meliriknya bingung, Ino hanya mengangkat bahunya.
"Kau tahu, dewan sekolah hanya dirinya saja. Tidak ada sekretaris ataupun bendahara, bahkan wakilnya saja tidak ada." Kata gadis itu sambil menggigit dan mengunyah lagi.
"Kenapa begitu?" Tanyaku bingung.
"Tentu saja." Ino tersenyum sambil menggetok pelan keningku, "Orientasi seksualnya membuat dia dijauhi oleh para siswa."
Aku terlihat berpikir, "Bagaimana dengan siswi cewek?" Tanyaku lagi. Ino menggeleng.
"Dia yang tidak mau." Jawab Ino lagi. Aku menggelengkan kepala. Sombong dan suka pilih-pilih. Tingkah cowok itu buruk sekali.
Aku bangkit lalu merenggangkan ototku, Ino menatapku bingung. "Mau kemana?" Tanyanya. Aku memperlihatkan senyum lebarku.
"Membantu si 'brengsek' itu." Kataku sambil menunjuk Sasuke yang berada diatas atap. Dia benar-benar terlihat kewalahan.
Ino menatapku sekali lagi, mungkin dia berpikir kepalaku habis terbentur batu atau semacamnya sehingga mengeluarkan 'ide gila' itu. Gadis itu mengangkat bahunya malas, "Terserah kau." Katanya lagi, "Tapi hati-hati ya?"
"Hati-hati kenapa? Hati-hati terhadap Sasuke?" Tanyaku bingung.
"Hati-hati kalau jatuh dari atap." Ino terlihat berpikir, "Well, hati-hati terhadap Sasuke juga." Jelas Ino lagi. Aku hanya tertawa lalu mengacak rambut pirang gadis itu.
"Baiklah." Jawabku sambil melambai ke arah gadis itu.
Ino membalasnya dengan senyuman manis. Lalu mengedarkan pandangannya ke arah lain, cewek itu masih asyik memandangi pemandangan di taman sekolah. Tiba-tiba matanya jatuh pada Hinata yang terus menatapnya. Gadis berambut panjang itu terlihat bersembunyi dibalik pilar dinding, memandangi dirinya dengan takut-takut.
Ino terlihat berpikir, Apa yang dilakukan Hinata disana? Mungkin dia tidak berani mengajakku bicara, well, kalau begitu aku yang bicara duluan padanya.
Ino berjalan menuju arah Hinata, dia tersenyum, "Hai.." Kata Ino, "...Ada perlu apa?"
.
.
.
Aku berjalan dengan malas ke atap sekolah, sesekali tanganku mengacak-acak rambut blonde ku atau bersenandung lagu-yang aku sendiri saja tidak tahu- sambil terus melangkah melewati anak tangga.
Aku berdiri ragu didepan pintu besi yang menghubungkanku dengan atap sekolah. Aku berpikir keras, masuk-tidak-masuk-tidak? Kemudian dengan tidak peduli aku langsung memutar kenop pintu besi tadi. Suara berderiknya membuat telingaku sakit.
Sasuke mengalihkan perhatiannya ke arah pintu, "Sedang apa kau disini?" Tanya nya bingung. Aku lagi-lagi hanya menatapnya malas.
"Well, berusaha membantumu yang terlihat kewalahan." Kataku lagi sambil menunjuk tangannya yang memegang poster besar. Cowok raven itu menepuk-nepuk bahunya dari debu.
"Ya..." Jawab Sasuke, "Aku memang kewalahan."
Aku hanya menampilkan cengiranku lalu mengangkat poster besar tadi, "Mana panitia acaranya?" Tanyaku sambil membolak-balikkan poster tadi. Benar-benar besar! Aku kesusahan merentangkannya di atap.
Sasuke diam, lalu mengambil beberapa besi-besi panjang untuk menyangga poster tadi, "Tidak ada panitia, semua aku yang kerjakan." Katanya lagi yang hampir membuatku tercengang.
