Old Man

By Ritsu-ken

The Avengers © Marvel & Paramount Picture

T rated

Friendship/Tragedy

(bermaksud) Canon, OOC, time skip, typo(s), miss-eyd, abal, first fanfic in this fandom~

.


.

"Efek super serum yang membuat Steve Rogers menjadi Captain America mulai habis. Bahkan Tony Stark tidak menyangka akan datang saat dimana ia benci memanggil Steve "Old Man"."

.


Enjoy!


.

Mata Steve terbuka begitu saja. Ia menolehkan sedikit kepalanya untuk melihat jam weker di atas meja di samping tempat tidur. Angka digital warna merah itu menunjukkan pukul 4.30. Pemuda itu bahkan tidak perlu menunggu suara alarm yang mengganggu untuk membangunkannya. Entahlah, sepertinya ia sudah terbiasa bangun pagi saat Perang Dunia dulu. Mungkin ia juga tidak benar-benar tidur karena wajah mengantuknya benar-benar tidak terlihat. Perang membuatnya harus selalu siap dan waspada.

Pemuda itu butuh usaha sedikit lebih banyak untuk bangkit dari spring bed super empuk dan besar miliknya yang disediakan Tony. Padahal Steve sudah bilang kalau ia lebih terbiasa tidur di kasur ukuran single dari kapuk dengan dipan besi atau kayu, tapi Tony hanya mengibaskan tangannya dan mengatakan bahwa rumahnya—Stark Tower yang entah kenapa lebih tepat disebut Avenger Tower setelah insiden di Manhattan dan Loki—bukan panti jompo atau rumah sakit yang menyediakan perabot kuno, keras, dan sangat tidak empuk-berbulu seperti itu. "Aku sudah bilang kalau tempat ini adalah Candy Land, kan?" Oh, yeah, kau memang mengatakannya Tony.

Steve mengerjap sejenak sambil duduk di tepi tempat tidur untuk mengumpulkan kesadarannya. Aneh, entah kenapa tubuhnya terasa lebih berat dan 'melekat' di tempat tidur lebih dari biasanya. Pemuda itu menggeleng cepat, menyingkirkan pemikiran aneh dari otaknya dan memilih untuk masuk ke kamar mandi dan mencuci muka sebelum melakukan jogging pagi-nya.

Ia tersenyum kecil. Yeah, apa yang dia pikirkan? Steve Rogers sakit? Tidak, tidak, Captain America tidak bisa sakit, ... kan?


.

"Saudara Steve! Kau hendak menjelajah kota sebelum matahari terbit?" suara Thor yang dua oktaf lebih tinggi daripada volume orang biasa saat bicara membuat pemuda berambut pirang itu menoleh sejenak dari tempatnya mengikat tali sepatu.

Steve tersenyum. "Kalau yang kau maksud jogging, ya, Thor. Kau mau ikut? Aku tidak menyangka kau sudah bangun jam segini."

"Air dalam tubuhku membuat panggilan, Captain!" pemuda itu tertawa,"Aku ikut! Poptart di dapur sudah lenyap dan aku harus segera membeli penggantinya!" jawabnya riang seperti biasa.

Sang Kapten menautkan alisnya sejenak. "Err, Thor. Toko pop-tart belum buka jam lima pagi."

Kali ini sang Dewa dari Asgard menutup mulutnya. "Oh ayolaaah! Ada apa dengan jam kerja kalian, Midgardian? Tidakkah kalian mencari koin terbaik di pagi hari?"

"Tidak sebelum matahari terbit, kurasa. Jadi, kau ikut atau tidak?" Steve berdiri dan siap memasuki elevator dengan celana training warna hitam dan hoodie biru tuanya.

"Aku ikut! Aku ingin lihat bagaimana kota kalian saat matahari belum tinggi dengan angin yang berbeda. Keberatan kalau aku berganti pakaian dulu, Captain?"

Steve hanya menyilangkan lengannya di depan dada dan bersandar pada dinding di samping pintu elevator. "Silakan, Thor," balasnya sambil tersenyum.

