~Son of Dark Purple~
Summary:Sequel lain dari Servant of Evil!. Songfic/It's not crossfic.
"Maafkan aku karna telah hidup"
Hal yang biasa kukatakan.
Aku selalu terlihat mengeluh,
Tentang keberadaanku yang tak ada gunanya.
Read and Review?
Warning: OOC. Baca Ancur. EYD Ga Jelas.
Rate: T
Gintama © Sorachi Hideaki
Son of Dark Purple © Akasuna Yuri Chan
Son of White © Mothy-sama [Akuno-P]
Don't like, Don't read
Diangkat dari lagu Son of White yang juga diciptakan oleh produser yang sama dengan Daughter of White, yaitu Akuno-P atau lebih banyak dikenal sebagai "Mothy".
Dikarenakan kesulitan menemukan lirik lagu aslinya, jadi saya memakai lirik tranlate dari Daughter of White.
Lirik sudah diubah untuk mempermudah fic ini!
.
.
Happy Reading!
.
.
Semua adikku sangat di sayang oleh kedua orang tuaku.
Akulah yang berbeda sendiri,
Dengan rambut berwarna hitam keunguan yang tak seorang pun miliki.
"Kau mau menjadi apa ketika besar?! Apakah kau pikir kau akan diterima masyarakat jika terus begitu?! Berpikirlah sebelum bertindak! Lihat adik-adikmu, mereka akan sukses nantinya. Tidak seperti dirimu! Shinsuke, mau kemana kau!? Shinsuke!"
"Berisik! Kalau kau mau membuangku, buang saja aku! Kau kan masih punya putra-putramu yang lainnya jadi tidak masalah jika aku pergi dari sini!" teriak seorang anak lelaki sambil berlari kencang, mengabaikan teriakan seorang pria setengah baya dibelakangnya.
. . . .
Di dalam hutan terdapat sebuah pohon yang tua.
Aku selalu datang ke sini dan berdoa kepada Tuhan.
"Mereka tidak mau mengerti tentangku! Mereka hanya mau aku mengikuti semuanya sesuai kehendak mereka, apa-apaan mereka itu?! Sudah berapa kali kukatakan aku ini bukan boneka!" teriaknya penuh kekesalan.
"Aku bukan boneka..." Isaknya, dalam sekejap angin bertiup kencang.-menerbangkan air mata yang tadinya mulai menggenangi pelupuk mata.
~Beberapa bulan kemudian~
Kehidupanku,
Adalah sesuatu yang menyedihkan.
Aku hanya menginginkan seseorang, siapapun...
Yang mau mengerti diriku...
Disanalah aku bertemu dengannya,
Di dekat pohon tua itu.
Semuanya dimulai saat aku menyelamatkannya,
Saat dia terluka dan pingsan ditanah.
"Kau sudah bangun? Jika aku jadi kau, aku tak akan banyak bergerak dulu untuk sementara waktu." ucap Shinsuke sambil meletakkan kotak pengobatan ke meja terdekat.
"Ah, maafkan aku, apakah kau yang menolongku?" ucap pria berambut panjang tersebut sambil tersenyum. Shinsuke mengangguk, lantas membuat senyum si pria terlihat semakin ramah.
"Siapa namamu, nak?"
Shinsuke mendengus, "Sebelum menanyakan nama orang lain, perkenalkan dulu dirimu sendiri."
"Ah, maafkan aku atas ketidaksopananku. Namaku Yoshida Shoyo, namamu?"
"Takasugi, Takasugi Shinsuke."
"*Taka? Tapi kau tidak terlihat begitu di mataku."
"Jangan bahas tinggiku!"
"Ahahaha, maaf-maaf. Aku hanya bercanda kok. Tenang saja, kau masih dalam masa pertumbuhan jadi tidak perlu takut dengan tinggimu, oh, dan terima kasih karna sudah mau menolongku. Kalau orang lain, mungkin mereka akan menolak untuk melakukan itu. Takasugi, anak yang baik ya..." ucap Shoyo sembari tersenyum sangat ramah.
