Chapter 1
Misteri Guci Biru
Disclaimer :
Naruto © Masashi kishimoto
Based on story by Agatha Christie
Rated : Teen.
Genre : Mystery and Crime
Summary : Uzumaki naruto seorang Pemuda pecinta golf yang biasa-biasa saja, Pekerjaannya sebagai Pegawai pun juga biasa saja, Sampai ia mendengar suara teriakan "Pembunuhan! Tolong! Pembunuhan!" Hidupnya pun berubah menjadi tidak biasa.
Warning : AU, OOC, Miss Typo, And Other.
Uzumaki Naruto mengamati hasil pukulannya dengan kesal. Sambil berdiri di samping bola, ia menoleh ke titik awal, memukul bola dan mengukur jaraknya. Wajahnya menyiratkan perasaan jengkel dan muak yang dirasakannya. Sambil mendesah ia mengayunkan tongkat golfnya, membuat dua ayunan dahsyat yang memangkas sebatang dandelion dan sejumput rumput. Lalu ia memusatkan perhatian kembali pada bolanya.
Berat rasanya menjadi pria muda berusia dua puluh empat tahun, yang ambisi satu-satunya dalam hidup ini adalah mengurangi handicap-nya dalam permainan golf, tapi juga harus memberikan waktu dan perhatiannya terhadap masalah mencari uang untuk hidup. Lima setengah hari dalam seminggu Naruto terkungkung di kantornya, semacam "kuburan" kayu mahoni di kota Suna itu. Sabtu siang dan hari Minggu sepenuhnya disediakan untuk golf, dan didorong oleh semangatnya yang menggebu-gebu terhadap olahraga tersebut, ia menyewa kamar di sebuah hotel kecil di dekat lapangan golf di Suna City. Ia bangun jam enam pagi setiap hari, supaya bisa berlatih selama satu jam, sebelum mengejar kereta api pukul 08.48 ke tempat kerjanya.
Satu-satunya masalah dalam jadwalnya ini adalah sepertinya ia tak bisa memukul dengan bagus pada jam sepagi itu. Pukulan-pukulannya selalu ngawur.
Naruto mendesah, memegang tongkat pemukulnya erat-erat, dan mengulangi kata-kata bertuah itu untuk dirinya sendiri, "Lengan kanan ayunkan lepas, dan jangan mengangkat muka."
Ia mengayunkan tongkatnya... lalu terhenti kaget saat sebuah jeritan nyaring memecahkan keheningan pagi musim panas itu.
"Pembunuhan!" seru suara itu. "Tolong! Pembunuhan!"
Suara itu suara wanita, dan akhirnya memudar menjadi semacam desahan terceguk.
Naruto melemparkan tongkatnya dan berlari ke arah suara tersebut. Asal suara itu sepertinya dari suatu tempat yang sangat dekat. Bagian lapangan ini masih sangat liar, dan hanya sedikit sekali rumah yang tersebar di sekitarnya. Malah sebenarnya hanya ada satu rumah di dekat situ, sebuah pondok kecil yang cantik, yang sering kali diperhatikan Naruto, karena kesan halus masa lampau yang dipancarkannya. Ke pondok itulah ia berlari. Pondok itu tersembunyi darinya oleh sebuah lereng yang ditumbuhi tanaman lavender. Naruto memutar lereng itu, dan tidak sampai semenit ia sudah berdiri di depan pagar kecil yang digembok.
Seorang gadis berdiri di kebun, dan sesaat Naruto mengambil kesimpulan yang sangat wajar bahwa gadis itulah yang telah menjerit meminta tolong. Tapi ia cepat-cepat menyisihkan pikiran itu dari kepalanya.
Gadis itu membawa sebuah keranjang kecil di tangannya, setengah terisi oleh rumput liar. Jelas ia baru saja menegakkan tubuh setelah membersihkan sepetak lebar bunga lavender putih. Naruto memperhatikan bahwa kedua matanya juga seperti bunga lavender, halus, lembut, dan berwarna putih violet, dan juga rambutnya yang panjang berwarna indigo itu diikat ponytail, sangat manis dan anggun, pikir Naruto. Sosoknya yang terbalut gaun linen ungu model lurus, Ia benar-benar gadis yang anggun, pikir Naruto lagi.
Gadis itu menatap Naruto dengan ekspresi kesal bercampur kaget.
"Maaf," kata Naruto. "Apa tadi Anda menjerit?"