"Kenapa?" Tanyaku yang mirip orang idiot, Sasuke menatapku bingung lalu mengangkat bahunya.
"Entahlah, tidak ada yang mau ikut dalam kepanitiaan ini." Jawabnya lagi.
Aku mendesah, "Itu karena kau pilih-pilih, Teme." Aku mengambil beberapa lampu hias, "Bagaimana dengan para guru? Mereka tidak bingung kau bekerja sendiri?"
Sasuke ikut membantu mengambil beberapa lampu hias, "Tidak, asalkan semua berjalan sesuai jadwal, para guru tidak akan protes." Kata cowok raven tadi yang kutanggapi dengan 'Oh' saja.
Sasuke menarik beberapa kabel dari pagar atap, kemudian matanya jatuh pada Ino dan Hinata yang terlihat sedang berbicara serius di taman. Sasuke berusaha menajamkan penglihatannya. Cewek berambut pirang dan cewek bermata lavender itu sepertinya bertengkar akan sesuatu dan Sasuke tahu apa penyebabnya.
Sasuke melirikku, sedangkan aku hanya menatapnya bingung, "Ada apa?" Tanyaku. Cowok raven itu tidak menjawab.
"Sebentar lagi sepertinya kau dalam masalah." Kata Sasuke sambil melirik ke bawah. Aku mengikuti arah pandangan Sasuke. Dan-yup! Aku tahu apa masalahku sekarang, terlebih lagi Ino dan Hinata tiba-tiba mendongakkan wajahnya ke atap, memandangku dengan tatapan marah. Aku berharap gadis-gadis itu tidak melihat wajah ketakutanku dari atas sini, dan untung saja Sakura masih belum tahu, kalau cewek 'pink' itu tahu, tamatlah riwayatku.
Sasuke bersender di sisi pagar, "Good luck, semoga kau tidak habis dihajar mereka." Kata cowok raven itu enteng. Aku meneguk air liurku susah payah. Mereka tidak akan menghajarku, tapi mengulitiku dan mencincangku hidup-hidup.
"Aku harus pergi! Sembunyi!" Seruku dengan nada panik. Sasuke memutar bola matanya malas.
"Pasrah saja." Ucap Sasuke, "Sebentar lagi kau akan jadi dendeng."
Aku menatapnya geram. Baru kali ini aku berhasrat melemparnya dari atas atap. Tapi tidak! Belum saatnya melempar cowok angkuh-homo ini, yang pasti sekarang aku harus sembunyi.
Sasuke menatapku yang panik kemudian tangannya terulur untuk menggenggam lenganku. Sedikit terkejut, aku menepis tangannya agak kasar.
"Ah..." Aku sadar, "Maaf... Aku tidak bermak-"
"Aku tahu." Kata Sasuke, "Kau alergi'kan? Dengan orang 'abnormal' sepertiku?"
Aku kebingungan harus menjawab apa, "Aku tidak alergi..." Aku menggantungkan kalimatku, berusaha mengeluarkan kata-kata yang tidak membuatnya tersinggung. "A..Aku hanya homophobia." Jawabku lagi, yang tentu saja, itu merupakan pilihan kata yang buruk. Terlihat wajah Sasuke berubah kecewa tapi cepat-cepat disembunyikannya dengan wajah stoic andalannya.
"Aku tahu tempat sembunyi yang bagus... Ayo!" Kata Sasuke yang mulai bergerak menuruni tangga atap. Aku hanya mengikutinya tanpa banyak bicara.
Kami bergerak cepat melewati beberapa lorong koridor. Tapak Sasuke bergema dilantai keramik sekolah.
"Minggir-minggir... Darurat!" Ujarku setengah memaksa, menyeruak diantara kerumunan siswa yang berlalu lalang dikoridor, beberapa murid kami tabrak tanpa permisi dan ada diantaranya yang memaki-makiku, yang selalu kujawab dengan 'jari tengah'. Well, aku tidak peduli! Yang kupedulikan hanyalah keselamatan jiwaku dari cewek-cewek beringas itu.
