Tombo setres Cah… FF laen jangan ditanya dulu ya (pede amat gue) hehehe… Kamingsun sajalah :D

.

.

.

REKONSILIASI?

.

.

.

SuLay

Kid! Renjun

.

.

.

GS! for UKE

.

.

.

-000-

Namanya Kim Joonmyeon. Sekilas dia terkesan sangar gara-gara kumis dan jambang yang belum sempat dicukur, ditambah dengan tato-tato yang menghiasi lengan kekarnya bak lukisan. Akan tetapi, kesan sangar itu tiba-tiba memudar kala tatapannya tertumbuk pada pintu kamar yang bertuliskan huruf KIJ besar di hadapannya. Ada senyum menghiasi bibirnya, seiring tatapannya yang melembut. Perlahan, Joonmyeon memutar kenop, membuka pintu kamar tersebut.

"Lho, Injoon, kau belum tidur?"

Joonmyeon terkejut melihat sosok gadis cilik yang masih terjaga di dalam kamar. Itu Kim Injoon, putrinya yang mirip boneka saking cantiknya. Gadis cilik itu duduk di meja belajar, tampak serius menghadap layar laptop keluaran Dell yang bertengger di meja. Joonmyeon melirik sekilas jam tangannya. 22.30 KST.

"Kenapa belum tidur? Kau sedang pilek. Tak boleh tidur terlalu larut." Joonmyeon menghampiri Injoon. Tangannya yang kekar terulur, menyentuhkan punggung tangannya ke kening gadis cilik itu.

"Nah, kan. Kau bahkan masih demam," kata Joonmyeon begitu merasakan suhu tubuh Injoon yang masih tinggi.

"Sudah minum obat, belum? Kau harus minum obat, Injoon-ah. Jangan sampai lusa nanti ibumu datang sementara kau belum sembuh. Bisa-bisa dia marah dan tak mengizinkanmu tinggal bersamaku lagi," nasihat Joonmyeon. Tatapannya terarah lurus pada Injoon yang mendongak untuk menatapnya.

"Kenapa sudah pulang, Joonmyeon Oppa?" Si Gadis Cilik justru balas bertanya alih-alih menjawab. "Sekarang baru jam setengah sebelas." Dia menunjuk jam di layar laptopnya.

"Aku minta izin pulang cepat," jawab Joonmyeon. "Kau belum menjawab pertanyaanku, Injoonie. Kau sudah minum obat atau belum? Lalu kenapa belum tidur?" Joonmyeon mengulangi pertanyaannya.

"Aku sudah minum obat tapi tak bisa tidur," Injoon menjawab seraya mengalihkan tatapannya dari Joonmyeon ke arah laptop, kemudian buru-buru menutup laptopnya.

"Kenapa tak bisa tidur?" Joonmyeon lagi-lagi bertanya.

"Soalnya aku kesepian," jawab Injoon. "Sendirian di rumah, sebenarnya bukan sesuatu yang menyenangkan."

"Oh."

Raut wajah Joonmyeon berubah, tampak prihatin.

"Kau kesepian?" Joonmyeon mengulangi jawaban Si Cilik.

"Maaf ya, aku tak bisa sering-sering menemanimu di rumah. Kau tahu aku ini harus bekerja siang-malam. Aku tidak sekolah tinggi, Injoon-ah, makanya tak bisa bekerja di kantoran seperti ibumu yang cerdas. Aku hanya bisa bekerja di kafe saja." Joonmyeon berlutut di sisi Injoon. Tampak rasa bersalah membayangi tatapannya yang tak lepas dari Injoon.

"Aku tahu," Injoon menanggapi ayahnya dengan santai. "Kau tak perlu minta maaf," katanya bijak, dewasa. Untuk ukuran anak seusianya, bisa dikatakan Kim Injoon ini memang tergolong jauh lebih dewasa dari sikap maupun caranya berbicara.

