warning(s) : drugs use, alcohol use, homophobic, explicit language, underage drinking and smoking.

tolong di baca warningnya dengan serius ya, karena bakal banyak hal-hal yang berhubungan sama narkoba dkk(?), jadi hal-hal buruk yang ada di FF ini tolong jangan di tiru yaa terutama bagi yang masih di bawah umur, karena itu semua hanya untuk kepentingan FF semata~~~

.

.

Enjoy~


Chapter 1

.

"Wah, what do we have here?"

Shixun menyipitkan matanya ketika ia melihat sesosok pria berkulit tan sedang berjalan mendekatinya. Tangannya di kepalkan dengan erat ketika melihat lelaki itu tersenyum mengejek ke arahnya, Shixun harus menahan diri agar tidak melemparkan kain pel yang sedang di genggamnya saat ini.

"Aku tidak menyangka kau ternyata murid teladan ya Wu Shixun," nada suara lelaki itu sarat dengan ejekan. "Membersihkan lapangan olah raga seperti ini, benar-benar murid teladan. Atau jangan-jangan kau hanya sedang cari muka saja dengan para guru?"

Shixun kehilangan kesabarannya sampai akhirnya ia menyiprati lawan bicaranya dengan air yang ia gunakan untuk membersihkan lapangan. "Pergi saja kau Kai, ini semua gara-gara ulahmu."

Kai mengerjabkan matanya dengan (pura-pura) polos, "salahku apa? Aku baru saja sampai disini." melihat reaksi Shixun yang tidak bergeming, Kai semakin mendekatkan tubuhnya ke arah lelaki pirang tersebut, "perlu bantuan?" tanyanya dengan nada menggoda.

"Aku akan sangat menghargai bantuanmu jika yang kau lakukan adalah pergi dari sini dan urusi urusanmu sendiri." Shixun membalas perkataan Kai dengan senyuman yang di buat semanis mungkin.

Kai mengangkat tangan kanannya lalu meletakkannya di atas jantungnya, seakan-akan hatinya sakit mendengar perkataan Shixun yang pedas itu. "Ouch, kau menyakiti hatiku sayang." Mendengar itu, Shixun langsung bergerak untuk melayangkan tinjunya ke arah Kai yang langsung di hindari dengan mudah oleh lelaki itu.

"Pergi saja kau sialan!" Shixun kembali menyiprati Kai dengan air.

"Lebih baik kau gunakan mulut cantikmu itu untuk mendesahkan namaku saja, bagaimana?" Kai bertanya sambil tertawa.

Kini kain pel kotor yang melayang ke arah Kai.

.

.

Suasana makan malam di rumah keluarga Wu nampak tenang malam ini, terlihat sang kepala keluarga duduk di ujung meja makan sambil menyantap makanannya dengan perlahan sementara sang putranya yang berambut pirang itu duduk di sebelahnya, menyantap makanannya dengan setengah hati, padahal menu makan malam kali ini adalah kalkun, kesukaan Shixun.

"Kau nampak tidak bersemangat," sang ayah membuka suaranya, membuat Shixun mengangkat kepalanya untuk bertatap wajah dengan ayahnya. "Ada masalah?"

"Hanya…" Shixun menatap kalkun di hadapannya tanpa minat, "tidak sedang bersemangat saja."

Tuan Wu meminum wine dari gelasnya secara perlahan sebelum berkata, "ayah dengar kau mendapatkan hukuman tadi, bertengkar dengan anak dari keluarga Kim itu lagi?" Perlu dikatakan bahwa selain Shixun dan Kai yang sering bertengkar di sekolah, ayah Shixun dan ayah Kai juga merupakan saingan dalam dunia bisnis. Wajar jika terkadang Shixun dan Kai bertengkar dengan membawa-bawa nama keluarga mereka.

"Anak itu memang menyebalkan," gerutu Shixun, "ia tidak bisa melewati sehari saja tanpa mengangggu diriku."

"Kau harusnya abaikan saja dia, anak seperti dia itu kerjaannya hanya mencari perhatian saja, sama seperti kedua orang tuanya. Kau lebih baik dari itu, kau seorang Wu. Kita lebih baik daripada mereka." Tuan Wu bangkit dari duduknya lalu menatap putranya itu dengan pandangan tegas, "ingat siapa dirimu." Kemudian ia beranjak pergi dari ruang makan, meninggalkan Shixun sendiri.

Shixun hanya berdecih sebelum akhirnya mengeluarkan handphonenya dari saku celana, setelah menekan-nekan hpnya untuk beberapa saat, kemudian ia dekatkan hpnya ketelinga dan tersenyum ketika mendengar suara dari sebrang sana.

"Tumben menelpon, ada apa?"

"Ayah mulai lagi, seperti biasa, dan aku butuh seseorang untuk di ajak bicara."

"Haha, perks of being the first born, untung aku tidak jadi kau."

Shixun mendengus kecil, "sialan sekali kau," namun beberapa detik selanjutnya ia tersenyum lagi, "kapan lagi kau ke Guangzhou?"

"Entahlah, aku sangat sibuk di sini." Shixun bisa mendengar lawan bicaranya mendesah berat, "sebentar lagi kelulusan, dan sekolah membebaniku dengan setumpuk soal-soal ujian. Sepertinya aku mabuk hangeul."

Kini Shixun tidak bisa menahan tawanya, "perks of being a smartass, kau harusnya menolak saja ketika ditawari beasiswa itu, kau jadi melewatkan masa-masa indah saat SMA."

"Ugh, ini semua salah ibu." Lawan bicaranya merengek, "tapi ibu bilang kalau aku berhasil dapat beasiswa ke Inggris itu, ia memperbolehkanku untuk pergi ke Guangzhou!"

Mata Shixun melebar dengan semangat, "benarkah?"

"Kau bersemangat sekali, pasti sangat merindukanku." Mendengar itu, mereka berdua terkekeh. "Aku pasti akan mendapatkan beasiswa itu, tidak akan aku biarkan perjuanganku selama 2 tahun ini sia-sia hanya karena gagal mendapatkan beasiswa ke Inggris."

Shixun kini tersenyum, senyumannya tulus, senyuman yang jarang ia perlihatkan kepada siapapun selain orang-orang tertentu saja, "kau tahu kalau aku pasti selalu mendukungmu, kan?"

Jeda sejenak, namun Shixun tahu lawan bicaranya juga sedang tersenyum di seberang sana, "ya, aku tahu."

.

.

"Shixuuuun babyyyyy!"

Sebuah teriakan cempreng nan berisik menyapa pendengaran Shixun yang kemudian memutar kedua matanya dengan malas, "ada apa Lu?"

"Kau masam sekali hari ini? Sedang PMS ya?" dahi Luhan mengkerut ketika melihat wajah Shixun yang mendung.

Shixun menatap Luhan dengan jengkel, "aku ini laki-laki, Luhan bodoh. Mana mungkin bisa PMS."

"Bisa saja, siapa tahu kau ternyata punya hormon progesteron—"

"LU!"

Luhan mengangkat kedua tangannya dengan pasrah, "oke oke, santai sedikit bung." Luhan lalu memperhatikan Shixun dari atas hingga bawah, "tapi serius, apa yang membuatmu jadi gloomy seperti ini? Apa karena pertengkaranmu dengan Kai kemarin?"

Shixun menghela nafas, "itu salah satu dari sekian banyak alasan kenapa moodku sedang jelek hari ini."

Kedua lelaki itu akhirnya berjalan menelusuri lorong sekolah, Luhan mendelik ketika ia melihat beberapa murid perempuan tersenyum-senyum penuh minat ke arah Shixun yang berjalan dengan wajah masih ditekuk. "Kau tahu, kau punya banyak penggemar wanita."

"Aku tahu."

"Dan kau tidak berniat untuk memacari salah satu dari mereka?"

"Tidak, tidak ada yang menarik perhatianku."

Luhan mengangkat alisnya, "lalu apa yang menarik perhatianmu?"

Shixun tersenyum miring, "dicks." Jawabnya santai, lalu berjalan meninggalkan Luhan yang sedang terdiam, sibuk mencerna perkataannya.

"Oh serius!" Luhan kini berhasil mengejar Shixun, ia menarik lengan kanan lelaki itu hingga membuat Shixun menghadapnya. "jadi sekarang kau biseksual atau apa?"

Shixun mengangguk, "pemakan segala."

"Ew, jangan gunakan kiasan itu." Wajah Luhan mengkerut, "lame." Shixun tertawa mendengar perkataan Luhan, namun tiba-tiba ia harus sedikit menahan tubuh Luhan yang entah kenapa terdorong ke arahnya. Shixun bisa mendengar Luhan mengumpat kecil dengan bahasa mandarin, ketika ia menoleh ke arah depan Luhan, ternyata ada seorang anak laki-laki yang terjatuh dan entah bagaimana menubruk Luhan yang juga menubruknya.

"Ma-maafkan aku," anak lelaki itu buru-buru berdiri dan merapihkan pakaiannya, ia menoleh dengan takut-takut ke arah Luhan dan Shixun yang kini sedang menatapnya dengan pandangan kesal.

"Kau?" Shixun berusaha mengenali sosok di hadapannya ini, "Yixing, bukan? Kenapa bisa terjatuh?" Shixun memang tidak begitu mengenal sosok Yixing, yang ia tahu hanyalah mereka memasuki kelas Kalkulus bersama, dan Yixing adalah tipe murid yang duduk di barisan paling depan dan dengan semangat menjawab semua pertanyaan guru sekaligus mendapatkan nilai sempurna ketika ujian.

"T-tadi seseorang mendorongku, a-aku tidak tahu siapa." Yixing nampaknya sangat gugup hingga ia memainkan ujung seragamnya, "sekali lagi, maafkan aku."

"Aku yang melakukannya."

Shixun mengepalkan kedua tangannya ketika mendengar suara lain yang sangat familiar dan juga di benci olehnya, kemudian dengan setengah hati ia menoleh ke samping kanan dan mendapati Kim Kai sedang berdiri di sana dengan senyumannya yang menyebalkan itu. Luhan yang kini juga sudah menyadari kehadiran Kai, kembali menggumamkan sumpah serapah yang sudah pasti di tujukan untuk lelaki itu.

"Nah Yixing, kau boleh pergi." Kai berkata, salah satu tangannya bergerak untuk mengusir Yixing yang dengan cepat pergi meninggalkan mereka bertiga yang sedang saling melemparkan tatapan kebencian.

"Wah, Kim? Sedang apa kau di sini? Bukannya kelas untuk para pecundang ada di sebelah sana?" ujar Shixun sambil menunjuk ke arah gudang sekolah.

Kai malah menyeringai, "seharusnya aku yang bertanya seperti itu, setahuku, sampah seperti kalian itu adanya di tempat sampah belakang sekolah. Aku heran, petugas kebersihan nampakya buta hingga tidak menyadari ada dua sampah yang masih berkeliaran di gedung sekolah."

Luhan sudah maju selangkah dan bersiap-siap untuk meninju Kai, namun Shixun menahan pergerakan lelaki itu. "Jangan terpancing amarahmu hanya karena pecundang seperti dia, Lu." Kata Shixun, "kita tidak akan berurusan dengan pecundang yang bahkan tidak bisa membela timnya sendiri."

Dengan gerakan yang cepat, Kai kini sudah meraih blazer Shixun dan menarik lelaki itu hingga jarak mereka semakin dekat. Kedua mata Kai dipenuhi amarah, sementara Shixun membalas tatapan Kai dengan penih kebencian, "jangan bawa-bawa masalah itu lagi, Wu. Atau kau mau wajah cantikmu ini ternodai dengan darah lagi?"

Shixun terkekeh, mengabaikan sebutan 'cantik' yang di berikan Kai kepadanya. "Aku tidak keberatan jika itu artinya aku bisa melihat kedua tanganmu patah lagi, atau mungkin di tambah kakimu yang patah."

"Hmph," Kai semakin mengeratkan cengkramannya di blazer Shixun, "lihat saja nanti."

Shixun menyeringai, "siapa takut." Kemudian Kai melepaskan cengkramannya dengan cara menyentak Shixun, lalu ia memberikan kedua lelaki itu tatapan menantang sebelum akhirnya menghilang di tikungan koridor. Shixun menghela nafas kesal, ia tidak akan pernah takut dengan Kai, hanya orang lemah yang takut dengan anak itu, dan Shixun sudah pasti bukan orang yang lemah.

"Benar-benar berengsek." Luhan bergumam di sebelah Shixun, ia kemudian memelototi kerumunan murid yang berkumpul untuk menyaksikan pertengkaran mereka tadi. "BUBAR KALIAN!"

Dalam waktu beberapa detik, kerumunan itu sudah bubar, menyisakan Shixun dan Luhan yang masih enggan beranjak.

"Aku butuh hiburan," desis Shixun, "nanti malam? El Dorado?"

Luhan mengangguk, "tentu saja, lagi pula ku dengar Jackson pulang dengan membawa oleh-oleh untuk kita."

Shixun menatap Luhan dengan pandangan bertanya, "kapan ia balik dari Hong Kong?"

"Tadi pagi, damn, ku dengar keadaannya sangat kacau ketika sampai tadi."

Shixun tertawa, "too much smoking weed pastinya."

.

.

Ketika Shixun membuka pintu rumahnya, ia disambut dengan kesunyian, seperti biasa. Namun, ketika ia menajamkan pendengarannya, ia mendengar sayup-sayup suara terdengar dari arah dapur. Shixun mencibir, ia sudah tahu siapa yang membuat keributan di dapur, tidak salah lagi itu Jungsoo, ketua pelayan di rumahnya sekaligus lelaki yang di tunjuk oleh ayahnya secara langsung untuk mengurusi kebutuhan Shixun. Ayahnya memang berlebihan, Shixun berpikir ia sudah cukup dewasa jadi sebenarnya Jungsoo tidak perlu lagi mengawasi layaknya satpam. Namun untungnya, Jungsoo itu mudah dikelabuhi, lelaki itu tidak pernah tahu jika hampir tiap malam Shixun meloncat keluar kamarnya lewat jendela untuk pergi menghabiskan malamnya di luar sana.

"Shixun? Kau sudah pulang?" Jungsoo muncul dari arah dapur dengan menggunakan apron, apronnya kotor karena cokelat, Shixun menduga ia pasti sedang menghabiskan waktunya di dapur memasak, hanya untuk menggoda para pelayan perempuan.

"Dimana ayah?" tanya Shixun.

"Masih di kantor," jawab Jungsoo sambil melepas apronnya. "Ada apa?"

Shixun melempar tas sekolahnya ke sofa ruang tamu, "malam ini tidak ada acara makan malam bersama relasi atau sejenisnya, kan?"

Jungsoo menggeleng.

"Bagus," Shixun berusaha untuk menyembunyikan senyumannya. "Beritahu ayah aku tidak bisa ikut makan malam bersamanya, banyak tugas dan ujian yang menungguku." Ia kemudian segera berlari menaiki anak tangga, bergegas menuju kamarnya, lalu berhenti ketika ia menyadari satu hal. "Dan kau tidak perlu mengantarkan makan malam ke kamarku, aku sangat tidak ingin di ganggu malam ini."

"Semua baik-baik saja?" tanya Jungsoo dengan raut wajah cemas.

