Rhyme A. Black
PresenT
Aku, Kamu, dan Bintang
A NaruHina Fanfic
Dedicated for NHTD Second Year, 7th July 2011
Naruto belongs to Masashi Khisimoto-sensei
WARNING : AU, OOC, Misstypo.
I hope you enjoy this story
1... 2... 3... TAKE... ACTION!
~0O0~
"Anak anda menderita penyakit Hyperthropic cardiomyopathy, pak. Adanya penebalan pada dinding ventrikel menyebabkan jantung anak anda tidak boleh mengalami banyak tekanan. Salah satu contohnya adalah anak anda tidak boleh merasakan suatu perasaan yang berlebihan. Entah itu terlalu senang atau terlalu sedih. Jantung anak anda tidak stabil, pak. Segala hal dapat memicu kematiannya." Ucapan dokter itu bagaikan palu godam yang menghantam tubuh laki-laki paruh baya itu. Tangannya gemetar memegang hasil pemeriksaan jantung putrinya. Deretan-deratan angka, simbol dan istilah-istilah kedokteran itu tak berarti lagi baginya. Anaknya mengidap penyakit. Titik. Anak yang diharapkan dapat menjadi penerusnya kini menderita penyakit yang bahkan tak pernah ia dengar namanya.
"Jadi, Dok?" Pria itu mengepalkan kedua tangannya, laporan pemeriksaan yang dipegangnya mengerut oleh tekanan yang bersumber dari kegelisahan hati seorang ayah. Tubuh yang tegap walaupun sudah renta itu mencoba tegar, seluruh harapannya ia gantungkan pada ucapan dokter itu kemudian.
"Anak anda bisa menjalani terapi obat, apabila terapi ini tidak berhasil, bisa kita lakukan pembedahan." Ada sinar harapan yang begitu kentara pada wajah pria itu, "Namun," dokter itu melanjutkan,"Hal ini tidak dapat mengurangi resiko kematian..."
Harapan itu redup, sekalipun ia tidak mati. Sekalipun dioperasi, tidak ada kemungkinan untuk sembuh. Dokter itu mulai berkata-kata lagi, namun pria itu hanya mendengar gemuruh badai di telinganya. Untuk pertama kalinya, sejak kematian istrinya, pria itu merasakan kepedihan. Kepedihan yang teramat sangat. Setelah istrinya, kini anaknya pun akan diambil. Harapan mengenai masa depan yang ia rangkai dari bawah sampai ke puncak jatuh satu per satu. Gugur seperti dedaunan di musim gugur yang menguning kemerahan. Semerah hatinya yang kini berdarah-darah. Tuhan... mengapa bukan aku saja yang menderita, pikirnya. Anaknya... anaknya masih begitu belia untuk menanggung bebas seberat itu.
"Jadi, Tuan Hiashi... bagaimana?" tanya dokter berambut pirang itu menarik sang pria kembali pada kehidupannya.
"Apanya?" tanya Tuan Hiashi, pemikir intelek itu mendadak menjadi seperti orang dungu, menanyakan pertanyaan yang membuat dirinya tampak bodoh.
"Penawaran rawat inap di rumah sakit ini. jadi, anda bisa membiarkannnya tinggal di rumah sakit ini untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif. Ini juga untuk menjaga perkembangan psikologis anak anda, agar ia tidak..."
"Aku terima. Rawat dia selama mungkin di rumah sakit ini, jangan biarkan bayang-bayang penyakit itu mendekatinya. Jangan biarkan..."
Dokter muda itu mengambil beberapa file dari laci mejanya, diberikannya file itu pada Tuan Hiashi untuk dibacanya. Dalam diam, Tuan Hiashi tiba-tiba saja berdiri dan beranjak ke luar dari ruangan serba putih itu. Tangannya meraih kenop pintu dan ditariknya perlahan, lalu ditutupnya rapat-rapat.