"Tapi, Oppa, mumpung Oppa pulang cepat, maukah kau membacakan dongeng pengantar tidur untukku? Sudah lama aku tak dibacakan dongeng olehmu atau Mama. Aku tahu ini lucu, apalagi umurku sebentar lagi sebelas tahun. Tapi aku rindu dibacakan dongeng pengantar tidur seperti waktu kecil dulu," Injoon kedengaran memohon. Gadis cilik yang cantik itu bahkan memasang tampang cute dengan mengerjapkan matanya yang lentik lagi memikat bak boneka.

Melihat ekspresi putrinya, Joonmyeon tersenyum. Lelaki gagah itu buru-buru bangkit berdiri sambil merentangkan kedua tangannya.

"Dengan senang hati," kata Joonmyeon riang. "Kemarilah, Gongjunim (Tuan Putri). Aku akan membacakan cerita Andersen yang kau sukai."

Lelaki itu merengkuh tubuh mungil Injoon, kemudian menggendongnya dengan penuh sayang.

"Aigoo, rasanya baru kemarin Papa menggendongmu saat kau baru keluar dari rahim ibumu. Tak disangka sekarang kau sudah besar, berat lagi," Joonmyeon berkomentar seraya nyengir lebar sebagai bonus.

"Tumben Oppa menyebut dirimu sendiri 'papa'," Injoon gantian berkomentar, kentara benar takjub.

"Sedang ingin," balas Joonmyeon. "Kau juga boleh saja memanggilku 'papa' kalau kau mau."

"Aku lebih suka memanggil 'oppa' seperti yang Oppa minta," Injoon menanggapi ayahnya.

"Kalau aku memanggil 'papa', rasanya aneh. Soalnya bagiku Oppa itu bukan cuma ayah, tapi juga teman. Teman yang paling baik. Saranghaeyo, Oppa."

Injoon memeluk leher ayahnya erat-erat. Gadis cilik itu tak tahu bahwa tuturannya barusan mengubah ekspresi sang ayah.

Ya, ekspresi Kim Joonmyeon berubah. Dia terharu. Kesan sangar milik laki-laki itu lagi-lagi mendadak raib. Kim Joonmyeon terharu, amat sangat.

"Uri ttal (anak perempuanku), Kim Injoon," laki-laki itu menyebutkan nama lengkap putrinya. "Nado saranghae."

Joonmyeon mengecup lembut rambut hitam nan indah milik putrinya, sepenuh kasih sayang seorang ayah.

-000-

Sesekali Joonmyeon menyempatkan diri menjemput Injoon di lembaga kursus bahasa Mandarin, tempat Injoon belajar. Kim Injoon kebetulan mewarisi darah Tiongkok dari pihak ibu, maka dari itu Joonmyeon dan ibu Injoon sepakat mengirim Injoon mengikuti kelas bahasa Mandarin. Bagaimanapun Injoon lahir dan besar di Korea, lebih banyak bicara dalam bahasa Korea ketimbang bahasa Mandarin. Baik Joonmyeon maupun ibu Injoon tak ingin anak semata wayang mereka kehilangan akar Tiongkok-nya hingga mengirim Injoon mengikuti kelas bahasa Mandarin dirasakan sebagai jalan keluar terbaik disamping inisiatif ibu Injoon mengajak anak itu berkomunikasi dalam bahasa Mandarin saat mereka berdua saja.

Sore ini Joonmyeon kembali menyempatkan diri menjemput Injoon. Dia baru saja memarkir Ford bututnya ketika seseorang datang menghampiri dengan langkah ringan. Seorang perempuan dewasa yang cantik, memiliki mata yang terkesan sayu tetapi memikat. Penampilannya penuh gaya, dimulai dengan rambut yang diwarnai burgundy, juga busana elegan berupa blus tanpa lengan berwarna putih polos dan rok pensil di atas lutut dengan motif bunga lili kecil-kecil berwarna oranye.

