Memory © Kaori Suruga

Disclaimer : Vampire Knight © Hino Matsuri

Warning : Abal, Gaje , OOC Parah!, Yaoi / Sho-Ai

Don't like, Don't read

Kaname, Zero


Saat ini musim gugur, sepanjang mata memandang mata diberikan sentuhan warna dedaunan yang mulai kecoklatan. Angin berhembus pelan tapi begitu menusuk tulang. Kepulan asap terlihat di udara, semakin menekankan dinginnya suhu udara. Zero berjalan santai menyusuri jalan setapak yang kini lengang dan hanya dilintasi beberapa orang. Tentu saja jalanan itu begitu sepi, Zero melirik jam tangannya dan waktu menunjukkan pukul 9 malam. Saat cuaca sedingin ini orang-orang pasti memutuskan untuk mengurung diri di rumah, menonton tv dengan mengenakan selimut tebal yang hangat sembari menyesap hot chocolate.

Zero berbelok di tikungan sebuah perempatan kearah kanan. Jalanan itu sangat sepi, hanya ada Zero dan suara desiran angin yang menyapu dedaunan serta bunyi-bunyi kecil binatang malam. Zero tak merasa takut melalui jalan itu, sebaliknya ia malah mulai bersiul menyesuaikan irama langkahnya dan musik yang bermain di telinganya melalui sebuah headphone hitam putih. Zero sudah biasa dengan suasana seperti itu setiap ia pulang dari Cὰfe. Ia bekerja sebagai pelayan sejak setengah tahun lalu, tepat ketika ia memulai kehidupan SMA nya.

Matanya menatap ke depan tetapi ia tak benar-benar fokus. Mulutnya terbuka dan sesekali mengalunkan lagu yang terdengar di telinganya.

Lagu Sang Raja Iblis

Anakku, mengapa kau menyembunyikan wajahmu?

Tidakkah ayah melihat? Ada raja iblis bertengger di atas mahkotaku.

Bukankah itu cuma kabut?

Tidakkah ayah mendengar? Sang raja iblis mengatakan sesuatu.

Tenanglah, itu hanya suara daun jatuh.

Tidakkah ayah melihat? Sang raja iblis memiliki seorang putri.

Ya, tapi bukankah itu hanya pohon willow?

Ayah, sekarang raja iblis menangkapku.

(Juvenille Remix)

Tepat ketika Zero melantunkan bait terakhir, sesosok bayangan hitam mendarat di depannya. Sosok itu mendekat dan semakin jelas ketika terpapar sedikit cahaya bulan. Matanya semerah darah, rambutnya yang tertiup angin segelap malam, senyumnya memikat bagai candu nikotin tanpa memandang usia, tua muda atau pria wanita. Dia adalah…

Kaname Kuran.

Zero mendengar sebuah nama berkelebat di pikirannya, Kaname…Apa?

Sosok itu kini semakin dekat, hanya berjarak satu meter dari tempat Zero berdiri. Tubuhnya menegang karena kilatan mata merah yang terus menatapnya. Zero berusaha mengambil satu langkah mundur tetapi tubuhnya mulai bergetar dan kakinya bagai dipendam ke dalam tanah.

Aku harus menjauh! – Pekik Zero dalam pikirannya.

Tapi tubuhnya enggan menuruti pikirannya. Pandangan Zero masih melekat pada Kaname, begitu pula Kaname yang kini sudah berhasil mengeleminasi jarak keduanya menjadi 1 cm.

Kaname menyipitkan matanya, ada guratan kerinduan disana. Tangan Kaname perlahan bergerak keatas, terjulur kearah Zero. Dan kini mendarat di pipi kanan Zero. Zero tersentak tapi tetap tak beranjak dari tempatnya. Kaname perlahan membuka mulutnya, hendak bicara. Mata Zero kini beralih pada taring-taring putih yang menggantung di sudut bibir Kaname.

