Kuroko no basuke © Fujimaki Tadatoshi
.
.
FF written by May_Angelf
(Warning: Typo. Bahasa tidak jelas. Cerita tidak karuan.)
.
.
~I'm Yours~
(Pertemuan)
Kuroko menghentak-hentakkan jari-jari tangannya di atas meja yang terbuat dari kaca seirama dengan hentakan kakinya pada lantai yang juga terbuat dari kaca. Sesekali dia merubah posisinya sambil menghela nafas lelah, sudah cukup lama ia berada di sana namun seseorang yang hendak ditemuinya tak kunjung tiba.
Kuroko mengedarkan pandangannya ke segala arah guna mengusir rasa bosan yang menghinggapinya, tapi rupanya hal itu sia-sia karna tempatnya berada justru semakin menambah kadar kebosanannya.
Sejauh mata memandang yang kuroko lihat hanyalah kaca, kaca dan kaca disertai pantulan samar dirinya. Ya.. seluruh ruangan ini terbuat dari kaca, baik dinding, lantai, maupun atapnya, membuat Kuroko merasa seperti terkurung dalam akuarium saja. Tidak ada warna dan tidak ada hal menarik lainnya. Untuk ukuran ruangan yang cukup luas, tempat ini tergolong sangat minim dekorasi dan perabotan sebagai isi, yang ada di ruangan ini hanyalah sebuah meja dan empat buah kursi yang keseluruhannya terbuat dari kaca, tanpa bunga yang menghiasi maupun jamuan yang seharusnya disuguhkan.
Kuroko berdecak kesal sebelum akhirnya bangkit dari kursinya agak kasar, alunan melodi dari dentingan kaki kursi yang menghantam lantai menyapa indra pendengarannya, tidak memekakan apalagi memilukan. Setiap gerakan yang Kuroko ciptakan terlihat sangat elegan, tidak ada sedikitpun kesan urakan meskipun ia tengah dilanda kekesalan. Sebagai seorang selebriti ternama yang menyandang gelar kehormatan orang tuanya, Kuroko selalu di tuntut tampil sempurna dalam setiap kesempatan maupun tindakan yang ia lakukan.
Kuroko menatap lurus salah satu sisi ruangan di mana terdapat pintu sebagai akses keluar masuk ruangan, sedikit berharap ada seseorang yang datang. Kuroko mengernyit heran saat beningnya kaca memantulkan bayangan dirinya, seingatnya sebelum ia memasuki ruangan ini dia dapat melihat dengan jelas isi di dalamnya, tapi kini di saat dirinya telah berada di dalam ruangan dia tak dapat melihat suasana di luar sana. Mungkinkah ruangan ini terbuat dari kaca dua arah? Jika iya, bukankah seharusnya orang yang berada di dalam ruangan dapat memantau keadaan di luar sana? Kenapa ini justru sebaliknya? Kuroko hampir saja mengacak rambutnya frustasi jika saja dia tidak mengingat di luar sana mungkin banyak orang yang memerhatikannya.
Kuroko mengibaskan rambutnya sekilas guna mengusir rasa penat yang dihasilkan oleh pertanyaan-pertanyaan bodoh yang sempat menghinggapi kepalanya, dia selalu benci saat-saat di mana dia terjebak dalam situasi disertai berbagai pertanyaan yang tak bisa ia temukan jawabannya sendiri. Mata Kuroko kembali fokus pada dinding kaca yang semakin jelas memantulkan bayangan dirinya seiring langkah kakinya yang semakin mendekat.
Seolah terhipnotis, Kuroko tidak dapat mengalihkan perhatiannya dari bayangannya sendiri hingga tanpa sadar ia mengulurkan tangannya, membelai dinding kaca tepat pada bagian yang memantulkan bayangan wajahnya.
"Kakak," gumamnya.
Kuroko tak perduli lagi jika di luar sana ada orang yang memerhatikannya, Kuroko tak perduli lagi jika ternyata ada kamera yang menangkap tindakan bodohnya, bahkan Kuroko tak perduli lagi jika besok ia mendengar berita yang merusak imagenya. Karena saat bayang-bayang tentang kakaknya memenuhi pikirannya, dia tidak perduli lagi dengan hal lainnya.