"Kim Joonmyeon," perempuan itu menyebutkan nama lengkap Joonmyeon.

"Yixing? Kenapa kau di sini?" kaget Joonmyeon. "Barangkali kau lupa, kali ini giliranku menjemput Injoon."

"Injoon pilek." Yixing, nama perempuan itu, menatap Joonmyeon dengan mata menyipit yang terkesan kurang simpatik. Dia bahkan menolak menjawab pertanyaan Joonmyeon.

"Baru tiga hari dia di apartemenmu dan dia pilek. Sudah kubilang, ventilasi udara di apartemenmu kurang baik, Joonmyeon-ah, tapi sepertinya kau tak mau menggubris omonganku. Kau ini memang payah. Kurasa tak bijaksana membiarkan anakku berlama-lama di tempatmu. Aku akan membawanya pulang sekarang."

Yixing memang cantik dan terkesan begitu elegan, tapi begitu mendengarnya bicara, wow! Kereta api cepat pun kalah saing!

Raut wajah Joonmyeon langsung keruh mendengar penuturan Yixing yang jelas-jelas menyudutkannya. Terlebih lagi Yixing menyebut Injoon dengan istilah 'anakku', sukses membuatnya tersinggung.

"Injoon anakku juga," balas Joonmyeon tegas. "Dan minggu ini jatah dia bersamaku, Yixing-ah. Jangan lupa, ini perjanjian kita."

"Tapi dia sakit dan aku tak tenang membiarkannya jauh dariku. Pokoknya aku mau membawanya pulang dan memeriksakannya ke dokter," Yixing berkeras, tak kalah tegas dari Joonmyeon. "Kutebak kau bahkan belum membawanya ke dokter, benar?"

"Kau selalu saja egois, Yixing." Joonmyeon menaikkan satu alis tebalnya. "Jangan konyol. Anak-anak pilek itu biasa, toh sekarang memang musim pilek. Tuduhanmu soal ventilasi udara terlalu berlebihan. Soal dokter, aku memang belum membawa Injoon ke sana, tapi aku sudah memberinya obat. Jangan berlagak superior dan menyudutkanku sedemikian rupa, seolah-olah aku ini ayah yang tak becus mengurus putriku," Joonmyeon memprotes.

"Kenyataannya demikian, 'kan?" Yixing tersenyum mengejek. Tampak lesung pipit tercetak di pipi kanannya.

"Kau memang tak becus, Kim Joonmyeon. Sejak dulu selalu seperti itu, bukan? Barangkali kau lupa. Injoon jatuh dari tangga, Injoon sakit tifus, semua sewaktu dia berada dalam pengawasanmu, Joonmyeon-ah. Jangan menolak lupa."

"Kenapa kau selalu saja mengungkit-ungkit yang dulu-dulu itu?" Kali ini kedua alis Joonmyeon terangkat.

"Injoon jatuh dari tangga, itu kecelakaan. Ayah mana yang tega membiarkan putrinya jatuh, eh? Kalaupun waktu bisa diputar ulang kembali, hari itu aku tak akan membawa Injoon ke tempat kerjaku," Joonmyeon membela diri.

"Membawa putrimu ke kelab. Well done, Joonmyeon-ah," Yixing menyindir. "Kau memang ayah yang luar biasa, ya, Kim Joonmyeon-ssi."

"Kau ini—"

"Oppa! Mama!"

Satu suara yang ceria memotong protes Joonmyeon. Baik Joonmyeon maupun Yixing menoleh, menyaksikan Injoon berlari-lari kecil menghampiri mereka berdua. Gadis cilik itu benar-benar mirip boneka dengan rambut hitamnya yang dikepang dua, benar-benar menggemaskan dipandang mata.

"Halo, Cantik," Yixing menjadi yang pertama menyapa Injoon. Perempuan cantik itu langsung berlutut untuk menyamakan tinggi badannya dengan Injoon.

