Disclaimer
Naruto © Kishimoto Masashi
My Doctor © Haruno Aoi
Warning
AU, OOC, TYPO
- just for fun -
.
.
.
…oOo… My Doctor …oOo…
.
.
.
Di sebuah kota yang bernama Konoha, hiduplah seorang siswi SMA yang tahun ini akan menjalani ujian akhir. Sejak lahir, orang tuanya memberikan nama Hyuuga Hinata kepadanya. Satu minggu yang lalu, ia sudah merayakan sweet seventeen dengan pesta besar-besaran yang digelar oleh keluarganya.
Hinata merupakan putri dari seorang dokter bedah yang bekerja di rumah sakit milik Universitas Konoha. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang mengabdikan dirinya untuk keluarga; seorang wanita yang sangat diidolakan oleh Hinata. Kakak laki-lakinya, Hyuuga Neji, berprofesi sama seperti ayahnya; dokter bedah, yang juga bekerja di rumah sakit yang sama dengan ayahnya. Adik perempuannya, Hyuuga Hanabi, yang berumur lima tahun lebih muda darinya, masih duduk di bangku SMP; hendak naik ke kelas delapan.
Seharusnya Hinata tinggal bersama ayah, ibu, kakak laki-laki, adik perempuan, serta para pembantu di rumahnya yang tidak boleh dikatakan sempit. Sayangnya sejak bekerja, kakak laki-lakinya memutuskan tinggal di apartemen dekat rumah sakit milik Universitas Konoha.
Dilahirkan di keluarga dengan kemampuan otak di atas rata-rata, bukan berarti membuat Hinata menjadi siswi yang jenius. Boleh dikatakan kalau Hinata merupakan anggota keluarga dengan kemampuan otak paling mengkhawatirkan; bahkan ia kalah dari adiknya.
Satu bulan lagi, Hinata sudah berhadapan dengan ujian yang menentukan masa depannya. Namun kelihatannya ia sangat santai; seolah tidak memiliki beban apapun. Sore ini saja, ia tidak langsung pulang ke rumahnya setelah pulang sekolah. Ia lebih memilih bercengkerama dengan teman-temannya di sebuah kafe. Di antara kegiatannya menyendokkan es krim rasa blueberry ke mulutnya, sesekali ia terlihat tertawa kecil mendengar celotehan teman-temannya.
"Eh, Hina-chan, kamu jadi putus sama si berondong?"
Hinata berhenti menyendok es krim saat mendapatkan pertanyaan dari temannya yang berambut soft pink sebahu. Temannya yang berambut pirang pucat juga menoleh ke arahnya, menunggu jawaban. Hinata menelan es krim yang ada di dalam mulutnya, sebelum menjawab, "Ya, jadi, dia childish."
Kedua temannya malah tergelak mendengar jawaban Hinata. Gadis berambut biru tua yang merasa ditertawakan, hanya mengangkat bahu tak acuh. Ia tersenyum sebelum kembali menyendok es krimnya.
"Sudah childish, egois lagi. Kalau berondongnya dewasa sih tak apa-apa," gumam Hinata, yang terdengar seperti gerutuan.
"Lagipula, itu salahmu. Kenapa juga kamu terima kalau tak suka?" timpal si rambut pirang.
Hinata tidak jadi mengeluarkan suaranya ketika merasakan getaran dari dalam tas yang ada di pangkuannya. Matanya membulat setelah membaca e-mail yang baru masuk.
"Saku-chan, Ino-chan, aku duluan karena Ayah sudah pulang dari rumah sakit."
Belum sempat temannya menjawab, Hinata sudah berlari tunggang langgang meninggalkan kafe yang berdiri di dekat gedung SMA Konoha; tempat Hinata menuntut ilmu selama hampir tiga tahun.
.
.
.
Ketika memasuki rumahnya, Hinata sudah dihadang Ayah di depan pintu. Ia menunduk dalam dan menghampiri Ayah; siap mendapatkan ceramah.
"Ibu menunggumu di ruang tengah."
Hinata mengangkat wajahnya karena tidak mengira bahwa Ayah akan berbicara lembut padanya. Ia pikir, ia akan dimarahi. Jantungnya kembali berdetak normal karena melihat raut wajah Ayah yang tidak sedikit pun menyiratkan kemarahan.
Tanpa berkata-kata, Hinata mengikuti Ayah ke ruang tengah yang didominasi warna krem. Setelah Ayah duduk di samping Ibu, Hinata menduduki sofa yang ada di seberang mereka.
"Ayah dan Ibu sudah mencarikanmu guru privat," kata Ibu to the point.
Hinata menampakkan wajahnya yang semula tertutup poni karena menunduk. Ia terlihat tidak terima dengan keputusan Ayah dan Ibu, yang menurut Hinata; seenaknya. Walaupun begitu, ia sama sekali tidak berniat membantah kedua orang tuanya.