Shixun melemah, meskipun Jungsoo hobi menggoda para pelayan wanita di rumahnya, namun sosoknya yang perhatian mampu mengisi kekosongan di hari-hari Shixun selama ini. "Aku baik-baik saja, hanya, yah kau tahu, sibuk ala murid sekolah."

Jungsoo mengangguk, "jika kau butuh aku, kau tahu harus melakukan apa."

Shixun mengangkat tangan kanannya untuk hormat kepada Jungsoo, "aye aye!"

.

.

"Fuck!" Shixun mengangkat salah satu alisnya ketika melihat Luhan keluar dari kamar mandi dengan wajah masam, "Mark harus memelankan suaranya jika ia sedang sibuk menyetubuhi seseorang di dalam kamar mandi."

Seorang lelaki yang duduk di hadapan Shixun tertawa, "kau saja yang lemah, Lu. Aku bertaruh kau pasti tidak hanya buang air kecil di kamar mandi, kan?"

Luhan melempar tatapan tajam kearah lelaki itu, "shut up, Zitao." Ia kemudian menghempaskan tubuhnya di sebelah Shixun, "lagipula sepertinya Mark punya mainan baru."

Shixun memutar matanya, "oh, dia selalu punya mainan baru setiap minggu."

"Siapa kali ini?" Luhan merebut sebatang rokok dari tangan Tao, yang langsung mendapat protes dari sang pemilik.

"Jia." Jawab Tao santai.

Luhan menghembuskan asap rokok keluar dari mulutnya sebelum mengernyit, "Jia? Bukannya ia terlalu tua untuk Mark?"

"Kalau kau menyadarinya, lelaki jaman sekarang lebih menyukai pasangan yang lebih tua." Jawab Tao sambil meneguk sebotol vodka, ia kemudian menoleh ke arah Shixun, "kau tahu, kemarin ku dengar musuh bebuyutanmu a.k.a Kim Kai berhasil melumpuhkan sepasukan anak buah Dongho."

"Aku tidak peduli." balas Shixun.

"Dia hanya tidak mau mengakuinya," kata Luhan dengan nada mencemooh, "padahal dalam hati sudah panas."

Shixun melotot ke arah Luhan, "kau menyebalkan." Kemudian mereka bertiga sontak menoleh ke arah pintu ruangan yang tiba-tiba terbuka dan menampilkan sesosok lelaki dengan rambut pirang yang lebih gelap daripada Shixun, tersenyum girang meskipun penampilannya kacau.

"Hey guys, having fun?" kemudian ia dengan santainya menyelipkan diri di antara Luhan dan Shixun.

"Jackson," Shixun dan Jackson kemudian saling tos, begitupula Jackson dengan Luhan dan Tao, "kudengar kau membawa sesuatu untuk kami? Kau tahu, oleh-oleh dari Hong Kong."

"Berita rupanya cepat sekali menyebar," Jackson menyeringai lalu merogoh sesuatu dari jaketnya, ketika ia mengeluarkan tangannya, ia juga turut mengeluarkan sebuah paket.

Mata Shixun membelak dengan semangat, "kau pasti bercanda!"

Sementara Luhan masih kesulitan untuk menebak apa yang di bawa oleh Jackson, "apa itu?"

Jackson kemudian merangkul Luhan dan menarik lelaki itu agar bisa melihat barang yang ia bawa dengan lebih jelas, "ini, my friend, adalah California Sunshine."

"Dengan kata lain LSD." Tao menyeringai, sama seperti Shixun, ia juga menatap barang yang di bawa Jackson dengan semangat, "dude, bagaimana bisa kau menyelundupkannya ke sini?" ia mengambil salah satu paket dan mulai menyobek bungkusannya dengan semangat.

"I have my own way." Ia kemudian juga membuka paket itu dan menuang isinya dengan asal-asalan ke atas meja. "Cobalah."

Luhan mengambil satu dan tersenyum mengejek, "seriously, Wang? Frozen?"

"Hey, bukan aku yang menginginkannya. Lagipula para petugas keamanan mudah sekali dikelabuhi jika gambarnya Elsa atau Anna." Protes Jackson.

Shixun mencondongkan tubuhnya ke meja dengan semangat, "aku mau yang gambar Olaf."

"Aku dapat yang Sven." Ujar Tao malas, kemudian melirik Luhan di tangannya terdapat LSD bergambar Elsa dan Anna, "ambil yang Anna saja Lu, cocok untukmu." Setelah berkata seperti itu, Tao mulai tertawa-tawa sendiri. Tripping bagi Tao sudah di mulai.

"Diam kau Zitao," Luhan meneguk sebotol gin sebelum akhirnya menyesap LSD yang dibawa Jackson tadi, "aku menginginkan perjalanan baik, goodbye world!." Kemudian ia merosot di tempat duduknya dan tripping menyusul Tao.

Kini tinggal Jackson dan Shixun saja. Jackson sekarang sibuk dengan gin yang tadi diminum Luhan sementara Shixun sibuk memandangi langit-langit ruangan yang terlihat remang-remang karena penerangan yang minim.

"Kau sepertinya sedang depresi, Xun." Sahut Jackson santai, "apa yang membuat pewaris Wu Corp. depresi seperti ini padahal ia sudah tidur dalam buaian emas?"

Shixun tersenyum kecil tanpa mengalihkan pandangannya dari langit-langit, "lebih baik tidur di atas sofa apek ini daripada tidur di dalam buaian emas."

Jackson menepuk-nepuk dahi Shixun, "kenapa? Tidak sesuai dengan seleramu?"

"Karena tidur di sana sama saja terperangkap dalam sangkar emas." Shixun akhirnya memasukan LSD itu kemulutnya dan mulai menyesapnya. "I gotta go, see ya." Kemudian ia menutup kedua matanya.

.

.

Shixun membuka matanya perlahan ketika suara ringtone hp yang familiar menyapa pendengarannya.

"shit." Ia bergumam ketika merasakan kepalanya pening setengah mati dan pandangannya blur. Ia kemudian merogoh saku celananya dan ketika kesadarannya mulai terkumpul, ia melihat siapa yang menelponya pagi-pagi seperti ini.

Jungsoo hyung calling

"Sialan!" Shixun dengan tergesa-gesa bangkit dari posisinya yang terbaring di depan kamar mandi, 'gross' pikirnya. Ia tidak ingat apapun dari kejadian semalam, termasuk bagaimana caranya hingga ia berakhir tidur beralaskan keset kamar mandi yang berbau pesing.

"Mau kemana?" itu suara Luhan, Shixun menoleh dan menemukan sobatnya itu sedang terlentang di atas meja, dan menatapnya dengan pandangan sayu.

"Pulang," jawab Shixun, ia terlalu tergesa-gesa hingga tidak memperhatikan langkahnya dan ia harus sedikit tergelincir genangan air yang entah berasal dari mana. "fuck. Sampaikan terima kasihku kepada Jackson." Ia berkata sambil melirik Jackson yang sedang terlelap dengan posisi badan berada di atas tubuh Tao, entah apa yang telah mereka lakukan semalam, hanya mereka berdua yang tahu.

"Kay.." jawaban lemas Luhan menjadi tanda bagi Shixun untuk segera keluar dari ruangan itu.

Sepanjang perjalanan kerumahnya yang terasa berabad-abad bagi Shixun, ia harus menjaga keseimbangannya agar tidak jatuh dengan memalukan di jalanan, sementara tangannya sibuk meng-sms Jungsoo agar lelaki itu tidak memasuki kamarnya dan menemukan kamar itu kosong. Seskali Shixun berhenti sebentar untuk berpegangan dengan tiang terdekat, ia masih hangover berat sekarang, belum lagi nanti ia harus memanjat agar bisa memasuki kamarnya.

"Wow, Wu. You look like shit."

Shixun menghela nafas, ia tidak mau mendapatkan masalah sepagi ini, belum lagi sakit kepalanya yang tidak ada hentinya. "You're shit, Kim. Pergi jauh-jauh sana."

Kai malah berusaha menghalang-halangi Shixun untuk berjalan lebih jauh lagi, "kau benar-benar mabuk semalam."

"Peduli apa kau? Sekarang minggirlah dan biarkan aku pulang." Shixun berusaha untuk menggeser Kai namun usahanya sia-sia karena ia terlalu lemas untuk itu.

"Kau serius ingin pulang dengan keadaan seperti itu? Kau ingin membuat Daddy Wu terkena serangan jantung mendadak ketika melihat anak lelaki satu-satunya pulang dalam keadaan setengah sadar sehabis pesta semalaman tanpa sepengetahuan dirinya?" nada suara Kai entah mengapa terdengar menyebalkan di telinga Shixun, tapi perkataan lelaki itu ada benarnya, Shixun sendiri sebenarnya tidak yakin apakah ia bisa memanjat rumahnya dengan selamat atau tidak dengan keadaannya yang seperti ini.

"Lalu kau menyarankan aku agar berbuat apa?" tanya Shixun sebal.

"Entah." Jawab Kai sambil menyeringai.

"Fuck off." Geram Shixun, percuma jika ia harus berdebat dengan Kai, hanya menghabis-habiskan waktunya saja.

"Tapi aku akan senang hati untuk menjadi saksi alibimu jika nanti kau ketahuan oleh ayahmu."

Shixun menatap Kai dengan pandangan curiga, "kenapa kau jadi baih begini?"

Kai memutar matanya, "aku ini manusia, Wu, bukan iblis, jadi aku masih bisa berbuat baik."

"Mana ada iblis mengaku manusia." Gumam Shixun yang masih dapat di dengar oleh Kai.

Kai mendengus, "kau mau ku bantu atau tidak?"

Meskipun masih curiga, namun Shixun benar-benar butuh bantuannya sekarang. "Baiklah!" suara Shixun naik beberapa oktaf, "kau yang pikirkan apa alibinya, aku tidak bisa berfikir sekarang."

"Aku sudah punya satu, ayo kita menuju rumahmu." Tanpa persetujuan dari Shixun, Kai menarik tangan lelaki itu dengan cepat hingga membuat Shixun sempat oleng.

"Pelan-pelan sialan!"

.

.

"Astaga! Shixun! K-kenapa kau bisa—"

Shixun hanya bisa tersenyum kecil menyaksikan Jungsoo yang berteriak histeris di depan pintu rumahnya. Sementara Kai di sebelahnya sedang memasang senyum semanis mungkin untuk meyakinkan Jungsoo bahwa ia adalah anak baik-baik. Jungsoo dengan pandangan penuh selidik menatap Shixun dan Kai secara bergantian. Ia baru saja ingin menceramahi Shixun, namun Kai dengan cepat menyelanya dengan menceritakan alasan mengapa Shixun bisa keluar dari rumah tanpa sepengetahuan siapapun.

"Untung sekali ayahmu sedang tidak ada di rumah." Omel Jungsoo ketika ia mempersilahkan keduanya masuk ke dalam. "Aku bisa dipecat ayahmu jika beliau tahu kau pergi tanpa izin."

Shixun hanya tersenyum, dalam hati ia merutuki Kai yang dengan seenak jidatnya memaparkan alasan bahwa ia semalam pergi tanpa pamit adalah karena benar-benar merasa bersalah kepada Kai atas perkelahian mereka tempo hari lalu, ia pergi dari rumah tanpa sepengetahuan siapapun hanya untuk meminta maaf kepada Kai di rumahnya, dan karena waktu sudah malam, Kai 'dengan baik hati' menawarkan Shixun untuk sekarang Shixun baru pulang.

"Nah, Jungsoo hyung." Kini Shixun menoleh untuk menatap Jungsoo yang sedang sibuk membawakan minuman untuk mereka berdua, "Kai tadi sudah berjanji kepada kedua orang tuanya bahwa ia tidak akan berlama-lama di sini karena mereka sekeluarga akan pergi ke Shanghai, bagaimana kalau hyung menemani Kai untuk keluar? Kai akan sangat berterima kasih." Shixun berkata sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Kai yang baru saja ingin meminum minumannya.

Kai dan Shixun saling melempar pandangan meremehkan sebelum akhirnya Jungsoo menggiring Kai untuk keluar dari rumah. Shixun menghela nafas, lalu ia bergegas berlari menuju kamarnya, mengunci pintu, dan menghempaskan diri ke atas kasur. Kini hangovernya mulai mereda, dan ia memutuskan untuk bermain-main sebentar dengan hpnya. Tangannya bergerak untuk mengscroll postingan-postingan teman-temannya di Instagram, ada beberapa foto yang di posting oleh Luhan sesaat sebelum mereka pergi ke El Dorado, Mark juga memposting beberapa foto bersama 'mainan; barunya, sisanya postingan-postingan lain dari teman sekolahnya dan beberapa kenalan. Namun jari Shixun terhenti ketika ia menemukan sebuah foto yang di posting oleh sadar, jari telunjuknya bergerak untuk mengusap foto itu, mulutnya juga membentuk senyuman yang ia tidak sadari.

Namun tiba-tiba layar hpnya berubah menjadi panggilan masuk, dan matanya otomatis melebar dengan antusias.

"Halo?"

"Kau dimana?"

"Rumah? Ada apa?"

"Sudah mandi?"

Shixun mengernyit ketika mendengar pertanyaan itu, "memangnya kenapa?"

"Jemput aku."

Kali ini Shixun tertawa, "kau bercanda? Kau di Korea sana, mana bisa aku menjemputmu, kecuali kau sedang—" tawanya terhenti secara mendadak, "fuck. Jangan bilang kau…"

Sekarang lawan bicaranya yang tertawa, "Benar sekali, pesawatku baru saja landing di Guangzhou Baiyun International Airport, jadi cepat jemput aku di sini."

.

.

Shixun tidak tahu ia harus merasa senang atau kesal sekarang. Dengan terburu-buru dan setelah berhasil berteriak kepada Jungsoo mengenai tujuannya pergi sekarang, ia mengendarai mobil Audri R8 nya dengan kecepatan yang tidak lambat, ia tidak bisa menahan gejolak rasa bahagia di dalam dadanya, bagi Shixun ini lebih menyenangkan dibanding tripping LSD semalam.

Sesampainya di bandara, ia dengan cepat memarkir mobilnya di parkiran terdekat dengan pintu masuk dan melesat keluar dari mobil. Senyuman tidak lepas dari bibirnya sembari ia melangkah menuju gedung bandara. Matanya sibuk mencari-cari sesosok orang yang sudah bertahun-tahun tidak di jumpainya, dan ketika ia melihat seseorang dengan rambut hitam familiar sedang bersandar di dinding dengan koper biru di sebelahnya, Shixun tidak bisa menahan dirinya untuk berlari dan meneriakkan nama orang itu.

"SEHUN-AH!"

Lelaki yang dipanggil Sehun itu menoleh, dan senyuman di bibirnya tidak kalah lebar dengan Shixun. "SHIXUN!" ia sedikit terhempas ke belakang ketika akhirnya Shixun menerjang tubuhnya dengan sebuah pelukan.

"Sialan kau! Kenapa mendadak sekali datang ke sini?" senyuman masih tidak bisa lepas dari mulut Shixun, begitu pula Sehun.

"Kejutan untukmu," Sehun tertawa, namun kemudian ia mendorong bahu Shixun dengan sedikit keras, "apa-apaan kau? Baumu pekat akan asap rokok."