"Mama datang menjemputmu. Ayo kita pulang ke rumah Mama," ajak Yixing to the point.

"Ke rumah Mama? Tapi 'kan minggu ini aku menginap di tempat Oppa." Injoon terbingung-bingung.

"Kau sedang sakit. Lebih baik istirahat di rumah Mama saja. Di tempat Oppa tidak ada yang menjagamu, Sayang," bujuk Yixing.

"Aku biasa ditinggal sendiri. Tidak apa-apa." Tak diduga-duga, Injoon justru mendekati ayahnya, memeluk pinggang laki-laki itu seolah tak ingin dipisahkan. Sikapnya itu tentu saja mengejutkan Yixing.

"Aku masih kangen Oppa," Injoon menambahkan, melengkapi keterkejutan ibunya.

"Tapi Mama khawatir, Sayang," Yixing segera mencoba bernegosiasi. "Mama jadi tidak tenang."

"Mama bisa meneleponku setiap jam atau menemaniku sampai Oppa pulang," Injoon memberikan jawaban yang sama sekali diluar ekspektasi Yixing.

"Injoon-ah, Mama—"

"Sudahlah, Yixing," Joonmyeon tahu-tahu menyela interaksi di antara anak dan ibunya. "Injoon masih ingin denganku, kita harus menghargai keputusannya."

Kalimatnya bolehlah bijak, tapi sorot matanya kentara benar meledek Yixing, memandu raut wajah Si Cantik berubah masam.

"Injoon-ah, di rumah Mama dulu, nanti setelah sembuh baru ke tempat Oppa lagi," kata Yixing seraya bangkit berdiri. Rupanya dia tak serta-merta menyerah untuk membujuk putrinya.

"Tidak mau." Injoon menggeleng. "Injoon mau di tempat Oppa. Lagipula besok ulang tahun Injoon. Sudah lama Injoon tidak merayakan ulang tahun di tempat Oppa."

Skakmat! Mendengar argumen Injoon kali ini, Yixing seolah kena pukul telak di kepala. Perempuan cantik itu sesaat membelalakkan mata, seolah tak percaya pada apa yang baru saja dia dengar.

"Nah, kau dengar sendiri, 'kan? Mama?" Joonmyeon tersenyum penuh kemenangan yang terasa mengejek bagi Yixing.

"Biarkan Injoon di tempatku. Ah, ya. Jangan lupa untuk datang besok. Kita rayakan ulang tahun Injoon seusai makan malam," kata Joonmyeon. "Injoon-ah, ayo pamit dulu pada Mama. Kita pulang."

Merasa senang lantaran ibunya kehabisan kata-kata hingga tak lagi sanggup untuk protes, Injoon tersenyum ceria. Gadis cilik yang cantik itu beralih memeluk pinggang ibunya sejenak, lantas berpamitan dengan sangat manis.

"Injoon pulang dulu, Mama. Sampai bertemu besok."

Tangan mungilnya segera digandeng oleh Joonmyeon. Injoon pun melambai-lambaikan satu tangannya yang bebas ke arah Yixing, sementara Joonmyeon membawanya menjauh. Satu senyuman kembali terukir di bibir Injoon, menjelma bahasa nonverbal sebagai tanda pamit pada Sang Ibu.

Menyaksikan putrinya dibawa Joonmyeon menjauh, Yixing hanya bisa menghela napas. Kecewa.

-000-

Sesuai rencana Joonmyeon, ulang tahun Injoon yang kesepuluh (kesebelas menurut hitungan Korea) dirayakan di apartemen sederhana milik Joonmyeon seusai makan malam. Yixing memenuhi undangan Joonmyeon untuk datang ke acara yang sederhana ini. Sederhana, ya, pasalnya hanya ada mereka bertiga dan Injoon hanya minta satu cupcake kecil alih-alih tart. Sekali lagi, Kim Injoon menunjukkan kualitas kedewasaan yang patut diacungi jempol untuk anak seusianya. Gadis cilik itu bahkan sukses membuat kedua orang tuanya melongo lewat komentar yang sangat dewasa meski tetap polos khas kanak-kanak.