"Tentu saja mereka akan berpikir dua kali untuk menolongmu. Maksudku, mana ada orang yang ngejek tinggi badan penolongnya setelah sadar." cibir Takasugi sedikit kesal –yang hanya di balas dengan tawaan Shoyo.
Belum lama ini,
Kami sudah menjadi dekat.
Akan tetapi pria itu,
Dan diriku sangatlah berbeda.
Dia memiliki rambut cream panjang yang indah.
Dia dicintai oleh semua orang,
Karena keindahan senyuman dan kebaikan hatinya.
"Kenapa kau bersikap sangat baik padaku? Apakah kau hanya mengasihaniku, karna aku sangat tak berdaya di bandingkan denganmu?" ucap Takasugi sambil menahan getaran dalam suaranya. Shoyo memeluk Takasugi dengan erat, dan berkata. "Kau sudah berjuang dengan sangat baik, Takasugi. Sudah cukup, sekarang ada aku disini..."
Takasugi tertegun sesaat sebelum akhirnya menangis dalam pelukannya. Pria bersurai cream panjang itu tampak tersenyum lembut, tangannya mengelus surai hitam keunguan itu lembut –menyalurkan perasaannya.
.
.
~Son of Dark Purple~
.
.
Walaupun seluruh dunia,
Mentertawakan dan membenci diriku.
Aku punya seseorang yang membutuhkanku,
Hanya itulah yang kubutuhkan untuk bisa bahagia.
Kami berdua melarikan diri dari desa,
Dan memulai kehidupan baru dikota.
Walaupun semuanya tampak berbeda,
Semuanya akan baik-baik saja selama kita masih bersama.
Kami membuka sebuah sekolah dikota,
dekat dengan perbatasan negeri
Ini adalah pekerjaan yang kami pilih untuk melangsungkan hidup.
Suatu hari, saat diperjalanan pulang.
Kami bertemu dengan seorang anak laki-laki yang pingsan di pinggir sungai.
Kulitnya seputih salju, dengan rambut berwarna perak yang belum pernah kami lihat sebelumnya.
Pertemuan mereka menghancurkan semuanya.
"Ahahaha, itu impian yang bagus Sakamoto. Mungkin kau akan melampaui ayahmu nantinya, benarkan guru?" tanya seorang anak lelaki berkuncir kuda, meminta persetujuan dari sang guru.
Pria berambut panjang itu mengangguk, lalu tersenyum lembut di detik berikutnya. "Itu benar, tugas seorang anak adalah melampaui kedua orang tuanya. Tidak terkecuali siapa pun itu."
"Guru, itu artinya...apakah anak itu juga?" tanya seorang gadis kecil berambut biru gelap dengan wajah datarnya. Gadis itu tampak tengah menunjuk seorang anak lelaki yang terlihat sedang tak sadarkan diri di tepi sungai. Shoyo melihat arah yang di tunjuk tersebut, lantas kemudian mereka bergegas untuk melihat keadaan bocah perambut perak tersebut.
"Anak ini tak sadarkan diri, kita harus membawanya ke tempat kita segera!" panik sang guru muda. Dengan mudahnya, ia mengendong tubuh mungil tersebut. Membawanya ke kediamannya yang terletak tak jauh dari tempat tersebut.
Anak-anak lain mengikuti jejak sang guru, beberapa berinisiatif dengan membawakan kotak pengobatan. Sedangkan sisanya membantu sang guru mengurus bocah tersebut. "Wah..., ini sungguh kebetulan yang aneh, apakah ini takdir?" celoteh seorang anak lelaki berambut coklat ikal.
Anak perempuan berambut oranye itu menoleh, menatap temannya itu dengan tatapan sedikit kesal. "Berhentilah mencelotehkan hal yang tidak penting, Tatsuma. Kita harus membantu Guru dan yang lainnya!"
"Ahahaha, baiklah Mutsu-chan, ahahahaha."