"Kau yang terbaik, Saudara Steve!" Dewa Petir dengan suaranya yang menggelegar itu pun pergi ke kamarnya dengan langkah-langkah besar.

Setelah memastikan Thor tidak dapat melihatnya, Steve mengangkat tangan kirinya ke depan wajah. Alisnya kembali mengerut memperhatikan tiap sisi tangannya yang besar itu. Ia merasa ada janggal, sesuatu yang berbeda dari biasanya. Menurutnya, tangan yang biasa memegang perisai kebanggaan simbol Captain America itu terlihat sedikit, sedikit, lebih kurus daripada biasanya. Ia mengepalkan tangan itu kuat-kuat sampai tulang-tulangnya menonjol dan berwarna sedikit putih. Dilepaskannya kepalan itu dan ia mengepalkannya lagi. Mungkin hanya perasaanku, batinnya pada diri sendiri.

Suara derap langkah berat kembali terdengar dari arah kiri dan Steve menurunkan tangannya lagi, menyambut sosok Thor yang sudah dibalut kaos merah marun, celana training abu-abu, dan sepatu running yang masih berkilau.

"Boleh kutahu darimana setelanmu itu?" tanya Steve dengan nada meledek.

Thor tertawa. "Sebaiknya kau tidak tahu, Captain, kecuali kau ingin berurusan dengan Pria Baja."


.

Suara napas yang memburu bisa Steve dengar dengan jelas di telinganya. Ia menelan ludahnya dan segera menyesal saat ia merasakan rasa menusuk di tenggorokannya. Langit sudah mulai berwarna biru tua sekarang. Beberapa ekor burung gereja sibuk berkicau di atas kabel listrik dan pohon-pohon yang berjejer di tepi jalan. Kini dada pemuda itu terasa diikat dengan tali tambang yang sangat kencang. Suara dengung yang berasal dari napasnya kini mulai membuatnya sedikit panik. Ia kenal, sangat kenal dengan sensasi ini dan ia jelas tidak menyukainya.

Steve menghentikan langkahnya dan menyangga tubuhnya dengan kedua tangan bertumpu di atas lutut. Ia mencoba mengatur napasnya yang putus-putus dengan menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. Tidak bisa, paru-parunya meminta pasokan oksigen lebih cepat.

Thor yang menyadari teman larinya tertinggal jauh di belakang ikut menghentikan langkahnya. Alisnya terangkat saat mengetahui jarak yang memisahkan mereka sudah cukup jauh, sekitar 100 meter. Ia berbalik dan berlari kecil menghampiri ketua mereka. "Kau baik-baik saja, Captain? Sudah merasa lelah?" tanyanya penasaran.

Steve menegakkan tubuhnya lagi dan menggeleng. Ia ingin menjawab pertanyaan temannya itu namun paru-parunya berkata lain. Ia mengangkat tangan kirinya tanpa menoleh pada sang Dewa dan memilih untuk duduk di kursi taman di tepi jalan. "Tunggu sebentar," ujarnya cepat.

Mengerti, Thor memilih duduk di samping Steve dan menunggu jawaban lebih lanjut dari pertanyaannya. Napas Steve perlahan-lahan mulai melambat. Wajah pucat yang baru disadari Thor ada di sana mulai kembali mendapatkan warnanya. Beberapa menit berlalu sampai akhirnya napas Steve benar-benar stabil.

"Bagaimana kalau kita kembali ke rumah Pria Besi, minum?" tawar Thor masih dengan dahi berkerut. Raut cemas masih belum hilang dari wajahnya.

Pemuda itu mengangguk dan menghela napas berat. "Ide bagus," jawabnya sambil berdiri—sempat sempoyongan—dan mulai berjalan ke arah bangunan tinggi-jelek dekat cafe yang tadi mereka lewati.

Thor berjalan mengikutinya, siaga jika temannya limbung lagi. "Kau yakin baik-baik saja, Saudara Steve? Seingatku kau biasanya kembali ke rumah saat lebih terang dari ini. Lalu napasmu tadi—"

"Aku baik-baik saja, Thor, tidak perlu khawatir. Aku cuma lupa minum sebelum berangkat." Bohong, tentu saja. Ia sudah menghabiskan dua gelas air putih tadi.