"Saya? Tidak sama sekali."
Rasa herannya tidak tampak dibuat-buat hingga Naruto merasa bingung. Suaranya sangat lembut dan enak didengar.
"Tapi Anda pasti mendengarnya tadi," seru Naruto, "Asalnya dari suatu tempat di dekat-dekat sini."
Gadis itu melongo menatapnya.
"Saya tidak mendengar apa-apa."
Sekarang giliran Naruto melongo menatapnya. Sungguh mengherankan, gadis itu tidak mendengar suara meminta tolong tadi. Namun sikap tenangnya begitu nyata, hingga Naruto tak percaya kalau gadis itu berbohong padanya.
"Suara itu datang dari dekat-dekat sini," Naruto bersikeras.
Sekarang gadis itu memandanginya dengan curiga.
"Apa katanya?" tanyanya.
"Pembunuhan... tolong! Pembunuhan!"
"Pembunuhan... tolong! Pembunuhan!" ulang gadis itu. "Ada yang mempermainkan Anda rupanya, Tuan. Siapa yang mungkin dibunuh di sini?"
Naruto memandang sekitarnya, dengan bayangan akan menemukan sesosok mayat di jalan setapak di kebun. Tapi ia masih sepenuhnya yakin bahwa jeritan yang didengarnya tadi benar-benar nyata, bukan sekadar imajinasinya. Ia memandang ke arah jendela-jendela pondok itu. Segalanya tampak begitu tenang dan damai. "Anda mau memeriksa rumah kami?" tanya gadis itu tanpa emosi.
Sikapnya jelas sangat skeptis, hingga kebingungan Naruto semakin bertambah. Ia membalikkan tubuh
"Maaf," katanya. "Jeritan itu pasti asalnya dari tempat yang lebih tinggi di hutan sana."
Naruto memberi salam hormat, dan berlalu dari situ Ketika ia menoleh lagi, dilihatnya gadis itu sudah kembali meneruskan mencabuti rumput dengan tenangnya.
Selama beberapa saat ia mencari-cari di dalam hutan. Tapi tidak menemukan tanda-tanda telah terjadi sesuatu yang tidak biasa. Namun ia masih tetap yakin bahwa tadi ia memang mendengar jeritan itu. Akhirnya ia berhenti mencari, dan lekas-lekas pulang untuk sarapan serta mengejar kereta pukul 08.48. yang satu-dua detik lagi akan datang. Ia agak terganggu oleh suara hatinya ketika duduk di kereta. Apakah mestinya ia segera melaporkan apa yang telah didengarnya itu kepada polisi? Ia tidak melapor semata-mata karena ekspresi heran gadis itu. Gadis itu jelas-jelas curiga. Ia hanya mengada-ada. Ada kemungkinan polisi pun berpikiran demikian. Apakah ia benar-benar yakin telah mendengar jeritan itu?
Saat ini Naruto tidak lagi seyakin sebelumnya suatu akibat wajar, karena mencoba menangkap sensasi yang telah hilang. Apakah yang didengarnya itu sebenarnya suara burung di kejauhan, yang ia kira mirip dengan suara wanita?
Namun ditepiskannya kemungkinan itu dengan marah. Suara itu memang suara wanita, dan ia mendengarnya. Ia ingat, ia melihat arlojinya tepat sebelum jeritan itu terdengar. Kemungkinan ia mendengar jeritan itu pada jam tujuh lewat dua puluh lima menit. Fakta ini barangkali berguna bagi polisi... kalau kelak mereka menemukan sesuatu.
Malam itu, dalam perjalanan pulang, ia memeriksa surat kabar sore dengan harap-harap cemas, kalau-kalau ada berita tentang suatu tindak kejahatan. Tapi tidak ada apa-apa, dan ia tidak tahu pasti, apakah mesti merasa lega atau kecewa.
Keesokan paginya udara terasa basah-begitu basah, hingga pencinta golf nomor satu pun tidak bakal antusias untuk berlaga. Naruto bangun selambat mungkin, makan sarapan cepat-cepat, lari mengejar kereta api, dan sekali lagi memeriksa surat kabar dengan penuh semangat. Masih tetap tidak ada berita apa pun tentang penemuan menghebohkan. Begitu pula halnya ketika ia memeriksa surat kabar sore.
"Aneh," gumam Naruto, "tapi jeritan itu benar-benar kudengar. Kemungkinan cuma anak-anak kecil yang bermain bersama-sama di dalam hutan." Namun Naruto meragukan pikirannya lagi.