"Ulang tahun itu yang penting bukan kue atau kado, tapi Oppa dan Mama."

Yixing dan Joonmyeon hanya bisa bertukar pandang sejenak, kemudian tak diduga-duga begitu kompak memeluk Injoon dari kanan dan kiri, tak lupa menghujani kedua pipi anak cantik itu lewat kecupan penuh sayang. Jika biasanya Yixing dan Joonmyeon terkesan dingin satu sama lain, kali ini mereka kompak melakukan gencatan senjata demi Injoon tersayang. Kentara benar keduanya sungguh-sungguh menjaga perasaan Injoon di hari istimewanya, bahkan mereka tak segan melontarkan pujian terhadap kado yang masing-masing mereka berikan untuk Injoon.

"Wah, sepertinya kado Mama lebih menarik," Joonmyeon mengomentari kado Yixing dengan nada memuji. Malam ini laki-laki itu kelihatan jauh lebih beradab lagi tampan lantaran dia memutuskan untuk mencukur habis kumis dan jambangnya yang semrawut.

"Ani. Sepertinya kado dari Oppa lebih menarik," Yixing merendah sekaligus balas memuji kado Joonmyeon.

Ngomong-ngomong soal kado, Yixing menghadiahkan buku untuk Injoon. Mungkin terkesan klasik, tapi reaksi yang diperlihatkan Injoon benar-benar diluar dugaan.

"Wah, aku suka ini! Horee, aku punya satu lagi buku Grimm Bersaudara! Mama, xiexie!"

Injoon bersorak riang melihat isi kado Yixing. Anak itu memang sangat menyukai buku dongeng, tak heran reaksinya demikian. Saking senangnya, Injoon menghadiahkan kecupan manis di pipi mulus Sang Ibu.

Yixing terkekeh, tampak bahagia bukan main menyaksikan keceriaan Injoon. "Sama-sama, Sayang," balas perempuan cantik itu dengan hangat. "Mama senang melihatmu menyukai pemberian Mama."

"Aku selalu suka buku," Injoon memberitahu ibunya. "Buku tidak pernah membosankan."

"Lantas bagaimana dengan hadiah Oppa?" Joonmyeon menyeletuk. "Apa kau menyukainya?"

"Tentu!" jawab Injoon ceria. "Hadiah Oppa bagus sekali. Aku suka. Akhirnya Joy dan Wendy punya rumah baru! Gomawo, Oppa!"

Injoon berlaku cukup adil dengan turut memberikan kecupan manis di pipi Joonmyeon, berbuah senyuman manis dari Sang Ayah. Membuktikan seberapa besar rasa senangnya terhadap hadiah Joonmyeon yang berupa rumah-rumahan Barbie, Injoon melesat ke kamarnya, lalu kembali tak sampai satu menit kemudian dengan dua boneka Barbie di tangan.

"Nah, Joy, Wendy. Kalian punya rumah baru. Ini dibelikan ayahku. Bagus, 'kan?" Injoon bermonolog seraya meletakkan kedua boneka bernama Joy dan Wendy itu ke dalam rumah-rumahan yang dihadiahkan Joonmyeon untuknya.

Baik Yixing maupun Joonmyeon tampak mengawasi gerak-gerik putri mereka dengan perasaan bahagia. Keceriaan Injoon bagi mereka tak ubahnya kado ulang tahun. Manis, menyenangkan.

"Injoon-ah, kau belum membaca kartu dari Mama dan Oppa," Joonmyeon sekonyong-konyong mengingatkan putrinya yang tengah asyik memindah-mindahkan Joy dan Wendy di dalam rumah-rumahan.

