Disclaimer: Naruto punyanya bang MK. Saya hanya minjem chara2 dia untuk memuaskan hasrat pribadi saja /dush/
For A Lifetime of Memories II event dengan tema clock things. Dan untuk seluruh SasoSaku shippers dimanapun kalian berada ^p^
Enjoy reading~
.
.
.
.
.
Ia selalu melihat gadis itu.
Ya, gadis itu. Gadis yang sering ia temui akhir-akhir ini disaat ia tengah jogging, aktivitas yang rutin ia lakukan setiap hari dalam beberapa tahun belakangan ini. Gadis dengan helaian merah mudanya yang terlilit dengan syal berwarna merah kotak-kotak, atau kadang syal berwarna putih polos. Gadis yang bola mata bagaikan batu gioknya, berbinar penuh semangat sembari memegang secarik foto ditangannya. Gadis yang hidungnya memerah karena angin musim gugur yang menusuk kulitnya.
Dan seperti hari-hari sebelumnya, kembali ia melihat gadis merah muda itu tatkala ia keluar dari komplek apartemennya. Dan kali ini gadis itu menguncir rambutnya membentuk sanggul yang sedikit berantakan, nampak dari anak rambutnya yang menghiasi wajahnya yang begitu cerah dan memerah karena kedinginan. Bola mata gadis itu berbinar. Kedua bibir gadis itu membentuk senyum simpul sembari memandangi selembar foto pada tangannya.
Aneh.
Pandangannya terus teralihkan pada punggung si gadis merah muda yang menjauh, sebelum akhirnya ia mulai melakukan aktivitas pagi harinya yang sepertinya kurang efektif dilakukan di penghujung musim gugur ini. Namun ia tampaknya tak peduli. Ia biarkan angin yang menusuk menerpa tubuhnya yang hanya terbungkus kaos oblong. Manik karamelnya terpejam menikmati dinginnya udara pagi itu.
Dinginnya angin musim gugur, bukankah sama dengan hatinya yang membeku?
Ia terus berlari. Berlari berlawanan arah dengan si gadis merah muda yang sudah tak tampak lagi di sana.
.
.
.
Secarik Kenangan
taintedIris
.
.
.
"Hachiiiiiii!"
Tangan pucat tak terbungkus sarung tangan itu menggosok ujung hidungnya yang gatal sehabis bersin, tatkala kakinya terus melangkah membawanya ke tempat tujuan. Rambut berwarna merahnya sesekali tertiup angin yang berhembus lembut.
Manik karamelnya sesekali melirik ke kanan kirinya, hanya untuk melihat segerombol gadis remaja yang melihatnya sembari tertawa genit. Lelaki itu mendengus sebal. Ia pun mempercepat langkahnya sembari memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana training-nya.
Dan tak terasa akhirnya ia sampai di depan kompleks apartemennya. Ia lalu merogoh saku celananya, untuk mencari kunci kamarnya yang berada di dasar saku.
Langkahnya terhenti melihat sesosok gadis yang akhir-akhir ini selalu ia lihat berdiri di depan pintu kamar apartemen yang bersebelahan dengannya. Tangan gadis itu tampak sedang merogoh ke dalam kantung yang berada di sisi jaket tebalnya, sedangkan sebelah tangannya lagi memegang sebuah bungkusan yang ia yakini berisi makanan kalau dicium dari bau yang menguar dari sana. Bola mata viridian gadis itu kembali berbinar ketika mendapati yang ia cari berada di sana, dan tanpa perlu menahan diri ia memasukkan si kunci ke dalam lubang pintu dan memutarnya dua kali.
Klik.
Pintu pun terbuka, dan si gadis merah muda pun memasuki ruangannya tanpa menyadari keberadaan sesosok lelaki berambut merah yang sedaritadi mengawasi pergerakannya. Sementara si lelaki terus menatap pintu itu hingga kembali tertutup rapat.
Blam.
Bola mata hazel itu mengerjap tiga kali mendengar bunyi pelan pintu yang tertutup tersebut. Ia langsung menggelengkan kepalanya, sebelum ia pun turut membuka pintu yang terbuka di depannya.
