Summary: Pertama kali aku melihatmu, kau mengingatkanku akan kupu-kupu yang baru keluar dari kepompongnya. Indah dan rapuh namun tak gentar untuk terbang menjelajahi dunia…

Warning: AU, OOC (sepertinya), so cheeeeeeeesy...

Disclaimer: CP © SM ;).

Butterfly

.

.

Pertama kali aku melihatmu, yang terbersit di benakku hanyalah satu kata tanya sebelum ia terputus di tengah jalan. Aku bahkan tak bisa meneruskan pikiranku, saking terpesonanya aku atasmu.

Hari itu, adalah pertama kalinya aku melewati jalanan ini setelah sekian lama. Ia bukan jalan utama, sehingga tidak terlalu ramai. Di trotoarnya tumbuh pepohonan rindang setiap beberapa meter, cocok untuk orang-orang yang lari pagi atau mengajak jalan-jalan anjing mereka, terutama karena di seberangnya ada taman. Kesannya ramah dan damai, karenanya aku senang melewati jalan ini, hanya saja karena kesibukan, sudah dua minggu ini aku selalu melewati jalan-jalan pintas sempit untuk menghemat waktu. Baru hari ini aku kembali ke jalurku yang lama, dengan tenang berjalan santai menikmati perjalananku ke sekolah, dan saat itulah aku melihatmu.

Sepanjang yang aku tahu, rumah besar itu tidak ada penghuninya, tetapi hari ini aku melihatmu berdiri di halamannya, membuat langkahku terhenti seketika. Kau mengenakan pakaian yang sederhana, sebuah kemeja putih longgar dengan celana warna gelap, kedua tanganmu di saku celana, tidak ada yang menarik. Tetapi ekspresi dan figurmu kala itu, menarik mataku tanpa daya. Kau memandang ke atas, ke langit biru dalam kemeja longgarmu, tampak kecil dan rapuh. Namun… ekspresimu datar bahkan hampir menantang, matamu menatap tajam pada mega yang melintas menghalangi cahaya mentari untuk mencapaimu.

Kapas putih itu kalah dan sinar hangat keemasan menerpamu, menampakkan helai rambutmu yang berkilau hampir kebiruan di bawahnya, juga memberikan warna kehidupan di wajah pucatmu.

Kau mengingatkanku akan kupu-kupu yang baru keluar dari kepompongnya. Indah dan rapuh namun tak gentar untuk terbang menjelajahi dunia.

Aku—melupakan bahwa sebentar lagi sekolah akan dimulai—memutuskan untuk menyapa dan mengenalmu (aku harus mengetahui tentangmu), ketika tiba-tiba dari dalam rumah keluar seorang seorang pria tua berjas rapi, mungkin kakekmu, atau bahkan ayahmu. Beberapa kata darinya yang tak bisa kudengar dari tempatku berdiri, dan kau masuk ke dalam rumah.

Desahan kecewa berhembus dari sela bibirku, sebelum kuingat bahwa kau tinggal di sini, dan aku selalu bisa lewat sini setiap hari. Senyum tersungging dari bibirku. Tak acuh kulirik jam tanganku, dan mengutuk ketika kulihat aku hanya punya waktu sepuluh menit sebelum gerbang ditutup. Aku melesat menyusul angin, sambil berjanji dalam hati bahwa dalam waktu dekat aku akan berbicara denganmu.

Hello, beautiful stranger, the moment I saw you I was reminded of a butterfly just out of his cocoon…

.

.

Baru seminggu kemudian aku mendapatkan waktu—dan keberanian—untuk mengucapkan selamat pagi padamu.

Walaupun setiap pagi tanpa absen aku selalu lewat depan rumahmu, aku tak kunjung mampu menghampirimu. Aku sendiri tak terlalu mengerti apa yang menghalangiku. Mungkin tubuhmu yang terlihat ringkih itu, seakan jika aku menyentuhmu saja, menodaimu, kau akan melebur jadi debu. Atau ekspresi kukuhmu, yang tampak tak tertembus, membuatku ragu.

Mungkin seharusnya aku mengabaikanmu saja, tetapi sesuatu membuatku tak bisa melepasmu, bahkan saat aku tak mengenalmu sama sekali. Paling tidak aku bisa bernapas lega, melihatmu berdiri di sana setiap hari, membuktikan kau bukanlah hasil imajinasiku yang terlalu aktif, impianku semata. Aku memiliki waktu untuk mempersiapkan diri, dan saat itu akhirnya tiba.