"Nanti," Injoon menjawab tanpa menoleh. "Aku mau membacanya di kamar saja untuk menjaga privasi."

Privasi! Entah dari mana anak itu mengenal kata yang satu ini, tapi yang pasti Yixing dan Joonmyeon sukses terkagum-kagum dibuatnya.

"Ngomong-ngomong soal privasi," Yixing gantian angkat bicara, "apa itu alasan kau tak mau berbagi cerita tentang harapanmu di hari ulang tahunmu ini?"

"Tentu saja," Injoon mengangguk-angguk. "Itu masuk privasiku. Biar saja Tuhan yang tahu."

Sekali lagi, Yixing dan Joonmyeon dibuat terkagum-kagum oleh putri mereka yang baru berumur sepuluh tahun. Hmm, sepertinya sebagai orang tua mereka masih sedikit mengenal Kim Injoon dengan sisi dewasanya yang mengejutkan, Kawan.

-000-

Rumah-rumahan untuk Barbie yang didekorasi meriah dengan nuansa serba pink itu tak berhasil menarik perhatian Yixing. Alih-alih rumah-rumahan yang sukses menimbulkan kesan penuh pada meja kecil yang ditempatinya, perhatiannya justru tertuju pada selembar kartu berwarna pink yang diletakkan persis di sebelah rumah-rumahan Barbie itu. Terdorong penasaran, perempuan ini pun meraih kartu tersebut dan membaca isinya dengan saksama.

Putriku Kim Injoon,

Pada hari ini sebelas tahun yang lalu, aku sangat ketakutan melihat proses kelahiranmu. Ibumu menangis dan berteriak, bahkan sempat berhenti bernapas selama beberapa detik. Dia nyaris pergi meninggalkan kita. Aku sangat takut, takut dia benar-benar pergi pada saat itu. Beruntung dia bisa bertahan. Aku benar-benar berterima kasih padanya. Aku tahu dia sangat kesakitan pada saat itu. Tapi saat kami melihatmu untuk yang pertama kalinya, aku tahu rasa sakit ibumu tidak sia-sia. Melihatmu, kami langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Tahukah kau, Injoonie? Aku mencintai ibumu lebih dan lebih sejak saat itu, karena dia telah memberiku anak perempuan yang paling cantik. Anak perempuan yang hari ini berumur sebelas tahun. Kim Injoon, selamat ulang tahun. Aku mencintaimu!

Ayah yang paling mencintaimu,

Kim Joonmyeon

Tanpa dia sadari, bulir-bulir bening mengalir menuruni pipinya yang mulus, jatuh satu-satu membentuk bulatan-bulatan pada lembar kartu berwarna pink di tangannya, sedikit mengaburkan goresan tinta hitam yang terangkai menjadi tulisan. Selembar kartu ucapan yang manis dengan pesan singkat nan mengharukan menurut Yixing. Membaca pesan singkat itu, keharuan seakan menggumpal-gumpal di dadanya. Perempuan cantik ini pun terpaku selama beberapa saat, bahkan butuh lebih dari lima menit untuk menyadari bahwa air matanya telah menganak sungai.

Yixing menyeka air matanya dengan enggan. Diam-diam dia menolehkan kepala, menjatuhkan tatapannya pada sosok lelaki berperawakan kekar yang berbaring di ranjang, bersebelahan dengan gadis cilik cantik bak Barbie yang memeluk guling berbentuk Moomin, masing-masing tampak pulas. Melihat lelaki itu, hati Yixing mulai terasa hangat. Tanpa sadar dia melangkah maju mendekati ranjang, kemudian berhenti persis di sampingnya. Matanya yang indah menjelajahi sosok lelaki itu, mulai dari rambutnya yang agak berantakan, wajahnya yang tampan, rahangnya yang kukuh hingga tato yang mengintip dari balik lengan kausnya. Semuanya terlihat begitu sempurna di mata Yixing, seolah-olah dia baru menyadari arti kata tampan yang sesungguhnya.