"Seharusnya kau jangan memulai ini." Kata Sasuke disela-sela larinya. Dibelakang kami, Ino dan Hinata mengejar dengan brutal. Aku berusaha bernapas walaupun rasanya megap-megap.
"Memulai apa?!" Seruku sambil tetap mensejajarkan lariku dengan Sasuke.
"Tentu saja, sikap sok-playboy-dengan-menggoda-seluruh-cewek!" Jelas Sasuke sambil melirikku.
"Well, maaf kalau kau, C-E-M-B-U-R-U!" Seruku lagi sambil memperjelas kata 'cemburu'. Aku berharap dapat balasan 'Dobe' dan sejenisnya dari mulut Sasuke, tapi nyatanya tidak, cowok raven itu malah diam, tidak bicara apapun lagi, dan wajahnya... Walaupun samar-samar, aku dapat melihat wajahnya merona merah.
Sasuke menarik jasku, "Lewat sini." Kata Sasuke sambil berbelok ke arah koridor dan masuk ke ruang musik.
Aku langsung menutup pintu dibelakangku dan mengatur napasku yang benar-benar terkuras habis. Sedangkan Sasuke terduduk lemas dilantai, dia menghirup oksigen sebanyak-banyaknya dan tangan putihnya terlihat menyeka keringat yang menetes disekitar keningnya.
"Aku..Rasa...Hhh..Kita aman..." Ucap Sasuke sambil berusaha berdiri. Aku hanya menopang badanku ke tembok kemudian merosot duduk. Aku benar-benar cap-
-DAK-DAK-DAK- Gedoran dipintu membuatku siaga. Aku menatap ngeri pintu yang hampir dibuat jebol oleh gedoran Hinata.
"NARUTO! BUKA!" Teriakan Hinata makin membuat nyaliku ciut. Sasuke terlihat berpikir keras sambil menatap sekeliling ruangan. Aku berharap dia bisa mengangkat piano yang berada ditengah ruangan dan melemparnya ke cewek-cewek itu.
"Bagaimana ini?" Tanyaku panik... Sasuke kebingungan.
Gedoran di pintu lagi, kali ini diiringi oleh teriakan Ino, "NARUTO!"
Hinata menghentikan aksi Ino yang terus menggedor pintu, "Sebentar, kalau tidak salah, Iruka-sensei memberikanku kunci cadangan ruangan ini." Jelas Hinata sambil merogoh kantong jacketnya.
"Bagaimana kau bisa dapat kuncinya?" Tanya Ino bingung.
"Soalnya, aku yang bertanggung jawab terhadap kelas musik." Jawab Hinata. Gadis berambut panjang itu mulai mengutak-atik beberapa kunci ke lubang pintu.
Aku makin menggigil ketakutan, mataku fokus pada benda apa saja yang bisa menyelamatkan nyawaku... Nihil! Tidak ada apapun yang bisa menyelamatkan 'keperjakaan'-maksudku-nyawaku- di ruangan ini. Sial!
"Sasuke! Lakukan sesuatu!" Bisikku panik. Aku masih mendengar Ino dan Hinata berusaha menemukan kunci yang benar untuk pintu ini.
Sasuke berbalik ke arahku dengan mengacak pinggang, "Kau bilang 'Lakukan sesuatu'?!" cowok raven itu marah, "Bagaimana kalau 'Kau yang lakukan sesuatu!' Naruto!" Serunya galak.
Ini makin tidak bagus... Aku berusaha menenangkan Sasuke, "Ok.. Ok, Sorry..." Kataku pelan sambil tetap menyuruh cowok itu diam. Tapi Sasuke masih saja tetap protes.