Tendangan di layangkan dan Tatsuma tak sempat menghindar. Mau tak mau bocah berambut coklat itu menerima tendangan tersebut hingga terpental beberapa meter dari posisi awal.
"Jangan panggil aku begitu!"
. . . .
Anak lelaki itu memperkenalkan dirinya sebagai, Sakata Gintoki.
Ia memiliki warna mata semerah darah yang indah.
Shoyo terlihat sangat menyukai anak lelaki itu.
Walaupun begitu, anak itu tak dapat mengingat masa lalunya.
"Hei, kau!"
Panggilan Takasugi berhasil menarik perhatian dari atensi di depannya. Sosok berambut perak itu, menatap Takasugi dengan mata bulat besarnya yang berwarna semerah darah –penasaran.
"Namamu, Sakata kan. Sedang apa kau disini, bukankah lukamu masih belum sembuh benar. Kau seharusnya tidak berkeliaran seperti ini, bodoh."
Bocah berambut perak tersebut terlihat mengerutkan alisnya, pertanda tidak suka. "Siapa yang kau sebut bodoh, pendek?!" tampak persimpangan imajiner muncul di dahi Takasugi, lantas ia mendekati bocah berambut perak tersebut. "Siapa lagi kalau bukan kau, keriting!"
"A-Apa?! Jangan mentang-mentang rambutmu lurus kau bisa mengataiku seenaknya saja ya! Dari pada kau mengataiku keriting, kenapa tidak lihat tinggimu dulu hah, cebol!?"
"Siapa yang kau katai cebol, ubanan?!"
"Ya kau, emang siapa lagi disini yang paling pendek?! Setidaknya, rambutku ini asli!"
"Hah?! Kau nyari gara-gara denganku ya!?"
"Ayo, siapa takut!"
"Wah, wah, wah. Aku tidak menyangka, kalau kau bisa sedekat ini dengannya. Takasugi,"
"Huh?! Mau apa kau, Katsura?" ucapnya masih kesal sembari menoleh pada teman seperguruan itu. Terlihat beberapa temannya yang lain juga ikut berkumpul karna suara gaduh yang mereka berdua buat.
"Kau tidak boleh mendiskriminasi anak yang sedang sakit, Takasugi. Guru bisa marah nanti." ucap Mutsu dengan datarnya. Mendengar perkataan Mutsu tersebut, satu-satunya anak perempuan lain disana terlihat tengah asik berbisik dengan anak lelaki yang di panggil Katsura tersebut.
"Sepertinya Takasugi menyukai Gintoki," bisiknya dengan suara yang tidak bisa di katakan pelan, membuat seluruh anak yang berada di sekitarnya dapat mendengar jelas perkataannya tersebut.
"Wah, benarkah itu Takasugi? Kau menyukai Kintoki? Yah...kalian memang pasangan yang terlihat sangat serasi sih, wajar kalau Kintoki juga menyukai Takasugi. Benarkan, Mutsu?"
"Hmm, itu benar." ucap Mutsu kali ini setuju dengan ucapan si coklat keriting –yang menurutnya bodoh.
"Diam kalian! Siapa juga yang suka sama si cebol itu, dan kau!" Tunjuk bocah berambut perak tersebut pada Tatsuma.
"Aku?"
"Siapa yang kau panggil cebol, hah!? Aku juga tidak suka padamu!"
"Harus berapa kali kukatakan padamu, kalau namaku bukan Kintoki! Dan jangan panggil aku dengan nama itu, bodoh!" ucapnya mengabaikan protesan Takasugi.
"Ahahaha, tapi kau terlihat lebih manis ketika kupanggil dengan nama itu."
"Berisik, aku tak ingin mendengarnya darimu."
"Oi, jangan abaikan aku!"
"Ahahaha, ada apa ini? kenapa ramai sekali disini? Sampai-sampai kalian tak mendengarkan bunyi bel begitu." komentar Shoyo begitu sampai di tempat anak-anak didiknya berada.