"Kim Joonmyeon..." Yixing menggumamkan nama lelaki itu tanpa disadarinya.

"Sakit yang pernah kurasakan, rasanya tidak ada apa-apanya. It's totally worth it. I am happy to have Kim Injoon in my life. Injoonie, your daughter. Our beloved daughter."

Perempuan cantik ini perlahan-lahan membungkuk. Mengerahkan segenap keberaniannya, Yixing mendekatkan wajahnya pada Joonmyeon. Perlahan-lahan dia menyentuhkan bibirnya di kening mulus laki-laki itu, mengecupnya dengan lembut. Sangat hati-hati benar nampaknya, mungkin khawatir membangunkannya.

"Terima kasih karena masih mencintaiku, Joonmyeon-ah," Yixing berbisik, diakhiri seulas senyum tipis setelah menyentuhkan bibirnya di kening Joonmyeon. "Meski aku masih kesal padamu, aku juga… Masih sama sepertimu."

"Akhirnya kau mengaku juga, Yixing-ah."

Yixing tersentak. Suara Joonmyeon!

Perempuan cantik ini kaget bukan main, sampai-sampai terhuyung mundur. Tampak olehnya Joonmyeon membuka mata dan tersenyum manis, bahkan sangat manis hingga memberikan kesan angelic di wajahnya yang elok. Tatapan kaget Yixing seketika bertaut dengan tatapan milik sepasang manik cemerlang Joonmyeon. Berbeda dengan Yixing, tatapan mata Joonmyeon justru memperlihatkan kemenangan.

"Kau..." Suara Yixing nyaris tercekat. "Kau belum tidur?" Dia terbelalak ngeri.

"Tidur, lalu diam-diam bangun begitu kau masuk kamar ini." Senyuman Joonmyeon semakin merekah.

"Dan tak bisa tidur lagi gara-gara ada yang mengecup keningku dan mengaku kalau dia masih mencintaiku." Dia bangkit, mengubah posisinya menjadi duduk.

Wajah cantik Yixing seketika merah padam, tampak malu berat.

"Kau..." Yixing kehabisan kata-kata. Malu dan gugup berkumpul menjadi satu, seketika mengacaukan perbendaharaan kata yang dimilikinya.

"Tak perlu malu, Yixing-ah," Joonmyeon setengah berbisik, nadanya lembut. "Terus terang aku agak kecewa. Kenapa kau harus menungguku tidur baru berani menyatakan cinta?" godanya.

"Itu… Tidak disengaja," Yixing menjawab dengan gugup.

"Tidak disengaja, spontan, benarkah?" Joonmyeon tiba-tiba meraih tangan Yixing, lagi-lagi mengejutkan Si Cantik.

"Kalau begitu sudah jelas tulus. Kemarilah, Yixing-ah. Saatnya untuk tidak malu-malu lagi terhadapku, seperti waktu kau mengecup keningku tadi."

Joonmyeon menarik tangan Yixing kuat-kuat, sampai-sampai Yixing oleng dan jatuh terduduk persis di pangkuannya. Dengan kedua lengannya yang kekar Joonmyeon mengunci tubuh ramping Yixing, sama sekali tak memberikannya celah untuk lolos.

"Joonmyeon-ah, kau ini—"

"Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini," Joonmyeon memotong. Ditatapnya Yixing lurus-lurus.

"Kuanggap ini momen rekonsiliasi di antara kita. Yixing-ah, sudah terlalu lama kau menyiksaku dengan perpisahan sementara yang terasa konyol. Sekarang saatnya melupakan yang sudah-sudah. Kau tak bisa kemana-mana lagi, Yixing-ah. Tidak akan ada perpisahan konyol lagi di antara kita." Seringai nakal tiba-tiba menghiasi wajahnya.