"Kata 'Sorry' tidak akan berguna disini! Kau yang membuat kita dalam masalah!" Serunya. "Ini semua gara-gara sikap sok playboy mu itu... See! Kau yang bikin onar!" Jelas Sasuke sambil menunjukku penuh amarah.
"Ok...Ok... Sekarang tenang, Teme." Bisikku tegas sambil sesekali melirik waspada ke arah pintu. Tetapi cowok raven itu masih meneruskan protesnya. Dia bahkan berjalan mondar-mandir sambil menunjukku dengan gusar.
"Tenang?!" Sasuke terlihat ingin menjambak rambut emonya, "Bagaimana aku bisa tenang!" Teriaknya dengan menaikan nada suara satu oktaf lebih tinggi, "Jangan mentang-mentang kau tampan, ganteng dan keren lalu kau bisa membuat masalah begini!" Jerit cowok raven itu penuh kesal.
Aku ingin bicara lagi pada Sasuke tapi bunyi 'Klik' dari pintu langsung membuatku menoleh seketika. Sial! Hinata dan Ino sudah mendapatkan kuncinya.
Mataku berputar diruangan berusaha mencari tempat sembunyi. Meja-tidak! Tempat itu mudah ditemukan, Piano-Tidak juga! Benda itu tidak akan cukup menyembunyikan dua orang. Ayo Naruto pikir! Jeritku dalam hati.
Kemudian mataku menatap sebuah lemari yang cukup besar lalu beralih memandang jendela. Aku tersenyum karena mendapat sebuah ide. Aku berjalan cepat ke arah jendela, membukanya paksa seakan-akan kami melarikan diri lewat sana lalu bersembunyi dalam lemari-yang agak sesak dimasuki dua orang sekaligus- itu.
Sasuke terlihat protes ketika harus berdekatan denganku. Jelas saja cowok raven itu protes. Bayangkan saja! Satu lemari sempit, dua remaja ababil, lalu gabungkan secara paksa. Begitulah perasaan horor Sasuke saat ini. Tapi tentu saja, aku tidak peduli betapa ngerinya wajah Sasuke sekarang karena kengerianku baru saja dimulai.
Aku mengintip disela-sela lemari, dua cewek beringas itu sudah mendobrak masuk. Mata liar mereka menatap seluruh ruangan.
Sasuke berbisik kesal, "Ini tidak akan berhasil, Dobe!" Gerutunya marah.
"Ssst... Diamlah, Teme!" Balasku pelan tapi tegas. Cowok raven itu membungkam mulutnya dengan marah. Matanya ikut menatap dua cewek itu.
Ino menunjuk arah meja, "Hinata! Coba kau cari disana dan aku disini." Seru gadis pirang itu. Hinata hanya mengangguk tegas, kemudian menelusuri bagian sisi meja. Nihil!
"A...Apakah menurutmu mereka kabur lewat jendela?" Tanya Hinata lagi sambil menengok arah jendela yang terbuka lebar. Ino mengikuti arah pandangan Hinata kemudian menggeleng mantap.
"Tidak, Naruto tidak akan sebodoh itu." Kemudian mata Ino menatap lemari lalu tersenyum misterius, "Sepertinya aku tahu dimana cowok brengsek itu bersembunyi." Desisnya lagi dengan suara mengerikan.
Aku berusaha meneguk air liurku susah payah. Tanpa sadar aku memeluk Sasuke, berusaha menenangkan tubuhku yang menggigil ketakutan-bahkan aku lupa dengan 'homophobia'ku- Aku terus melihat Ino yang bergerak dramatis dengan seringai menyeramkan ke arah lemari.
"Aku akan mati... Aku akan mati..." Bisikku ketakutan. Tetapi Sasuke hanya diam saja.
"Yeah." Kata Sasuke memutar bola matanya malas, "Kau akan mati, jadi diamlah." Gerutu cowok raven itu. Aku meliriknya tajam.