"Kau di mana?" masih dengan tatapan kosong dan belaian halus pada kaca di hadapannya, Kuroko berujar lirih. Entah bagaimana rupa kakaknya saat ini, yang ada di benaknya hanyalah seseorang yang sangat mirip dengannya. Hanya saja, mungkin kakaknya jauh lebih tinggi mengingat kedua orang tuanya juga memiliki tubuh yang menjulang tinggi. Kuroko yang masih berusia sepuluh tahun saja sudah tumbuh setinggi 168cm sehingga banyak orang mengira usianya sudah enam belas tahun. Apalagi kakaknya, jika dihitung-hitung usia kakaknya saat ini sudah menginjak dua puluh tahun.
^May_Angelf^
Akashi berjalan tergesa diikuti oleh asistennya, Midorima Shintarou. Tangannya yang mengepal kuat disertai rahang yang mengatup keras cukup untuk menggambarkan emosinya saat ini. "Siapa yang berani mengganggu jam kerjaku tanpa membuat janji terlebih dahulu." Entah pertanyaan atau pernyataan yang ia lontarkan, tapi hal itu cukup untuk membuat Midorima menelan ludahnya dengan susah payah.
"Kurasa kau mengenalnya nanodayo." Berusaha menutupi ketakutannya, Midorima menjawab sedatar yang ia bisa.
"Jelaskan," titah Akashi lugas sambil terus melangkahkan kakinya menyusuri lorong kantornya.
Midorima berusaha mempercepat langkahnya, sesekali dia berlari kecil untuk mengimbangi langkah kaki Akashi yang semakin jauh meninggalkannya. Midorima tidak habis pikir bagaimana bisa orang se pen- oke Midorima tidak berani mengatakannya meskipun hanya dalam hati karna dia bisa mati –orang seperti Akashi bisa berjalan secepat ini.
"Dia seorang aktor terkenal nanodayo, orang tuanya juga sangat kaya-raya nanodayo. Aku yakin kau mengenalnya atau setidaknya pernah mendengar namanya." Jelas Midorima dengan nafas yang sedikit tersengal lelah.
"Cih, merasa berkuasa heh?" Akashi berdecih meremehkan, sebagai seseorang yang tak terbantahkan tidak ada yang bisa mengalahkannya dalam hal kekuasaan maupun kedudukan.
Lagi, Midorima menelan ludah dengan susah payah saat dilihatnya aura mengerikan mulai menguar dari tubuh atasannya.
"Jangan bilang kau akan membunuhnya nanodayo, ingatlah dia clien kita."
"Diamlah Shintarou!"
Dengan itu Midorima tak mampu lagi berkata apa-apa bahkan untuk menggerutu di dalam hatinya.
Bruuuk
Langkah kaki tiba-tiba terhenti, tabrakanpun tak terelakan lagi. Midorima terhempas, pantatnya mencium permukaan lantai yang sangat keras, sedangkan pria mungil yang ditabraknya tetap kokoh berdiri di tempatnya.
"Kenapa mendadak berhenti nanoda—" seuntai kalimat protes meluncur tak terkendali namun mutlak terhenti saat sepasang manik emeraldnya menangkap pemandangan yang tidak biasa –bahkan tidak pernah terjadi sebelumnya.
Seorang Akashi Seijuro seolah membeku saat manik heterocromenya menatap lurus pemuda dalam kaca yang tak ubahnya tampak seperti bongkahan es yang mampu memerangkapnya.
Tak pernah sedikitpun terbayangkan dalam benak Midorima seorang Akashi Seijuro dapat menunjukan ekspresi terkejutnya. Untuk memikirkannya saja rasanya terlalu mustahil baginya, karna yang Midorima tau Akashi tak ubahnya sebongkah batu yang tak memiliki perasaan maupun alasan untuk merubah raut wajahnya yang penuh keabsolutan.
"Kau tangani dia, aku ada urusan lainnya." Belum sempat Midorima mengausai diri dari keterkejutannya, Akashi sudah kembali seperti semula dan mengeluarkan titah tak terbantahkannya.
"Kena—oy Akashi! tunggu dulu nanodayo." Tanpa penjelasan Akashi melangkah pergi, meninggalkan Midorima yang bahkan belum sempat bangkit berdiri.
^May_Angelf^
"Ehem, maaf menunggu lama nanodayo."
Jika saja bukan karena kemahirannya dalam menutupi perasaannya, Kuroko pasti sudah terlonjak dari tempatnya. Suara Midorima cukup untuk memaksa Kuroko segera menghentikan tindakan bodohnya, sekilas Kuroko tampak salah tingkah namun dengan cepat dia kembali menguasai dirinya.