Naruto keluar rumah pagi-pagi keesokan harinya. Ketika melewati pondok itu, dari sudut matanya ia melihat si gadis sudah ada di kebun lagi, sedang mencabuti rumput. Rupanya ini kebiasaannya. Naruto melakukan pukulan pertama yang sangat bagus, dan berharap gadis itu memperhatikannya. Ketika hendak melakukan pukulan berikutnya, ia melihat arlojinya dulu.
"Tepat jam tujuh lewat dua putuh lima menit," gumamnya "Aku ingin tahu..."
Kalimatnya terhenti di bibir. Dari belakangnya terdengar jeritan yang sama, yang kemarin dulu begitu mengejutkannya. Jeritan seorang wanita yang sangat ketakutan.
"Pembunuhan... tolong! Pembunuhan!"
Naruto berlari balik. Si gadis sedang berdiri di dekat gerbang. Ia tampak terkejut, dan Naruto lari menghampirinya dengan perasaan penuh kemenangan sambil berseru,
"Kali ini Anda mendengarnya, kan?"
Kedua mata gadis itu terbelalak, menyiratkan emosi yang tak bisa ditebak, namun Naruto memperhatikan bahwa ia mundur ketika didekati, dan bahkan menoleh ke arah rumah, seolah-olah hendak berlari ke sana untuk mencari perlindungan.
Ia menggelengkan kepala, terbelalak menatap Naruto.
"Saya tidak mendengar apa-apa," katanya heran.
Naruto merasa seakan-akan gadis itu telah memukul bagian di antara kedua matanya. Keheranannya begitu nyata, hingga mustahil bagi Naruto untuk tidak mempercayainya. Namun jeritan itu tak mungkin hanya imajinasinya belaka, tak mungkin – tak mungkin...
Didengarnya gadis itu berbicara lembut hampir-hampir dengan nada simpati.
"Anda mengalami gangguan saraf bekas berperang?"
Dalam sekejap Naruto memahami ekspresi ketakutan di wajah gadis itu, dan kenapa ia menoleh ke rumahnya. Ia mengira Naruto menderita delusi...
Bagaikan tersiram air dingin, pikiran mengerikan itu muncul dalam benak Naruto. Benarkah ia mengalami delusi? Terobsesi oleh kengerian pikiran tersebut, ia membalikkan tubuh dan lekas-lekas pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Gadis itu memandanginya pergi, lalu mendesah sambil menggelengkan kepala, dan meneruskan mencabuti rumput.
Naruto berusaha mencari penjelasan yang masuk akal dengan dirinya bendiri. 'Kalau aku mendengar jeritan itu lagi pada pukul tujul lewat dua puluh lima menit', pikirnya, 'berarti aku memang mengalami semacam halusinasi. Tapi aku tidak bakal mendengarnya'.
Ia merasa gugup sepanjang hari itu, dan pergi tidur lebih awal, dengan tekad untuk membuktikan hal tersebut keesokan paginya.
Barangkali dalam kasus semacam ini wajar saja kalau ia malah tak bisa tidur hampir selama setengah malam itu, dan keesokan paginya ia jadi bangun terlambat. Sudah jam tujuh lewat dua puluh menit ketika ia keluar dari hotel dan lari ke arah padang golf. Ia menyadari, tak mungkin ia bisa mencapai spot penting itu pada jam tujuh lewat dua puluh lima menit. Tapi kalau jeritan yang didengarnya itu hanya halusinasinya belaka, tentunya ia akan mendengarnya di mana saja. Ia terus berlari, matanya terpaku pada jarum-jarum arlojinya.
Sudah lewat dua puluh lima menit. Dari kejauhan terdengar gema suara seorang wanita, memanggil-manggil. Kata-katanya tidak jelas, tapi ia yakin suara itu adalah jeritan yang sama dengan yang ia dengar sebelumnya, dan berasal dari titik yang sama pula, di suatu tempat disekitar pondok itu.
Anehnya kenyataan ini justru membuatnya tenang. Bagaimanapun mungkin saja semua itu tipuan belaka. Walau kelihatannya tak mungkin, bisa saja gadis itu ternyata mempermainkannya. Naruto menegakkan bahunya dengan penuh keyakinan, dan mengeluarkan tongkat golf dan tasnya. Ia akan memainkan beberapa hole sampai ke pondok itu.