Lantas hampir semua dari anak-anak itu melirik horor atensi baru di belakang mereka. Seolah-olah baru melihat setan yang muncul kesiangan, lucu dan menyeramkan. Nobume, anak perempuan berambut biru gelap tersebut tampak menghampiri sosok sang guru yang kini mulai tersenyum sangat manis. Oh, dan tak lupa aura mematikan di sekitarnya.
"Ini guru, Takasugi baru saja menyatakan cinta ke Gintoki tadi."
'A-APA?!' teriak Takasugi dan Gintoki kompak dalam batin, Shoyo yang mendengarnya tampak cukup terkejut sebelum akhirnya mulai kembali normal.
"Benarkah itu?" tanyanya memastikan, yang di jawab anggukan beberapa muridnya –minus yang bersangkutan.
'Ka-Kalian...!?' jerit Gintoki dan Takasugi bersamaan –masih di dalam batin.
"Tapi Takasugi di tolak oleh Gintoki," sambung Mutsu sambil membuat tampang prihatin ke Takasugi.
'Apa-Apaan tampang menjijikanmu itu?!' batin Takasugi kesal.
Entah kenapa, Shoyo yang mendengar penuturan gadis kecil bersurai oranye itu ikut memasang tampang prihatin ke Takasugi. Oke, kali ini Gintoki tertawa keras dalam batinnya.
"Begitu..., yang sabar ya, Takasugi. Aku ikut prihatin denganmu tapi tolong jangan dendam pada Gintoki, mengerti? Mungkin Gintoki masih normal, itu artinya kamu masih punya kesempatan untuk membuat Gintoki berpaling padamu." ucap Shoyo, yang mungkin kepalanya terbentur sesuatu hari ini.
"Tu- Ap- I-Iya, terima kasih guru." ucap Takasugi setengah tercekat, berusaha menyingkirkan kaki Katsura yang dengan teramat sangat sengaja menginjak kakinya.
Shoyo berbalik, mengajak anak-anak tersebut untuk kembali ke kelas. Semuanya terlihat mengekor di belakangnya, semua kecuali Katsura, Gintoki dan Takasugi.
"Apa maksudmu dengan menginjak kakiku hah?! Kau tak tahu ya, kalau itu sakit!?" kesalnya sambil menarik kerah baju Katsura.
"Ehehehe, maaf-maaf. Habis kalau tidak begitu, kau pasti akan mengacaukan semuanya. Nobume sudah bagus membuat alasan untuk kita semua agar selamat dari hukuman guru, coba bayangkan bagaimana jadinya jika kau mengacaukannya tadi. Mungkin sekarang kepala kita sudah jadi tumpukan kue manju di tahun baru nantinya." ucap Katsura sambil memasang cengiran tak bersalah.
"Iya, tapi tak perlu sekuat itu juga kan?! Sakit nih! Mana lagi reaksi guru juga aneh banget, apaan coba maksudnya dengan 'punya kesempatan'."
"Hahaha, sudahlah Takasugi. Mending sekarang kita ke kelas saja yang lainnya pasti sudah menunggu kita."
"Iya, apa yang di bilang Zura benar."
"Zura?"
"Namaku bukan Zura, Gintoki. Tapi Katsura."
"Sama saja kan? Sama-sama ada 'Ra' di belakangnya."
"Jelas berbeda! Zura artinya rambut palsu, sedangkan Sura berbeda lagi!**"
"Sudahlah kalian berdua, kita harus segera ke kelas. Guru sudah memanggil kita tuh,"
"Hmm..."
"Baiklah."
.
.
~Son of Dark Purple~
.
.
~11 tahun kemudian~
Daratan pun berada dalam peperangan.
Sang pangeran memberi perintah,
"Carilah semua pemberontak atau siapapun yang memiliki hubungan dengan mereka, dan bunuh mereka semua."
Semuanya, semuanya telah tiada.
Kecuali diriku dengan kedua temanku.