Shixun mengedipkan sebelah matanya, "kehidupan malam yang keras." Ia kemudian merangkul Sehun sementara tangan lainnya menarik koper biru yang di bawa lelaki itu, kedua lelaki itu mulai berjalan menuju parkiran mobil. "Jadi, apa kabar adik kembarku yang satu ini? Kau pasti berhasil mendapatkan beasiswa ke Inggris itu?"

"Kabarku baik, dan tentu saja aku berhasil, kalau tidak, aku tidak akan berada di Guangzhou sini." Jawab Sehun, "bagaimana kabarmu dan ayah?"

"Aku selalu baik, dan ayah juga seperti biasanya, kaku dan membosankan." Shixun mencibir, "ibu bagaimana?"

Sehun menghela nafas berat, "yah, kau pasti sudah mendengar skandal terbaru ibu."

"Dengan CEO perusahaan apa lagi sekarang?"

"Salah satu stasiun TV, ia menjanjikan comeback yang meriah untuk ibu, sangat meriah dengan peringkat 1 di setiap chart mingguan." Kini mereka sudah berdiri di belakang mobil Shixun, sementara Shixun berusaha untuk meletakkan koper Sehun di bagasi, lelaki berambut hitam itu melanjutkan ceritanya. "Padahal CEO tua bangka itu sudah memiliki istri 2, dan for fuck's sake, anak pertamanya bahkan sebentar lagi akan melahirkan."

Shixun menatap kembarannya itu dengan senyum miring, "yah, kau tahu industri hiburan itu seperti apa." Kemudian masuk ke dalam mobil.

Sehun cemberut sebelum akhirnya menyusul sang kembaran memasuki mobil, "ayah ada di rumah?"

"Tidak, entah dia pergi kemana, bukan urusanku." Balas Shixun ketus sambil menyalakan mesin mobil.

"Jangan begitu, beberapa tahun yang akan datang kau akan berada di posisi ayah saat ini, wahai penerus Wu Corp. yang terhormat." Goda Sehun sambil menyiku kembarannya dengan main-main.

Shixun bergumam pelan, "jangan ingatkan aku."

.

.

Kini kedua saudara kembar itu sedang bermalas-malasan di kamar Shixun setelah melewati reuni yang mengharukan antara Jungsoo dan Sehun, Shixun harus menahan tawanya ketika kedua lelaki melankolis itu berpelukan sambil berderai air mata. Jungsoo berkata bahwa ia akan menyuruh para koki untuk menyiapkan makanan yang banyak untuk menyambut Sehun, lalu ia mendorong kedua lelaki itu ke dalam kamar Shixun, bersikeras bahwa Sehun butuh istirahat.

"Bagaimana sekolahmu?" tanya Sehun yang sedang sibuk melihat-lihat buku pelajaran Shixun di meja belajar.

"Aku tidak sepintar kau, jadi sekolah terasa seperti neraka bagiku." Jawab Shixun yang sedang berbaring di atas kasur.

"Apa kau termasuk tipe anak bandel?"

Shixun menyeringai, "you have no idea."

Sehun berhenti membolak-balik buku fisika Shixun dan mengernyit ketika melihat saudara kembarnya itu menyeringai, "bau rokok yang menempel padamu sudah menjelaskan semuanya."

"100 poin untukmu adik kecil," gumam Shixun, kemudian ia berbalik untuk menatap Sehun yang masih sibuk dengan buku pelajarannya, "bagaimana kalau kau saja yang mengerjakan PR ku?" pertanyaan itu sukses membuat Shixun terkena lemparan kotak pensilnya sendiri.

"Kau mendapat nilai 20 untuk pelajaran Bahasa Mandarin?" tanya Sehun sambil menatap kertas ulangan Shixun dengan tatapan tidak percaya. "Kau kan orang China."

"Jangan rasis, meskipun kau tinggal dan besar di Korea, kau lahir di China, jadi kau juga orang China." Balas Shixun sambil balik melempar kotak pensilnya ke arah Sehun. "Puisi Mandarin itu membuat kepalaku penat."

"5 untuk nilai Kimia." Sehun mendengus, "10 untuk fisika, 5 untuk biologi, 2 untuk kalkulus, 0 untuk aljabar! Astaga!"

Shixun menatap Sehun yang sedang menginspeksi kertas ulangannya dengan seksama, "kalau kau ke Guangzhou hanya untuk menceramahi nilai-nilaiku, dengan senang hati aku akan mengantarmu balik ke bandara."

"Bagaimana caranya kau bisa naik kelas?" tanya Sehun dengan tidak percaya.

"Ada banyak jalan menuju Roma."

"Jangan bilang kau menyogok."

"Tidak dengan uang."

"Lalu?" tanya Sehun curiga, "kau menyogok guru dengan apa?"

"Dengan wajahku." Jawab Shixun dengan bangga. Namun ketika melihat ekspresi wajah Sehun yang horor, membuat Shixun cepat-cepat berkata, "bukan seperti itu. Aku hanya perlu menebar senyum di depan guru yang bersangkutan, dan dengan mengeluarkan sepatah dua kata lalu BAM! Aku naik kelas."

"Ew menggelikan, dasar." Sehun bergidik membayangkannya, hal itu sontak menyambut tawa yang berderai keluar dari mulut Shixun. "Kau masih sering bertengkar di sekolah?" tanya Sehun.

Shixun mendengus, "baru saja kemarin aku bertengkar dengan Kai."

"Kai? Orang yang selalu kau keluh kesahkan itu?" Kini Sehun sudah memusatkan perhatiannya kepada Shixun dan menelantarkan kertas-kertas ulangan kembarannya itu. "Memangnya bagaimana wujud orangnya?"

"Kau tidak akan mau tahu, adik kecil. Wajahnya begitu menggelikan buruknya hingga rasanya aku ingin muntah jika harus berpapasan dengannya." Ujar Shixun sambil berpura-pura memuntahkan sesuatu.

"Kau masih berantem dengannya karena masalah perebutan jam latihan futsal dan basket itu?"

"Itu belum seberapa."

Sehun beranjak dari duduknya dan sekarang ia duduk di atas kasur, kemudian mengambil bantal dan memukul kembarannya menggunakan bantal itu. "Berhentilah membuat masalah dan perbaiki nilai-nilaimu!"

Shixun malah memeluk dan membenamkan wajahnya di bantal yang tadi digunakan Sehun untuk memukulnya, "yeah, mungkin nanti saja."

Sehun baru saja ingin melemparkan bantal lain ke arah Shixun, namun sebuah ketukan di pintu memberhentikan kegiatannya. "Shixun? Sehun? Ayah kalian sudah pulang." Itu suara Jungsoo. Mendengar hal itu, kedua saudara kembar itu saling berpandangan.

"Kau ingin bertemu ayah?"

Sehun menghela nafas, "sekaku apapun ayah kita, aku tetap merindukannya. Ayo, kita kebawah."

.

.

"Bagaimana kabarmu Sehun?"

"Tentu saja baik, ayah." Sehun menjawab sambil tersenyum. Kini kedua saudara kembar itu sedang duduk-duduk di ruang keluarga rumah mereka dengan sang ayah, setelah tadi Sehun berlari dan menerjang ayahnya dengan sebuah pelukan, yang di balas dengan kekehan dari ayah mereka.

"Ini sudah dua tahun, kan? Bagaimana sekolahmu?"

"Aku mendapatkan beasiswa ke Inggris, jadi setelah masa liburku habis, aku akan langsung pergi ke Inggris." Jelas Sehun masih dengan senyuman.

Tuan Wu tersenyum bangga ke arah Sehun, lalu matanya melirik Shixun yang sedang duduk di sebelah sang adik dengan santainya. "Kau dengar itu Shixun? Kau yang lebih tua harusnya bisa lebih baik dari Sehun."

Shixun hanya memutar kedua matanya malas sambil meminum secangkir teh yang tadi di sediakan Jungsoo.

Tuan Wu kini menoleh lagi ke putra bungsunya, "kau di terima di universitas mana?"

Senyum Sehun semakin berkembang, "Cambridge."

Shixun tersedak tehnya, membuat Tuan Wu langsung menoleh ke arahnya dengan pandangan tajam. "C-cambridge?" ulangnya yang di balas dengan anggukan oleh Sehun.

'sial, aku tidak menyangka dia sepintar ini. Yixing yang ranking satu di angkatan saja gagal mendapatkan beasiswa ke Cambridge.' Batin Shixun sambil mengelap mulutnya dengan tisu.

"Putraku memang hebat," Tuan Wu tersenyum puas sambil menepuk-nepuk punggung Sehun, "kapan kau berangkat? Ayah akan mengantarmu ke Inggris."

Shixun cemberut mendengar perkataan ayahnya, benar-benar pilih kasih. Sementara itu Sehun dengan riangnya memberitahu ayah mereka jadwal keberangkatannya ke Inggris bulan depan.

"Selama tinggal di sini, kau bantu kakakmu itu belajar." Ujar Tuan Wu, "nilai-nilainya sangat mengecewakan."

"Tentu saja ayah!" Sehun membalasnya dengan semangat sambil merangkul Shixun. "Aku akan membantunya hingga ia bisa lulus dengan nilai memuaskan!"

Setelah puas berbincang-bincang dengan ayah mereka, kedua saudara kembar itu kini kembali bermalas-malasan di kamar. Mereka berdua berbaring bersisian di atas kasur sambil menatap langit-langit kamar.

"Enak sekali kau sudah lulus SMA." Kata Shixun, "kau tidak perlu belajar lagi."

Sehun menjitak kepala Shixun dengan pelan, "aku masih harus belajar, kau tahu. Kalau nilai-nilaiku jelek, bisa-bisa beasiswaku di cabut." Kemudian jeda sebentar sebelum akhirnya Sehun melanjutkan perkataannya, "tapi aku jadi sedikit menyesal, karena terlalu fokus belajar jadi tidak menikmati masa-masa sekolahku."

"Kalau begitu kau gantikan aku sekolah saja, jadi kau bisa merasakan bagaimana rasanya jadi anak 'normal'." Canda Shixun.

Tapi ternyata reaksi Sehun di luar dugaannya, lelaki itu terlonjak bangun dari tidurannya dan menatap Shixun dengan mata membesar, "ide bagus!"

"Tunggu!" Shixun kini ikut-ikutan bangkit, "kau serius?"

Sehun mengangguk dengan semangat, "ayah bilang aku harus membantumu belajar, kan?" ia tersenyum jahil. "Ini adalah salah satu caraku untuk membantumu."

"Lalu jika kau yang sekolah, aku harus melakukan apa di rumah?" tanya Shixun sambil mengernyit.

"Tetap belajar, tentu saja. Aku tahu, kau bukan tipe orang yang bisa belajar jika di sekolah, jadi gunakan waktu sebaik-baiknya di rumah untuk belajar." Jawab Sehun sambil memutar matanya, "kita haya perlu mengubah warna rambut kita dan semua orang pasti akan pangling."

"Tapi—"

Sehun meletakkan jari telunjuknya di depan mulut kembarannya, bermaksud untuk mendiamkan Shixun. "tenang saja, masalah nilaimu akan ku atasi. Lagipula aku juga tidak perlu belajar di sekolahmu, jadi kalau ujian aku akan menjawabnya asal-asalan, kau kan bodoh, hahaha." Ucapan Sehun itu dihadiahi lemparan bantal oleh Shixun.

"Oh atau tidak," Sehun melanjutkan. "Kau bilang saja pada ayah kalau kau ingin bertemu dengan kakek di Beijing dan menginap di sana selama beberapa hari, aku yakin ayah tidak akan keberatan."

Kedua mata Shixun langsung membelak dengan semangat, "benar juga!"

Sehun menatap kakak kembarnya dengan geli, "pasti kau senang sekali, ya, pergi ke Beijing." Ia tersenyum mengejek dan Shixun hanya berdecak sebal, "jangan ngambek begitu, sekarang ayo ikut aku." Ujarnya sambil bangkit dari kasur.

Shixun menatap Sehun yang sedang mengenakan jaketnya dengan heran, "mau kemana?"

"Salon," ujar Sehun sambil tersenyum, "kita harus mewarnai rambut kita."

.

.

"Aneh, aku merasa seperti sedang berbicara dengan diriku sendiri di cermin." Gumam Sehun sambil memperhatikan Shixun dengan warna rambut barunya. Mereka sudah menghabiskan waktu sejam di dalam salon, dan sekarang penampilan mereka sudah berubah, Shixun dengan rambut hitam dan Sehun dengan rambut pirang.

Shixun menggunakan tangan kanannya untuk menelusuri rambut barunya, "same here." Ia berbalik untuk menatap cermin, dan bergidik ketika menyadari bahwa warna hitam memang cocok untuknya, namun ia tidak bisa berhenti memikirkan Sehun ketika ia melihat bayangannya sendiri di cermin.

"Nah sekarang," ujar Sehun yang berhasil membuat Shixun berbalik untuk menatapnya lagi, "kau tinggal menunjukkan kepadaku siapa saja teman-temanmu di sekolah, kau tahu, agar aku tidak kebingungan nanti."

Shixun terlihat berpikir sebentar sebelum akhirnya menarik tangan Sehun keluar dari salon itu, "mau kemana?" tanya Sehun, tetapi ia tidak protes karena lengannya di tarik secara mendadak oleh sang kakak.

"Sekolahku," ujar Shixun sambil mendorong Sehun masuk ke dalam mobil, "lebih baik ku perkenalkan sekolahku sekarang, benar kan?" lanjutnya sebelum menutup pintu penumpang.

Perjalanan menuju sekolah Shixun di penuhi dengan rentetan penjelasan dari Shixun mengenai nama-nama guru yang mengajar, nama kepala sekolah, hingga nama satpam penjaga sekolah. Shixun juga menceritakan beberapa kebiasaannya ketika berada di sekolah maupun di luar sekolah, seperti bolos pelajaran dan pergi ke atap sekolah bersama Luhan untuk merokok, tawuran antar sekolah dengan murid sekolah lain yang ia jumpai di jalan, adu jotos dengan Kai setiap hari lalu setelah itu mereka harus menjalani hukuman bersama yang berujung dengan tubuh mereka yang memar sana sini karena bertengkar lagi, latihan futsal setiap hari senin, rabu, dan jumat tidak lupa diselingi dengan adu mulut bersama Kai yang sedang latihan basket tak jauh dari lapangan futsal, menggoda Jungsoo di rumah dengan cara mengacaukan kegiatan menggoda pelayan perempuannya, (yang paling buruk) mendatangi pesta-pesta bersama ayahnya hanya untuk mendengarkan ayahnya berbincang tentang bisnis bersama kolega bisnisnya yang hanya memikirkan uang dan bisnis, dan yang terakhir (yang paling disukai Shixun) setiap malam, ia memanjat keluar rumah lalu berlari dan memasuki mobil Luhan yang sudah menunggu di tikungan dekat rumah, kemudian menghabiskan malam di El Dorado bersama Jackson, Tao, Mark, dan beberapa teman lain, minuman beralkohol, drugs, dan rokok adalah teman sejatinya, lalu pulang ke rumah dengan keadaan tipsy.