Klik. Pintunya terbuka. Ia pun segera masuk ke dalam rumahnya, namun sebelum itu ia mengambil dua botol susu yang berada di depan pintunya, serta koran pagi yang berada di bawahnya. Dan ia pun kembali masuk, lalu menutup pintunya setelah memastikan ia memegang kedua botol susu itu dengan cukup erat.
Ia baru tahu ternyata si gadis merah muda itu tinggal di sebelah rumahnya.
Blam.
.
.
Pagi itu mentari tak nampak, melainkan bentangan langit berwarna kelabulah yang berada di atas kepala. Suara ciapan burung pun tak terdengar lagi, hanyalah suara hembusan angin yang sesekali memecah keheningan di pagi yang amat sunyi, menandakan penghuninya masih terlelap di alam mimpi.
Nampak sesosok lelaki berambut merah yang tengah mengikat tali sepatunya sembari bersiul kecil. Kali ini ia menggunakan syal dan sarung tangan berhubung sepertinya ia mulai terjangkit flu. Dan kali ini ia memakai pakaian yang lebih tebal, karena ia juga tidak mungkin berkeringat di cuaca sedingin ini.
Ia membuka pintunya bersamaan dengan pintu di ruangan sebelahnya yang ikut terbuka. Lelaki berambut merah itu melirik, dan mendapati si gadis merah muda yang juga keluar dari sana. Gadis itu kembali menyanggul rambutnya menjadi sanggul yang tinggi, dan kali ini sanggulannya rapi. Gadis itu mengenakan turtleneck berwarna hijau telur bebek yang terlihat dari balik jaket tebalnya. Sepatu boots bulu-bulu berwarna coklat gelap membungkus kedua kakinya.
Bola mata viridian itu berbinar cerah. Pada tangannya yang terbungkus sarung tangan terdapat selembar foto yang terpegang erat. Gadis itu berjalan melewatinya tanpa sekalipun melirik ke arahnya. Dan kepalanya teralih menuju punggung gadis itu tatkala mencium wangi sakura dan mint yang menguar dari tubuhnya.
Buru-buru ia menggelengkan kepalanya. Ia pun mengunci pintu kamar apartemennya, lalu berlari dari sana, meninggalkan aroma manis si gadis merah yang masih tersisa di udara.
.
Ia kembali setelah dua jam penuh berlari mengelilingi kota, dan kembali dengan nafas yang agak terengah, hidung yang memerah, serta keringat yang mengucur satu-satu pada pelipisnya.
Dan dahi itu mengerut tatkala tidak mendapati si gadis merah muda itu berdiri di sana, alih-alih udara hampa. Ia mengacak helaian rambut merahnya frustasi, kesal dengan keanehan yang ia rasakan akhir-akhir ini. Ia pun membuka pintunya yang terkunci, tak lupa untuk mengambil koran pagi dan dua botol susu sebelum masuk ke dalam apartemennya.
Untuk apa ia memikirkan seseorang yang bahkan ia tak tahu namanya?
.
Ia kembali ke apartemennya sore itu setelah menghadiri kelas di kampusnya hari ini. Rambut merahnya memendek karena baru saja ia potong di tempat pangkas rambut dekat apartemen. Kali ini ia mengenakan jaket, menyadari bahwa flunya memburuk sejak pagi karena sesekali ia bersin bahkan pada saat kelas tengah berlangsung. Tangannya menenteng map berisi kertas-kertas laporan penelitiannya. Dipunggungnya tergendong tas ransel berwarna gelap berisi buku-buku tebal.
Langkahnya terhenti ketika ia merasakan sesuatu menabrak punggungnya. Ia pun berbalik, dan mendapati si merah muda yang tengah menatap ke arahnya dengan hidung yang memerah karena kedingingan, terlihat dari uap yang keluar dari lubang hidungnya. Pada kedua tangannya terdapat selembar peta.
Buru-buru gadis itu menjauh dan membungkukkan tubuhnya.
"Ma-Maaf! Aku tidak sengaja menabrakmu, sungguh."
Alis merah lelaki itu mengerut mendengar aksen si gadis merah muda. Sepertinya ia bukan berasal dari sini.