Pagi itu aku berangkat jauh lebih pagi daripada biasanya, bahkan lebih pagi daripada ketika aku ingin jalan-jalan santai dulu sebelum tiba di sekolah. Aku berteori, melihat kau selalu masuk rumah ketika aku melintas, kau pasti berada di luar jauh beberapa saat sebelumnya. Kebiasaanku baru-baru ini untuk berangkat lima menit lebih awal dari hari sebelumnya juga membantu memperkuat teoriku.

Seperti dugaanku, ketika aku melintas kau sudah berada di halamanmu. Tak seperti sebelumnya, kali ini kau duduk bersandar di bangku batu yang tak pernah kuperhatikan sebelumnya. Matamu tertutup disertai dengan ekspresi damaimu membuatku terpaku. Tapi segera kusadarkan diriku. Jika kali ini aku teralihkan lagi dan tidak menyapamu, aku tak tahu kapan lagi aku akan mendapatkan nyali untuk mendekatimu.

"Selamat pagi."

Kelopak matamu sigap membuka, dan aku terpana melihat dua bulir aquamarine menatap balik padaku. Aku sudah melihat tajamnya sorot matamu di hari pertama itu, tetapi aku tidak tahu bahwa seseorang bisa memiliki mata dengan warna sedalam milikmu.

Kau masih tak berkedip, aku jadi tak tahan ingin menggodamu. "Sebenarnya, yang ingin kukatakan adalah, 'Apakah kau kesakitan, ketika jatuh dari surga?'" lalu sambil bersandar ke pagar tanaman di depanku, aku menambahkan, "sayangnya kalimat itu sudah terlalu sering digunakan." Sebagai pelengkap, kupasang seringai khasku, seringai yang membuat banyak fansku tergeletak pingsan saking terpesonanya.

Tak mengejutkan, taktik ini tak mempan terhadapmu. Kukira aku melihat raut wajahmu berubah, namun sebelum aku berhasil memastikannya, ia kembali tersembunyi. Reaksimu hanyalah sedikit turunnya sudut-sudut mulutmu dan kedua tanganmu yang terlipat di depan dada. Sayang sekali, aku ingin melihat perubahan ekspresimu.

"Bercanda, bercanda," tukasku cepat-cepat, sebelum kau jadi marah—dan juga karena tak ada respon positif maupun negatif darimu, "aku hanya ingin menyapamu karena setiap kali aku lewat aku selalu melihatmu berdiri di sini tanpa teman… jadi, yeah, kupikir aku akan… menyapamu." Alisku berkerut setelah mengatakannya, "Setelah diucapkan, alasan sebenarnya membosankan sekali, lebih menarik kalau aku menyapamu karena ingin merayumu."

Kali ini kulihat bibirmu bergetar sesaat, walau sedetik kemudian ia kembali menjadi sebuah garis tegas. Aku mengedip, baru setelahnya kusadari bahwa kau menahan tawa. Oh, jadi si pangeran kecil bisa memiliki emosi juga! Betapa menariknya, aku tak sabar ingin melihat emosi yang lepas tak tertahan milikmu, dengan aku sebagai penyebabnya.

Kau tak memberikan respon verbal apapun, dan aku tak memiliki pancingan lagi untukmu. Ya, sepopuler apapun aku, sebenarnya aku memiliki sangat sedikit kemampuan sosial sungguhan, tak menghitung interaksiku dengan para penggemarku. Aku cukup memuji mereka sedikit dan menjentikkan rambutku, dan mereka semua terkapar di lantai. Di luar itu… teman-temanku bisa dihitung dengan satu tangan.

Jadi, aku menggunakan waktuku untuk mengamatimu secara langsung dan terang-terangan, di depan mata tajammu yang balik mengawasiku bagai predator. Aku mengacuhkannya demi memandangmu.

Duduk dengan tangan terlipat begitu, kau tampak seperti anak manja yang baru saja ditolak keinginannya. Bibir kecilmu melekuk marah, tapi di wajah porselenmu, dan dibingkai helai keabuan itu, kau malah tampak… menggemaskan. Walau dalam konteks apa, aku tak yakin. Matamu waspada, seakan menungguku berbuat kesalahan, tetapi kurasa ada sorot lain di sana… penasarankah kau tentangku? Puaskah kau dengan apa yang kau lihat?

Aku hampir saja menyeringai seperti kucing Cheshire yang terkenal itu, tapi kutahan diriku. Tak ada gunanya membuatku makin waspada atau takut di pertemuan pertama kita. Aku ingin mendekatimu, bukannya menerormu.