"Bisakah mulutmu itu kau sumpal dengan-benda-apa-saja, asal kau diam?" Tanyaku sebal. Sasuke memicingkan matanya marah. Kemudian cowok raven itu berjongkok didepanku.
"Ma...Mau apa kau?!" Bisikku setengah berteriak. Sasuke menatapku dingin.
"Katamu, aku disuruh untuk menyumpal mulutku dengan benda-apa-saja, kan?" Sasuke menarik retsletingku lalu mengeluarkan batang kemaluanku yang masih lemas, Sasuke menyeringai, "Jadi aku akan menyumpal mulutku dengan 'ini'." Katanya lagi sambil memegang milikku dan mengelusnya pelan.
Aku panik. Aku merinding tidak karuan. Aku menatap cowok raven itu dengan pandangan horor. Tamatlah riwayatku! Kalau aku tetap disini aku akan 'dimakan' oleh makhluk cantik bergender 'cowok' ini, tapi kalau aku keluar aku bakal dimutilasi oleh cewek-cewek beringas itu.
Sasuke mulai membuka mulutnya. Aku meneguk liur dengan susah payah. Pikir Naruto! Pikir dengan otak kecilmu itu! Kau tidak mau di grepe-grepe oleh makhluk gay ini'kan! Jeritku dalam hati.
Aku menatap luar lemari, Ino masih menyeringai sambil berjalan pelan ke arah kami. Kemudian aku menatap Sasuke dengan panik.
"Hentikan, Teme!" Bisikku marah, "Kau bisa membuat kita ketah-Haghh!" Aku tersedak kaget ketika Sasuke mulai mengulum milikku ke dalam mulutnya yang hangat. Aku berusaha menahan getar nikmatku ketika lidah cowok raven itu bermain dibatang kemaluanku yang sudah berdiri. Tapi itu tidak mudah! Aku menahan kedua tanganku ke sisi lemari, mencengkram bidang datar itu. Dibawahku Sasuke masih sibuk mengulum,meremas dan menjilat milikku.
Dengan napas memburu aku melihat ke luar lemari, "Hahh-Ino-Unghh.. Dia-Hhhh-Kemari..." Bisikku sambil sesekali berusaha menormalkan napasku yang cepat.
Sasuke melirikku, "Hnn-Aku-Hmmphh-tahu... Hmmhh-Nghhh..." Sasuke masih menikmati milikku yang mengeluarkan pre-cum. Aku mendesah pelan. Cowok raven itu menjilat ujung batang kemaluanku dan menyeruputnya pelan. Aku bisa mendengar decakan air liurnya.
"Hhh-Sasuke-Ah..hahh.." Aku menyentuh rambut cowok raven itu berusaha menikmati kesenangan sesaat ini. Aku bahkan tidak peduli dengan cewek-cewek itu.
Sasuke berdiri, kemudian menurunkan celananya. Tangannya terlihat gemetar ketika harus mengeluarkan benda keras miliknya. Entah karena ini pertama kalinya dia melakukan hal ini atau karena dia terlalu senang. Well, aku tidak tahu. Yang pasti napasnya menderu cepat disekitar leherku.
"Na-Naruto... H-hhh..." Dia mengeluarkan desahan yang makin membuat nafsuku naik. Aku menatap miliknya, kemudian menjulurkan tanganku untuk menyentuh benda keras itu. Sasuke terkesiap kaget, dia mencengkram jas seragamku erat.
"Nar-Nghh...A..Ahh..." Sasuke mengerang pelan. Aku tidak dapat menahan diri lagi. Aku berbisik pelan ke telinganya.
"Lihat." Kataku, sambil menyuruh Sasuke menatap kebawah, "Milikku dan milikmu bergesekan." Sambungku sambil menyentuhkan ujung batang kemaluanku ke ujung miliknya-seperti berciuman hanya saja menggunakan dua 'benda' keras. Lubang penis kami saling bergesekan pelan, membuat jembatan pre-cum dan beberapa tetes cairannya jatuh ke lantai lemari.