Sasori melirik ke arah gadis merah muda itu. Gadis itu masih mengenakan pakaian yang sama seperti tadi pagi, yang beda kini sanggul itu telah lepas, membiarkan helaian merah muda itu menjuntai indah hingga pinggang. Bola mata viridian itu terlihat redup karena gugup dan takut.
Lelaki merah itu menghela nafas.
"Tak apa."
Kepala merah muda itu tertengadah bersamaan dengan si lelaki yang memutar kembali tubuhnya. Namun baru saja kaki itu hendak melangkah, sebuah tangan memegangi ujung jaketnya, membuatnya kembali melirik ke arah si gadis merah muda yang menatapnya takut-takut.
"A-Ano …"
Ia terdiam seakan membiarkan si gadis terus berbicara, mengabaikan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih kencang dari biasanya, serta sekejap rasa aneh yang terdapat pada dasar perutnya. Bola mata hazel -nya tertuju pada sosok merah muda yang kembali membuka mulutnya.
"Aku tersesat. Bisakah kau memberitahuku arah jalan pulang?"
.
.
Bola mata viridian gadis merah muda itu terbelalak ketika mengetahui bahwa si penyelamat ternyata tinggal di sebelah rumahnya, sesaat setelah ia membungkukkan tubuhnya berkali-kali mengucapkan terima kasih dan segera menaiki tangga apartemen berlantai tiga tersebut, dan mendapati si lelaki yang terus berjalan mengikutinya.
Tentu saja rasa takut awalnya menghantui pikiran gadis itu, apalagi saat ini ia bukanlah berada di tempat yang ia ketahui benar dan sekarang apartemennya sedang sepi, membuatnya memutuskan untuk mempercepat langkahnya. Darahnya terpompa semakin cepat mengetahui si lelaki malah terus berjalan mengikutinya.
Kenapa lelaki ini terus mengikutiku? Apa dia ini adalah penculik? Batin Sakura panik tanpa sekalipun menghentikan langkahnya ataupun mengalihkan pandangannya ke belakang.
Tentu saja ia begitu ketakutan. Buru-buru ia merogoh kantung mantel tebalnya dan mengambil kunci satu-satunya yang berada di sana. Ia pun terus berjalan hingga lantai tiga, lantai dimana kamarnya ada di sana.
Dan alangkah takutnya ia ternyata lelaki itu juga mengikutinya hingga sejauh ini, dan tanpa sadar ia pun berlari hingga menuju pintu yang berada di ujung lantai. Ia segera memasukkan kunci itu ke dalam lubang namun gagal karena tangannya yang bergetar hebat. Ia mencoba kembali memasukkan kuncinya dan kembali gagal.
Gerakannya terhenti ketika melihat si lelaki kini berdiri tak jauh di sampingnya. Bola mata hazel itu menatapnya dengan tatapan menerawang, sebelum tangan pucat lelaki itu merogoh kantung celananya dan mengeluarkan kunci yang berada di sana.
Bola mata itu terbelalak, diiringi nafas kelegaan ketika melihat lelaki itu memasukkan kunci ke dalam lubangnya dengan tenang. Dan klik, pintu pun terbuka. Lelaki itu pun masuk ke dalam kamar apartemennya dan menutup kembali pintunya, meninggalkan si gadis merah muda yang kini terduduk di lantai karena rasa lemas yang mendadak menyerang sendi-sendi tulang kakinya.
.
.
Malam itu si lelaki berambut merah tengah tengah berkutat dengan berkas-berkas berisi huruf-huruf dengan bahasa asing yang berada di tangan. Sesekali ia menyeruput cairan hitam berkafein dengan kuap hangat yang berada dalam mug berwarna putihnya dengan tatapan yang tak lepas dari berkasnya. Nampak kacamata bertengger pada pangkal hidungnya untuk membantu penglihatannya yang memang kurang bagus.
Dan tiba-tiba saja suara ketukan terdengar, yang ia yakini berasal dari luar pintu. Namun bukannya membuka, si lelaki malah terus membaca berkasnya sembari meletakkan mug itu kembali ke atas meja.
Kembali suara ketukan terdengar. Lelaki merah itu mengeram kesal, namun pada akhirnya ia beranjak dari posisi duduknya dan merentangkan tubuhnya yang pegal sebentar, lalu berjalan menuju pintu apartemennya.