"Begitukah caramu menyambut tamu?" ucapan sarkasme tanpa ragu meluncur mulus dari mulutnya, sangat kontras dengan parasnya yang tampak tenang menyenangkan.
"Duduklah dulu nanodayo." Seperti perkiraannya, menghadapi seorang Kuroko Tetsuya yang penuh kebanggaan akan ketenaran dan kedudukan tidaklah mudah dan membutuhkan kesabaran ekstra.
"Kau pikir berapa banyak waktu yang telah terbuang sia-sia? Bahkan nyawamu tak akan mampu menebusnya." Dengan gerakan elegan di bumbuhi sedikit arogansi Kuroko menempati kursinya disusul oleh Midorima.
"Sekali lagi aku minta maaf nanodayo." Midorima menghela nafas panjang, seseorang di hadapannya tak ubahnya seperti Akashi KW dua.
"Langsung saja ke intinya, apa kau menyanggupinya?"
"Aku tidak bisa memutuskan hal itu nanodayo, karna sebenarnya bukan aku yang menentukannya." Jelas Midorima setenang dan sehalus mungkin.
"Apa maksudmu?" Kuroko memicingkan matanya, menuntut penjelasan dari lawan bicaranya.
"Begini nanodayo, karna kau tidak membuat janji terlebih dahulu, seseorang yang akan menangani kasusmu tidak dapat menemuimu saat ini."
"Sombong sekali! Dia pikir siapa dia? Ayahku bisa membuatnya dipecat dari pekerjaannya sekarang juga." Dengan wajah datar dan minim ekspresi Kuroko mengatakannya, menimbulkan sensasi mengerikan tersendiri bagi Midorima.
Midorima menatap lekat-lekat sang surai baby blue di hadapannya, parasnya yang manis seolah dapat menghipnotisnya, ditambah lagi sepasang manik aquarime yang seolah menghanyutkannya dalam dunia penuh fantasy akan dirinya yang mempesona. Jika di perhatikan lebih, si surai baby blue di hadapannya tak ubahnya seperti atasannya. Selain wajah mereka yang lumayan mirip, mereka memiliki daya tarik tesendiri bagi orang-orang di sekitarnya. Bedanya, jika Akashi diselimuti aura pekat penuh intimidasi yang membuat orang lain takluk dan tunduk di hadapannya. Kuroko memiliki aura memikat penuh pesona yang mampu menarik orang lain untuk memberikan perhatian lebih padanya.
"Sudah puas memerhatikanku?"
Midorima terkesiap tatkala suara datar menyapa indra pendengarannya, ia mengerjapkan matanya berkali-kali dan bergerak grogi. Ternyata benar rumor yang selama ini beredar. 'Jangan menatap mata seorang Kuroko Tetsuya atau kau akan terjerat pesonanya dan terhanyut dalam fantasy tentangnya.'
"Ehem, maafkan aku nanodayo." Midorima berdehem pelan untuk menghilangkan rasa grogi yang menyelimuti.
"Kalau begitu, aku minta kontaknya saja. Biar aku sendiri yang menghubunginya." Seolah menjadi keputusan final, Midorima tak dapat mengelaknya meskipun ia tau Akashi mungkin akan membunuhnya karna memberikan informasi tentangnya pada orang lain tanpa izin.
^My_Angelf^
Akashi menatap kosong pemandangan indah yang terhampar luas di hadapannya, tak berminat sedikitpun untuk menikmatinya. Meskipun tak tersirat sedikitpun emosi di wajahnya, namun tangannya mengepal kuat. Gara-gara si teme Midorima dia kehilangan jati dirinya. Bagaimana tidak, saat mendengar Kuroko Tetsuya mendapatkan nomor handphone pribadinya, wajah bingung tercetak jelas di wajahnya. Dia mondar-mandir tak tentu arah dan maju mundur di hadapan Midorima antara ingin menghajarnya atau justru berterima kasih padanya, tanpa bisa mempertahankan image 'batunya' –seingatnya begitulah Midorima menilainya. Dia bahkan tidak bisa membedakan dirinya tersenyum atau menyeringai seperti biasa, karna sejujurnya Kuroko Tetsuya adalah seseorang yang sangat dirindukannya sekaligus dihindarinya. Akashi benar-benar merasa seperti orang gila, pakai acara kabur ke paris segala, benar-benar reaksi yang luar biasa dari seorang Akashi Seijuro.