Tuan Hiashi berjalan tertatih-tatih menuju ruang rawat putrinya. Pria yang selalu tampak berwibawa dan tegas itu kini seakan-akan kehilangan sinarnya. Tangan terkepal, rahangnya mengeras mengingat kata-kata yang diucapkamn sang dokter tadi. Dari kaca jendela kamar yang begitu besar, ia melihat putrinya sedang terbaring di sana, tertawa-tawa dikelilingi teman-temannya yang mengelilinginya. Tawa yang begitu ceria dan menampakkan kebahagiaan. Namun pria itu tersadar seketika, tawa yang tadi membuatnya turut tersenyum berbalik menjadi tawa yang mengiris hatinya. Putrinya tak boleh merasakan perasaan yang berlebihan. Apalah itu... putrinya dilarang bahagia...
Sejenak, setelah menguatkan dirinya, dipegangnya kenop pintu kamar putrinya, dihelanya napas sejenak, berusaha menenangkan gejolak dalam dadanya. Wajah atau kalau bisa disebut topeng penuh kewibawaan kembali terpasang, dengan begitu ia pun siap bertemu putrinya.
Atmosfer di kamar 127 itu berubah seketika begitu Tuan Hiashi memasukinya, perlahan tawa itu surut dan semua mata tertuju padanya. Mata opalnya menatap satu persatu wajah-wajah muda yang mengelilingi anaknya itu, sampai matanya tertumbuk pada wajah seorang pemuda bukannya memperhatikan dirinya malah sedang asyik berpandang-pandangan dengan putrinya, begitu erat seerat genggaman tangan mereka. Salah satu dari mereka—yang tampaknya albino— menyadari bahwa akan ada percakapan penting antara ayah dan anak. Segera saja ia mengkomando semua temannya untuk pulang, dengan berbagai macam alasan pun mereka katakan, semua anak-anak muda itu bersiap-siap untuk pulang kecuali satu orang yang tampaknya masih enggan berpisah dari gadis yang sedang terbaring itu.
"Hoi! Naruto, Ayolah, kitakan harus latihan basket." Ucap seseorang yang bergaya ala eighties. Rambut hitam klimisnya berkilau tertimpa sinar matahari yang masuk melalui jendela.
"Ya baiklah, Hinata... hmm.. aku pulang dulu yaa." Pamitnya sembari tersenyum
Satu per satu teman-teman Hinata meninggalkan ruangan itu. Tinggal lah Hiashi dan putrinya, saling berbagi pandangan dalam diam. Dengan kemantapan yang dibuat-buat, Hiashi beranjak dan duduk di kursi yang terletak di samping tempat tidur putrinya. Dua pasa mata yang sama persis itu saling bertukar pandangan. Sepasang yang satu memandang penuh ketegasan sementara sepasang lainnya memandang penuh kelembutan.
"Hinata," Tuan Hiashi membuka percakapan. Dengan susah payah ditahannya badai yang bergolak di hatinya, mencoba berpijak pada wibawa dan harga dirinya sebagai seorang ayah."Mulai sekarang, kau akan tinggal di rumah sakit ini."
~0o0~
Satu bulan kemudian...
Dokter Tsunade meremas cangkir kopinya, panas yang menjalar ke tangannya tidak lagi dihiraukannya. Mata almond-nya menghujam pada pemuda pirang yang sedang menunduk di depannya. Hiruk pikuk kafetaria rumah sakit seakan menjauh dari telinganya. Pemuda yang dihadapannya terus saja menunduk, kedua tangannya terkepal di atas meja, yang mungkin—bisa saja— dibantingnya.
Dokter yang berusia 38 tahun itu menghela napas panjang, disandarkan punggungnya pada sandaran kursi kafetaria. Ia tahu pemuda yang ada di depannya itu sedang frustasi. Namun ia sangat mengharapkan agar pemuda itu mengerti maksud dari perkataannya barusan.
"Menjauhinya? Apa maksudmu?" Tanya pemuda itu dengan nada penuh penekanan disetiap kata.
"Sopanlah sedikit pada orang yang lebih tua, Naruto Uzumaki."
"Ck, kita tidak sedang belajar tentang tata krama bibi. Sebaiknya cepat katakan apa yang sedang terjadi saat ini!"
"Aku minta agar kau tenang, Naruto."
"AKU TIDAK BUTUH TENANG!" bentaknya pada Dokter Tsunade. Tangan kanannya yang terkepal menghantam meja, membuat meja itu bergetar karena kekuatan yang tiba-tiba menimpanya. Mata biru pemuda itu akhirnya balas menatap pada mata Dokter Tsunade."Yang aku butuhkan hanyalah penjelasanmu, mengapa. Mengapa. Aku. Harus. Menjauhi. Hinata."