"Hahh...Nghhh-Naruto-Ahh...Enak-Hmphhh..." Sasuke mendesah dan mendesah, membuat nafsuku semakin meningkat tajam. Cowok raven itu menyenderkan kepalanya di dadaku, napasnya terus memburu. Aku dapat merasakan uap panas napasnya di sekitar leherku. Untuk sesaat aku terhipnotis, hingga...
-BRAK!- Hantaman di pintu lemari membuatku terkejut, terlebih lagi Sasuke. Aku berbalik cepat. Ino menghantamkan tinjunya ke lemari ini. Sial! Umpatku dalam hati. Aku lupa kalau kami sedang berada di situasi berbahaya-ingat! Dikejar dua makhluk beringas bergender 'cewek'- Aku hampir melupakan hal penting itu.
Aku panik. Sasuke ketakutan, dia makin mencengkram jasku dengan erat, "Na-Naruto.." Bisiknya khawatir. Aku berusaha menenangkannya dengan memeluknya erat.
"Tenang." Bisikku pelan. Tapi sejujurnya, aku juga ketakutan. Terlebih lagi Ino menatap lemari itu dengan seringai aneh. Aku ragu apakah dia bisa melihat kami dari balik sela-sela kecil lemari itu atau tidak?
Aku membalikkan tubuh Sasuke, membuat punggungnya menyender ke dadaku, kemudian tanganku mengocok batang kemaluannya pelan, dia sedikit terkejut, "Nar-Hmphh...Nghhh-Hhh.." Sasuke menutup mulutnya dengan tangan. Berusaha tidak menimbulkan suara desahan. Aku berbisik pelan.
"Jangan khawatir, kau cukup konsentrasi saja dengan sentuhanku...Kau tidak perlu panik. Biarkan aku berpikir sebentar." Kataku lagi yang tetap mengawasi Ino. Gadis itu meninju pintu lemari lagi -DRAK!-.
Kaki Sasuke lemas, dia tidak bisa menyangga berat tubuhnya karena cowok raven itu terlalu menikmati sentuhanku. Aku harus memeluk perut Sasuke agar cowok itu tidak jatuh. Sasuke terus mendesah dan mengerang pelan.
"Hhhh-Apakah-Nhh..Nghhh-Ino pergi?-Hnngg.. A..Ahh.." Tanyanya disela-sela lenguhannya yang menggairahkan itu. Aku terus mengocok miliknya, membuat tubuh langsingnya sedikit bergetar... Batang kemaluan Sasuke terasa berdenyut-denyut ditanganku.
"Tidak." Kataku, -DRAK!- Suara hantaman lagi, "Dia masih meninju pintu lemari." Sambungku yang melihat wajah kesal gadis itu.
Ino menyerah dan memilih berjalan ke arah Hinata dengan marah, lalu mengatakan sesuatu hal seperti 'kunci' dan 'lemari'. Hinata melihat beberapa kunci yang dipegangnya lalu menggeleng lemah. Ino berdecak kesal. Aku bersyukur saat itu kunci lemari bergantung di pintu dan aku mengambilnya lalu mengunci diri kami dari dalam. Betapa pintarnya dirimu, Naruto! Kataku bangga pada diri sendiri.
Sasuke mendesah lagi kali ini dengan beberapa erangan yang sepertinya kesakitan. Aku menatapnya bingung, "Ada apa?" Bisikku pelan. Sasuke tidak menjawab, dia hanya mengangkat kemejanya agar bisa melihat kocokan tanganku di batang kemaluannya yang sudah berdenyut-denyut.
Cowok raven itu menatap ujung miliknya yang makin banyak mengeluarkan cairan pre-cum. Sasuke mengerang lagi, kali ini erangan kesakitan. Aku tidak tahu kalau aku terlalu keras mencengkram miliknya. Sebab aku masih berkonsentrasi menatap dua gadis itu.