Yixing meneguk ludah. "Joonmyeon-ah… Kau tahu kita ini lebih sering seperti air dan minyak…" Suara Yixing kedengaran semakin lirih. "Kita terlalu sering cekcok…"

"Memang," Joonmyeon mengakui. "Tapi nyatanya kita masih saling mencintai, 'kan? Aku bahkan tak bisa melihat perempuan lain, Yixing-ah. Hanya kau. Itu menyiksaku, tahu? Terlalu lama sendirian sampai kedinginan, tapi aku bahkan tidak bisa melupakan rasa hangat yang satu ini. Dari tubuh ini."

Yixing lagi-lagi tersentak, pasalnya Joonmyeon tahu-tahu membenamkan wajah di dadanya, bahkan menggesek-gesekkan wajahnya seperti anak kucing mencari kehangatan. Pergerakan Joonmyeon ini sontak menimbulkan friksi-friksi yang membuat tubuh Yixing bergetar, sampai-sampai perempuan ini menggigit bibir.

"Joonmyeon-ah…"

"Sudah terlalu lama," Joonmyeon menggumam tanpa menghentikan aktivitasnya, malah semakin bersemangat. "Sudah terlalu lama, Yixing-ah."

Yixing masih menggigit bibir. Pergerakan Joonmyeon mulai membuatnya kegelian.

"Joonmyeon-ah, lama-lama kita bisa mengusik Injoonie..." Dia melirik putri mereka yang masih pulas, khawatir bocah cantik itu terbangun.

"Aku tak bakal mengusik uri Gongjunim yang hari ini berulang tahun," sanggah Joonmyeon. "Dan itu berarti aku harus memindahkan ibunya dari kamar ini secepatnya. Yixing-ah, jujur saja aku merindukanmu berada di tempat tidur kita. Sudah terlalu lama kau dan aku tidur terpisah," dia melanjutkan. Nadanya tiba-tiba berubah licik.

Joonmyeon memiliki sepasang lengan yang kekar lagi kuat, masing-masing dihiasi tato yang berbentuk unicorn dan tetesan air. Dengan lengannya yang kekar, mudah saja baginya untuk membopong Yixing turun dari ranjang, seolah berat badan Yixing yang nyaris menyentuh 50kg itu tak berarti apa-apa. Tanpa mempedulikan keterkejutan Yixing, Joonmyeon membawanya menjauh dari ranjang tempat Injoon tertidur pulas.

"Turunkan aku, Joonmyeon-ah," Yixing yang merah merona wajahnya mencoba berontak begitu mereka keluar dari kamar Injoon. Sayang, dia kalah tenaga. Sudah kubilang tadi, Joonmyeon memiliki sepasang lengan yang kekar lagi kuat. Tenaga Yixing sama sekali bukan tandingannya.

"Aku mau turun," desak Yixing.

"Tidak," tolak Joonmyeon. "Sudah kubilang, kau tak bisa ke mana-mana lagi sekarang. Aku tak mau melepaskanmu lagi. Jangan pernah bermain-main dengan Kim Joonmyeon, Zhang Yixing. Jangan lupa, aku ini Si Brengsek yang keras kepala dan menganut prinsip pantang mundur." Seringai kembali menghiasi wajahnya.

Yixing tak menghiraukan peringatan Joonmyeon. Dia berkeras untuk berontak. "Kubilang aku mau tu—"

Suara milik perempuan cantik ini mendadak lenyap di udara. Yixing tiba-tiba bungkam. Perempuan cantik ini membelalakkan matanya sekali lagi, merasakan bibirnya direnggut tanpa izin oleh laki-laki yang tengah membopongnya.

Joonmyeon menciumnya penuh-penuh, bertekad membungkamnya hingga menyerah. Tanpa ampun, seolah tak ingin melewatkan satu inchi pun bibir ranum milik ibu dari Kim Injoon ini.

Dan usahanya sama sekali tak sia-sia.

.

.

.

FIN

.

.

.

Ydyakonenko