Hening. Atmosfer yang berat membuat Dokter Tsunade memijat-mijat pelipisnya, tugas-tugasnya sudah sangat banyak, dan sekarang harus ditambah lagi dengan menangani manusia labil yang sekarang ini hampir mengamuk di depannya.
Diteguknya dalam-dalam seluruh isi cangkirnya, ia pejamkan matanya dan bersandar pada sandaran kursinya."Naruto, Naruto Uzumaki. Aku hanya memintamu untuk menjauhinya. Itu saja. Aku mohon, ini demi kebaikan kita semua—"
Naruto mendengus. "Hanya? HANYA menjauhinya? Untuk apa hah? Kebaikan macam apa yang kau maksud itu, hah? Aku tahu kau sudah bosan dnegan segala tingkah lakuku yang membuatmu kesal. Aku tahu, tapi... menyuruhku melakukan hal itu? Cih, yang benar saja. Omong kosong!"
"CUKUP!" Dokter Tsunade berusaha untuk tenang. Dengan keadaan yang seperti sekarang ini, ia tidak boleh terbawa emosi. Ia harus tetap tenang. "Kau harus menjauhinya, aku mohon. Kau bisa membuatnya mati..."
"Maksud Bibi apa? Mati?"
Dokter Tsunade menatapnya makin tajam.
"Bibi. Aku mencintainya. Dan aku, aku tidak akan... aku tidak akan menjauhinya, Bibi. Tidak. Tidak untuk alasan yang tidak masuk akal ini."
Dokter Tsunade menggeleng pasrah, sementara pemuda yang ada di depannya bangkit dari duduknya. Meninggalkannya terduduk di sana, dengan secangkir kopi yang telah kosong. Kopi yang sama sekali tidak dinikmatinya.
Sementara itu, Naruto terus melangkahkan kakinya. Ada sesuatu yang ia tidak tahu apa, memberati punggungnya setelah berbicara dengan Bibinya tadi. Hatinya gusar, perkataan Bibinya terus membayang di pikirannya, 'Hinata? Mati? Astaga!'
Berusaha tegar. Mungkin itulah yang sedang ia lakukan. Meski tidak tahu sama sekali tentang apa yang sedang menimpa Hinata, perasaannya memintanya untuk diam saja. Selama ini, secara diam-diam dia mencoba untuk mencari tahu mengenai penyakit yang sedang diidap oleh Hinata. Namun, di bawah komando Dokter Tsunade, sama sekali tidak ada informasi yang bocor keluar. Hinata sendiri pun sama sekali tidak tahu—atau bahkan tidak mau memberitahunya, pikir Naruto— tentang penyakitnya.
Sudah sebulan lebih Hinata dirawat atau lebih tepatnya disebut tinggal di rumah sakit ini. Sejak kejadian pingsannya Hinata di halaman sekolah waktu itu, Hinata mulai menerima perawatan intensif yang menurut Naruto terlalu berlebihan untuk orang yang 'Cuma pingsan'. Dari situlah Naruto berspekulasi, bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bibinya. Entah apa itu...
~0o0~
Bau obat-obatan menguar di ruangan yang serba putih itu. Diisi oleh keheningan yang sesekali ditingkahi oleh gemerisik angin di luar sana. Seseorang di dalam sana, tengah duduk memandangi jendela kamar yang memberikan pemandangan gradasi langit kelabu kemerah-merahan. Sang surya telah kembali ke peraduannya, sementara setitik demi setitik cahaya mulai berkerlap kerlip di langit yang kian menggelap. Dengan mata putih keabu-abuan miliknya, gadis itu terus memaku pandangannya ke luar, sebuah pandangan yang mencerminkan kerinduan yang teramat sangat. Gadis itu menghela napas panjang, yang sepertinya ditujukan untuk membuang beban yang ada di pundaknya. Jemari putih lentiknya menelusuri jarum infus yang menusuk jalan nadinya. Mata indah itu meneduh, pandangan yang berubah sayu itu menyiratkan kesedihan dan juga harapan. Ia buta karena ketidaktahuannya pada apa yang menimpanya, sebulan penuh ia mencari namun tak sedikit pun ia menemukan jawaban mengapa ia harus tinggal di rumah sakit. Berbagai macam spekulasi memenuhi pikirannya, adakah... adakah ayahnya sudah bosan melihatnya menjadi benalu di rumah mereka sampai ia harus diungsikan ke tempat ini? Ada banyak tanya yang memenuhi otaknya sampai-sampai ia muak terhadap dirinya sendiri yang sama sekali tidka tahu apa-apa, bahkan dengan keadaannya sendiri.