"Wow, kau sangat…" Sehun menatap Shixun yang sedang menyetir dengan pandangan yang sulit di artikan, "fucked up."

Shixun tertawa sebentar sebelum menjawab, "aku bertaruh kehidupanku di sini sangat berbeda dengan kehidupanmu di Korea sana." Ia menoleh sebentar ke arah Sehun, "berubah pikiran?"

"Tentu saja tidak." Sehun berusaha menyembunyikan gemetar di dalam suaranya, "ini akan menjadi sangat menarik."

"Oh, tentu saja." Shixun berkata lalu ia menoleh lagi untuk menatap sang adik dengan khawatir, "kau akan baik-baik saja, kan? Maksudku, kau tidak perlu pergi ke El Dorado pada malam hari, aku akan berbicara kepada Luhan—"

"Tidak mengapa." Sehun buru-buru memotong pembicaraan Shixun, lalu mendapati kakaknya itu menatapnya dengan alis terangkat. "Itu bukan sesuatu yang tidak bisa aku atasi."

"Kalau Luhan memaksamu untuk meminum vodka atau menghirup ganja," ujar Shixun dengan nada serius, "tonjok saja dia." Kedua saudara itu saling bertatapan sambil menyeringai, sampai akhirnya mobil yang mereka tumpangi memasuki sebuah lahan parkiran yang besar dengan gedung bergaya Eropa klasik berdiri dengan menjulang sebagai latarnya. Sehun hanya bisa tertegun melihat gedung sekolah Shixun yang sangat berkelas ini, berbeda sekali dengan gedung sekolahnya yang modern dan minimalis.

"Welcome to my beloved school." Ujar Shixun setengah hati ketika mereka sudah berada di depan pintu masuk gedung, saat mereka mulai menjelajahi seisi bangunan, Sehun lagi-lagi hanya bisa membuka mulutnya dengan takjub melihat desain interior bangunan sekolah Shixun yang klasik tapi ada sesuatu yang menjadikannya terlihat keren. Sekolah terlihat sepi, hanya ada beberapa staff yang berkeliaran namun sepertinya tidak ada yang menyadari kehadiran mereka berdua.

"Ini homebase kelasku, tiap pagi kita berkumpul di sini untuk mendengarkan wali kelasku memberikan instruksi pagi." Jelas Shixun, ia berdiri di depan kelas dan menunjukkan bagan kelas yang tertempel di dekat papan tulis, sementara Sehun duduk di salah satu kursi dan mendengarkan penjelasan Shixun dengan seksama. "Ketua kelasnya bernama Henry, wakilnya Jieqiong, bendahara Chenle, dan sekretarisnya Tzuyu. Wali kelasku guru mata pelajaran olah raga, Minhyuk laoshi, ia berasal dari Korea tapi jangan berbicara dengannya menggunakan bahasa Korea, dia tidak akan suka itu."

Kemudian mereka beranjak pergi menuju ruang kelas lainnya, Shixun sibuk mengenalkan bagian-bagian sekolahnya dan Sehun menjadi pendengar yang baik, mencatat di otaknya semua perkataan yang keluar dari mulut sang kakak sementara Shixun tidak berhenti untuk bahkan beristirahat sejenak, "Ini kelas Bahasa, semua bahasa kita pelajari di sini." "ini ruang matematika, jarang sekali aku masuk ke sini." "ini ruang biologi, lalu kimia, lalu fisika." "ini ruang pramuka, eh? Aku baru tahu ada pelajaran pramuka." Shixun menjelaskan bak pemandu wisata.

"Ini toiletnya," ujar Shixun sambil membiarkan Sehun mengintip sedikit ke dalam, "atau biasa dikenal sebagai 'tempat pemuas hasrat' bagi sebagian murid." Shixun terkekeh setelah mengatakan itu.

Sehun menatap sang kakak dengan pandangan menyipit, "termasuk kau?"

Shixun menyeringai, "tentu saja."

Sampai akhirnya mereka berada di sport hall, Shixun menunjuk ke arah lapangan futsal dan menjelaskan siapa saja yang termasuk anggota tim futsalnya sekaligus posisi mereka sambil menunjukkan foto-foto mereka. Sehun menggigit bibirnya dengan gugup, boleh saja ia pintar dalam hal pelajaran, tapi kalau masalah futsal…

"Itu lapangan basket." Shixun menunjuk lapangan yang tak jauh dari lapangan futsal, ada kebencian di dalam suaranya. "Seluruh anggota tim futsal tidak berteman dengan seluruh anggota tim basket."

Sehun menatap Shixun lalu bertanya, "karena kedua kapten timnya tidak berada dalam hubungan yang baik?"

Shixun mendengus sambil melipat kedua tangannya di dada, "tentu saja, apa yang terjadi dengan salah satu anggota saja akan berefek kepada seluruh tim, itu namanya kekompakan tim."

Di akhir tur, Shixun mengajak Sehun untuk mengistirahatkan diri di kantin. Meskipun kantin tutup, namun setidaknya pendingin di ruangan itu menyala dan Shixun dengan santainya berbaring di atas salah satu meja kantin, sementara Sehun hanya duduk dalam diam.

"Kau tahu bagaimana aku dengan futsal." Kata Sehun sambil cemberut.

"Aku akan melatihmu." Jawab Shixun.

"Aku hanya jago jadi kiper."

"Kalau begitu jadilah kiper."

Sehun memukul kaki Shixun dengan pelan, "karena aku kapten jadi aku bisa berbuat seenaknya. Begitu?"

"Tentu saja," kini Shixun bangkit dari tidurannya, "itulah gunanya kapten."

Sehun membuang mukanya, tidak lagi menatap Shixun melainkan menatap konter kantin yang kosong, "oh ayolah Hun, tidak apa-apa, selain jadi striker aku juga sering memainkan peran sebagai kiper. Anggota lain tidak akan bermasalah dengan hal itu." Bujuk Shixun.

"Baiklah." Sehun menghela nafas pasrah yang dihadiahi seringaian oleh Shixun.

"Nah sekarang giliranmu untuk menceritakan semuanya kepadaku." Kata Shixun.

"Hmm…" Sehun nampak berfikir, "aku dan ibu baik-baik saja di Korea, di samping kebiasaan ibu membawa lelaki ke rumah dalam keadaan mabuk dan skandal ibu yang tiada hentinya. Seperti yang kau lihat, aku lulus dari SMA setahun lebih cepat daripada kau dan berhasil mendapatkan beasiswa ke Cambridge, beberapa bulan lagi aku akan berangkat. Orang-orang di Korea sana lebih mengenalku karena kepopuleran ibu, jadi aku tidak begitu bersinar, namun mereka juga ingat fakta bahwa aku juga putra dari pengusaha hebat China." Sehun berhenti sejenak untuk memperhatikan raut wajah Shixun yang tidak berubah. "Yah, dan beberapa agen dari agensi entertainment terkenal mungkin pernah menawariku casting sekali, duakali." Lanjut Sehun ragu.

"Yang benar saja!" Shixun menatap adiknya dengan raut tidak percaya. "Dan kau menolaknya?"

Sehun mengangguk.

"Sepertinya posisi kita terbalik," ucap Shixun sambil menghela nafas. "Kau si jenius harusnya menetap dengan ayah yang menginginkan putra yang sempurna, sementara aku harusnya tinggal dengan ibu, damn, aku pasti sudah jadi bintang terkenal di sana."

Di luar dugaan, Sehun malah tertawa, "tapi, aku yakin, kalau kau tinggal dengan ibu kau pasti sudah menjadi ayah di usia muda, entah ibu dari bayi itu perempuan mana yang kau setubuhi."

"Sial, ada benarnya juga kau." Shixun ikutan tertawa. "Kalau kau tinggal dengan ayah, juga, kau pasti sudah nikah muda dengan salah satu putri teman bisnis ayah dan jangan lupakan bahwa kau juga akan menjadi CEO termuda di dunia, baru 17 tahun."

"Setidaknya aku tidak akan MBA." Ledek Sehun sambil menjulurkan lidahnya.

"Sialan!"

.

.

Makan malam bersama ayah mereka berjalan dengan mulus, setidaknya sang ayah tidak menyadari beberapa keganjilan seperti cara makan mereka, terutama Sehun yang makan dengan cara yang 'lebih beradab' dibanding Shixun yang asal-asalan. Dan ketika Shixun mengutarakan keinginannya untuk pergi ke Beijing menemui sang kakek, ia tidak bisa menyembunyikan kegugupannya dan bahkan harus mengelap keringat dingin di dahinya.

"Tentu saja kau boleh ke Beijing, Sehun," ucap Tuan Wu dengan santai, "kapan kau berangkat? Ayah akan pesankan tiket pesawat."

"Lusa," Shixun berusaha untuk membuat dirinya seriang mungkin, "aku akan memberitahu kakek besok."

"Sempurna." Ujar Tuan Wu lalu kembali menyantap hidangan makan malamnya.

Malam ini, kedua saudara kembar itu tidur bersisian di atas kasur, belum ada yang memejamkan mata di antara mereka, keduanya tidak bisa tidur, terutama Sehun yang besok akan masuk ke sekolah Shixun dengan berpura-pura menjadi kakaknya itu.

"Aku sangat bersemangat." Ujar Sehun pelan, "aku tidak menyangka aku akan memasuki sekolah 'normal' dan belajar dengan 'normal' dan bertemu dengan teman-teman yang 'normal' juga."

"Sebenarnya teman-temanku tidak ada yang normal." Gumam Shixun, tapi nampaknya Sehun tidak mendengarnya.

"Xun," bisik Sehun sambil mencolek bahu kembarannya, "bagaimana jika ayah mengetahuinya?" ia bertanya dengan nada khawatir.

"Ia tidak akan mengetahuinya, ia bahkan jarang berada di rumah." Decak Shixun, namun ia juga sebenarnya khawatir dengan semua ini. "Kalau ibu menyuruh kau—aku untuk balik ke Korea bagaimana?"

Sehun terdiam, "itu…sepertinya kau harus benar-benar pergi ke Korea, sekaligus melepas rindu dengan ibu."

"Lalu aku tidak akan balik ke China, membatalkan beasiswamu dan memilih untuk casting di salah satu agensi kemudian menjadi bintang terkenal sementara kau terjebak di sini, dengan ayah dan bisnisnya yang membosankan. Menyenangkan, bukan?"

"Kau menyebalkan." Sehun cemberut.

"Love you too, brother."

.

.

Sehun mengernyitkan dahinya ketika merasakan tas sekolah Shixun yang kelewat enteng, lalu ia melihat penampilannya yang jauh dari kata rapih—kemeja yang di keluarkan, blazer yang tidak di kancing, dasi yang dipasang longgar, dan rambut acak-acakan. Sehun lalu menatap Shixun yang sedang menatapnya juga dengan pandangan puas.

"Kau benar-benar mirip aku!"

Sehun memutar matanya bosan, "tentu saja! Kita kan kembar." Ia lalu ia melanjutkan, "dan mengapa tasmu ringan sekali?"

"Aku tidak membawa buku."

"Selalu?" tanya Sehun dengan tidak percaya, "bagaimana kau bisa belajar?"

"Selalu, dan karena itulah aku bolos terus." Jawab Shixun santai. Namun Sehun tidak peduli, ia berjalan menuju meja belajar Shixun dan meletakkan tasnya di atas meja, matanya kemudian mencari-cari sesuatu dan menoleh ke arah Shixun ketika ia tidak menemukan apa yang dicarinya.

"Mana jadwal pelajaranmu?"

"Uh…" Shixun nampak bingung, "tidak ada?"

"God! Kau benar-benar…" ucap Sehun frustasi, lalu akhirnya ia memutuskan untuk mengambil asal buku pelajaran Shixun dan menjejalkannya ke dalam tas. Kemudian ia menggendong tas itu dan berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Shixun yang heran melihat tingkah kembarannya. Kedua saudara itu berjalan dengan cepat menuruni tangga dan melesat ke arah ruang makan, dan hanya menemukan Jungsoo yang sedang meletakkan sepiring roti panggang. Shixun sudah menjelaskan kepadanya kemarin, ayah mereka akan jarang ditemui di pagi hari, entah karena ia sudah berangkat duluan atau masih terlelap di dalam kamar.

"Oh, kalian sudah bangun?"

"Sudah," jawab Shixun dengan gembira, ia harus bersikap ceria agar mirip dengan Sehun. "Aku ingin melihat Shixun pergi ke sekolah." Ia lalu menatap Sehun yang sedang menekuk wajahnya.

"Baik sekali kau." Balas Jungsoo sambil tersenyum, ia lalu menoleh ke arah Sehun yang sedang memakan sarapannya. "Kenapa kau setiap pagi selalu grumpy, huh? Tidak seperti adikmu yang ceria ini."

Mata Sehun mencari-cari Shixun untuk meminta pertolongan, namun akhirnya ia membuka suara. "Karena itulah kami kembar," ia berkata seperti itu lalu menghabiskan susunya dalam sekali teguk dan bangkit dari duduknya. "Aku berangkat." Lalu ia melesat keluar ruang makan, meninggalkan Jungsoo yang terbengong dan Shixun yang gelagapan.

"Aku ikut!" akhirnya Shixun berlari menyusul sang adik, menelantarkan sarapannya dan Jungsoo.

Kedua saudara itu sekarang sudah berada di dalam mobil Audi R8 milik Shixun dengan Sehun yang mengendarainya, sementara Shixun duduk di kursi penumpang sambil sesekali menunjukkan rute menuju sekolah. Butuh waktu 20 menit untuk mereka menuju sekolah Shixun, ketika mereka memasuki gerbang, Sehun semakin gugup saja. Ia bahkan sampai kesulitan memarkirkan mobil itu, hampir menyenggol mobil yang berada di sebelahnya.

"Aku akan menjemputmu nanti pulang sekolah," kata Shixun sambil menatap Sehun yang terlihat gugup, ia tersenyum kecil sebelum menepuk bahu sang adik, Sehun yang ditepuk bahunya terlonjak kaget. "Hey, tenang saja. Kau yang mau merasakan sekolah 'normal' kan? Maka inilah saatnya. Sebentar lagi kau kuliah, kau akan menyesalinya jika mundur sekarang."

"Baiklah," ujar Sehun sambil menatap gedung sekolah dengan penuh tekad, "demi masa muda yang menyenangkan."

Shixun tertawa mendengar perkataan Sehun, "tidak perlu takut kau akan membuat reputasiku jelek, semua orang tidak akan kaget jika kau melakukan hal-hal aneh, karena itulah yang aku lakukan."

"Justru aku khawatir kau yang akan membuat reputasiku jelek." Balas Sehun.

"Tenang saja, lil bro. Semuanya akan baik-baik saja." Ia mengacak-acak rambut Sehun, "pergilah, dik."

Sehun tersenyum kepada Shixun sebelum melompat keluar dari mobil.

.

.

Sehun kini sudah berada di kelas Shixun, dengan para penghuni kelas lainnya yang menatapnya dengan aneh. Meskipun gugup, Sehun tetap duduk dengan santainya di kelas, berusaha sebaik mungkin untuk meniru pergerakan Shixun. Merasa canggung, akhirnya Sehun memilih untuk mengeluarkan hpnya dan chatting dengan teman-temannya di Korea sana.

