音のない夢
Title: Oto no Nai Yume
Warning: OOC, BL
Pairing: MidoAka - MidoTaka
Summary: Entah sejak kapan, mereka yang muncul dalam kehidupanku, pergi menghilang begitu saja meninggalkanku sendiri. Seandainya aku tidak dapat berbicara, seandainya aku kehilangan suaraku, apalagi yang tersisa dari diriku?
Disclaimer: Kurobasu 【c】fujimaki tadoshi
Aku membuka mataku perlahan. Melihat ke arah jam wekerku yang tergeletak disebelah kasur.
"A! GAWAT! SUDAH JAM SEGINI!" Teriakku panik sambil buru-buru mencuci muka dan mengambil tas sekolahku. Untung saja aku ketiduran menggunakan seragam sekolah, jadi aku tidak perlu membuang waktu mengganti seragam. Aku berlari menuruni tangga dan berteriak, "Aku berangkat ya". Namun, sama sekali tidak ada jawaban dari orang rumah. Yah, bukan hal yang aneh sih. Bisa dibilang hal ini terjadi setiap pagi. Aku menghela nafas dan berjalan menuju pintu rumah. Saat hendak menyentuh knop pintu, tiba-tiba saja pintu itu terbuka dengan sendirinya. Oke, sebenarnya pintu itu tidak dengan sendirinya, tetapi ada seseorang yang membuka pintu dari luar. Karena sudah terlambat aku sudah tidak mau banyak bicara lagi. Aku segera keluar dari rumah dan dengan suara keras berkata, "mama ada di dalam tante, langsung masuk saja! Aku ke sekolah dulu ya!" tanpa menoleh aku terus berlari menuju sekolah. Bisa gawat kalau sampai aku terlambat lagi hari ini.
Aku berlari sekuat tenaga sampai akhirnya tiba di depan gerbang sekolah. Walaupun nyaris, aku selamat masuk kedalam sekolah sebelum gerbang sekolah ditutup. Aku berjalan sambil mengatur nafas melewati lapangan yang jaraknya cukup jauh dari pintu gedung utama. Kenapa juga mereka harus menempatkan lapangan di sebesar ini di halaman depan sekolah? Seharusnya mereka meletakan lapangan ini di halaman belakang kan? Duh.
Ketika aku asik mengeluh sendiri, tiba-tiba sesosok pria berambut hijau berbadan tinggi masuk ke dalam jarak pandang mataku. Aku tersenyum dan segera berlari mendekati pria tersebut. "yo! Shinchan! Tumben sekali kau baru tiba jam segini. Ada apa?" sapaku sambil mengeluarkan cengiran khasku. Midorima Shintarou, a.k.a Shinchan, sama sekali tidak menjawab salamku. Yah, hal ini juga sudah menjadi hal yang biasa. Shinchan memang Tsundere. Sifat Tsunderenya sudah mendarah daging, jadi hal seperti ini sudah sering terjadi. Kalau tidak begitu, bukan Shinchan namanya. Aku tersenyum sambil terus berjalan sejajar dengannya sampai ke dalam kelas.
Tidak terasa bel pulang pun akhirnya berbunyi. Aku segera membereskan isi tasku dan mengekor Shinchan keluar dari kelas. "nee, Shinchan. Sepertinya hari ini aku sedang beruntung! Kau lihat tadi? Guru killer itu biasanya selalu mengincarku dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Tapi hari ini ia sama sekali tidak bertanya padaku! Hebat kan? Yah, walaupun aku jadi kasihan kepada Suzuki yang selalu kena soal-soal mematikan. Hahaha" sambil tertawa aku terus bercerita mengenai keberuntunganku hari ini selama dikelas. Shinchan hanya bisa menghela nafas panjang dan terus berjalan menuju ruang klub. Di tengan perjalanan, tiba-tiba saja aku merasa ada yang aneh. Sebuah bis tidak dikenal terparkir cukup jauh dari gymansium. Karena penasaran aku menyuruh Shinchan untuk pergi ke ruang klub duluan dan berjalan mendekati bis tersebut. Pintu bis itu tiba-tiba saja terbuka dan dari dalamnya muncul pria dengan tinggi sekitar 170-an berambut merah dan mengenakan jersey berwarna biru muda. "Akashi!" teriakku, kaget. Akashi pun ikut kaget dan menoleh kearahku. Dengan tatapan bingung ia bertanya padaku, "Takao Kazunari, sedang apa kau disini?". Ditanya seperti itu, aku balik bertanya dengan tatapan heran, "justru aku yang harusnya bertanya seperti itu, Akashikun, Ini kan sekolahku." Akashi sepertinya masih belum melepaskan pandangannya dari diriku, "Bukan itu maksudku, Takao Kazunari. Ah, sudah lupakan saja." Ucapnya sambil menutup pintu bis dan berjalan menuju Gymnasium.