Va-vampire?! – Pekik Zero lagi.

Kaname menggerakkan ibu jarinya, mengelus wajah Zero dengan perlahan, begitu hati-hati. Bagaikan menyentuh sesuatu serapuh kaca. Zero memasang wajah terkejut, bingung. Kaname yang memperhatikan hanya tersenyum samar.

Kaname mengelus wajah Zero sekali lagi, "Akhirnya aku menemukanmu." Ucapnya lirih, terasa kepedihan dalam nada suaranya, juga kerinduan.

Zero membuka mulutnya, "Me-menemukan?" Ucapnya dengan nada terkejut yang tak disembunyikan.

Kaname mengangkat tangannya yang lain kemudian mendekap Zero dalam pelukannya. Jemari Kaname mengelus helai rambutnya. Memeluknya erat tapi terasa begitu lembut, seperti memeluk sesuatu yang berharga yang telah lama hilang.

"Zero, belahan jiwaku dan cinta sejatiku…"

Zero terbelalak, A-apa? Apa yang barusan dia katakan? – Ucapnya dalam hati.

Kaname mengendurkan rangkulannya tapi tak melepaskan pelukannya. Kaname menatap Zero lurus, kini benar-benar terlihat jelas di mata Zero. Kerinduan yang terpendam, pedih, luka, dan penyesalan…

Zero memberanikan diri membalas tatapan Kaname,"Kau, sungguh aku tak mengenalmu."

Sebuah kalimat yang langsung menghancurkan hati Kaname. Belahan jiwanya, seseorang yang begitu ia cintai melupakannya. Kenangan mereka berdua, semuanya.


#Flashback

:: 5 tahun yang lalu ::

London, Musim Semi

Kaname menyusuri lorong kastilnya dengan begitu tergesa-gesa, bagaikan diburu sesuatu. Dengan cepat Kaname membelokkan tubuhnya ke kanan dan menaiki sebuah tangga cokelat yang terbuat dari kayu terbaik dengan hiasan karpet yang begitu berkelas layaknya rumah seorang bangsawan. Langkahnya begitu cepat sehingga suara pijakan kakinya di tangga cukup mengusik penghuni kamar yang dituju Kaname saat ini.

TAP TAP!

.

.

BRAK!

Pintu terbuka dengan suara benturan yang keras. Menggeser sedikit letak pot bunga berhiaskan mawar di dekatnya. Tapi itu sama sekali tak membuat kaget sang penghuni kamar. Terlihat ia begitu tenang, duduk di sisi sebuah jendela yang cukup besar. Matanya yang menatap keluar kini terarah kepada Kaname. Sebuah senyuman terlihat menghiasi wajah itu, wajah Zero.

Zero mengubah posisinya dan kini ia menghadap Kaname yang masih berdiri di dekat pintu,"Kenapa kau begitu terburu-buru?" Ucapnya lembut.

Kaname mengatur ekspresinya kembali datar dan tetap terlihat tenang – walau masih tersisa beberapa guratan kecemasan disana - .

"Kau…Para pelayan mengatakan padaku bahwa kau menyelinap lagi!." Bentak Kaname, sedikit terkejut juga betapa tinggi suaranya kini.

Zero meringis, lalu kembali tersenyum. Terlihat merasa bersalah di mata Kaname – Dan pada kenyataan pun begitu -.

"Aku tidak menyelinap, aku hanya keluar ke taman." Ucap Zero tenang.

Kaname memegang kepalanya,"Ke taman? Oh, benarkah? Tapi para pelayan mengatakan padaku bahwa kau pergi ke hutan itu lagi."

Zero menatap Kaname kemudian menundukkan kepalanya,"I-itu…"

Ekspresi Kaname mulai melunak. Dan kini menatap Zero dengan mata merah yang begitu lembut. Kaname melangkah maju dan menempatkan dirinya kini sejajar di depan Zero. Tangannya membelai wajah Zero perlahan.