Ia pun membuka pintunya yang tidak ia kunci itu, untuk mendapati si gadis merah muda yang tengah berdiri di ambang pintunya sembari tersenyum malu-malu. Gadis itu mengenakan syal putihnya, serta turtleneck berlengan panjang berwarna senada serta celana panjang berwarna coklat gelap seperti warna boots-nya. Sebelah tangan gadis itu memegangi mantelnya, serta pada sisi pundaknya terselempang tas berwarna coklat gelap. Rambut panjang gadis itu dikuncir ke samping bawah.
Alis merah lelaki itu naik sebelah mendapati si gadis merah muda yang sedaritadi diam tak bersuara. Ia pun mendengus dan bermaksud menutup pintu rumahnya, namun gerakannya terhenti ketika tangan gadis itu mencengkeram ujung kaosnya.
"A-Ano …"
Sasori terdiam lagi. Bola matanya terfokus pada sosok si merah muda yang tengah menggigit bibir bawahnya karena gugup. Nampak manik giok gadis itu tertuju ke arah lain.
"Kalau tidak ada yang ingin kau bicarakan tolong lepaskan aku."
Kata-kata dingin yang meluncur dari bibir si merah membuat gadis merah muda itu terlonjak sesaat, namun buru-buru ia menggelengkan kepalanya, menggoyangkan sedikit helaian merah mudanya yang terikat dengan longgar.
"I-Itu … Aku ingin mengundangmu makan malam sebagai ucapan terima kasih …"
Dan sebagai tanda permintaan maaf karena mengira kau adalah penculik―ucapnya. Dalam hati tentu saja.
Alis merah itu kembali terangkat. Terkejut tentu saja. Selama ini gadis-gadis memang berusaha mendekatinya, namun tak ada satu pun dari mereka yang berani mendekatinya hingga mengajaknya makan malam.
Lelaki merah itu melirik ke arah tangan si merah muda yang sedaritadi masih mencengkeram ujung kaosnya. Menyadari ketidaknyamanan yang nampak di wajah lelaki di depannya, si gadis merah muda langsung menarik tangannya dan kembali membuka mulutnya.
"Nngh, itu juga kalau kau tidak keberatan. Aku tidak ada maksud lain, sungguh …"
Gadis itu nampak cemas dan gugup, terlihat dari manik viridian -nya yang melirik ke arah lain serta tangannya yang kini tengah mengusap lengan kirinya untuk menghilangkan rasa tegang. Lelaki bersurai merah itu menghela nafas pelan. Kedua kelopaknya tertutup sejenak sebelum akhirnya terbuka lagi.
"Baiklah. Kau tunggu disini sebentar."
Tunggu, ada apa dengan dirinya?
Kenapa sekarang ia malah melangkah masuk ke rumah tanpa menutup pintunya dan membiarkan gadis itu menunggu? Kenapa sekarang ia menuju kamarnya dan mengambil mantel serta syal yang tergantung di dekat pintu? Kenapa kini ia mengenakan syalnya lalu menyambar dompet dan kunci kamar yang berada di meja ruang tamunya? Kenapa sekarang ia mengambil sneakers-nya pada lemari sepatu dan memakainya? Kenapa ia sekarang mengunci pintu apartemennya?
Dan kenapa sekarang ia berjalan di samping gadis merah muda aneh ini?
Mereka terdiam sepanjang perjalanan. Sesekali tubuh gadis merah muda itu bergetar ketika angin berhembus, nampaknya mantelnya yang tebal tak dapat membuat gadis itu tetap merasa hangat. Kedua tangan gadis itu berada dalam saku mantelnya. Manik viridian-nya menatap lurus ke depan.
Ia dapat melihat uap-uap panas yang keluar dari hidungnya yang memerah, serta anak rambut merah mudanya yang tidak terkuncir karena terlalu pendek. Dan ia baru menyadari bahwa gadis merah muda itu amatlah kecil, tinggi gadis itu bahkan sejajar dengan ketiaknya.
"Namamu siapa?"
Pertanyaan yang meluncur dari bibir gadis merah muda itu sontak menghentikan lamunannya. Ia sejenak terdiam, sebelum akhirnya ia memilih untuk menjawab pertanyaan gadis itu.