Ino terlihat menunjuk malas ke arah lemari dan berbisik sesuatu ditelinga Hinata-Aku berharap memiliki pendengaran super, sebab aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan-. Aku hanya melihat Hinata yang terkejut sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Kau serius?" Tanya Hinata yang tidak menutupi kekagetannya.
Ino mengangguk, "Jadi." Kata Ino lagi, "Bagaimana sekarang?"
Hinata terlihat berpikir sebentar. Aku gugup dengan apa yang mereka bicarakan, terlebih lagi cewek bermata lavender itu menatap curiga ke arah lemari, tanpa sadar aku mengeratkan genggamanku di batang kemaluan Sasuke dan mengocoknya lebih cepat.
Cowok raven itu terlihat kepayahan harus menahan desahan dan erangannya. Mulutnya terbuka mencari oksigen dan beberapa air liurnya menetes di perut dan batang kemaluannya. "Hahh-Naruto-A..Ahhh.. Aku... Haahhh-" Sasuke tidak dapat melanjutkan perkatannya lagi, karena sekarang cowok itu mencengkram sisi lemari dengan erat. Jantungnya berdegup kencang.
Milik Sasuke makin berdenyut tidak karuan. Dia mengangkat kemejanya tinggi-tinggi lalu menyentuh benda bulat pink di dadanya sendiri. Menariknya, memelintirnya dan memutarnya dengan lembut. Kalau aku melihat Sasuke sekarang, aku rasa aku akan mengatakan kalau cowok cantik itu begitu erotis dan... Manis... Tapi tidak! Pandanganku lebih fokus pada Hinata yang berjalan mendekat.
Sasuke mencengkram tanganku, "Naru-A..Ahhh-Ke-keluar-Ahh..Ahhk-Hmpphh! Hnnghh!" Sasuke hampir berteriak keras tetapi aku langsung membungkan mulutnya dengan tanganku yang satunya.
Hinata semakin mendekat, tangan kecilnya menyentuh pintu lemari... Aku panik, tanpa sadar aku meremas milik Sasuke dengan kuat.
Tubuh cowok raven itu bergetar hebat, aku harus memeluknya dengan erat agar dia tidak jatuh terjerembab. Sasuke memuncratkan cairan putihnya di sisi lemari, membuat bercak noda putih yang mengalir ke lantai.
.
-Cklek- Pintu ruang musik terbuka, Kakashi-sensei menatap Ino dan Hinata dengan tatapan bingung, "Disini kalian rupanya." Kata Kakashi-sensei pelan. "Aku sudah mencari kalian kemana-mana. Cepat masuk ke kelas, pelajaran sudah dimulai."
Hinata berusaha protes tetapi langsung terdiam ketika menatap wajah Ino yang mengangguk ke arahnya. "Baiklah." Desah Hinata kecewa.
Kakashi-sensei menyeret kedua gadis itu keluar dari ruang musik. Sebelum menjauh, Hinata masih menengok ke arah lemari dengan wajah curiga. Ino menepuk punggungnya pelan.
"Nanti kita akan mencari Naruto dan mengulitinya hidup-hidup, oke?" Kata cewek pirang itu. Hinata diam lalu tersenyum lembut seperti biasa.
"Iya." Katanya pelan sambil menunjukkan senyum manisnya.
Kakashi-sensei menutup pintu ruang musik dengan suara -cklek- pelan, kemudian langkah mereka menjauh pergi hingga tidak terdengar lagi.
.
Aku menghela napas lega kemudian mengambil kunci lemari dari kantong seragamku, memasukkannya ke lubang kunci, memutarnya dan...'klik', pintu lemari terbuka.
Sasuke terlihat kepayahan ketika keluar dari lemari, aku hanya merapikan retsleting celanaku dan mengacak rambut pirangku, "Kacau." Kataku sambil melihat noda putih yang berantakan di dalam lemari. Sasuke hanya terduduk di lantai setelah memakai celananya kembali.