"Hei, kau belum menjawab kenapa kau ada disini?" tanyaku pada Akashi. Ia menaikan salah satu alisnya dan berkata, "memang kau tidak diberitahu oleh pelatihmu kalau hari ini ada latih tanding antara Rakuzan dan Shuutoku."
"eeh? Aku sama sekali tidak diberitahu!" jawabku sambil berteriak karena kaget. "lalu, bagaimana dengan anggota Rakuzan yang lain? Kenapa kau cuma sendiri?" tanyaku lagi. "mereka sudah di dalam." Jawab Akashi enteng. Sesaat sebelum kami tiba di depan pintu gymnasium, Akashi kembali memanggilku. "Hei, Takao Kazunari." Aku segera menoleh ke arahnya, "ada apa, Akashi?" tanyaku. Akashi terdiam sebentar lalu ia menatap mataku, lurus. "Kau, duduk diamlah diatas bench selama pertandingan berlangsung." Ucapnya. "ha? Apa maksudmu Akashi?" tanyaku agak kesal. "ini demi kebaikanmu sendiri. Lagipula aku yakin Pelatih Shuutoku juga tidak akan membiarkanmu turun di pertandingan ini." Ucapnya sambil kembali melangkah menuju pintu gym. "perhatikan baik-baik permainan kami dari bench, lalu pikirkanlah strategi yang bagus untuk mengalahkan kami di Interhigh nanti" lanjutnya lanjutnya sambil melenggang pergi. Aku terdiam mendengar kata-katanya. Benar juga, Akashi itu adalah rival sejati Shinchan. Tentu saja Ia berharap tim ini akan semakin kuat agar bisa bertanding setara dengannya di Interhigh nanti. "ia melakukan ini demi Shinchan ya." Gumamku sambil menatap kearah pintu gymnasium. "baiklah kalau begitu, aku juga harus berjuang dari atas bench!" aku segera berlari masuk ke dalam gym.
Benar saja, pelatih tidak menurunkanku di pertandingan ini. Tanpa basa-basi ia segera menunjuk kelima orang anggota tim basket, termasuk Shinchan, untuk maju. Apa boleh buat, aku akan memikirkan taktik yang tepat untuk melawan mereka di Interhigh nanti, dari tempat ini. Mataku terus memperhatikan permainan mereka. 'Rakuzan memang tim yang hebat. Tapi Shuutoku juga tetap tidak kalah hebat. Shinchan terlihat lebih kuat daripada saat melawan Rakuzan di winter cup lalu. Matanya sama sekali tidak pernah lepas dari Akashi.'
Aku terdiam. Tiba-tiba aku merasakan ada perasaan aneh di dalam dadaku. 'Gawat, apa aku mulai sakit?' aku menyentuh dada kiriku yang terasa sesak sambil terus menatap mereka berdua.