"Akasuna Sasori. Kau?"
Tunggu, kenapa ia malah balik bertanya? Ia tak pernah menanyakan nama orang lain. Biasanya orang itu akan memberitahukan namanya tanpa perlu Sasori mencaritahu.
"Aku Haruno Sakura. Salam kenal Sasori-san."
Sasori berjengit kesal. Bahkan gadis ini langsung memanggilnya dengan nama depan. Apa gadis ini tidak tahu malu? Setidaknya ia memanggilnya dengan nama keluarga.
Namun entah kenapa jantungnya berdebar lebih kencang ketika ia mendengar namanya meluncur dari bibir mungil gadis itu.
"Salam kenal juga, Haruno-san."
"Panggil aku Sakura saja."
Kini Sasori mendapati gadis itu tengah menatap ke arahnya sembari tersenyum. Dapat ia lihat binar cerah yang menghiasi bola mata seindah batu giok milik gadis bernama Sakura tersebut. Sasori mendengus.
"Aku lebih suka memanggil seseorang yang baru saja kukenal dengan nama keluarga."
Namun nampaknya gadis itu sama sekali tidak merasa tersinggung karena mendengar sindiran tak langsung Sasori. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya dengan tangan yang bertumpu pada dagunya.
Dan kembali iris viridian itu tertuju padanya, membuat Sasori terlonjak sejenak karena kaget.
"Baiklah. Tapi tak apa 'kan aku memanggilmu Sasori-san?"
Sasori memilih untuk tidak menjawab dan terus berjalan ketika ia merasakan sesuatu yang panas menjalari kedua pipinya, sementara Sakura terlihat sibuk menyamakan langkah kakinya yang tentu saja lebih lebar dari langkah kakinya sendiri. Gadis merah muda itu kembali berbicara dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya.
"Sasori-san, kau suka ramen 'kan?"
Sasori hanya menganggukkan kepalanya sembari merapatkan syal yang melilit lehernya. Dan ia membiarkan Sakura kini berjalan di depannya untuk mengambil alih jalan agar mereka tak terpisah. Kembali keheningan menemani perjalanan mereka.
Mereka pun akhirnya sampai pada sebuah kedai ramen yang begitu familiar baginya, tentu saja karena ia adalah langganan di sana. Aroma kaldu sapi bercampur aroma lainnya tercium cukup tajam di udara.
Kedua sejoli itu masuk ke sana, dan suara membahana milik si kepala kedai mengejutkan Sasori dan Sakura.
"Hoi Sasori! Lama tak datang ke sini? Merindukan ramen buatanku eh? Loh kau 'kan gadis manis yang kemarin datang kemari. Ayo duduk duduk!"
Mereka pun langsung duduk pada meja di depan konter, berusaha mengabaikan tatapan para pelanggan di sana yang sebagian besar adalah pria. Dan entah kenapa Sasori merasa jengkel mendapati beberapa lelaki yang tengah menatap ke arah Sakura dengan entah tatapan apa itu.
Sakura dengan semangat langsung memesan semangkuk besar ramen kaldu ayam dengan ekstra telur tanpa nori dan segelas ocha hangat. Sasori pun mendudukkan dirinya di samping Sakura dan memesan segelas ocha hangat untuk dirinya sendiri. Sakura mengerutkan alisnya bingung.
"Kau tidak memesan makanan Sasori -san?"
"Dia tidak perlu memesan aku juga sudah tahu ia ingin memesan apa, gadis manis."
Si paman pemilik kedai kembali dengan dua mangkuk besar berisi ramen kaldu ayam dan ramen seafood. Bau sedapnya menguar kuat, membuat Sakura menelan ludahnya sejenak. Menyusul kemudian dua gelas ocha hangat menemani makanan mereka.
"Ooh begitu."
Kedua mangkuk itu diletakkan di depan mereka. Sakura mengucapkan terima kasih kepada si paman dan di balas dengan anggukan bersemangat lelaki berusia 40 tahunan itu. Ia lalu mengambil dua pasang sumpit di dekatnya dan memberikan sepasangnya untuk Sasori. Sakura melipat kedua tangannya sebelum memasukkan sumpitnya ke dalam mangkuk di depannya.