Dilarang ini itu, tidak boleh begini begitu, sebaiknya begini sebaiknya begitu. Ia terkekang dengan semua aturan-aturan yang begitu ketat. Semua perawat dan dokter memperlakukannya dengan baik, namun jiwanya begitu terbelenggu sampai-sampai ia merasa ada tekanan yang selalu membuatnya sesak. Hampir setiap malam aliran tangis membasahi bantalnya, dan dingin menyusup ke dalam hatinya. Kebebasannya direbut...
Ayahnya sendiri bahkan sangat jarang menengoknya, hampir tidak pernah malah sejak ia mulai menempati ruangan ini. Ayahnya hanya datang menyampaikan berita mengenai kebebasannya yang direnggut. Setelah itu... ayahnya hanya sekali menengoknya itu pun tak banyak memberikannya petunjuk tentang apa yang dideritanya. Matanya mulai basah, hatinya bekerja keras membangun tembok-tembok ketegaran yang pada akhirnya akan runtuh juga, dengan diikuti kucuran air mata yang tak akan berhenti sampai ia jatuh tertidur. Sebegitu bencinyakah ayahnya pada dirinya?
Pandangannya berpaling, disekanya setitik bening yang sudah mengambang di batas matanya. Pandangannya tertumbuk pada sebuket bunga mawar merah di atas meja di samping tempat tidurnya. Dengan gerakan hati-hati, diraihnya buket bunga itu. Ada sebelas tangkai dalam buket itu, sepuluh mawar sungguhan dan satu mawar buatan tangan. Gadis itu mengambil dan membaca secarik kertas yang terselip di antara tangkai-tangkai bunga itu.
'I will love you, until the last rose fades.'
Naruto.
Ada senyum yang tersimpul di bibir gadis berambut panjang itu. Hati yang tadinya dingin perlahan-lahan mencair karena kehangatan yang tiba-tiba menyergap. Ia terlalu terbuai oleh kesendiriannya senja itu, sampai-sampai ia lupa ada seseorang yang selalu datang membawa tawa untuknya.
"Bodohnya aku..." gumamnya pada dirinya sendiri. Gadis itu mengambil mawar buatan itu, dipikirnya baik-baik apa maksud dari pemuda yang bernama Naruto itu.
Terdengar suara derit pintu yang dibuka, mengalihkan perhatian gadis itu dari mawarnya. Senyumnya makin merekah dan tak disadarinya rona merah muda menjalari pipinya melihat siapa yang datang di penghujung petang hari ini. Matanya bersinar-sinar bahagia, ada rasa bahagia yang membuncah di hatinya sampai-sampai ia tak sanggup menatap pemuda yang kini ada di hadapannya itu.
"Bagaimana kabarmu, Hinata?" tanya Naruto sembari mengecup kening Hinata, lalu mendudukkan dirinya di kursi yang terletak di samping tempat tidur Hinata.
"Baik..." jawab Hinata singkat, mencoba mengalihkan perhatiannya pada buket bunga yang ada di tangannya. "Naruto, bunganya... emm... t-tterima kasih..."
Naruto hanya tersenyum, dielusnyanya telapak tangan Hinata dengan lembut. Tatkala itu, mereka saling memandang dalam diam, ada kalanya jantung mereka berdetak malu-malu, ada kalanya desiran hati mereka saling berpacu dalam irama yang sama. Setiap kali Naruto merasakan kelembutan itu di dalam genggamannya, ia seakan-akan tidak ingin melepaskannya. Mata opal yang selalu teduh itu acapkali membuatnya lupa akan waktu dan dimensinya. Seolah-olah, hanya ada mereka berdua.
"Ada apa Naruto?" Hinata menangkap ada kilatan aneh di mata Naruto. Pemuda yang selalu tampak tersenyum riang itu kini hanya diam dan termenung di hadapannya.