Sehun : Baek…

Baekhyun : Sehun! Bagaimana China?

Sehun : Biasa saja

Sehun : Bagaimana Korea?

Baekhyun : Kau berkata seakan-akan sudah bertahun-tahun tidak pulang

Baekhyun : Tapi, yah, biasa saja, tidak ada yang berubah, Chanyeol masih tinggi dan caplang, Junmyeon masih pendek dan kaya raya, aku masih fabulous seperti biasa, dan Jongdae masih mirip dengan unta

Sehun terkekeh membaca chat dari Baekhyun, temannya ini memang tahu bagaimana cara membuatnya tertawa.

Sehun : Kau sudah berfikir ingin menerima beasiswa atau masuk agensi?

Baekhyun : Tolong jangan bahas hal itu sepagi ini…

Baekhyun : Tapi aku belum sempat memikirkannya, ugh, ini bahkan lebih susah daripada mengerjakan soal ujian akhir

"Kau datang pagi sekali, Xun." Ujar sebuah suara yang membuat Sehun menoleh. Ternyata suara itu datang dari mulut seorang lelaki dengan wajah cantik, seperti perempuan, perawakannya kecil—ia pasti lebih pendek dibanding dirinya—matanya terlihat bersar dan jernih, seperti mata rusa. Luhan.

Sehun terbatuk kecil sebelum menjawab, "kenapa? Tidak boleh."

"Ketus sekali, sih." Luhan berkata sambil duduk di bangku sebelah Sehun. "Aku lupa kau setiap pagi memang begini." Ia menyeringai.

Sehun baru saja ingin membalas chat dari Baekhyun ketika seorang pria memasuki kelas mereka, itu wali kelas mereka. Buru-buru Sehun memasukkan hpnya ke dalam saku setelah sebelumnya memberitahu Baekhyun bahwa ia ada urusan mendadak. Ia melirik ke arah Luhan yang nampak tidak peduli dengan kehadiran wali kelas mereka sementara murid lain sudah duduk dengan tertib di meja masing-masing.

"Ini hasil ulangan kimia yang dititipkan oleh Han laoshi kepadaku. Henry, bagikan ini."

Seorang lelaki dengan pakaian yang sepertinya paling rapih di kelas bangkit dari kursinya yang berada di paling depan dan dengan sigap membagikan hasil ulangan mereka satu persatu. Dan ketika ia sampai di meja Luhan dan Sehun, pandangannya terlihat meremehkan mereka berdua lalu dengan setengah hati memberikan hasil ulangan dengan cara sedikit di lempar.

"Berapa?" tanya Sehun, penasaran akan nilai Luhan.

"0, tidak mengejutkan." Ucap Luhan santai, ia kemudian melirik kertas ulangan Sehun. "5? Setidaknya kau berhasil menjawab 2 pertanyaan."

Sehun menatap hasil ulangan yang di kerjakan Shixun dengan sangat tidak niat, ia memijit pelipisnya sambil dalam hati mencoba menjawab seluruh soal di kertas ulangan dan berhasil menjawabnya hanya dalam kurun waktu 2 menit. Ini terlalu mudah bagi Sehun.

Setelahnya, seisi kelas beranjak menuju kelas Matematika, menurut salah satu gadis yang berjalan di depan Sehun dan Luhan, materi hari ini mereka akan belajar Logaritma.

"Shit, kau dengar itu Shixun? Logaritma! Bagaimana kalau kita ke atap saja?" Suara Luhan terdengar tidak sabar.

Sebenarnya tawaran Luhan menggiurkan, ia ingin merasakan bagaimana rasanya bolos kelas, lagipula ia sudah menguasai Logaritma sejak kelas 1 SMP, jadi tidak masalah jika ia tidak mengikuti kelas sekarang. Namun di sisi lain, Sehun juga ingin merasakan bagaimana rasanya belajar dengan kecepatan yang 'normal', tidak seperti sekolahnya selama di Korea yang suka menekan materi pelajaran mereka agar cepat selesai. Dalam waktu 45 menit, Sehun bisa menghabiskan 1 bab materi, itulah yang membuatnya bisa lulus setahun lebih cepat daripada Shixun.

"Nanti saja, aku ingin masuk kelas."

Luhan menatapnya dengan sedikit kaget, "tumben sekali." Namun ia tetap mengikuti Sehun berjalan menuju kelas matematika.

Guru matematikanya ternyata seorang wanita paruh baya yang galak, wanita itu memelototi Luhan dan Sehun ketika mereka melangkah memasuki kelas, dan tidak berhenti sampai kedua orang itu duduk di bangku mereka, paling belakang. Luhan dalam sekejap langsung menguap dan meletakkan kepalanya di atas meja untuk tidur, sementara Sehun mulai membuka tas sekolahnya dan mencari-cari buku matematikanya.

"Wah, suatu kehormatan bagi saya untuk menerima tamu spesial di kelas saya, Tuan Wu dan Tuan Lu." Sarkasme memenuhi kalimat guru itu. "Terutama Tuan Wu yang sekarang sudah mengeluarkan buku, ya ampun, akhirnya kau membawa buku pelajaran ke sekolah, Tuan Wu?"

Dalam sekejap, perhatian seluruh kelas terpusat kepada dua sejoli yang duduk di barisan paling belakang kelas, mereka semua menatap keduanya dengan pandangan penasaran, Sehun terdiam bingung sementara Luhan terlihat tidak peduli. Namun keduanya tidak ada yang berniat untuk membalas perkataan sang guru. Guru mereka hanya memicingkan matanya sebelum akhirnya berbalik untuk memulai pelajaran.

Pelajaran sudah berlangsung selama 30 menit dan mata Sehun mulai mengantuk, ia melirik ke arah Luhan yang sudah tertidur dengan pulas dan tergoda untuk ikutan tidur. Namun demi Shixun, Sehun dari awal sudah mencatat semua catatan yang diberikan oleh guru mereka di buku tulis Shixun yang masih kosong. Meskipun rasanya membosankan untuk mendengarkan materi yang sudah ia pahami betul, tanpa sadar Sehun menopang dagunya dengan tangan kanannya lalu menyusul Luhan ke alam mimpi.

"WU SHIXUN!" suara gurunya sontak membuat Sehun dan Luhan terbangun, dalam keadaan setengah sadar Sehun mendongak dan menatap gurunya yang sedang melotot di depan kelas. "Cepat maju dan kerjakan soal ini!"

Sehun dengan setengah hati bangkit dari duduknya, dalam hati ia menumpahkan sumpah serapah kepada guru itu karena sudah mengganggu tidur nyenyaknya. Ketika ia sudah berada di depan kelas, matanya mulai memperhatikan soal yang tertulis di papan tulis dan otaknya mulai bekerja untuk menyelesaikan soal itu. Sambil tersenyum kecil, ia menyelesaikan soal itu dengan cepat, tidak menyadari bahwa seisi kelas (termasuk Luhan dan guru mereka) terkejut melihatnya mengerjakan soal.

Setelah selesai, Sehun dengan gontai berjalan menuju bangkunya dan kemudian meletakkan kepalanya di atas meja. Ia tidak peduli dengan hasil kerjanya tadi, yang ia pikirkan hanyalah rasa ngantuknya yang sangat berlebihan (karena begadang semalaman dan pelajaran yang membosankan). Namun sebelum terlelap ia di kagetkan oleh Luhan yang menyenggolnya menggunakan siku.

"What the fuck is wrong with you, dude? Kenapa kau mau mengerjakan soalnya?" Luhan bertanya sambil berbisik.

"Memangnya kenapa? Soal itu mudah as fuck." Jawab Sehun sambil mengernyit.

"Mudah?" Luhan berkata dengan nada sedikit tercekat namun ia masih berbisik. "Kau berhasil mengerjakannya dengan benar, asshole, lihat ke depan."

Sehun—masih dengan wajah mengernyit, akhirnya mendongakkan kepalanya ke arah papan tulis dan matanya seketika membesar karena ternyata sang guru sudah berada di depan mejanya sambil melipat kedua tangannya di dada. Sial, Sehun lupa kalau dia harus berpura-pura menjadi kakak kembarnya sekarang, dan Shixun tidak seharusnya mengerjakan soal matematika dengan benar.

"Bisa jelaskan kenapa kau bisa mengerjakannya dengan benar, Wu Shixun?"

.

.

(di point of view-nya Kai, Sehun jadi Shixun ya dipanggilnya)

Kai berjalan menelusuri lorong sekolah dengan santai dan sesekali mulutnya menguap dengan lebar, dan ia tidak repot-repot untuk menutupinya dengan tangannya. Sesekali ia menyeringai ketika mendapati murid-murid perempuan yang menatapinya dengan pandangan memuja dan menggoda. Namun senyumnya langsung luntur ketika ia melihat sesosok lelaki berambut pirang familiar sedang berdiri di depan ruangan BK.

"Wah Wu, senang sekali berjumpa denganmu di sini." Kai menyenderkan tubuhnya di tembok, tepat di sebelah Shixun yang sedang menunduk. "Apa yang kau lakukan kali ini? Ketahuan merokok di atap sekolah? Ketahuan sedang menyetubuhi murid perempuan di kamar mandi? Atau jangan-jangan ketahuan menghisap ganja di sekolah bersama sahabat cantikmu itu?"

Kai sudah bersiap-siap menerima tinjuan dari Shixun atau bahkan sebuah terjangan yang akan menjatuhkan mereka berdua ke lantai. Namun Kai tidak bisa menyembunyikan kekagetannya ketika ia melihat Shixun hanya menatapnya dengan pandangan bingung.

Kai mengernyit sebelum melambaikan tangannya di depan wajah Shixun, "halo? Wu? Kau tidak sedang high kan?" Shixun nampak kebingungan, namun kemudian kedua matanya membelak dengan sempurna. Yang membuat Kai ikutan menjadi bingung, ketika ia menatap kedua mata Shixun, ia dapat melihat bahwa mata itu tidak menatapnya dengan penuh kebencian seperti biasanya.

"Kau…" Kai terkejut ketika mendengar suara Shixun tidak seberat dan sekasar biasanya. "Kai?"

Kalimat yang di ucapkan Shixun sebenarnya tidak lucu, aneh malah, namun Kai malah tertawa mendengarnya. "Apa kau terlalu banyak menghisap ganja hingga amnesia seperti ini?"

"Uh…" Ini hanya perasaan Kai atau Shixun terlihat sedikit ragu di hadapannya? "aku tidak menghisap ganja."

Ucapan macam apa itu, pikir Kai. Ia memperhatikan Shixun dari atas sampai kebawah dan sepertinya bocah itu terlihat sedikit aneh hari ini, sangat aneh malah, biasanya di detik pertama mereka berpapasan anak itu sudah menerjang Kai dengan tinjunya, namun sekarang? Melihat Kai saja Shixun terlihat bingung. Heran dengan perubahan Shixun, Kai mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.

"Dengar Wu," Kai menarik dasi Shixun hingga sekarang jarak mereka hanya tinggal beberapa centi saja. "Aku tidak tahu apa yang kau rencanakan, tapi berhentilah menatapku dengan-" perkataannya terputus ketika ia melihat wajah Shixun yang—fuck, apakah musuhnya itu memerah?

Dengan kasar Kai mendorong tubuh Shixun menjauh darinya, "kenapa kau di panggil ke BK?"

"Karena aku mengerjakan soal dengan benar?"

"Haha, untuk orang sebodoh dirimu tentu saja kau pantas mendapatkannya."

Kini Shixun menatapnya dengan amarah, "aku tidak bodoh, jerk." Kemudian Shixun mendorong tubuh Kai hingga menabrak tembok.

Kai menyeringai, sosok asli Shixun telah kembali, menyebalkan seperti biasa. "Benarkah? Kalau begitu kenapa kau selalu berada di peringkat terakhir? Bahkan sahabat cantikmu itu saja ada di atasmu."

"Kau menantangku?" Kai tertawa melihat Shixun yang cemberut, wait… cemberut?

"Untuk apa aku menantangmu, Wu? Bukannya sudah jelas aku yang akan menang?" Kai tersenyum miring sebelum akhirnya berjalan melewati Shixun dan sedikit menyenggol bahu lelaki itu. "Sampai ketemu nanti, loser."

.

.

Sehun kini hanya terdiam di depan ruang BK, ia menghela nafas yang dari tadi secara tidak sadar ia tahan. Ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan bertemu Kai secepat ini. Shixun tidak pernah menjelaskan bagaimana rupa dari lelaki itu, yang Sehun tahu, Kai itu berwajah jelek dan menyebalkan karena suka mengganggu Shixun. Namun setelah pertemuannya dengan Kai beberapa saat yang lalu, Sehun setidaknya menarik pemikirannya kembali mengenai rupa lelaki itu—Kai memang menyebalkan dan suka mengganggu Shixun, tapi wajah lelaki itu sangat jauh dari kata jelek.

Di otak Sehun terus berputar adegan dimana Kai mengacak-acak rambutnya dengan seksi, dan terutama ketika lelaki itu menarik dasinya hingga jarak mereka tinggal beberapa centi saja, Sehun bersumpah jantungnya serasa ingin melompat keluar dari tubuhnya.

"Ya ampun, kenapa Shixun tidak bilang kalau Kai itu tampan sekali?" Sehun berkata sambil memegang kedua pipinya. Kalau begini terus, bagaimana ia bisa bertingkah seperti Shixun di sekitar Kai, bisa gawat kalau lelaki itu tahu tentang penyamarannya.

.

.

Sementara itu, Kai berjalan dengan tergesa-gesa ke arah taman belakang sekolah. Setelah memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa lagi di sekitar situ, Kai menghela nafas lelah sembari menyenderkan kepalanya di tembok. Ia memejamkan matanya, berusaha berkonsentrasi untuk mengenyahkan bayang-bayangan Shixun dari kepalanya, namun tidak berhasil. Dengan kesal, Kai memukul tembok di hadapannya.

"Wu Shixun sialan!" Kai berkata sambil terengah-engah, tangannya mengepal dengan kuat di sisi. "Kenapa dia semakin hari semakin cantik saja?"

.

.

Shixun menatap koper di hadapannya dengan resah, kemudian matanya bergerak menuju hp yang berada di genggamannya. Menghela nafas, Shixun segera mengangkat hpnya mendekati telinganya.

"Halo?"

"Sehun-ah?"

"Ada apa?"

Shixun menggigit bibirnya dengan ragu, "uh…ada kabar buruk."

"Kenapa? Ayah tahu tentang kita? Atau ibu menyuruhmu pulang?" suara Sehun terdengar panik di sebrang sana.

"Bukan," Shixun berkata cepat-cepat, "tadi aku menelfon kakek, bilang padanya kalau aku akan datang berkunjung ke Beijing. Namun sepertinya kakek terlalu bersemangat untuk menemuimu, jadi dia mengirimkan pesawat pribadinya ke bandara sekarang."

Hening sebentar, lalu suara Sehun terdengar kembali. "Kau sudah di bandara sekarang?"

Shixun melirik mobil yang terparkir di hadapannya. "Sudah, tadi ayah menyuruh salah satu supir untuk mengantarku ke bandara."

"Lalu bagaimana caranya aku pulang?" Sehun protes. Shixun memijit pelipisnya pelan, ia lupa akan hal itu.