Biasanya orang merasa risi, bahkan takut ketika aku mengamati mereka, apalagi bila mereka bertatapan langsung dengan mata merahku, dalam hitungan detik mereka akan langsung membuang pandang, bahkan para fangirl yang mengklaim mencintaiku. Sementara kau… klise memang, namun tatapanmu yang tak goyah menangkap mataku itu membuatku merasa hanya kita berdua yang ada di dunia ini.

Kau membuatku merasakan banyak hal.

Setelah beberapa waktu kontes mata kita berlangsung, tanpa diduga tiba-tiba kau membuka mulut. Hampir saja telingaku yang tajam melewatkan suaramu kalau saja bukan karena arah angin yang berhembus tepat.

"Itu alasan paling lemah yang pernah kudengar."

Respon yang bisa kupikirkan hanyalah, 'well, dan suaramu adalah suara terindah yang pernah kudengar.' Dan itu memang benar. Tidak seperti dugaanku bahwa mungkin suaramu akan canggung seperti kebanyakan remaja, pecah dan melengking bak suara kucing terinjak ekornya; suaramu dalam dan halus, namun tak berat seperti suara orang dewasa. Ditambah nada autoritas yang terselip di sana, terdengar seperti alunan biola untukku.

Tapi tentu saja aku tidak mengungkapkan pikiranku. Alih-alih aku membalas, "Namaku Sebastian." Kusertakan seringai congkakku bersamanya.

Rupanya kau tak mau kalah, karena kau menyunggingkan senyum sinismu sendiri dan bergumam, "hemm…"

Suara pintu dibuka mengalihkan perhatian kita dan keluarlah si pria tua, membawa sebaki kue-kue kecil dan sepoci teh. Dalam hati aku bergumam, baik sekali ia mau menyiapkan sarapan untuk anak/cucunya, tidak seperti ayahku… Pria itu memandang bertanya padaku dari ambang pintu, yang kubalas dengan anggukan kecil dan senyum singkat ke arahnya.

Kurasa untuk hari ini sudah cukup, jadi aku berpamitan pada… teman baruku, melambaikan tangan dan bergegas pergi seakan terburu-buru. Namun ketika aku berbelok di tikungan aku melambatkan langkahku lagi dan melangkah hampir malas. Aku sebetulnya masih punya banyak waktu sebelum bel berdenting.

Sambil berjalan aku sedikit menyesali harus berpisah dengannya… ah, aku bahkan lupa menanyakan namanya! Yah, sudahlah, aku masih punya banyak waktu untuk mengenalnya lebih jauh, aku bisa berkunjung lagi besok, dan hari setelah itu, dan hari setelahnya, dan hari setelahnya…

Dengan senyum dikulum kulanjutkan perjalananku.

A fragile little blue butterfly, curious but wary of the world…

.

.

Meskipun aku berjanji untuk mengunjungimu setiap hari terutama karena kini kita telah bertatap muka, kenyataan berkata lain. Kesibukan memaksaku terus berlari melawan keinginanku untuk berhenti dan tinggal bersamamu. Aku tak menyerah sepenuhnya tentangmu. Meskipun itu berarti aku harus berlari lebih jauh setiap pagi dan berangkat lebih awal, aku tetap memilih jalan depan rumahmu, agar aku bisa bertemu denganmu, setidaknya melempar senyum dan melambai padamu ketika kau keluar dari rumahmu, bahkan meskipun imbalannya hanya sorot dingin matamu.

Sebetulnya aku sedikit terintimidasi akan tatapanmu, hal yang aneh karena biasanya orang lainlah yang menghindari mataku. Aku tak bisa menafsirkannya, apakah itu pandangan marahmu, ataukah kekecewaan karena aku tak kembali padamu? Kalau benar, walaupun aku sedikit sedih telah mengecewakanmu, tetapi aku senang karena itu berarti kau merindukanku.

Kemungkinan lainnya itu hanya tatap tajammu seperti biasa, menganalisis semua yang melintas di lapang pandangmu. Seperti sebelumnya, kau membuatku bingung, namun semakin bergairah untuk menyelesaikan teka-teki berwujud kupu-kupu biru kecil ini. Tanpa kusadari, benakku mulai mencari cara untuk membuatmu memaafkanku sekaligus mendekatkanmu padaku.

Kutemukan pemecahannya di suatu sore, beberapa hari setelah aku berbicara padamu. Aku baru saja selesai menyelesaikan tugas sekolahku, melangkah pulang perlahan tanpa energi. Ketika menyusuri trotoar itulah aku melewati suatu toko, saat kulihat ke dalam jendelanya aku tahu pemberian yang sempurna untukmu.