Akhirnya pertandingan berakhir dengan kemenangan Rakuzan. Aku mengekor Shinchan ke ruang ganti, bermaksud untuk menghiburnya. Saat aku mencoba untuk mengeluarkan sepatah kata, tiba-tiba saja aku melihat seulas senyum di bibir Shinchan. Melihat itu, aku tersenyum kecut. Sepertinya kata-kata penghiburanku sudah tidak diperlukan lagi. Walaupun kalah, Shinchan tetap merasa puas. Apakah karena saat bersalaman tadi Akashi mengatakan bahwa ia akan menunggu Shinchan menepati janjinya sampai kapanpun? Aku kembali terdiam dan menundukan kepalaku.
"Ayo kita pulang, Takao." Ujar Shinchan tiba-tiba. Aku segera mengangkat kepalaku sambil tersenyum. Tapi yang kulihat saat ini bukanlah wajah Shinchan yang sedang tersenyum seperti tadi, tapi wajah kaget, lalu bibirnya menyunggingkan senyum sedih. "Shinchan?" tanya ku sambil menggerakan tanganku di depan wajahnya. Dia tetap cuek lalu berbalik dan berjalan keluar ruang ganti. "tu..tunggu Shinchan!" teriakku sambil berlari mendekatinya. "Cih! Padahal tadi kan kau yang mengajak pulang. Dasar raja Tsundere!" gumamku. Aku melirik ke arah Shinchan, dia tetap berjalan dengan tenang. 'syukurlah, sepertinya ia tidak mendengarnya.'
Ketika mendekati gerbang sekolah, Shinchan mendadak menghentikan langkahnya. Penasaran aku ikut mengarahkan mataku ke arah gerbang sekolah. Disana berdiri seorang Akashi Seijuuro yang telah berganti pakaian. "Shintarou." Sapa Akashi pada shinchan, lalu ia menoleh padaku dan tersenyum. Sebelum sempat aku melemparkan pertanyaan pada Akashi, Shinchan terlebih dahulu maju dan melontarkan apa yang ingin kutanyakan. "Apa yang kau lakukan disini, Sei?" 'Sei? Sejak kapan Shinchan memanggil Akashi dengan panggilan nama kecil?' Aku segera menggelengkan kepala lalu ikut bertanya pada Akashi. "Akashikun, kau sendiri saja? Kenapa kau tidak pulang bersama siswa Razukan lainnya?"
"Aku disini menunggumu Shintarou. Karena kami masih ada latih tanding lagi dengan Kaijou dan Seirin, jadi kami akan menginap di hotel dekat sini selama seminggu. Aku menyuruh yang lain kembali ke hotel duluan." Jawab Akashi dengan ringan. "sebenarnya ada hal yang ingin kubicarakan denganmu, tapi.." Akashi terdiam lalu melanjutkan kata-katanya "mungkin lain kali saja." Shinchan terlihat bingung lalu sebelum ia sempat bertanya pada Akashi, Akashi memotongnya dengan berkata, "Aku kembali ke hotel saja. Kalau begitu, aku duluan Shintarou." Ujar Akashi sambil berbalik badan, bermaksud untuk pergi meninggalkan kami berdua disini. "Tunggu, Sei!" panggil Shinchan tiba-tiba sambil mengenggam salah satu tangan Akashi. "Dimana tempat kau menginap? biar kuantar." Ujarnya. Lagi-lagi aku merasakan perasaan aneh di dalam dadaku. Tapi aku segera menepisnya dengan mengeluarkan senyuman andalanku dan berjalan mendekati mereka berdua. "Iya, sebagai tuan rumah yang baik, biarkan kami mengantarmu, Akashikun!" ujarku sambil tersenyum cerah. Akashi pun tersenyum padaku dan menoleh pada Shinchan sambil berkata "baiklah".
Selama perjalanan aku merasa seperti obat nyamuk. Shinchan sibuk berbicara banyak hal dengan Akashi. Yah, wajar sih. Mereka sudah lama tidak bertemu, jadi pasti ada banyak hal yang ingin mereka bicarakan. Tanpa aku sadari, kami sudah tiba di depan hotel tempat Akashi menginap. Rakuzan memang bukan sekolah biasa! Tempat menginap untuk latih tandingnya saja di hotel berbintang.