"Nanti ku suruh supir untuk menjemputmu." Shixun mengangkat alisnya ketika melihat seseorang yang familiar sedang berjalan ke arahnya, itu Tuan Min, salah satu bawahan kakeknya. "Besok kau ambil kunci mobilku di kamar, gunakan itu untuk berangkat ke sekolah tiap hari, jangan pakai mobil lain atau ayah akan curiga."

"Baiklah, kau hati-hati di sana. Sampaikan salamku untuk kakek."

Shixun terkekeh, "kau tahu, aku bukan tipe orang yang suka menitip salam."

"Aku lupa kalau aku sedang jadi kau." Sehun ikutan terkekeh. "Selamat bersenang-senang menjadi orang pintar selama di Beijing."

"Selamat bersenang-senang juga jadi murid berandalan di Guangzhou." Shixun menyeringai.

.

.

Sehun menghela nafas dengan berat, matanya terarah menuju lapangan basket, tepatnya kearah sesosok kapten tim basket sekolah yang sedang berlatih dengan serius bersama para anggota timnya yang tidak Sehun pedulikan. Hari ini latihan tim futsal di tiadakan karena sang pelatih kebetulan sedang tidak masuk, Sehun sangat bersyukur di dalam hati, karena ia bisa pulang lebih cepat. Jadi yang sekarang ia lakukan adalah duduk-duduk di kursi dekan lapangan futsal sembari curi-curi pandang ke arah Kai di lapangan sebrang, menunggu supir datang untuk menjemputnya.

"Ya ampun, dia tampan sekali." Sehun bergumam dengan pelan, tiba-tiba lamunannya buyar ketika hpnya bergetar, tanda ada pesan masuk. Sehun dengan kesal mengambil hpnya dari saku seragamnya, ingin mengomeli siapa yang berani mengganggu khayalannya bersama Kai. Namun ia mengernyit ketika melihat nama kakak kembarnya muncul di layar hpnya, padahal baru tadi mereka telfonan.

Shixun : Hun! Aku lupa kita tidak bertukar nomor hp, tadi Luhan meng-sms ku, dia mengajakmu pergi ke El Dorado nanti malam.

Shixun : Kau berikan saja nomor hpmu ke Luhan, bilang padanya aku ganti nomor

Sial, Sehun tidak kepikiran untuk bertukar nomor hp.

Sehun : Baiklah, tapi sebisa mungkin kau jangan menggunakan hp selama kita bertukar posisi.

Shixun : kau juga

Sehun merenung, ia bisa saja menolak tawaran Luhan untuk pergi ke El Dorado. Ia belum selihai Shixun dalam memanjat rumah, bisa gawat kalau ia ketahuan. Tapi penyamaran ini adalah idenya, jadi ia tidak mungkin menyerah sampai di sini saja.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Sehun mendongak ketika ia mendengar suara yang membuat jantungnya berdetak tidak karuan, Kai. "Maksudmu?"

Kai mengernyit, "kau sedang memata-matai tim basket ya?"

"T-tidak! Aku hanya sedang duduk!"

Untungnya, Kai sepertinya tidak menyadari suara Sehun yang bergetar. "Terserah." Kemudian lelaki itu berlari menjauhi Sehun dan kembali bergabung dengan anggota timnya yang dari tadi memperhatikan interaksi mereka. Sehun menghela nafas, ia tidak bisa berada di sini lama-lama, jantungnya bisa meledak kalau ia terus-terusan disuguhi pemandangan Kai bermain basket dengan keringat yang bercucuran, membuatnya terlihat semakin menggoda.

"Ugh, aku mau pulang." Sehun berjalan cepat-cepat keluar dari sport hall, namun ia sadar Shixun tidak memberikan nomor telfon supir yang akan menjemputnya hari ini, itu artinya ia harus menunggu 1 jam lagi untuk di jemput.

Dengan miris, Sehun berjongkok di depan sport hall merutuki nasibnya yang sial hari ini. Baru hari pertama ia menggantikan kakaknya, tapi masalah sudah banyak menghampirinya. Ia heran mengapa Shixun betah sekali bertemu masalah yang banyak, Sehun saja (yang baru pertama kali di panggil ke BK seumur hidupnya) hampir menangis tadi di ruang BK.

"Aku jadi kangen Seoul." Sehun menghela nafas, kemudian ia bangkit dari jongkoknya dan duduk di trotoar. Hpnya masih berada di genggamannya ketika sebuah pesan masuk dari Baekhyun.

Baekhyun : Seeeehunnnnieeeeee

Baekhyun : Ada kabar gembira untukmu~~

Baekhyun : Kau tahu kita semua sebentar lagi akan terpisah-pisah, ada yang menetap di Korea ada pula yang pergi jauh dari Korea

Baekhyun : Jadiiiiiii, Junmyeon hyung mengajak kita semua sekelas untuk pergi berlibur ke Beijing!~

"Fucking shit!" Sehun terlonjak dari duduknya, dalam hati ia merutuki Junmyeon yang memilih Beijing sebagai tempat liburan mereka, dari begitu banyaknya kota di dunia ini, kenapa lelaki pendek itu harus memilih Beijing?

Baekhyun : Tapi kita akan berangkat 2 minggu lagi, jadi kau masih bisa bersantai dulu di Guangzhou ^.^

Dengan cepat dan tanpa berfikir dua kali, Sehun langsung menghubungi nomor Shixun, berharap saudaranya itu sudah turun dari pesawat.

"Hal-"

"Shixun! Gawat!" Potong Sehun dengan panik.

"Kenapa sih? Kau membuatku kaget saja!" Shixun terdengar kesal.

Tanpa basa-basi Sehun segera menceritakan rencana liburan ke Beijing teman-teman sekelasnya di Korea sana yang akan terlaksanakan 2 minggu lagi. Selama ia menjelaskan, Shixun tidak menunjukkan reaksi apapun, jadi Sehun sedikit cemas kepada kakak kembarnya itu.

"Jadi…aku harus ikut berlibur bersama teman-temanmu? Begitu?"

Sehun menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "yah, kalau kau mau balik ke Guangzhou untuk bertukar tempat lagi denganku ya tidak apa-apa."

Terdengar helaan nafas dari seberang, "aku akan datang."

"Benarkah?" tanya Sehun tidak percaya, sekarang ia merasa tidak enak dengan Shixun. Kakaknya itu dalam 2 minggu akan menghadapi segerombolan teman-temannya yang aneh bin ajaib itu, dan Sehun tidak yakin kembarannya itu akan sanggup menghadapi perlilaku sassy Baekhyun dan humor receh Junmyeon.

"Tentu saja, lagi pula teman-temanmu pasti tidak seburuk teman-temanku." Shixun tertawa, sementara Sehun menggigit bibirnya lalu memaksakan tawanya.

"Sudahlah, aku sudah sampai di rumah kakek. Bye!" Tanpa menunggu jawaban Sehun, Shixun segera memutuskan sambungan telfon, meninggalkan Sehun yang menatap aspal di bawah kakinya dengan pandangan kosong.

"Kau itu hobinya berkeliaran di sekolah, ya."

Sehun terlonjak dari tempatnya ketika mendengar suara Kai dari belakangnya, kemudian ia perlahan menoleh ke belakang dan menemukan Kai sedang menatapnya dengan pandangan sinis. Lelaki itu sepertinya baru selesai latihan, di lihat dari pakaiannya yang sekarang sudah memakai seragam sekolah lagi.

"Dan kau suka sekali mengagetkan orang lain." Pandangan Sehun di sipitkan ke arah Kai.

Lelaki tan itu menyeringai, "bukankah itu sudah bukan rahasia lagi, cantik?"

Wajah Sehun menghangat ketika Kai memanggilnya dengan sebutan 'cantik'. "Mau apa kau?"

"Pulang, tentu saja." Kai kemudian berjalan sambil memutar-mutar kunci kendaraannya di satu tangan.

Ini kesempatan! Sehun lalu dengan cepat menyentak tas yang digunakan oleh Kai hingga membuat lelaki itu tertarik ke belakang. "Antarkan aku pulang!"

Mata Kai memperhatikan Sehun dari atas sampai ke bawah, lalu berakhir dengan memelototi Sehun, "kenapa aku harus mengantarmu pulang, Wu? Kemana mobil mewahmu itu? Sudah di jual karena ayahmu bangkrut mendadak?" nada suaranya mengejek.

Sehun ingin sekali menonjok Kai, namun ia tahan, tetapi kemudian ia ingat bahwa Kai dan Shixun sudah terbiasa saling tonjok, jadi ia memutuskan untuk menonjok Kai. Namun ketika ia ingin melayangkan tinjunya ke arah Kai, Sehun takut tinjunya tidak cukup kuat untuk menjatuhkan lelaki itu dan hanya akan membuat malu Shixun nanti, jadi yang Sehun lakukan adalah mengambil ancang-ancang dan menendang pantat Kai hingga membuat lelaki itu terlonjak kaget.

"Wha—"

"Antarkan aku pulang atau pukulan selanjutnya akan terasa lebih sakit." Ancam Sehun.

Kai yang sedang sibuk mengelus-elus pantatnya yang sakit akibat tendangan Sehun, berdecih ketika mendengar ancaman yang keluar dari mulut lelaki berambut pirang itu. "Aku tidak tahu kalau kau penyuka spanking."

Sehun menatap Kai dengan polos, "spank- apa?"

"Kau bercanda," Kai mendengus sebal, "kalau kau sebegitu inginnya di spanking, kau tinggal memintanya dengan baik-baik, cantik." Kai tersenyum miring, lalu tangannya bergerak untuk memukul balik pantat Sehun dan sedikit meremasnya di akhir, kemudian dengan santainya ia berjalan melewati lelaki yang sekarang wajahnya sudah memerah bak kepiting rebus. "Kau mau ku antar pulang tidak?" ia bertanya tanpa menolehkan kepalanya ke arah Sehun.

Sehun dengan cepat segera berlari menyusul Kai, meskipun wajahnya masih memerah parah. Di dalam hati ia bertanya-tanya, apakah Kai juga sering melakukan itu kepada Shixun? Tapi sepertinya tidak pernah, karena Shixun tidak pernah menyebutkan bahwa selain adu jotos, Kai dan Shixun juga suka meremas pantat satu sama lain. Sehun menyesal dalam hati meminta Kai untuk mengantarnya pulang, niat ingin modusin Kai tapi yang ia dapat adalah wajahnya yang memanas karena perilaku lelaki itu.

'Ya Tuhan, selamatkan aku di dalam beberapa menit kedepan.' Sehun berdoa dalam hati.

.

.

Suasana di dalam mobil BMW Kai terasa hening, Kai tidak memilih untuk menyalakan radio atau apapun untuk mengisi keheningan yang ada, karena dia sendiri harus memegang stir kuat-kuat—ia masih sulit untuk mengenyahkan rasa bagaimana empuknya pantat Shixun yang tadi sempat ia pukul dan remas, membuat Kai merutuki dirinya sendiri karena bisa-bisanya ia bertingkah seperti itu. Di sebelahnya, Shixun duduk dengan tenang sambil matanya menyisiri pemandangan di luar mobil. Kai menoleh sebentar untuk melihat Shixun yang matanya bergerak-gerak dengan semangat ketika mereka melewati sebuah toko buku.

"Bubble tea!" kini Shixun berteriak ketika menemukan sebuah kedai minuman di trotoar.

"Kenapa sih kau?" tanya Kai dengan ketus, kaget, karena lelaki pirang itu tiba-tiba berteriak.

"Bukan urusanmu, Kim." Balas Shixun dengan tajam, membuat Kai lagi-lagi heran akan perilaku anak itu yang berubah-ubah hari ini.

"Kau berteriak di mobilku tiba-tiba, itu urusanku."

"Kalau begitu, kau tidak usah ambil pusing."

Kai melirik Shixun yang juga sedang menatapnya dengan tajam, setelah puas melemparkan tatapan tajam, kedua lelaki itu akhirnya membuang muka ke sisi yang saling berlawanan dengan ketus. Shixun kembali fokus dengan pemandangan di luar, sementara Kai fokus kepada jalanan dan kepada dirinya sendiri, ia berusaha sekuat mungkin agar tidak lepas kendali dan berakhir dengan melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya, seperti mencium Shixun atau yang lebih parah, menelanjangi anak itu lalu—

Kai menggeleng-gelengkan kepalanya, kenapa ia berani-beraninya berfikiran seperti itu padahal Shixun kini sedang duduk di sebelahnya. Kai sudah memiliki banyak masalah di dalam hidupnya, mulai dari masalah keluarga, hingga masalah di sekolah dengan murid-murid seperti Shixun ini. Namun, meskipun masalahnya dengan Shixun tentang perebutan jadwal latihan tim futsal dan basket masih berlangsung sampai sekarang, ada masalah yang lebih mengkhawatirkan bagi Kai dari pada itu. Masalah bahwa Kai telah jatuh cinta kepada Shixun (saingan dan musuh bebuyutannya) bertahun-tahun lamanya, lebih mengkhawatirkan di banding masalah-masalah lainnya.

.

.

Shixun kini dengan gugup duduk dihadapan kakeknya yang sedang meminum teh dengan perlahan. Ia datang ke sini sebagai Sehun, jadi ia mendapatkan sambutan yang kelewat ramah dari sang kakek, sudah jelas, karena Sehun adalah cucu kebanggaan sang kakek. Sementara jika Shixun datang ke Beijing sebagai dirinya sendiri, sudah pasti ia akan dihadapkan dengan berbagai petuah dari sang kakek. Shixun merasa diperlakukan sangat tidak adil oleh keluarganya, tapi ia tidak bisa menyalahkan Sehun ataupun keluarganya, yang membuatnya di ceramahi terus adalah perilakunya yang berandalan sendiri.

"Kau tumbuh dengan pesat sekali, Hun." Kakeknya berkata sambil meletakkan cangkir teh di meja. "Semakin lama kau semakin mirip dengan kakak kembarmu yang nakal itu."

"Haha tentu saja kek," Shixun memaksakan diri untuk tertawa.

"Kapan terakhir kali kita berjumpa?"

Shixun harus memutar otaknya untuk mengingat-ingat kapan terakhir kali Sehun bertemu sang kakek. "10 tahun yang lalu? Ketika ayah dan ibu bercerai?"

"Ya ampun, sudah lama sekali." Kakek Wu tertawa, "ibumu harus sering-sering membiarkanmu berkunjung ke Beijing, benar-benar wanita itu."

Shixun tersenyum mendengar perkataan sang kakek, sudah bukan rahasia lagi kalau Kakek Wu tidak begitu menyukai ibunya. "Bagaimana kabar kakek? Pasti kakek sangat kesepian di rumah sendiri."

Kakek Wu lagi-lagi tertawa, "kakekmu ini meskipun sudah tua, tetapi masih kuat! Lagipula kakek tidak sendirian di sini, kau masih ingat dengan—Ah itu dia!" Shixun mengikuti arah pandang sang kakek yang menuju sebuah tangga besar. Shixun harus menahan nafasnya ketika ia melihat seorang lelaki tinggi mengenakan kemeja putih yang lengannya di gulung se siku, sedang berjalan menuruni tangga. Lelaki itu memiliki rambut pirang yang beberapa tingkat lebih gelap daripada miliknya, matanya yang tajam itu kini bertabrakan dengan pandangannya—mereka sebenarnya saling mengenal, tapi karena Shixun sedang menyamar sebagai Sehun, lelaki itu pasti tidak mengenalinya.