Getar ponsel di saku celana tiba-tiba mengagetkannya, menimbulkan reaksi berlebihan bagi sang empunya. Sungguh, Akashi tidak pernah seperti ini sebelumnya, saat sebuah peluru melesat cepat ke arahnya dia hanya bergeser dengan santainya. Entah mengapa hanya sebuah panggilan dari Kuroko Tetsuya membuatnya terlonjak dan perasaannya menjadi campur aduk antara ingin terjun ke bawah atau melayang ke udara. Ya, saat ini Akashi berada di puncak tertinggi menara Eiffel sebagai tempat persembunyiannya. Beruntung saat ini dia hanya sendiri karna dia memang sudah seenaknya menyewa tempat ini secara pribadi sehingga tidak ada yang bisa melihat dia ber-OOC ria selain Midorima waktu di kantornya.
Akashi hendak menekan tombol merah, tapi entah mengapa jarinya tidak singkron dengan perintah otaknya karna dia malah menekan tombol hijau.
"Jenius jenius jenius," umpat Akashi. Lagi-lagi tidak singkron dengan jeritan hati yang berteriak 'bodoh bodoh bodoh' –oke Akashi tidak mungkin mengakui dia bodoh.
Hening,
Baik Akashi maupun seseorang di seberang sana yang menghubunginya tidak ada yang angkat bicara. Tanpa Akashi ketahui Kurokopun merasakan hal yang sama, yaitu kehilangan jati dirinya. Kuroko tengah sibuk berguling-guling di tempatnya, mengabaikan ponsel yang tergeletak tak berdaya tak jauh dari kepalanya, Kuroko merasa gugup. Entah mengapa, pertama kali dalam hidupnya, seorang Kuroko Tetsuya yang lihai bersandiwara di depan kamera dan tak gentar menggoyangkan badan seirama lantunan musik yang mengiringi suara emasnya di depan ribuan atau bahkan jutaan pasang mata merasa sangat gugup saat menghubungi satu orang yang bahkan tidak dikenalnya. Kuroko meraih ponselnya, berniat angkat suara tapi lagi-lagi diurungkannya. Kedua tangan menggenggam ponsel di depan dada, mata terpejam dan nafas ditarik panjang. Bukannya hilang, rasa gugup justru semakin mendominasi, ia menggigit bibir sexy, mata menerawang jauh tanpa menghiraukan para elf yang berterbangan kesana-kemari. Suasana bak nirwana tak banyak membantu mengusir kegugupannya.
Jika ada yang bingung di mana Kuroko berada, dia tidak sedang di negeri dongeng apalagi di surga, ia hanya berbaring di atas ranjangnya dengan nirwana sebagai latar belakangnya. Ya, sebagai bintang ternama dan anak orang kaya bukan hal yang mengejutkan jika kamarnya super mewah. Dilengkapi dengan teknlogi canggih berupa visualisasi melebihi 3D yang menimbulkan sensasi nyata suasana kamar seperti apa yang diinginkan pemiliknya tanpa harus menggunakan kaca mata khusus atau alat bantu lainnya. Hanya dengan kekuatan pikiran, suasana kamar Kuroko akan berubah layaknya tempat aslinya, dan sekarang ranjang Kuroko tampak seperti melayang di atas awan lengkap dengan penghuninya –para elf dan bidadari.
Seolah mengetahui Akashi hendak menekan tombol merah, refleks Kuroko bergegas angkat bicara, dengan nada sedikit berteriak ia menyapa seseorang di seberang sana.
"Ada perlu apa?" nada datar dan dingin terdengar menyahut dari seberang sana.
"A-apa benar ini dengan si emperor?" tanya Kuroko terbata, masih belum dapat menguasai kegugupannya.
"Ya, apa kau si artis yang sok terkenal itu?"
"Hey!" Kuroko refleks berteriak geram mendengar kata penuh penghinaan dari seseorang di seberang sana, ada sedikit kesadaran dalam dirinya bahwa mereka berdua sama saja —sama songongnya.
"Aku tu—"
"Tunggu!" sergah Kuroko cepat sebelum Akashi menyelesaikan ancamannya mengakhiri sambungan.