"Kau yakin?" Thor masih belum bisa menghilangkan kecurigaannya.

"Seratus persen."

"Oke," gumam Thor, mengalihkan pandangannya ke jalanan yang mulai terlihat jelas.

Menyadari keraguan dari temannya, Steve merangkul bahu Thor kuat dan menggoyangkannya dua kali. "Ayolah! Ada apa dengan semangat pagi Asgardian-mu, Thor? Kau tahu? Mereka hanya menjual poptarts pada orang yang berisik dan bersemangat."

Thor mengangkat kepalanya mendengar nama makanan kesukaannya itu. "Sungguh? Kalau begitu tidak ada waktu untuk bersedih, bukan begitu, Captain! Oh! Apa kalau aku lebih berisik dari biasanya, mereka akan memberiku poptart dengan harga yang lebih murah?"

Steve tertawa membayangkan Thor yang sudah seberisik ini masuk ke dalam toko dan langsung menjatuhkan Mjolnir di depan pintu sebelum menyerukan nama poptart dengan suaranya yang dapat memecahkan seluruh kaca toko. "Tidak tahu, Thor. Aku tidak tahu."


.

"Yoo~ Star Spangled Man, lebih pagi dari biasanya, huh? Sekitar—coba kita lihat—oh, lima belas menit! Sudah mulai merasakan rematik? Asam urat? Aku penasaran, mungkin di balik ototmu yang menggelembung itu sebenarnya hanya berisi, yah ... otot ..., tanpa tulang," celetuk Tony dari arah dapur sambil mengangkat kopinya yang baru jadi. Steve hanya memutar bola matanya sambil mengambil gelas bersih dan membuka kulkas, menuangkan susu putih di gelasnya itu. Thor langsung ikut duduk bersama Natasha dan Clint sambil menyambar berbagai potongan bacon, telur, dan roti bakar yang tersedia.

"Kau merusak nafsu makanku sekali lagi dan kupastikan headline koran besok pagi berjudul: Tony Stark Ditemukan Tewas karena Tusuk Gigi di Rumahnya," sergah Natasha dengan nada berbahaya seperti biasa. Wanita itu memasukkan sepotong roti bakar ke mulutnya yang kecil.

"Ya, hentikan, Tony. Itu sama sekali bukan hal yang menyenangkan untuk dibayangkan," timpal Clint sambil mengunyah bacon keringnya. "Hai, Thor, Cap!"

"Lagipula secara ilmiah, manusia tidak akan bisa berdiri tegak tanpa tulang, Tony." Bruce menambahkan dengan pandangan tidak lepas dari koran pagi yang dia baca. Ia menyeruput tehnya dan meletakkan cangkirnya lagi di atas meja.

"Siapa tahu otot Capsicle cukup keras untuk memberinya kerangka tanpa tulang? Kau lihat ini?" Tony mengetuk dada Steve seperti mengetuk pintu saat pemuda itu berjalan melewatinya tanpa dosa. Steve meringis dan menatap tajam sang milioner karena aksinya yang tiba-tiba sebelum kembali berjalan menuju meja untuk bergabung dengan yang lain. Tony hanya mengeluarkan seringainya seperti biasa. "Lihat? Sekeras vibranium. Baiklah, tidak sekeras itu. Thor, apa aku melihat setelan Nickey-ku yang kau tertempel di badanmu?" tanya pemuda itu lagi dengan tatapan menyelidik ke arah sang Dewa.

"Aku mengambilnya dari lemari di kamarmu, kalau itu yang kau maksud, Pria Besi."

"JARVIS!"

"Saya hanya menjawab pertanyaan Tuan Thor untuk menemukan pakaiannya, Sir. Sesuai perintah Anda, saya harus menjawab semua pertanyaan dan melayani The Avenger jika Anda sedang tidak hadir untuk menjawab," suara dari dinding itu menjawab dengan tenang.