"Itadakimashu~"
Sakura memakan ramennya dengan penuh semangat, lain dengan Sasori yang makan dengan begitu tenang. Sesekali Sasori melirik ke arah ponselnya dan membalas pesan masuk yang ia terima, sementara Sakura sibuk dengan telur pada mangkuknya yang isinya tinggal sedikit.
Si paman berdiri di depan mereka berdua. Lelaki itu tersenyum sembari membuka mulutnya.
"Kalau mendengar aksenmu, kau pasti bukan dari sini. Kau baru pindah ke sini gadis manis?"
Sakura menganggukkan kepalanya sembari mengunyah telur dalam mulutnya. Ia membuka mulutnya setelah menelan makanan di dalam mulutnya.
"Hai. Aku datang dari Shizuoka."
Pandangan Sasori teralihkan ke arah si gadis merah muda yang kini kembali memasukkan ramen ke dalam mulut mungilnya.
"Itu 'kan jauh sekali! Kau ingin kuliah di sini?"
Sakura menggelengkan kepalanya sembari menyeruput kuah ramennya dengan mengangkat mangkuk dan menyentuhkan bibirnya dengan bibir mangkuk. Ia pun meletakkan kembali mangkuk yang hanya tinggal kuahnya ke atas meja.
"Tidak. Aku ke sini untuk mencari sesuatu." Ujarnya sembari tersenyum, lalu ia kembali memesan semangkuk besar ramen, dan kali ini ia memesan ramen kaldu sapi.
Sasori sedikit tercengang ketika mengetahui nafsu makan Sakura, melihat dari tubuh gadis itu yang bisa dibilang kecil. Tapi ia tidak mau ambil pusing dan kembali menikmati ramennya yang masih hangat. Namun entah kenapa kata-kata Sakura tadi terngiang-ngiang di kepalanya, seakan memaksanya untuk mencari tahu apa maksud gadis itu.
Dan tak lama si paman kembali datang dengan membawa pesanan Sakura, yang tentu saja gadis itu terima dengan senang hati. Kembali pria tua itu membuka mulutnya.
"Memangnya apa yang kau cari, hm?"
Gadis itu tersenyum sembari mengedipkan sebelah matanya.
"Itu rahasia paman."
Pria itu tertawa terbahak-bahak sembari menepuk pucuk kepala si gadis merah muda, membuat gadis itu sedikit tersedak saat menyeruput ramennya.
"Tapi kau harus ingat untuk kembali ke rumahmu. Tinggal sendiri itu berbahaya gadis kecil."
"Umurku sudah 18 tahun jadi aku bukan anak kecil lagi."
"Oh begitukah? Kalau begitu sekarang kau harus makan yang banyak agar tidak dikira anak kecil lagi."
Sasori mendengus geli mendengar penuturan si paman yang membuat Sakura mengerucutkan bibirnya kesal. Benar saja, karena tubuhnya yang pendek dan kecil itu, wajar kalau orang-orang mengiranya masih seumuran dengan anak-anak SMP.
Gadis itu cemberut, namun kembali ia memakan ramennya yang masih mengepul hangat karena baru saja dipesan.
Perhatian Sasori tiba-tiba teralih pada ponselnya yang berbunyi, dan membuat perhatian kedua orang yang sedaritadi sibuk bercengkerama disampingnya tertuju padanya. Sasori segera mengambil ponselnya, dan begitu ia melihat nama yang berada pada layar ponselnya ia langsung menekan tombol berwarna hijau pada sisi ponsel touchscreen tersebut.
"Ya halo. Hn. Baiklah aku akan segera pulang."
Sasori menekan tombol end, lalu mengambil mantelnya yang berada pada kursi di sampingnya dan memakainya, setelah itu ia melilitkan syalnya asal pada leher. Ia pun merogoh dompetnya dan mengambil beberapa lembar ribuan yen dan meletakkan uang tersebut di sisi meja.
"Sekalian dengan makanan gadis itu. Kalau kurang kubayar besok."
"He-Hei kau mau kemana Sasori-san?" tanya Sakura bingung.