"Guru privatmu hanya bisa membimbingmu saat akhir pekan. Dia akan memulainya besok," tambah Ibu dengan kalem.
Hinata sedikit merengut karena mulai besok, ia sudah tidak bisa lagi keluar rumah di saat akhir pekan. Tiba-tiba, wajahnya berubah cerah ketika ia mengingat sesuatu.
"Kalau akhir pekan, Kak Neji juga bisa mengajariku. Kenapa harus guru privat?"
Hinata mencari alasan agar ia tidak harus dibimbing oleh seseorang yang belum dikenalnya. Ia tidak suka berada di dekat orang asing karena ia sering gugup dan sulit untuk berkata-kata. Seseorang yang belum mengenal Hinata, pasti mengira bahwa ia adalah gadis pendiam. Padahal kalau sudah menjadi temannya, Hinata akan menunjukkan sisi cerianya.
"Kakakmu pasti sibuk dengan sejumlah agenda bersama kekasihnya. Kamu tidak boleh mengganggu," tutur Ibu.
Hinata sedikit mengerucutkan bibir setelah mendengarnya. Bagaimanapun, ia sedikit cemburu karena sejak memiliki kekasih, Neji jarang meluangkan waktu untuknya.
"Memangnya, jam berapa guru privatku akan datang?" tanya Hinata pelan.
"Untuk besok, Ibu sudah mengundangnya sarapan bersama. Tidak buruk, bukan?"
Senyum Ibu membuat nyali Hinata menciut. Ia jadi tidak bisa mengutarakan sanggahannya. Karena itu, kali ini Hinata menyebut senyum Ibu sebagai senyuman maut. Terkadang, senyum Ibu dapat membuatnya merasa tenang, nyaman, atau disayangi. Namun di lain waktu, senyum Ibu terasa menyudutkannya. Bahkan, Ayah tampak tidak mampu melihat senyum Ibu yang saat ini belum memudar. Menurut Hinata, senyum Ibu bisa berubah fungsi sesuai situasi dan kondisi.
.
.
.
"Pagi, semua…" sapa Hinata yang mulai duduk di kursi makan yang biasanya. Karena menyadari bahwa ia sedikit terlambat datang ke ruang makan, Hinata tidak banyak bicara. Ia langsung mengambil satu lembar roti tawar dan meletakkannya di piring.
Deheman Ayah membuat Hinata mengangkat wajahnya. Ia terbelalak melihat seseorang yang bukan anggota keluarganya, menduduki kursi di seberangnya. Seorang pria dewasa, berambut hitam kebiruan, mata berpupil hitam, berkulit putih, dan wajahnya tanpa ekspresi ketika membalas tatapan Hinata. Tak lama kemudian, pria tampan yang terlihat dingin itu mengalihkan pandangan ke piringnya. Ia kembali memakan potongan roti tawar yang tadi ia olesi dengan pasta cokelat.
Apa pria itu guru privat yang dimaksud Ayah dan Ibu? Hinata membatin. Ia lupa kalau hari ini adalah hari pertamanya mendapatkan bimbingan dari seseorang yang dipilih kedua orang tuanya. Ia juga lupa kalau Ibu telah mengundang guru privatnya untuk sarapan bersama.
Hinata meneguk ludah setelah menyadari penampilannya saat ini. Dengan takut, ia mengedarkan pandangan ke Ayah, Ibu, dan Hanabi. Mereka semua memperhatikan piyama yang digunakan Hinata; baju tidur berwarna putih, berbahan lembut, terlihat hangat, dan berbentuk kelinci. Perlu ditegaskan; bukan bermotif kelinci, tapi berbentuk!
Penampilan Hinata terlihat lebih imut, dengan tambahan topi bertelinga kelinci yang membuatnya merasa lebih hangat di musim dingin seperti sekarang. Tadi Hinata belum sempat mandi, jadi ia belum mengganti pakaiannya. Kebiasaannya saat libur; Hinata hanya menggosok gigi dan membasuh muka sebelum sarapan.
"Hwaaa…" Setelah sembuh dari linglungnya, Hinata berlari secepat kilat seperti sedang dikejar setan. Sepertinya ia menuju ke kamarnya. Tapi, Hinata tidak peduli dengan arah perginya. Bagi Hinata, ia harus melarikan diri kemana pun agar tidak ditemukan oleh guru privatnya yang terlanjur melihat penampilan kekanak-kanakannya. Biasanya kalau hanya bersama keluarganya, ia tidak peduli, dan tidak akan ada yang mempermasalahkan penampilannya. Tapi yang ini berbeda!
.
.
.
…oOo… Thank You …oOo…
.
.
.
R
E
V
I
E
W