Tony mengibaskan tangannya lagi. "Lupakan. Kurasa itu alasan aku menemukan pintu kamarku jebol tadi. Oh, hei, Bruce, apa aku melihat kertas berisi kabar buruk di tanganmu? Singkirkan itu! Ini bukan tempat untuk teknologi lama dan benda kecil perusak lingkungan! JARVIS, tunjukkan koran pagiku pada dr. Jolly Green ini!" Pria itu menjentikkan jarinya sembari menyeruput kopinya kembali.

Sebuah layar hologram berwarna biru muncul tepat di depan wajah Bruce lengkap dengan video liputan yang diberitakan. Bruce memutar bola matanya dan menyapu hologram itu dengan tangannya. Ia kembali fokus pada lembaran-teknologi-lama di tangannya. "Terlalu banyak warna biru, Tony."

Tony langsung menjauhkan gelasnya dari bibir dan duduk di meja makan. "Hei, warna biru itu keren! Iya, kan, Cap?"

Steve menyibukkan diri dengan sarapannya. "Nu-uh, jangan libatkan aku."

Tony siap mengeluarkan celetukannya yang lain saat menyadari ada yang berbeda dengan sosok America's Golden Boy. Alisnya terangkat sebelah dan seringai meledek terpasang di wajahnya. "Sepertinya ada yang sukses dengan dietnya di sini. Apa rahasiamu, Cap? Bangun jam empat atau lima pagi dan jogging selama dua jam plus kencan dengan beberapa kantung samsak di gym? Hawkeye, kurasa kau harus mengikuti cara America's Master of Diet ini untuk mengurangi berat badan. Aku khawatir kau tidak akan muat di ventilasi udara lagi dengan bobotmu yang seperti itu."

"Jaga mulutmu, Stark~ aku bisa melempar pisau ini tepat di antara kakimu dari bawah meja~" balas Clint cuek. Tony terdiam dan merapatkan kakinya.

Bruce berdeham dan menurunkan kacamata juga korannya. Matanya memperhatikan sosok Steve dari atas sampai bawah. "Kau memang sedikit lebih kurus, Steve. Apa kau makan tidak teratur akhir-akhir ini?"

"Bruce dan jiwa dokternya yang bangkit!" Semua orang mengabaikan seruan Tony, tentu saja.

"Tadi saat lari Kapten Rogers sempat berhenti dengan napas satu-satu. Kurasa ada bunyi aneh seperti siulan burung yang keluar dari hidungnya. Kau bilang kau lupa minum, iya kan, Saudara Steve? Aku benar-benar khawatir," timpal Thor. Wajah cemasnya kembali terpasang.

Clint membulatkan matanya. "Satu-satu? Maksudmu seperti, satu-satu? Serius?"

"Jangan salahkan aku kalau memanggilnya dengan sebutan 'Gramps'," celetuk Tony lagi.

Natasha memutar pisau roti di tangannya. "Pisau di bawah meja, Stark~"

Steve tertawa kecil melihat perdebatan aneh di depannya ini. "Serius, teman-teman. Aku tidak apa-apa. Baik seperti biasa. Super serum, super soldier, ingat? Oh, dan aku makan teratur, Dokter Banner, terima kasih."

"Tapi napas satu-satu saat jogging yang dilakukan oleh super soldier kurasa bukan hal yang normal," sanggah Natasha dengan kedua tangan menopang dagu.

"Asma?" tebak Clint.

Badan Steve sempat menegang mendengar kata itu. Oh, betapa kata itu sangat ia benci sejak masih berkeliaran di jalanan Brooklyn. Hal ini sepertinya tidak luput dari pengamatan Bruce. "Aku pernah membaca soal penyakit asma di file-mu. Tapi menurut yang kudengar, sejak kau mendapat serum itu penyakitmu tidak pernah muncul lagi. Lalu kenapa sekarang—"

"Aku hanya lupa minum sebelum jogging. Masalah selesai."

"Atau efek dari serummu yang mulai selesai," timpal Tony cepat.