"Aku ingin bertemu denganmu, kumohon. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan padamu." Tanpa disadari Kuroko memelas dengan suara lirih yang menyayat hati. Entah sejak kapan air mata menggenangi pelupuk matanya. Lagi-lagi seperti ini, saat kakaknya memenuhi pikirannya ia seolah kehilangan dirinya sendiri. Suasana yang semula bak surga berubah sunyi, ranjangnya tampak seolah berada di tengah hutan dengan pepohonan menjulang tinggi dan cahaya remang karna minimnya akses sinar mentari. Suramnya hutan sangat tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini.
Sempat hening beberapa saat hingga jawaban yang cukup mengejutkan terdengar dari seberang sana. "Baiklah, temui aku di puncak menara eiffel sekarang juga."
"Apa? Aku ada di je—"
"Sekarang atau tidak sama sekali."
Shit! Kuroko mengumpat dalam hati. Entah karena keinginannya yang begitu besar untuk menemukan kakaknya yang selama ini ia cari atau karena sebaris kalimat penuh intimidasi yang sukses membuat Kuroko segera bergegas untuk beranjak pergi, meninggalkan kamarnya yang dilahap kobaran api –karena Kuroko merasa emosi pada orang di seberang sana yang seenaknya sendiri.
Dengan tergesa-gesa Kuroko menghampiri mobil sport babybluenya, dengan keahlian menyetirnya ia mengemudikan mobil itu dengan kecepatan tak terhingga menuju dimana jet pribadinya berada, dan segera terbang menuju tempat perjanjian. Tak lupa Kuroko berkata, "Aku ke sana." Sebagai penutup sambungan teleponnya.
^May_Angelf^
Akashi tidak perduli berapa lama ia harus menunggu di sini, meskipun dalam hati ia terus merutuki kebodohannya meminta Kuroko Tetsuya menemuinya, namun wajahnya terlihat tenang. sebisa mungkin ia bersikap seperti biasa, kembali menjadi dirinya yang penuh ketegasan dan aura mengintimidasi, wajahnya yang selalu tampak serius tercetak sempurna menimbulkan kesan seolah ia bukanlah seseorang yang memiliki perasaan.
"Kau si emperor itu?" sebuah suara di balik punggungnya menyapa indra pendengarannya. Tanpa membalikan badannya Akashi menyeringai, cepat juga anak itu tiba.
"Ya, dan kau si artis yang sok terkenal itu."
"Hey—"
"—ah sudahlah, langsung ke intinya." Kuroko berniat marah, namun ia sadar hal itu hanya akan membuang waktunya.
"Aku ingin meminta bantuanmu untuk menemukan kakakku, berapapun yang kau minta akan aku berikan asal kau bisa menemukannya." Kuroko langsung mengutarakan maksud hatinya.
Hening,
Tidak ada jawaban dari Akashi. Dinginnya angin malam yang berhembus kencang menambah kesan menegangkan. Kibasan pakaian yang mereka kenakan menjadi melodi tersendiri yang menyapa indra pendengaran. Kuroko masih menanti seseorang yang memunggunginya, ingin sekali ia menariknya untuk berbalik arah dan berbicara sambil bertatap muka karna dia tidak sedang ingin bermain-main jika sudah menyangkut tentang kakaknya. Sedangkan Akashi masih tetap bungkam dengan pandangan menerawang, ia biarkan angin malam mengibaskan surainya menikmati setiap hembusan angin yang membelainya.
"Apa kau menyanggupinya?" Kuroko bertanya lagi, berharap sang surai merah segera menanggapi.
Akashi memejamkan matanya, menikmati sensasi aneh di dalam relung hatinya, merekam melodi indah yang di tangkap indra pendengarannya, sebelum akhirnya memutuskan untuk angkat bicara guna memancing alunan merdu yang membuatnya mencandu.
"Segitu inginkah kau bertemu dengan kakakmu?" datar dan dingin, sangat kontras dengan hatinya yang ricuh dan menghangat.
"Tentu saja," sergah Kuroko cepat.
"Aku sudah mencarinya kemana-mana tapi tak kunjung kutemukan. Aku bahkan sudah melakukan segalanya hanya untuk mengetahui bagaimana kabarnya tapi tak pernah ada hasilnya aku—" Kuroko menghela nafas panjang, tempo yang terlalu cepat membuatnya tercekat. Seluruh emosinya tercurahkan begitu saja saat ia membicarakan tentang kakaknya, bahkan tanpa terasa air mata sudah membasahi pipinya.