"Terima kasih sudah mengantarku Shintarou. Kutunggu janjimu di Interhigh nanti." Ujar Akashi sambil tersenyum. "ini karena kita searah, Sei." Jawab Shinchan sambil berbalik dan kembali melangkah melanjutkan perjalanannya. "Tunggu aku, sei! Aku dan timku pasti akan mengalahkanmu di Interhigh nanti!" Ucap Shinchan dengan suara keras. Setelah melihatnya menghilang dari pandangan, aku menatap Akashi dan berkata, "Lain kali kami tidak akan kalah!" Akashi menatap mataku dengan lurus dan menjawab, "Kita lihat nanti"
Sambil tersenyum, aku melangkahkan kakiku ke arah berlawanan dari arah shinchan. Tapi, sebelum aku melangkah terlalu jauh, tiba-tiba Akashi memanggilku. "Takao Kazunari!" Aku menoleh sambil melihat dia berjalan mendekatiku. "Kau, berhati-hatilah. Jangan pernah menabrak seseorang atau sesuatu." ucapnya dengan suara pelan. Karena posisi kami cukup dekat, aku tetap bisa mendengar suaranya yang pelan bagai berbisik itu. "wah, Akashi si Kapten dari Kiseki no sedai mengkhawatirkan ku? Suatu kehormatan." Ujarku sambil tertawa. "tenang saja, aku akan berhati-hati. Aku tidak seceroboh itu kok. Terima kasih sudah mau mengkhawatirkanku." Ujarku sambil melenggang pergi dan melambaikan tangan ke arah Akashi.
Sebenarnya aku sedikit kepikiran dengan kata-kata Akashi. Kudengar dari Shinchan, Akashi itu bisa memprediksi masa depan. Apa jangan-jangan akan terjadi sesuatu padaku? Apakah nanti aku tidak sengaja tertabrak copet? Ataukah aku tidak sengaja menabrakkan kepalaku ke tiang listrik karena melamun? Atau..
Tanpa kusadari tidak jauh dari tempatku berdiri, ada dua orang anak kecil yang sedang bermain kejar kejaran. Salah satu dari mereka berlari kearahku, lalu tidak segaja tersandung kakinya sendiri. Reflek, aku segera menangkap anak itu. Tidak, aku BERMAKSUD untuk menangkap anak itu. Tapi yang terjadi anak itu tetap jatuh dengan keras dan menangis. Aku sama sekali tidak mengerti. Rasanya aku sudah menangkap anak tadi sebelum terjatuh, lalu kenapa ia tetap terjatuh?
Aku berjongkok di depan anak itu sambil bertanya "Kamu tidak apa-apa? Bagian mana yang sakit? Ayo sini kita bersihkan lukamu dulu." Ketika aku hendak menyentuh kepala anak itu...
...tanganku menembus kepala anak itu! Ha? Apa ini? Jangan-jangan anak ini hantu yang bergentayangan di daerah ini! Aku mundur perlahan. Tiba-tiba, seorang gadis remaja berlari menembus diriku dari belakang dan mendekati anak yang jatuh tadi. "kau tidak apa-apa?" tanya gadis itu.
Apa maksudnya ini? Ada apa dengan tubuhku?
Aku mencoba berlari ke jalan raya dan berhenti di tengah-tengah, seolah menunggu datangnya maut. Tapi mau itu tidak pernah datang...
Aku menatap mobil-mobil yang melintas melewati tubuhku dengan tidak percaya.
"Jadi ini, penyebab mengapa Akashi mengatakan hal itu padaku."
"Jadi ini penyebab mengapa Shinchan menganggapku tidak ada."
Aku berlari menuju rumah dan menembus dinding menuju ruang tengah. Di ruang tengah terdapat butsudan dengan fotoku di tengahnya dan kouge.
...karena diriku yang sebenarnya sudah mati terlebih dahulu.
TBC
Fic kedua di fandom ini. maaf berantakan, ini nulis kilat sejam. lagi mau coba nulis pakai sudut pandang orang pertama yang sebenarnya orang ketiga (?)
semoga kalian semua berkenan :)