Penjuru ruangan mendadak diam. Seluruh mata berpaling ke arah Presiden Utama Stark Industry itu dengan alis terangkat, terpaut, atau pandangan tajam. "Apa? Hanya spekulasi. Semuanya punya masa kadaluarsa, kan?" ujar Tony sambil mengangkat kedua tangannya.

"Err, Tony, kurasa ini bukan hal yang patut untuk dijadikan candaan." Bruce menegur pria di sebelahnya dengan alis bertaut, jelas sekali terlihat tidak menyukainya.

"Ya, Stark. Sama sekali tidak lucu." Natasha ikut menambahkan.

Memang tidak, ulang Steve dalam hati. Sama sekali tidak.

Tentu saja hipotesis itu sudah menyerangnya sejak baru bangun tidur pagi ini, tapi ia tidak ingin membuat teman-temannya khawatir. Tidak ada tempat untuk hal seperti itu di benak mereka, The Avengers. Namun kata-kata Tony tadi sebenarnya sangat membuat Steve tidak nyaman. Oh, ayolah! Semua orang tahu Steve Rogers berasal dari era Perang Dunia 2 yang telah usai hampir tujuh puluh tahun yang lalu. Steve pun tahu kalau ia tidak sepantasnya—tidak sepatutnya—ada di sini. Captain America, The Man Out of Time. Tapi Tony tidak perlu memperjelas situasinya seperti itu, kan?

Suasana canggung itu masih terasa saat Clint berkata pada Steve, "Jangan pikirkan kata-katanya, Cap. Pria ini terlalu lama berkencan dengan potongan logamnya ketimbang bersosialisasi dengan makhluk bernyawa."

"Maksudmu dengan bersosialisasi apakah seperti menyelinap di tiap ventilasi udara kamar orang lain dan mengintai apa yang dilakukannya, Cupid?" potong Tony.

Mengabaikan perdebatan yang mulai menjadi antara kedua rekannya itu, Bruce memilih untuk mengalihkan perhatiannya pada pemuda yang duduk di sampingnya. Alisnya sedikit terangkat saat menyadari pemuda pirang itu tidak lagi menyentuh makanan di depannya dan sepertinya tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Steve," panggil Bruce. Sang Kapten mengangkat kepalanya, terlihat sedikit terkejut. "Keberatan kalau aku memeriksamu setelah makan? Mengambil sampel darahmu untuk memastikan—apa pun yang mungkin salah—s kurasa tidak ada salahnya."

Steve membuka tutup mulutnya. Jelas ia tahu Bruce akan menemukan apa yang salah dalam dirinya dan jika yang ia pikirkan memang benar, diketahui salah satu anggota The Avenger adalah hal terakhir yang ia inginkan. Namun sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, suara JARVIS memotong, "Maaf mengganggu perdebatan kalian, Sir. Tapi ada telepon dari Direktur Fury untuk segera berkumpul di kantor S.H.I.E.L.D. sekarang."

Steve membuat catatan mental kalau ia menyukai A.I. ini.

"Ingatkan aku untuk meng-uninstall-mu, JARVIS."

"Saya merasa sangat takut, Sir."

"Nah," Steve bangkit dan menggeser kursinya ke belakang, menimbulkan suara derit singkat yang menyebalkan, "jangan buang waktu, soldiers. Ada pekerjaan untuk kita."

"Steve," panggil Bruce saat pemuda itu sudah berbalik menuju kamarnya. Steve menoleh sedikit, sangat sulit untuk tidak mengalihkan pandangannya ke tembok di belakang ketimbang bola mata itu. "Kau tahu kau bisa bicara padaku tentang ... apa pun."

Steve hanya tersenyum kecil dan berbalik. "Terima kasih Dokter Banner. Kita berangkat lima menit lagi."

.


TBC


.

Okeeee~ Fic pertama di fandom ini! Entah kenapa saya ngerasa kejerat banget sama tim superhero satu ini! #ea

Terima kasih untuk yang udah bersedia mampir dan meluangkan waktunya untuk baca fic ini. Segala kritik dan saran diterima dengan senang hatii~

Semoga terhibur dan adios~ :D