"Sangat merindukannya." Lanjutnya setelah mendapatkan cukup oksigen untuk mengembalikan suaranya.
"Apa yang membuatmu sampai seperti itu?" tanya Akashi lagi. Masih belum membalikan badannya guna menyembunyikan perasaannya. Ia takut jika ia melihatnya ia akan lepas kendali dan merusak apa yang sudah susah payah ia bangun selama ini.
"Apa urusanmu? Kau cukup mencari kakakku," jawab Kuroko dingin, dia tidak ingin ada orang lain yang mengetahui perasaannya lebih jauh lagi.
"Bagaimana jika dia tidak ingin menemuimu? Bukankah aku harus memberikan suatu alasan untuk meyakinkannya."
"Dia menyayangiku, aku yakin dia juga sangat ingin sekali bertemu denganku."
"Percaya diri sekali," gumam Akashi disertai decihan sinis.
"Kau tidak tau apa-apa, jangan banyak bicara, cari saja dia!" tukas Kuroko ketus, orang di hadapannya benar-benar membuatnya kesal. Sudah banyak tingkah, tidak mau menatapnya, banyak omong pula.
"Tidak tau katamu? Akashi Tetsuya, bocah ajaib yang berhasil selamat setelah tertembak di bagian kepala di hari ulang tahunnya yang ke tiga. Kakaknya yang dipercaya sebagai penyebabnya pergi entah kemana, setelah itu mereka hidup dengan identitas baru."
Kuroko membelalak tak percaya, bagaimana bisa ada yang mengetahui rahasia besar keluarganya? Bukankah orang tuanya sudah menutup rapat semuanya?
"Siapa kau sebenarnya?" desis Kuroko waspada, ia melangkah mundur guna menjaga jarak jikalau orang tersebut adalah para penjahat yang menjebaknya.
"Siapa aku? Keterlaluan sekali. Tentu saja aku adalah sang emperor, hanya rahasia kecil. Rahasia para presiden duniapun aku mengetahuinya." Akashi meletakan telapak tangan kanannya di depan dada. Ada kebanggaan tersendiri saat ia menyebut gelar yang disandangnya.
Kuroko menghela nafas lega, dia baru menyadari siapa yang tengah ia ajak bicara, Kurokopun kembali melangkah lebih dekat.
"Kumohon temukan kakakku," pinta Kuroko dengan wajah penuh belas kasihan. "Dan bisakah kau menghadap padaku." Lanjutnya disertai perubahan ekspresi yang sangat drastis dari sebelumnya. Benar-benar akting yang luar biasa.
Akashi hanya diam tak menanggapi, dia masih sangat hapal dengan tingkah Kuroko yang suka berakting untuk menarik perhatian.
"Jadi, apa jawabanmu?" tanya Kuroko lagi meminta kepastian setelah menyadari aktingnya tidak mempan untuk membuat sang surai merah membalikan badan.
"Apa kau yakin kau masih mengenalnya?"
Hening,
Setelah pertanyaan yang Akashi ajukan suasana mendadak menjadi hening, hembusan angin malam masih bertiup kencang. Kuroko menatap nanar punggung sang surai merah di hadapannya, bibirnya bergetar dan air matanya menetes begitu saja.
Isak tangis yang tiba-tiba mengalahkan melodi yang ditimbulkan kibaran kemeja yang tak terkait kancingnya sebagai pelapis kaos yang mereka kenakan mampu memaksa Akashi menolehkan wajahnya barang sedikit saja.
Akashi tertegun begitu mendapati sang surai babyblue tertunduk berlinang air mata. Tanpa perintah, refleks ia membalikan badannya, mendekati sang babyblue dan menyapu lembut air mata yang membasahi pipinya.
Kuroko sempat tertegun merasakan sensai sentuhan yang tak pernah bisa tergantikan, entah hanya perasaannya saja yang terbawa suasana atau memang dia benar-benar merasakan sentuhan yang tak asing baginya.
"Aku tak pernah main-main dengan perasaanku pada kakakku, tolong jangan permainkan aku," lirihnya, menyingkirkan berbagai spekulasi yang berkecamuk di kepalanya.
"Kenapa?" inginnya Akashi memeluk Kuroko untuk menenangkannya, tapi hanya itulah yang berhasil ia katakan.