Kuharap, aku dapat mati di tempatmu.
Kenapa...Kenapa ini harus terjadi...
"Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang? Kita sudah tidak bisa tinggal di kota itu lagi."
"Ini semua gara-gara penguasa sialan itu!"
"Kita bisa pindah ke kota lain, aku memiliki kenalan yang tinggal di dekat pelabuhan. Sekarang ia sudah pindah ke kota lain, kita bisa memakai rumahnya untuk tempat tinggal dan kita juga bisa bekerja sebagai nelayan atau semacamnya di sana."
"Benarkah itu, Sakamoto? Hei, kau dengar itu, Takasugi? Kita bisa memulai hidup baru di sana. Kita bisa memulai semuanya dari awal lagi."
"Apa yang kau katakan, Zura?! Apakah kau ingin pergi begitu saja dan meninggalkan tempat penuh kenangan ini? jika itu yang kau inginkan, maka pergilah. Aku akan tinggal disini."
"Bukan Zura, tapi Katsura. Apakah kau gila, Takasugi?! Jika mereka melihatmu, mereka akan membunuhmu sama seperti teman-teman kita!"
"Aku tidak peduli."
"Sakamoto, katakan sesuatu pada si gila ini!"
"Zura benar, Takasugi-"
"Bukan Zura, tapi Katsura!"
"-Kita harus segera pergi dari sini. Kita tak boleh mati disini, itulah yang di inginkan oleh guru dan teman-teman, bukan? Mereka meminta kita untuk tetap hidup dan terus bersama. Apakah kau akan menyianyiakan nyawa yang telah mereka korbankan untuk kita bertiga?"
"Tatsuma,Zura,maafkan aku...aku telah bertindak egois."
"Bukan Zura, tapi Katsura! Tak apa, ayo, sekarang kita harus bergegas sebelum para prajurit itu menemukan kita."
"Kau benar, Zura. Ayo!"
"Bukan Zura, tapi Katsura."
"Sama saja,"
"Berbeda!"
"Maafkan aku karna telah membuatmu terbunuh"
Hal yang biasa kukatakan.
Aku selalu terlihat mengeluh,
Tentang keberadaanku yang membosankan.
Kami memulai kehidupan baru,
Dengan tinggal di sebuah rumah kecil di dekat pelabuhan.
Aku mendengar rumor,
Bahwa sang pangeran telah mati dalam revolusi.
Di sanalah aku bertemu dengannya,
Di dekat pelabuhan itu.
Semuanya di mulai saat aku mengobrol dengannya,
Untuk yang kedua kalinya, di pantai.
"Apakah kau selalu disini?" tanya pemuda bersurai hitam keunguan dengan perban menutupi sebelah matanya, Takasugi Shinsuke.
Pemuda bersurai perak itu menoleh, permata sapphire dan olive saling bertumbukan untuk beberapa saat.
"Apa yang sedang kau lakukan disini?" Tanyanya lagi.
Pemuda tersebut terdiam sesaat, sebelum akhirnya menjawab.
"Aku...sedang mengirim pesan."
"Padanya?"
"Begitulah..."
"Hmm...aku sering melihatmu disini, apakah kau tinggal di sekitar sini?"
"Tidak,aku tidak tinggal dimana pun..."
"Apakah kau seorang pelarian? Kau memakai pakaian seorang pelayan, apakah kau seorang pelayan?"
"Tidak...aku hanya seorang pelarian, pakaian ini di berikan oleh kakakku. Ini miliknya."
"Kau pelarian? Oh, benar juga. Akhir-akhir ini banyak pelarian bekas pelayan datang ke kota ini. Katanya negeri tempat mereka bekerja sedang terjadi revolusi karna itu mereka melarikan diri dari negeri itu dan beberapa sampai ke kota ini."
Pemuda itu terdiam, "Oh, ya, aku tidak tahu siapa namamu."
Untuk beberapa saat, pemuda itu masih diam sebelum akhirnya menjawab pertanyaan tersebut.