Naruto hanya menggeleng, mencoba tersenyum kecil untuk menghilangkan kekhawatiran Hinata.
"Kalau kau sendiri? Kenapa? Wajahmu murung..."
"Bukan apa-apa..." jawab Hinata pelan. Kepalanya makin menunduk. Namun, dengan sigap tangan kanan Naruto mengangkat kembali pandangan itu. Membuat mata mereka berdua saling beradu. Mata Naruto terlihat seolah-olah bertanya 'kenapa?'
"N-nna.. Naruto... aku boleh minta sesuatu tidak?"
"Apa?" tanya Naruto pelan.
"Kita... jalan-jalan yuk..." pinata Hinata dengan nada memohon, amtanya menyiratkan keinginan yang begitu kuat. Naruto membuang pandangannya pada langit yang telah sepenuhnya gelap. Narutoteringat kembali percakapan alotnya dengan dokter yang juga bibinya itu. Mau tak mau, ia menghela napas panjang, mencoba membuang beban yang memberati pundaknya.
"Tapi ini kan udah malem, Hinata..." tolak Naruto halus.
"Untuk terakhir kali ini... aja, kamu mau yaa? Pliss? Setelah itu, aku gak minta macam-macam lagi. Satu kali ini aja, Naruto. Satu kali aja aku minta sama kamu. Kamu mau ya?" Hinata makin gencar meminta, kepalanya menunduk dan tangannya dikatupkan di depan wajahnya.
"Naruto... plisss?"
Naruto diam, memandang kosong pada dinding putih tanpa noda yang ada di sampingnya, mengalihkan pandangannya dari Hinata. Sebisa mungkin.
"Naruto? Satu kali iniii saja. Setelah itu, aku tiddak akan meminta apa-apa lagi darimu..."
Naruto luluh, ia kalah pada nada yangsarat akan permohonan dan harapan itu. Akhirnya ia mengangguk dan beranjak dari duduknya
"Aku tanya dokter Tsunade dulu ya, kalau dia ngijinin, kita keluar." Ucap Naruto tanpa menatap Hinata dan berjalan cepat menuju pintu.
Di saat Hinata terus merapalkan doa agar dokter Tsunade mau mengijinkannya keluar, Naruto tengah terperosok pilu di balik pintu kamar rawatnya. Naruto menyandarkan punggungnya pada kayu jati kaya ukiran itu, matanya terpejam sementara rahangnya mengeras akan kebingungan dan keputusasaannya. Ia belum pernah menghadapi Hinata yang memohon-mohon begitu padanya, merengek-engek minta sesuatu. Ia bisa saja mengabulkan permintaan Hinata yang satu itu, tapi bayangan wajah bibinya masih terus menghalangi otaknya untuk berpikir.
Jiwanya bertarung. Hatinya memilih untuk mengabulkan permintaan Hinata, sementara pikirannya mulai dirasuki oleh kata-kata bibinya. Meskipun tadi ia bersikap kurang ajar, tapi ada sebagian dirinya yang mendengarkan perkataan bibinya tadi. Untuk hal-hal yang seperti ini, bibinya tidak pernah main-main. Tapi... begitu melihat keinginan yang ada di mata Hinata tadi, hatinya mulai bimbang.
Bagaimana ini? ia tahu bahwa selama Hinata dirawat di rumah sakit ini, ia belum pernah sekali pun berjalan-jalan keluar. Dan ia tadi benar-benar melihat keinginan yang kuat di mata Hinata. Hati pemuda itu mulai rapuh. Dan untuk pertama kalinya, ia kalah oleh hatinya.
"Bibi Tsunade... maafkan aku." gumamnya sebelum bangkit, memasang wajah penuh ketenangan dan keceriaan dan meraih kenop pintu kembali.
"Hinata sayang, dokter Tsunade ngijinin kok..."
Dan seketika... kamar itu tak lagi suram.
To Be Continued
YOWW! SELAMAT HTNH Second Yearrrr!
Chimmmmpuuuiiii!
Weitsss...
Narsiezzz dikit gak apa yaphz?
NaruHina, The Greatest Pairing...
Ever After...
*Marah? Goreng aspal. Wakakakak...*