Gadis itu ada di kebun, seperti biasa. Pagi ini ia mengangkat wajahnya ke arah Naruto, dan seketika Naruto menampakkan cengiran andalannya, ia mengucapkan selamat pagi dengan agak malu-malu... 'Dia tampak lebih cantik daripada biasanya', pikir Naruto.
Naruto mendekat "Hari yang indah, bukan?" sapa Naruto dengan ceria, sampil menyumpahi kalimatnya sendiri yang klise.
"Ya, hari yang indah sekali."
"Bagus untuk berkebun, ya?" kata Naruto
"Tidak, Bunga-bunga saya sesekali membutuhkan hujan. Lihat, semuanya kering dan layu."
Naruto memandang lagi bunga-bunga yang ditanam gadis itu dengan jelas, dan melongok lagi kebaliknya.
"Kelihatannya mereka baik-baik saja," katanya dengan canggung, karena menyadari sorot agak iba yang terpancar dalam tatapan gadis itu kepadanya.
"Mataharinya cerah sekali, bukan?" kata gadis itu. "Bunga-bunga selalu bisa disirami kalau kepanasan. Tapi matahari memberikan kekuatan dan memperbaiki kesehatan. Saya lihat hari ini Tuan jauh lebih baik."
Nadanya yang seperti menawarkan semangat itu membuat Naruto sangat jengkel.
'Sial sekali', pikirnya. 'Aku yakin dia berusaha menyembuhkanku dengan memberikan sugesti seperti itu.'
"Aku baik-baik saja," kata Naruto.
"Bagus kalau begitu" gadis itu menjawab cepat dengan nada lembut.
Naruto sangat kesal karena merasa gadis itu tidak mempercayainya.
Naruto memainkan beberapa pukulan lagi, setelah itu ia cepat-cepat pulang untuk sarapan. Sambil makan, ia menyadari bukan untuk pertama kalinya bahwa seorang laki-laki yang duduk di meja sebelahnya tengah mengamatinya dengan saksama. Laki-laki itu berumur kurang dari setengah baya, dengan wajah berwibawa. Ia selalu memakai masker hitam dan sepasang mata hitam keabu-abuan yang terlihat sayu, rambutnya berwarna perak mencuat keatas, sikapnya yang santai dan yakin menandakan ia seorang profesional dari kelas yang lebih tinggi. Naruto tahu nama orang itu adalah Kakashi, dan ia pernah mendengar gosip-gosip samar bahwa Kakashi ini seorang spesialis medis terkemuka. Tapi berhubung Naruto bukan pengunjung atau pasiennya, nama itu hanya sedikit sekali artinya baginya, atau bahkan sama sekali tidak berarti apa-apa.
Tapi pagi ini ia sangat merasakan tatapan orang itu, dan ia jadi agak takut. 'Apakah rahasia yang disimpannya jelas-jelas tergambar di wajahnya, dan bisa dilihat setiap orang? Apakah orang ini, berhubung ia seorang profesional, mengetahui bahwa ada yang tidak beres di dalam sel-sel kelabu otaknya yang tersembunyi?' pikirnya.
Pikiran itu membuat Naruto merinding. Benarkah itu? Benarkah ia sudah mulai sinting? Apakah keseluruhan peristiwa yang dialaminya hanya halusinasi atau suatu tipuan besar?
Dan sekonyong-konyong terlintas dalam benaknya suatu cara yang sangat sederhana untuk menguji solusinya. Selama ini ia selalu hanya sendirian saat mendengar suara jeritan itu. Bagaimana kalau ada orang lain bersamanya? Salah satu dari tiga kemungkinan tentunya bakal terjadi. Suara itu tidak akan terdengar lagi. Mereka berdua sama-sama mendengarnya. Atau... hanya dirinya yang mendengar.
Sore itu ia melaksanakan rencananya. Kakashilah yang ingin ia ajak bersamanya. Tidak sulit bagi mereka untuk terlibat percakapan. Mungkin Kakashi sendiri sudah menunggu-nunggu kesempatan itu. Untuk alasan tertentu, jelas bahwa ia tertarik pada Naruto. Naruto tidak mendapat kesulitan mengajak Kakashi main golf besok nanti . Mereka berjanji akan bertemu keesokan paginya.
To be continued...
Misteri apakah yang melingkupi Naruto?
Akankah Kakashi juga mendengar jeritan sama yang dialami Naruto?
Review?