Kuroko mendongak, alangkah terkejutnya ia begitu mendapati wajah sang surai merah. Wajahnya, ekspresinya, bahkan tinggi badannya semuanya masih sama.
Kuroko mundur selangkah, ia membekap mulutnya dengan kedua tangannya, dan menatap tak percaya pria di hadapannya.
"Tidak. . . ini tidak mungkin," gumamnya seraya menggeleng-gelengkan kepala berusaha menyadarkan dirinya bahwa semuanya tidaklah nyata. Kuroko menatap Akashi intents dari ujung kaki hingga ujung kepala, bertanya-tanya benarkah orang di hadapannya adalah kakaknya yang selama ini dicarinya. Tapi bagaimana bisa kakaknya tidak berubah sama sekali setelah tujuh tahun tidak ditemuinya, hanya manik mata dan ototnya yang terlihat lebih kekar saja yang membuatnya berbeda.
"Ka-kakak?" lirihnya terbata.
"Kenapa? Kenapa Tetsuya?" tanya Akashi lagi.
bodohnya Kuroko tak menyadari dari awal, bahkan suaranyapun tidak berubah. Benar, kali ini Kuroko sangat yakin dia benar-benar kakaknya, sorot mata yang tajam, suara yang mengintimidasi, raut wajah yang penuh wibawa dan ketegasan khas keluarga Akashi.
"KAKAK!" bukannya menjawab Kuroko justru menyongsong tubuh Akashi. Laju kakinya yang tak terkendali menimbulkan tabrakan keras yang tak terelakkan membuat Akashi terjungkal kebelakang dan tertindih tubuh sang adik yang memeluknya terlampau erat.
"Katakan kenapa Tetsuya? Tak ingatkah kau apa yang terjadi saat aku bersamamu?" tukas Akashi lagi.
"Tentu saja aku ingat, tidak sedetikpun aku melupakan saat-saat kita bersama," jawab Kuroko, ia masih betah menenggelamkan wajahnya di dada bidang Akashi.
"Lalu kenapa? Kenapa setelah semua yang aku lakukan padamu kau masih bersikeras mencariku?"
"Sejak kapan Sei-kun jadi cerewet sekali, tentu saja karna aku menyayangimu. Kumohon kembalilah." Kuroko merajuk, cara bicaranya yang terdengar manja menggelitik indra pendengaran Akashi. Benar juga, sejak kapan Akashi menjadi cerewet begini? Bukankah dia tipe orang yang banyak berpikir dibandingkan banyak bicara? Dan sejak kapan Akashi tak bisa menjawab berbagai pertanyaan yang menghampiri, bukankah dia bisa memprediksi sesuatu dengan mudah? Dan hei—sejak kapan pula seorang Kuroko Tetsuya berekspresi hingga bermanja-manja seperti ini? Semua pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di kepala mereka berdua, namun mereka segera menepisnya dan tersipu saat menyadari jawabannya –sejak mereka berdua berjumpa.
"Aku selalu ingin bersamamu, tidak pernah sedikitpun aku melupakan bayangmu setelah kepergianmu." Lanjut Kuroko lagi.
"Akupun begitu Tetsuya—" jeda sejenak, dengan lembut Akashi sedikit mendorong Kuroko berharap dapat melihat wajah manisnya yang dapat dipastikan tidak sedatar sebelumnya.
"Tapi aku tak bisa." Manik heterochrome milik Akashi bertemu pandang dengan manik Aquarime milik Kuroko, baik keduanya menyiratkan luka tersendiri dari sorot matanya.
"Kenapa?" tanpa mengalihkan pandangan Kuroko bertanya, manik Aquarimenya mulai berkaca-kaca. Setelah perasaan hangat menjalari hatinya, tidakkah itu berpengaruh pada kakaknya juga?
"Pokoknya tidak bisa." Tanpa disadari Akashi menyentak badan Kuroko yang menindihnya, mendorongnya keras dan segera bangkit dari posisinya lalu beranjak pergi dari sana meninggalkan Kuroko yang terperangah hanyut dalam luka.
"TAPI KENAPA SEI-KUN? KATAKAN KENAPA?" Kuroko menjerit pilu, menghentikan langkah kaki sang surai merah yang semakin menjauh.