Cowok raven itu berdiri lalu bersender dengan malas di meja, "Terima kasih untuk 'kesenangannya', Tuan Homophobia." Kata Sasuke sarkastik.
"Hey!" Seruku tidak suka sambil berbalik ke arahnya, "Jangan merasa girang karena aku 'menyentuh' dirimu!" Kataku tidak suka, "Kalau kau panik maka kau akan mulai cerewet lagi dan itu akan membuat kita ketahuan, Tuan sok pintar." Balasku tak kalah sarkastik.
Sasuke terlihat kesal, "Tapi tidak berarti kau bisa 'menyentuh' ku seenaknya, Dobe!" Serunya penuh pandangan mematikan.
Aku memutar bola mataku malas, "Yeah... Yeah.. Whatever, aku mau pergi." Sergahku lagi sambil membuka pintu ruang musik. Sebelum melangkah keluar aku berbalik menatap Sasuke yang masih menyilangkan kedua tangan di depan dada, "Oh, ya... Lupakan soal kejadian tadi. Aku tidak tertarik mengingatnya kembali." Kataku enteng yang disambut dengan death glare Sasuke.
Pintu ruang musik menutup pelan. Sasuke masih berdiri dengan angkuh, setelah mendengar langkahku yang menjauh, cowok itu langsung terduduk lemas dilantai. Wajahnya memerah.
"Ba...bagaimana ini?" Tanyanya panik, "Naruto 'menyentuh'ku... Dia 'menyentuh'ku..." Sasuke memeluk lututnya berusaha menyembunyikan pekikan girang dan rasa senang diwajahnya.
Bibirnya tersenyum kecil, "Dobe..." Bisiknya sambil berusaha menenangkan degup jantungnya yang masih tidak karuan.
.
.
.
Aku berjalan disepanjang koridor setelah pergi dari ruang musik. Sapaan para junior-junior cewek tidak kupedulikan lagi. Pikiranku melayang kekejadian beberapa menit lalu. Lemari. Sasuke dan... Aku menatap tanganku, denyutan milik Sasuke masih terasa sampai sekarang.
Aku menggeleng cepat, Tidak... Tidak! Aku bukan homo!
Aku menggigil ketika merasakan rasa horor dan panik merayapi diriku. Sedetik kemudian aku berlari dengan kencang ke arah atap sekolah. Aku ingin berteriak... Berteriak dengan keras hingga tenggorokanku sakit. Aku ingin melupakan semua hal yang memalukan itu.
Pintu atap aku dobrak keras, kemudian aku berlari menuju sisi pagar, menggenggam pegangannya erat, mengambil napas yang banyak lalu...
"AKU BUKAN HOM-!" -DUAGH!- Lemparan kaleng dikepalaku membuatku menghentikan teriakanku. Aku berbalik... Sepasang mata menatapku dengan nyalang.
"Berisik, Bodoh..." Kata cowok itu dingin. Wajahnya mirip Sasuke hanya saja rambutnya panjang dan diikat kebelakang. Wajahnya juga... Uhmm... Keriput? Aku rasa dia mengalami masalah kerutan diwajah, mungkin dia banyak pikiran. Kemudian aku melihat name tag di seragamnya. Uchiha Itachi, kakak dari Sasuke... Seniorku.
Aku membungkuk dalam-dalam, "Ma..Maaf, Senpai!" Kataku lagi. Dia hanya berdecak kesal lalu melanjutkan tidur siangnya.
Sebelum aku menghilang dari balik pintu, Itachi melirikku dengan ekor matanya, "Bocah berisik." Jengkelnya lagi, kemudian memejamkan matanya.
.
.
.
TBC
.
RnR please ^O^
.
Maaf kalau chap nya kepanjangan (_ _)...