Namun bukannya menjawab Sasori malah segera berjalan keluar dari kedai itu dengan terburu-buru, meninggalkan Sakura dan si paman pemilik kedai yang masih tercengang antara bingung dan kaget.
.
.
Pagi ini ia terbangun lebih siang dari biasa, dikarenakan ia menghabiskan malamnya berkutat dengan tugas kuliah bersama dengan laptopnya yang setia menemani. Ia pun beranjak dari ranjangnya, tangannya memegangi pelipisnya yang berdenyut sakit karena kurang tidur. Yah hanya tertidur selama tiga jam bukanlah istirahat yang enak tentu saja.
Ia pun berjalan menuju pintu apartemennya dan memutar kunci yang tertancap di sana lalu membuka pintu yang tak terkunci itu lagi, untuk mengambil dua botol susu segar di atas tumpukan koran paginya. Namun baru saja ia mau menutup pintunya suara yang familiar menghentikan gerakannya.
"Sasori-san!"
Sasori menolehkan kepalanya ke sumber suara, dan mendapati si gadis merah muda yang berdiri tak jauh dari pintu apartemennya dengan senyum cerah pada wajahnya. Pada tangan gadis itu terdapat bungkusan coklat yang Sasori sendiri tidak tahu isinya apa.
Gadis itu berjalan mendekat hingga ia berdiri di depan lelaki bersurai merah itu.
"Boleh aku memasak sarapan di tempatmu?"
Alis Sasori mengerut bingung. Otak jeniusnya tampak tengah berpikir maksud gadis merah muda di depannya ini. Sepertinya efek kurang tidur membuat pikirannya buntu sebentar.
Tak perlu menunggu jawaban lelaki itu, Sakura segera masuk ke dalam apartemen Sasori. Protes tentu saja meluncur dari bibir Sasori mendapati gadis merah muda itu masuk ke dalam apartemennya dengan seenak jidat.
Sasori berjalan mengekori Sakura.
"Hei aku tidak menyuruhmu masuk!"
"Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasihku karena kau membayar makananku semalam." Ujar Sakura sambil meletakkan bungkusan coklat yang sedaritadi ia bawa ke atas meja dapur.
Sasori mendengus, namun tak ada secuilpun rasa kesal yang ia rasakan tatkala manik karamelnya melihat Sakura mulai melepas mantel dan syalnya lalu menggantungnya pada senderan kursi. Ia memilih berdiri di ujung dapur dan melipat kedua tangannya di depan dada.
"Kau tak akan menghancurkan dapurku 'kan?"
Sakura menghentikan gerakan menggulung lengan turtleneck-nya dan menatap ke arah Sasori. Senyum manis nampak pada wajahnya.
"Ooh jadi kau mau aku menghancurkan dapurmu Sasori-san?"
Sasori mendengus geli. Ia menyeringai menantang.
"Kau berani melakukannya Haruno-san?"
"Tentu saja."
Tanpa Sasori dapat cegah tawa kecil meluncur dari bibirnya, diiringi oleh tawa yang juga gadis itu keluarkan dari mulutnya. Sasori buru-buru menutup mulutnya. Bola mata karamelnya terbelalak lebar karena terkejut.
Dan akhirnya tawa gadis itu terhenti. Sakura kembali tersenyum dan membuka mulutnya.
"Kau lebih baik mandi saat aku menyiapkan sarapan Sasori-san. Kau pasti baru bangun tidur 'kan?"
Sasori sejenak terdiam sampai rona merah yang amat tipis menghiasi wajahnya yang kaku, menyadari kebodohannya karena tidak menyisir rambutnya sebelum keluar dari kamar. Namun tak sampai lima detik rona merah itu sudah menghilang tanpa bekas.
Ia memandangi gadis merah muda yang kini telah membalikkan tubuhnya dan mengeluarkan bahan-bahan dari dalam kantung coklat di atas meja. Lelaki itu pun kemudian berjalan aka terburu-buru menjauhi ruangan tersebut setelah bergumam sejenak.
"Hn."
.
.
.
.
To Be Continued
.
.
.
.
Yep fic ini MC, dan kemungkinan twoshot. Akan kuusahakan update secepat mungkin :3
Jadi, mind to review?