Keesokan harinya, aku berangkat pagi sekali, bahkan sebelum waktumu keluar menyapa mentari. Aku tak menunggumu keluar seperti biasanya,tidak pula kuketuk pintu rumahmu. Alih-alih kuhampiri jendela kamarmu—aku tahu karena pernah kulihat kau di dalamnya ketika aku melintas pulang suatu malam—dan mengetuknya pelan. Tak lama kudengar langkah kakimu, dan jendela menggeser terbuka, namun yang menyapamu bukanlah wajahku.

For the beautiful butterfly, I brought a bouquet of roses…

Kuturunkan buket mawar putih yang kubawa dari depan wajahku, dan bertanya memelas, "Maafkan aku, please?"

Aku tak mempedulikan bahwa kau mungkin tidak tahu apa masalahnya, atau bahkan apakah sebenarnya memang ada masalah. Yang kutahu hanyalah aku tidak ingin mengambil resiko, dan aku ingin berbicara lagi denganmu.

Aku tahu kau bukan perempuan; bukan pula salah seorang fansku. Tetapi ketika aku melihatnya, aku langsung teringat akanmu.

Warna putih menggambarkan dirimu, walaupun aku tak bisa mengelakkan perasaan bahwa kau akan sangat menawan berbalut hitam. Aku bukan orang yang ahli tentang bunga, tetapi paling tidak aku tahu bahwa putih mencerminkan kepolosan, bersih tak bernoda; kesan yang kudapat ketika kulihat kau di pagi itu.

Kenapa aku memilih mawar? Well, meskipun itu adalah bunga paling umum, tetapi ia salah satu bunga terindah menurutku.

Jika aku seorang yang pandai melukis, aku akan menggambarkan kau berdiri di tengah padang semak mawar putih, dalam padanan sutra gelap—kurasa pakaian bergaya bangsawan Victorian cocok untukmu—sebuah tongkat kayu bersepuh emas di tangan. Saat itu tak ada penerangan artifisial, namun senyum lembutmu tampak jelas, diperkuat oleh kilau samar keperakan mawar di sekitarmu yang memantulkan sinar rembulan.

Alasan lain aku memilih mawar putih, adalah karena bagiku kau selalu kupu-kupu kecilku. Sejak awal sebutan itu terpatri di benakku. Semua tentangmu: helai rambutmu, gelap irismu, lirik matamu, senyum sinismu, jentik jarimu, tingkah polahmu… mentransformasimu menjadi kepak sayap biru dalam benakku. Makhluk yang anggun, indah dipandang, terbang bebas sesuka hati, walau jika tak hati-hati, ia bisa diterbangkan jauh ke tempat yang berbahaya. Tapi kau tak perlu takut, karena kini aku hadir untuk melindungimu.

Cocok sekali, kan, kupu-kupuku disandingkan dengan bunga yang indah darimana ia bisa mendapatkan nektar yang manis. Aku juga kebetulan tahu bahwa kupu-kupuku suka yang manis-manis.

'Beautiful roses for beautiful butterflies.'

Jelas sekali khayalanku sudah melambung jauh di luar kendaliku jika aku sudah mulai puitis seperti itu.

Jika semua alasan tadi tidak cukup kuat, sebagai upaya terakhir untuk membela diri, aku bisa berkilah, semua orang suka bunga (…kecuali kalau kau alergi serbuk bunga).

Aku setengah mengira kau akan terbata-bata, menanyakan apa yang perlu dimaafkan, senyum malu-malu mengintip di bibirmu. Atau mungkin kau akan curiga padaku, mendelik skeptik sambil bergumam betapa bodohnya aku dan motif apa yang mungkin kumiliki. Yang tidak kuduga adalah senyum malaikatmu yang pertama kalinya tertuju padaku.

"Terima kasih, Sebastian. Namaku Ciel."

Ciel. Betapa… pas. Aku membalasnya dengan senyum yang jarang kuberikan pada orang lain. Ini pertama kalinya aku tersenyum tulus setelah sekian lama. Banyak sekali 'saat pertama' yang kualami ketika bersamamu, Ciel.

Aku menyukai bagaimana rasanya namamu meluncur dari lidahku ketika aku memanggilmu bahkan dalam pikiranku.

Tak terelakkan, aku tahu hidupku takkan sama lagi. Dan kurasa aku tidak keberatan sama sekali.

To entice the little butterfly, so he'd stay with me forever…

.

.

A.N. Saya lagi terkena severe case of sweet tooth, jadi kalau fic ini kebanyakan gula, silakan salahkan gigi saya… *dipanggang* Tadinya ini one-shot, tapi karena takut terlalu panjang jadi dipotong-potong jadi tiga bagian. Semoga waktu updatenya ga akan terlalu lama \:D/.