"Aku tak ingin mengekangmu tapi aku cemas jika kau pergi ke hutan itu seorang diri. Itu sangat berbahaya, aku tak tahu mahluk apa saja yang bisa melukaimu disana." Ucap Kaname lirih sembari mengelus wajah Zero dengan jemarinya.

Zero menatap Kaname, "Aku tahu, aku hanya manusia lemah yang tak bisa melindungi diri."

Kaname tersentak, kemudian memeluk Zero erat. Membenamkan wajahnya di bahu lelaki itu. Merasakan aromanya, aroma yang begitu disukainya.

Tangan Kaname bergetar,"I-itu tidak benar. Kau tidak lemah! Hanya saja…sungguh aku tak ingin kehilanganmu, Zero."

Zero membalas pelukan Kaname,"Aku juga. Maafkan aku, Kaname. Padahal kau begitu mencemaskanku tapi aku hanya memikirkan diriku sendiri." Ucap Zero kemudian melepaskan pelukan Kaname dan menatapnya.

"Aku hanya merindukan suasana rumah, kau tahu."

Kening Kaname berkerut," Ini rumahmu."

"Ya, tapi aku merindukan suasana tempat tinggalku yang dulu." Balas Zero.

Jepang.

"Yah, Jepang." Ucap Zero yang seperti bisa membaca apa yang dipikirkan Kaname.

Kaname menggenggam jemari Zero,"Kau ingin kesana?"

Zero mengangguk,"Ya…untuk mengunjungi makam mereka. Makam orang tuaku yang terbunuh ketika musim dingin 5 tahun lalu."

Dari situlah semua berawal.

Cintaku yang hilang, belahan jiwaku yang begitu berharga.

Aku akan menemukanmu, bagaimana pun caranya.

#Flashback –END-

" Kini kau di depan mataku, akhirnya aku menemukanmu. Tak akan kubiarkan diriku kehilangan untuk kedua kalinya…"

Kaname menatap lekat Zero. Lelaki di depannya memiliki wajah yang sama seperti yang dulu tetapi ia bukan Zero yang dikenalnya. Zero tak mengenalnya, kenangan mereka, cinta yang tumbuh diantara mereka.

Kekasihku yang berharga.

Zero diam, hanya terpana, Kenapa dia memandangku seperti itu? – Ucapnya dalam hati.

Kaname tersenyum getir. Kini ia meraih jubah hitamnya dan membungkus Zero ke dalam pelukannya.

Zero terlonjak kaget,"A-apa yang kau lakukan?!" Serunya.

Kaname menyeringai,"Aku akan membawamu ke tempatku."

"EH?!" Pekik Zero.

Tetapi suara Zero tak terdengar karena kini mereka terbang. Menembus dinginnya angin musim gugur. Diselubungi kabut awan kelabu. Ditemani secercah cahaya bulan.

A-aku…TERBANG! Oh Kami-sama! – Erang Zero di dalam pikirannya.

Kaname merubah posisinya dan kini menggendong Zero layaknya seorang putri yang manis – Zero manis tapi tetaplah ia seorang lelaki -.

Zero sontak melingkarkan tangannya di leher Kaname, berusaha tak melihat kebawah atau ia akan terjatuh. Tubuhnya bergetar, pelukan Zero semakin kencang.

Kaname tersenyum,"Kau tak perlu takut, aku memegangmu erat." Ucapnya.

Wajah Zero memucat,"Kau akan mebawaku sejauh mana?!" Pekiknya.

Kaname melirik Zero,"Kita akan ke London, tempat kenangan kita. Tempat dimana semua kenangan kita tinggal."


"Kau adalah segalanya bagiku. Tanpa dirimu, aku hanyalah seonggok daging yang kekal tak terkikis usia."