"Yifan! Kau ingat Sehun? Kembaran Shixun, cucuku yang paling pintar!" ujar Kakek Wu dengan bangga.

Lelaki itu—Yifan—dalam sedetik segera tersenyum kepada Shixun, kemudian ketika ia sudah berada di dekat Shixun, Yifan menjulurkan tangannya untuk bersalaman dengannya. Shixun dengan kaku membalas salaman Yifan, sementara jantungnya sudah berdegup kencang.

"Kau sudah besar sekali sekarang." Yifan menepuk-nepuk kepala Shixun, setelah melepaskan genggaman tangan mereka, "dulu padahal kau suka sekali bersembunyi di balik buku-bukumu, sementara Shixun yang berlarian kesana-kemari." Ia menyeringai kemudian melangkah untuk duduk di sebelah Kakek Wu.

Kakek Wu menatap penampilan Yifan yang sudah rapih, "kau ingin kemana?"

Yifan mengecek jam yang berada di pergelangan tangan kanannya, "kantor, ada rapat dengan pimpinan perusahaan dari Jepang." Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Shixun yang terduduk kaku di sofa, kemudian Yifan tersenyum ramah, "kapan kau sampai di Beijing?"

"Uh…sejam yang lalu." Jawab Shixun pelan.

Yifan kemudian bangkit dari duduknya, "aku berangkat dulu, baba." Kemudian ia berjalan melewati Shixun dan lagi-lagi tersenyum ke arahnya, "kalau kau ingin berkeliling kota Beijing, aku akan mengantarmu." Ia mengedipkan sebelah matanya ke arah Shixun.

"Benar." Ujar Kakek Wu, "jangan sungkan kepada pamanmu, Sehun. Meskipun kalian tidak pernah bertemu selama 10 tahun, tetapi ia masih pamanmu." Dan Yifan terkekeh mendengar perkataan Kakek Wu sebelum akhirnya melangkahkan kakinya untuk menjauhi mereka berdua, menuju pintu utama.

"Paman." Shixun bergumam, dalam hati ia tersenyum kecut.

"Kau pasti tidak begitu mengingat dia," lanjut Kakek Wu setelah Yifan pergi. "Dia ku adopsi beberapa bulan sebelum kau pergi ke Korea bersama ibumu, kau hanya bertemu dengannya sekali waktu itu dan kau terlalu sibuk dengan buku-bukumu jadi mungkin kau bahkan tidak mengingatnya sama sekali."

Sehun yang asli mungkin tidak akan mengingat sosok Yifan sama sekali, tapi bagi Shixun yang sering pergi bolak-balik Beijing-Guangzhou bersama sang ayah sedari kecil, sosok Yifan sangat familiar. Yifan-lah yang sering menemani Shixun kecil jika sang kakek dan ayah bepergian ke luar kota bahkan ke luar negri untuk urusan bisnis, bahkan Yifan pernah sekali mendatangi pertemuan orang tua murid di sekolah Shixun karena sang ayah sewaktu itu sedang berada di Berlin. Yifan juga yang sering membantu Shixun mengerjakan PR dan mengantarkan Shixun ke sekolah, dulu.

"Berapa umurnya?" Shixun berusaha sebaik mungkin agar suaranya terdengar penasaran.

"Baru 28 tahun, tetapi kinerja kerjanya sudah hampir menyamai ayahmu." Kakek Wu menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian beliau memicingkan matanya ke arah Shixun. "Kau terlihat pucat, kau baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja, kek." Shixun berusaha untuk menyembunyikan senyum mirisnya, 'tidak, aku tidak baik-baik saja. Fakta bahwa aku menyukai pamanku dan sekarang terjebak di bawah atap yang sama dengannya membuatku tidak baik-baik saja.'

.

.

Setelah susah payah memanjat keluar dari kamarnya yang berada di lantai 2 rumahnya yang besar itu, kini Sehun sedang berdiam diri sambil memperhatikan Luhan yang sedang menyetir mobil Maseratinya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Mereka kini sedang berada di perjalanan menuju El Dorado, Klub malam yang biasa Shixun kunjungi. Sebenarnya Sehun sedikit takut, namun karena kini ia sedang menjadi Shixun, ia tidak bisa begitu saja berteriak ketakutan, karena bukan gaya Shixun sama sekali.

"Kau terlalu stress hingga menjadi diam seperti ini, Xun?" suara Luhan tiba-tiba memecah keheningan.

Sehun baru tersadar dari lamunannya ketika Luhan mengajaknya bicara, "begitulah," ia tidak berbohong, "banyak hal yang membebani pikiranku akhir-akhir ini."

Luhan sedikit meliriknya, "ayahmu lagi?"

Bukan. Tapi Kai. Sehun ingin sekali menjawab seperti itu, namun yang ia lakukan hanya mengangguk menyetujui perkataan Luhan.

"Tenang saja kawan," Sehun melihat senyuman miring Luhan, "malam ini we're going to have some fun. real fun."

Sehun hanya membalasnya dengan senyuman kecil.

Sampai akhirnya, mobil Luhan berhenti di sebuah bangunan besar dengan lampu neon berwarna ungu bertuliskan El Dorado terpasang di atas pintu masuknya. Sehun menggigit bibir bawahnya dengan gugup, namun ia tetap keluar dari mobil Luhan dan mengekor di belakang lelaki itu ketika mereka memasuki gedung itu. Yang ada di bayangan Sehun tentang klub malam adalah tempat dimana orang-orang berkumpul dan mabuk. Sehun merinding hanya dengan membayangkannya, ia tidak begitu suka keramaian, baginya berdiri di tengah-tengah kerumunan orang adalah mimpi buruk.

Dan benar saja, ketika ia dan Luhan sudah masuk ke dalam (sekuriti yang menjaga klub itu langsung membiarkan mereka masuk tanpa mengecek ID mereka), yang menyambut Sehun adalah pemandangan lautan manusia yang sedang menari diiringi lagu bergenre EDM yang menggelegar hingga membuat telinga sakit. tingkat kegugupan Sehun semakin tinggi ketika ia melihat segerombolan wanita berjalan melewatinya dengan pandangan menggoda, dan ketika salah satu wanita itu menjulurkan tangannya untuk membelai dadanya, Sehun harus menahan diri agar tidak meloncat kebelakang.

"Ugh, ramai sekali." gumamnya.

"Setuju," Sehun kaget karena Luhan dapat mendengar perkataannya tadi, "ayo kita ke belakang."

Sehun membiarkan Luhan untuk memimpin jalan karena ia tidak tahu apa maksud belakang yang di bicarakan Luhan, 'mungkin itu tempat biasa mereka terkumpul', batin Sehun.

Luhan berhenti di depan sebuah pintu berwarna hitam, membuat Sehun ikutan berhenti. Lalu ketika Luhan membuka pintu itu, Sehun langsung terbatuk karena asap rokok yang pekat langsung menghembus ke mukanya.

"Shixun!" suara seorang lelaki membuat perhatian Sehun teralih.

"Berisik sekali kau Zitao." gumam Luhan sambil menghempaskan dirinya di sebuah kursi yang membentuk seperti huruf U besar, di tengah-tengahnya ada meja berisi banyak botol alkohol dan puntung rokok yang tersebar di seluruh meja. Mata Sehun terpusat kepada sebuah paket yang berada di dekat kaki lelaki yang di panggil Zitao itu, ketika ia mendekat, Sehun baru menyadari bahwa paket itu ternyata adalah ganja.

"Ini, ambillah." seorang lelaki dengan rambut pirang melemparkan Sehun sekantong ganja yang masih di bungkus plastik bening. "go get some papers there and make a joint already."

Sehun memutuskan untuk duduk di sebelah Luhan terlebih dahulu, ia memang tidak pernah berurusan dengan ganja sebelumnya, tapi ia tidak bodoh dalam urusan itu. Dia pernah melihat ibunya menghisap ganja bersama beberapa temannya di apartemen mereka nun jauh di Korea sana. Ia bahkan pernah mencoba sekali untuk smoking weed namun ketika ia baru saja ingin menyalakan korek, ibunya keburu merebut joint yang ia buat dari tangannya.

"Mana Mark?" tanya Luhan kepada lelaki yang tadi melemparkan ganja kepada Sehun.

"Seperti biasa, kamar mandi." balas lelaki itu sambil menghembuskan asap rokoknya.

Lelaki yang bernama Zitao itu membuka sebuah plastik dan menaburkan bubuk putih yang Sehun kenali sebagai kokain, lalu ia mengeluarkan sebuah kartu yang terlihat seperti kartu ATM dari dompetnya dan menggunakan kartu itu untuk membagi-bagi bubuk kokain menjadi 4 bagian sama rata. Zitao lalu mengeluarkan selembar uang dollar dari doempetnya lalu menggulungnya hingga membentuk joint, kemudian ia menunduk dan mendekatakan joint itu ke hidungnya dan mulai menghirup kokain lewat joint yang dibuat dari uang itu. Setelah selesai, lelaki itu menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan senyuman di bibirnya.

"arrogant jerk." ujar Luhan sinis sambil memperhatikan Zitao yang hanya tersenyum miring.

Sementara kini Sehun sedang berusaha semaksimal mungkin agar ia terlihat rileks seperti Shixun. Ia memulai dengan mengambil sebotol minuman yang berada di atas meja, Sehun tidak ragi-ragu mengambilnya karena ia sudah terbiasa dengan minuman keras yang setiap hari ada di kulkas apartemennya, meskipun semua minuman keras itu milik ibunya, tetapi ia diam-diam mengambilnya jika ia merasa stress dengan pelajaran sekolah atau kelakuan ibunya yang liar itu.

Namun, baru saja Sehun mendekatkan mulut botol ke bibirnya, pintu kamar mandi terbuka dan keluarlah seseorang dengan rambut merah yang terlihat tergesa-gesa sambil menaikkan resleting celana jeansnya, di belakangnya seorang wanita yang terlihat lebih tua keluar sambil merapihkan dress merahnya yang ketat. Nampaknya ada yang ingin di sampaikan lelaki itu.

"Bad news, guys." Lelaki itu beranjak menuju meja dan mengambil sebotol vodka, "Kim Kai dan pasukannya sedang berada di El Dorado sekarang."

Seluruh tubuh Sehun menegang, jantungnya berdegup kencang ketika ia mendengar nama Kai di sebut. Ia bingung harus melakukan apa jika bertemu dengan Kai, apakah ia harus menyapa lelaki itu? Atau mendiamkannya? Lalu ia memutuskan untuk meminum habis sebotol vodka yang ia pegang, berharap bisa menenangkan dirinya sendiri.

"Dimana dia sekarang?" tanya Luhan sambil menegakkan duduknya.

"Mereka ada di-"

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka secara paksa hingga menghasilkan suara bantingan yang keras. Sesosok lelaki asing yang tidak pernah Sehun lihat sebelumnya memasuki ruangan itu seenak jidatnya kemudian memandangi seluruh orang di hadapannya sebelum akhirnya ia menyeringai kearah Sehun.

"Kai menunggu kalian di jalanan, seperti biasa." Ia berkata seperti itu kemudian melangkah keluar ruangan, meninggalkan 6 orang yang terbengong di dalamnya.

"Let me do it." Ujar Zitao sambal berusaha untuk bangun dari duduknya, namun karena efek kokain yang tadi ia hirup, lelaki itu kemudian jatuh kembali ke atas kursi.

"Lalu kau akan membunuh dirimu sendiri di jalanan." Kata lelaki yang baru keluar dari kamar mandi, "Shixun, you do it."

Sehun menunjuk dirinya sendiri, "aku?"

Lelaki itu mengangguk, lalu ia menunjuk Sehun dengan rokoknya. "Kau satu-satunya orang yang cukup sadar di ruangan ini untuk balapan. Lagipula ini Kai, lho. Kai as in musuh bebuyutanmu."

Balapan? Sialan. Shixun tidak pernah menyebutkan apapun perihal balapan. Mungkin lelaki itu lupa.

Luhan melemparkan kunci mobilnya ke meja lalu mendarat tepat di depan Sehun, "gunakan mobilku. Sampai hancur juga tak apa, selama kau bisa mengalahkan bajingan itu." Kemudian ia tos dengan Mark, yang Sehun ingat nama dari lelaki yang tadi keluar dari kamar mandi bersama seorang perempuan yang kini sedang bergelayutan dengan manja di lengan kirinya.

"Fine." Sehun lalu bangkit dari duduknya dengan kunci Maserati Luhan di tangannya setelah merebut sebatang rokok dari tangan lelaki pirang yang tadi memberinya ganja. Ia tidak mengindahkan protesan dari lelaki itu dan meletakkan rokok itu di mulutnya, rasanya berbeda dengan rokok biasa, ketika ia menghembuskan asapnya Sehun baru sadar bahwa rokok itu terbuat dari ganja. Ini bukan pertama kalinya ia merokok, ia pertama kali mencoba merokok ketika ibunya yang mabuk tidak sengaja menyodorkan rokok ke arahnya, jadilah Sehun yang berumur 13 tahun saat itu mencoba rokok untuk pertama kalinya.

Sehun memang genius, tapi dia bukan nerd meskipun hobinya memnbaca buku. Teman-temannya di Korea juga bukan tipe murid yang memakai baju dimasukkan ke dalam celana yang mengatung dan memakai kacamata tebal yang menutupi sebagian muka. Baekhyun misalnya, temannya yang satu itu bisa dikatakan pecinta kehidupan malam—kerjaannya setiap malam adalah pergi ke klub malam dan bersetubuh dengan hamper setiap orang yang ia temui malam itu, meskipun siang harinya ia berubah menjadi lelaki yang menyukai seni musik dan mencoba untuk mendapatkan beasiswa ke Julliard, nun jauh di Amerika sana.

"Kembali lah dengan anggota badan yang lengkap, Xun." Luhan berkata sambal menggoyangkan segelas baijiu. "Aku tidak mau menjelaskan kepada ayahmu jika kau kehilangan salah satu kaki."

Sehun hanya tersenyum, ia tidak pernah balapan sebelumnya. Merokok, minum-minuman keras, menggunakan narkoba, ia pernah mencoba semua itu lebih dari sekali akibat kerasnya kehidupan di Korea sana—untungnya ia tidak berubah menjadi pecandu. Tapi balapan? Sehun bahkan tidak punya mobil sendiri di Korea sana, ia lebih senang menggunakan transportasi umum.

Ia melangkah keluar ruangan itu di temani oleh Mark, hatinya berkomat-kamit sendiri. Ia merasa seperti pengecut karena takut bertemu dengan Kai. Sehun merutuki dirinya sendiri yang hampir menangis ketika dipanggil ke ruang BK untuk pertama kalinya (baginya, jika sudah di marahi guru berarti ia sudah melakukan dosa besar), ia tidak mungkin menangis jika harus balapan melawan Kai sekarang.