"Karna kau akan menanggung akibatnya, kau tidak mengerti Tetsuya." Tanpa menatap Kuroko, Akashi memberikan penjelasannya. Saat kakinya hendak melangkah dapat ia dengar derap langkah terburu-buru mendekatinya, tak lama setelah itu tubuh itu kembali mendekapnya dari belakang, menyalurkan kembali kehangatan yang baru saja sekuat tenaga ia singkirkan.
"Kumohon Sei-kun kembalilah, apapun akibatnya akan aku terima." Dengan terisak Kuroko terus memohon pada kakaknya.
"Tidak ada akibat yang lebih mengerikan selain berpisah denganmu." Tepat sebelum Akashi hendak melepaskan tangan yang melingkar di pinggangnya, Kuroko berujar lirih.
"Kenapa?" Akashi bertanya lirih.
Mungkin dia memang dijuluki batu, tapi Akashi bukanlah batu, dia juga manusia yang memiliki rasa. Akhirnya, untuk pertama kali dalam hidupnya Akashi menyerah, mengalah pada seseorang yang sangat disayanginya setelah mendengar satu jawaban pasti dari Kuroko Tetsuya.
"Because i'm yours."
• • •
A/n:
Terima kasih sudah menyempatkan waktunya untuk membaca ^^
Minna, bolehkah Author abal ini bertanya? I'm Yours itu sebenarnya artinya apa? Aku padamu? Aku milikmu? Atau akulah kamu? Sebenarnya maksud saya I'm Yours di sini adalah "Akulah kamu" maaf kalau judulnya jadi salah *bow
.
.
Omake
"Pemandangannya indah," gumam Kuroko.
"Kau menyukainya Tetsuya?" mata Akashi menerawang jauh, menikmati pemandangan malam kota paris dari atas menara, memang indah —baru kali ini dia benar-benar menikmati apa yang dilihatnya. Meskipun nada bicaranya masih terdengar dingin, namun raut wajahnya berubah lebih lembut dari sebelumnya, senyuman bahkan terlihat menghiasi wajahnya, meskipun setipis benang sutra namun hal itu tak luput dari pandangan Kuroko Tetsuya.
"Ya, aku sering melihat hal-hal yang indah, tapi tak pernah seindah ini sebelumnya," ujar Kuroko, membuat Akashi mengalihkan pandangannya, ia ingin tau ke mana arah pandang Kuroko.
Akashi sempat terkejut meskipun dengan sempurna ia menutupinya saat didapati dirinyalah yang menjadi objek pandang Kuroko. Dengan segera ia mengalihkan arah pandangnya lagi, tak ingin menatap lebih lama manik seindah langit musim semi yang selalu bisa menghangatkan perasaannya. Karna rumor yang beredar bahwa. 'Jangan pernah menatap mata seorang Kuroko Tetsuya atau kau akan terjerat pesonanya dan terhanyut dalam fantasy tentangnya.' Itu memang nyata.
Lagi, Kuroko memeluknya lagi. Perlahan Kuroko membenamkan wajahnya di dada bidang Akashi, menikmati aroma maskulin yang menguar dari tubuh kakaknya. Sapuan angin malam yang membelai surai mereka dan gemerlap cahaya lampu kota paris yang terhampar indah menimbulkan suasana romantis yang luar biasa. Pertama kali dalam hidupnya, Kuroko merasa—
Sangat bahagia.
"Sei-kun?"
"Ya." Akashi balas memeluk Kuroko, lagi-lagi ia kalah. Meskipun sekuat tenaga ia mencoba mengacuhkannya dan bersikap biasa saja tanpa melibatkan perasaannya, dia tetap luluh lantah.
"Aku heran, kenapa Sei-kun sependek ini?" ujar Kuroko innocent, ia menggesek-gesekkan hidungnya pada dada bidang Akashi menimbulkan sensai menggelitik yang mampu meredam tempramen sang kakak jika sudah menyakut tinggi badannya.
"Kau menghancurkan suasana Tetsuya." Dengan nada jenaka Akashi menjawab pertanyaan frontal adiknya. Akashi terkekeh pelan sebelum akhirnya mengeratkan pelukannya, matanya terpejam menikmati sensasi manis aroma vanilla yang menguar dari surai babyblue Tetsuya.
Di puncak tertinggi menara eiffel, bermandikan cahaya kota paris yang indah, mereka berdua bersatu kembali setelah sekian lama berpisah.
. . .