Sebuah cahaya lurus bersinar melewati celah-celah korden. Sesekali terdengar suara burung berkicau riang yang bertengger di sisi pohon di dekat jendela. Mata Zero bergerak di kelopak matanya yang tertutup kemudian terbuka perlahan. Ia menguap sembari merenggangkan tubuhnya. Zero yang masih setengah sadar menatap ke sekeliling ruangan yang ia tempati. Tempat tidur bergaya klasik, tembok putih yang dihiasi lukisan abad pertengahan, karpet beludru yang menutupi lantai dan beberapa ornamen klasik lainnya.

Tiba-tiba ia merasakan suatu yang hangat dari sisi kanannya. Dan mata Zero terbelalak kaget ketika mendapati Kaname yang tidur lelap sambil memeluk pinggangnya.

"Ka-kaname?!" Pekik Zero lalu bangkit dari tempat tidurnya ke sisi seberang tempat tidur.

A-ada apa ini?! Apa yang sedang kulakukan?! – Pekiknya.

Zero kembali mengingat, berusaha mengingat, AH! Ini London?! Kaname menculikku?! – Erangnya lagi.

Sementara Zero sibuk mengacak-acak rambutnya, Kaname bangun dan berdiri. Melangkah kearah Zero. Zero memandangnya, "Pa-pagi Kaname…" Sapanya.

Aura gelap memancar dari Kaname. Perlahan ia semakin dekat, semakin dekat kearah Zero. Gawat! Aku lupa dia seorang vampire! – Serunya lagi dalam pikirannya.

Tiba-tiba Kaname menjulurkan kedua tangannya, meraih Zero kedalam pelukannya. Menyeretnya ke tempat tidur dan kembali terlelap. Zero semakin salah tingkah dan berusaha melepaskan diri di tempat tidur. Menggelepar tapi sia-sia, pelukan Kaname semakin kencang.

"Ka-Kaname…tolong lepaskan aku." Ucap Zero pelan.

Tanpa membuka matanya Kaname membalas, "Aku tidak mau."

"Nani?!" Pekik Zero tak percaya.

Kini Kaname mebuka matanya, mencondongkan tubuhnya diatas Zero. Zero menatapnya bingung. Kaname membiarkan tangannya mendorong Zero jatuh tertidur.

Seringai kecil terlihat di wajah Kaname,"Diamlah atau aku akan memakanmu."

Zero benar-benar shock mendengar kata-kata itu. Me-Memakanku?!

"Tu-tunggu Kaname, jangan bercanda…"

Kaname meletakkan sebelah tangannya di bantal Zero. Membelai helai rambut Zero dengan jemarinya. Kemudian beralih ke wajah lalu ke bibir Zero yang sedikit terbuka, "Aku tidak sedang bercanda. Aku selalu serius, apalagi itu menyangkut dirimu." Ucapnya lembut.

Zero menengadah menatap Kaname, "Tapi kita baru bertemu kemarin." Balasnya.

"Kita sudah mengenal sejak lama tapi kini kau melupakanku. Melupakan semua kenangan kita. Kau menghilang begitu saja dari hidupku." Ucap Kaname lirih, begitu pedih.

Zero masih menatap Kaname,"Aku ini Cuma yatim piatu, keluargaku meninggal akibat kecelakaan dan aku dirawat cukup lama di rumah sakit. Hanya itu."

"Itu tidak sepenuhnya benar. Itu semua…salahku."

"Apa? Apa maksudmu Kaname?"

Kaname membenamkan wajahnya ke dada Zero, tubuhnya bergetar. Kerongkongannya tercekat ketika berusaha menahan emosinya,"Seandainya…seandainya aku tidak membiarkanmu pergi ke Jepang. Itu semua tidak akan terjadi. Orang-orang itu tidak akan menyerangmu dan mengambilmu dariku!"

"Orang-orang itu?!"

Kaname meremas bantal di sisi kanannya,"Ya, orang-orang yang dendam padaku. Yang dulu mengetahui titik lemahku."


To be Continue