"Kau harus tampil dengan baik malam ini," Mark berbisik di sebelahnya, "banyak orang yang bertaruh untukmu, aku bahkan bertaruh hingga 300 dollar. Dan menurut Renjun, kalau kau menang kita bisa mendapatkan lebih dari 4000 dollar, kau bisa bayangkan itu dude?! "

Great, batin Sehun, tambah satu lagi beban yang harus ku tanggung.

Maserati Granturismo milik Luhan kini sudah berada di hadapan Sehun, Mark berpisah dengannya tadi di depan pintu klub dengan alasan harus menyerahkan uang taruhannya kepada Renjun. Tiba-tiba ia merasa bersemangat sendiri, entah karena itu efek samping dari ganja yang ia hisap tadi atau ia memang bersemangat untuk balapan. Ini yang ia tunggu-tunggu, kebebasan seperti ini yang tidak akan pernah ia dapatkan di Korea yang ia nanti-nantikan.

"Hey sexy." Sehun berbalik hanya untuk menemukan Kai yang sedang berdiri dan menatapnya sambal menyeringai, lelaki bermarga Wu itu harus menahan nafasnya sendiri melihat penampilan Kai yang luarbiasa tampan malam ini. Kai memakai pakaian serba hitam, mulai dari celana hingga kaosnya, hanya saja jaket lelaki itu berwarna cokelat tua yang terlihat mencolok di atas kaos hitam yang dipakai Kai. Ketika Kai melangkahkan kakinya mendekati Sehun, tanpa sadar Sehun memundurkan langkahnya hingga ia punggungnya bersentuhan dengan mobil Luhan.

"Wah, lihat penampilanmu malam ini." Jari-jari Kai menarik lubang gesper celana Sehun hingga lelaki itu tersandung dan Sehun tidak punya pilihan lain selain meletakkan kedua tangannya di bahu Kai untuk menjaga keseimbangannya. "Tidak seberani biasanya tapi tetap saja," lelaki tan itu mendekatkan bibirnya ke telinga Sehun, "you look hot."

Sehun sontak mendorong Kai hingga lelaki itu mundur beberapa langkah dengan kedua tangannya, "menjauh dariku, asshole."

Kai mendengus, "atau apa? Kau akan menendang pantatku lagi?" Ia menyeringai lalu merentangkan tangannya. "Silahkan saja, lagipula jika aku memenangkan balapan ini aku bisa memukul pantatmu sesuka hatiku atau bahkan menelanjangimu." Kemudian Kai tertawa.

Sehun tertegun ketika mendengar suara tawa Kai, ia tidak menyangka bahwa tawanya Kai tidak menyeramkan seperti yang selama ini ada di bayangannya. Sehun hampir saja terlena, namun ia ingat, ia tidak boleh lengah saat ini. "Tertawalah sesuka hatimu, karena jika aku memenangkan balapan ini, kau yang akan ku telanjangi." Balas Sehun sengit.

Kai berhenti tertawa lalu menatap Sehun dengan alis terangkat, "kau mau bertaruh denganku, Wu?"

Sehun mengangkat dagunya, "siapa takut?"

"Hmm… punya nyali juga kau, fucktard." Kai maju selangkah untuk menarik bagian depan kaos yang dipakai Sehun. "Sampai ketemu di lintasan, Wu Shixun." Kemudian ia melangkah pergi menjauhi Sehun yang termangu.

"Are you ready, Xun?" Tiba-tiba Mark merangkulnya dari belakang, dan menyeret Sehun untuk memasuki mobil Luhan.

Ketika Sehun sudah menduduki dirinya di hadapan stir dengan nyaman, tangannya mencengkram stir dengan kuat, mulutnya menyeringai. "I was born to ready."

.

.

"Kau ingin ikut menonton Peking Opera malam ini, Sehun?"

Shixun menghela nafas dalam hati, ia sudah ribuan kali menonton Peking Opera, hingga ia hafal alur ceritanya di luar kepala. Namun kini kakeknya bertanya kepada Sehun, Sehun yang selama ini tinggal di Korea, harusnya dengan senang hati mengiyakan ajakan kakeknya untuk menonton Peking Opera.

"Boleh." Jawab Shixun dengan suara dibuat seceria mungkin.

"Ayah, Sehun itu anak muda, aku yakin ia tidak akan suka pertunjukan tua seperti Peking Opera." Kali ini Yifan yang angkat bicara, kemudian ia mengedipkan sebelah matanya kearah Shixun. Shixun hanya berharap lelaki itu tidak menyadari wajahnya yang sudah memerah parah sekarang.

Kakek Wu menggelengkan kepalanya, "lalu? Kau punya ide yang lebih bagus Yifan?"

"Chaoyang International Spring Carnival." Ujar Yifan, "itu lebih baik daripada Peking Opera."

Wajah Shixun kini terasa lebih panas dari sebelumnya hingga Shixun memutuskan untuk menunduk, dulu ketika ia masih tinggal di Beijing, Yifan selalu mengajaknya pergi ke Chaoyang International Spring Carnival. Mereka biasanya akan menghabiskan waktu seharian di sana, menghambur-hamburkan uang hanya untuk menyicipi makanan yang dijual di sana. Biasanya juga Shixun berkeluh kesah kepada Yifan mengenai sekolahnya yang membosankan atau ayahnya yang terlalu kaku, dan Yifan akan dengan senang hati mendengarkan semua isi curhatannya.

"Kau dulu sering sekali mengajak Shixun pergi kesana." Ujar Kakek Wu, "tapi benar juga, kau mungkin akan tertidur jika menonton Peking Opera. Lebih baik kau pergi dengan pamanmu itu ke Chaoyang International Spring Carnival."

Yifan melemparkan senyuman kea rah Shixun, sementara Shixun berusaha untuk membalas senyum lelaki itu. Kemudian Yifan bangkit dari duduknya lalu mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya. "Kau sudah siap untuk pergi? Atau kau perlu waktu untuk mengganti pakaianmu?"

Mata Shixun membulat sempurna, "s-sekarang?"

Yifan mengangguk, "tentu saja, kau tunggu apa lagi? Atau kau lebih memilih untuk menonton Peking Opera yang membosankan bersama kakek?"

Wajah Shixun kembali memerah, kemudian ia bergegas berlari menuju kamarnya untuk mengganti pakaiannya, meninggalkan kakeknya yang hanya menghela nafas melihat kelakuannya dan Yifan yang tertawa.

.

.

Shixun menghela nafas dengan kesal, kini ia sedang berdiri di pinggir jalanan dengan sebuah churros di tangannya sambil menunggu Yifan yang sedang dikerubuti segerombolan wanita genit yang mengaku sebagai rekan kerjanya di kantor. Lelaki itu berkali-kali melemparkan tatapan meminta maaf kearahnya jika ada kesematan, dan Shixun hanya bisa tersenyum kecil untuk membalasnya, meskipun di dalam hatinya ia sudah panas. Ingin rasanya ia menjambak satu persatu rambut wanita itu dan menarik Yifan untuk menjauh.

Namun itu tidak ia lakukan.

Lagipula, apa yang akan Yifan pikirkan jika ia benar-benar melakukan itu? Bahwa ternyata selama ini Wu Sehun yang besar di Korea tumbuh menjadi lelaki barbar? Ia harus menjaga imej anak baik adik kembarnya yang satu itu.

Setelah lebih dari 10 menit menunggu, Yifan akhirnya kembali dengan senyuman di wajahnya yang tampan, membuat Shixun harus menahan dirinya agar ia tidak lepas kendali dan mencium pamannya sendiri di depan banyak orang. "Maafkan aku, mereka sulit sekali untuk berhenti jika sudah memulai."

"Tak mengapa," balas Shixun dengan terpaksa, "jadi, kita kemana selanjutnya?"

"Ah!" wajah Yifan berubah menjadi cerah dalam sekejap, "kau ingin melihat layangan? Shixun senang sekali dengan layangan."

Rasa senang membuncah di dada Shixun, ternyata Yifan masih ingat apa kesukaannya jika ia berkunjung ke Chaoyang. Dengan semangat, Shixun menganggukkan kepalanya, tanda ia menyutujui usulan Yifan.

Sepanjang perjalanan, Yifan tak henti-hentinya bertanya kepada Shixun mengenai kehidupannya di Korea, Shixun sebisa mungkin menjawab pertanyaan yang di ajukan meskipun beberapa kali ia harus berbohong. Tapi nampaknya Yifan tidak menyadarinya, jadi Shixun bisa dengan gampang menyuarakan kebohongannya.

"Ku dengar ibumu terkena skandal lagi, apa benar?"

Shixun mengangkat bahunya, ia sebenarnya tidak begitu peduli dengan skandal ibunya, namun karena Yifan bertanya jadi ia mau tidak mau menjawabnya. "Begitulah, tidak mengejutkan sebenarnya, berhubung ibu senang sekali membuat skandal demi mendongkrak popularitasnya."

"Kau seharusnya tinggal saja di China, bersama ayah dan kakakmu, ku dengar gaya hidup ibumu benar-benar buruk di Korea sana." Ujar Yifan.

"Yah, tapi kalau aku meninggalkan ibu, siapa yang akan mengurusnya nanti?" jawab Shixun polos, memang benar, Shixun juga pernah bertanya pertanyaan yang sama seperti Yifan kepada Sehun beberapa waktu yang lalu ketika ibu mereka tertangkap menggunakan marijuana di sebuah hotel bersama teman-temannya. Ibunya harus mendekam selama beberapa saat di panti rehabilitasi, meninggalkan Sehun sendiri di apartemennya. Shixun beberapa kali memaksa kembarannya untuk pindah ke China, namun Sehun selalu menolaknya dengan alasan ia harus menjaga dan mengurus ibu mereka agar beliau tidak terjerumus hal-hal yang lebih parah lagi.

Yifan memandanginya dengan senyuman yang bisa membuat Shixun meleleh seketika, "kau benar-benar anak yang baik, Sehun. Andaikan Shixun sepertimu…"

Jantung Shixun terasa berhenti berdetak untuk beberapa saat ketika ia mendengar perkataan Yifan, ia menggigit bibir bawahnya dengan takut, seluruh keluarganya sudah tahu mengenai perilaku badungnya selama di sekolah maupun di luar sekolah, namun satu-satunya orang yang tahu tentang kehidupan malamnya (rokok, alcohol, dan narkoba) hanyalah Yifan seorang, lelaki itu pernah menangkap basah dirinya sedang berada di klub malam dan semenjak saat itu hubungan mereka menjadi renggang. Karena hal itu lah, Shixun selalu menolak jika di ajak ke Beijing oleh ayahnya—ia tidak punya muka untuk bertemu Yifan. Katakanlah ia pengecut, karena baru berani bertemu dengan pamannya itu ketika ia berpura-pura menjadi Sehun, karena ia tidak yakin jika Yifan masih sudi untuk bertemu dengan sosok Shixun.

Lagipula, ada alasan lain mengapa Shixun tidak lagi mau untuk menemui Yifan—

"Yifan? Sedang apa kau di sini?"

Shixun dan Yifan sontak berbalik dan menemukan seorang wanita cantik dengan rambut hitam panjang sedang menatap mereka dengan kaget, namun wajahnya memancarkan kebahagiaan.

"Qian?" gumam Yifan, sementara Shixun di sebelahnya sudah mengepalkan tangannya hingga memutih. Wanita yang berdiri di hadapan mereka inilah yang menjadi alasan lain mengapa Shixun tidak mau menemui lelaki yang berhasil mencuri hatinya sejak—

"Itu…Shixun?" tanya Qian, wanita itu melangkahkan kakinya untuk mendekati pasangan paman-keponakan itu.

"Oh," Yifan rasanya baru tersadar bahwa Qian tidak mengenal Sehun, "bukan, ini Sehun, kembaran Shixun. Nah Sehun, perkenalkan ini Song Qian, tunanganku."

Qian, wanita itu tersenyum ramah kepada Shixun, "senang bertemu denganmu, aku tidak pernah tahu kalau Shixun ternyata punya kembaran. Ku kira dia mewarnai rambutnya menjadi hitam."

Kalau ditanya sebenarnya apa yang telah di lakukan Qian hingga membuat Shixun tidak menyukainya, jawabannya adalah tidak ada, mungkin kecuali karena telah menjadi tunangan dari lelaki yang selama ini dia cintai. Tapi selebihnya, Qian adalah wanita yang baik dan sopan, hampir mustahil bagi orang untuk membencinya. Bahkan Qian dan Yifan bertunangan karena dijodohkan oleh kedua orang tua mereka, namun karena Shixun pada dasarnya pecemburu dan posesif, ia jadi membenci siapapun yang mendekati Yifan.

"Kebetulan sekali kita bertemu di sini, sudah lama?" wanita itu bertanya dengan senyuman yang tak lepas dari bibirnya.

Yifan tersenyum, "lumayan, aku baru saja ingin mengajak Sehun untuk pergi melihat layangan. Kau sendiri sedang apa di sini?"

Qian menunjukkan name tag yang melingkar di lehernya, "kebetulan temanku ada yang membuka stand di sini, dan dia meminta bantuanku untuk mengaturnya, jadilah aku disini." Kemudian seseorang dari kejauhan terdengar seperti sedang memanggil nama Qian, membuat wanita itu menoleh. "Aku harus pergi, tadi aku menghampiri kalian tanpa bilang dengan temanku, jadi…yah kau bisa tebak sendiri."

Yifan tertawa, Shixun juga ikutan tertawa meskipun ogah-ogahan.

"Aku pergi dulu, oke? Nikmati kunjungan kalian." Sebelum wanita itu benar-benar pergi, Qian menyempatkan dirinya untuk mengecup pipi Yifan, membuat Shixun yang melihatnya panas sendiri, terbakar api cemburu.

Setelah Qian menghilang dari pandangan mereka berdua, Yifan menoleh untuk menatap Shixun yang balas menatapnya juga. Shixun berusaha untuk mengabaikan senyuman Yifan yang terlihat bahagia setelah berjumpa dengan tunangannya. Ia takut jika ketakutan terbesarnya sudah terjadi, ia takut jika Yifan sudah mulai menyukai sosok Qian.

"Ah, maaf, lagi-lagi kau harus melihatku dengan perempuan lain." Lelaki yang lebih tua berkata sembari mengusap tenguknya dengan canggung.

'Jangan berkata seakan-akan kau peduli dengan perasaanku.' Batin Shixun dengan pahit, namun sedetik kemudian ia segera memasang senyum sumringahnya. "Tidak masalah," ia menatap tepat di mata gelap Yifan, mata yang selalu membuatnya merasa seperti orang yang sedang tersesat, mata yang selalu membuat jantungnya berdebar jika sedang berpandangan dengan matanya sendiri, mata yang dulu selalu menatapnya dengan tatapan teduh, mata yang dulu pernah sekali menatapnya dengan tatapan kecewa, "bagaimana kalau kita lanjutkan saja perjalanan kita?"


to be continue

HAHA saya kembali dengan FF baru, doain aja saya semangat nulisnya karena ini berchapter, takutnya di tengah jalan mogok, karena feelsnya ilang ~-~

Makasyii yang udah sempetin baca, ninggalin komentar, dan favoritin FF ini :3

.

.

(p.s: saya belum bisa terima kalau hari in hari terakhir libur /nangis/)