"Sakata...Gintoki."
"Gintoki? Sepertinya itu nama yang tidak asing untukku, mungkin itu karna namamu pas dengan ciri khasmu."
"Huh?"
"Maksudku rambut perakmu. Gin artinya perak kan?"
"Ya."
"Gintoki, boleh kupanggil begitu? Rumahku ada di dekat sini, mau mampir sebentar?"
"Baiklah,jika kau tak keberatan."
"Tentu saja tidak."
Belum lama ini,
Kami sudah menjadi dekat.
Akan tetapi pemuda itu,
Dan diriku sangatlah berbeda.
Di suatu malam hari yang buta,
Aku mendengar semua pengakuan dosanya.
Ah...Bagaimana mungkin ini bisa terjadi...?
Ternyata dia itu adalah...
Sang "Prince of Evil"
"Maafkan aku karna telah membuatmu terbunuh." kalimat yang sama dengan yang sering di katakan oleh Takasugi.
Takasugi terdiam di tempatnya, tidak bergerak sesenti pun dari posisinya. Berbataskan sebuah papan kayu, Ia terus mendengarkan setiap pengakuan dosa dari pemuda berambut perak tersebut.
"...Gintoki, maafkan aku...jika saja aku mendengarkanmu saat itu..."
'Kenapa dia menyebutkan namanya sendiri?'
"Jika saja aku tidak termakan cemburu...mungkin...mungkin kau masih akan ada disini..."
'Aku memang pernah mendengar kalau kakaknya tewas karna menyelamatkan dirinya, tapi, apa mungkin...tidak mungkin, kakak-beradik memiliki nama yang sama...'
"Maafkan aku...karna cintaku...kau harus menderita dengan menanggung seluruh dosa yang telah kuperbuat..."
"Jika saja...jika saja bukan kau yang selalu berkorban, jika saja aku bisa mengulangi waktu kembali..."
'Huh? Apa aku sebaiknya masuk saja ya?'
Takasugi membuka pintu tersebut dengan pelan -sangat pelan bahkan. Tak sedikit pun mengeluarkan suara, seolah-olah ia sudah sangat ahli dengan itu. Melangkah pelan, di dekatinya tubuh pemuda berambut perak itu –yang kini tengah berlutut dengan tubuh bergetar.
"Jika saja kita tidak terlahir kembar, jika saja bukan aku yang menjadi pangeran negeri ini..."
'Huh? Kembar? Pangeran? Apa maksudnya?'
Takasugi semakin ragu untuk melangkah, tinggal beberapa meter saja sebagai jarak di antara keduanya.
"Jika saja Sakata Kintoki itu tidak ada, jika saja aku yang mati pada saat revolusi itu..."
Langkah Takasugi terhenti, mata olive yang tersisa menerawang jauh –menembus tubuh pemuda di depannya. Seolah-seolah tengah menonton sebuah proyektor, kembali setiap kenangan dan ingatannya membanjiri isi kepalanya. Berputar dan bermain di depan matanya layaknya sebuah film.
"Namamu, Sakata kan. Sedang apa kau disini, bukankah lukamu masih belum sembuh benar. Kau seharusnya tidak berkeliaran seperti ini, bodoh."
"Siapa yang kau sebut bodoh, pendek?!"
. . .
"Jangan khawatir, jika kau tidak di inginkan oleh keluarga aslimu. Kau tahu, Kami akan selalu menerimamu disini. Di Shouka Sonjuku."
"Zura benar, Gintoki. Aku yakin guru pasti akan senang menerima anggota keluarga baru disini. Tidak, aku lupa kalau sejak awal kau sudah menjadi bagian dari Shouka Sonjuku. Jadi jika terjadi sesuatu. Jangan segan-segan untuk meminta bantuan kami, oke?"
. . .
"Namaku...Gintoki...Sakata Gintoki..."
. . . .
"Gintokiiiii!"
"Takasugi? Begitu ya...sudah kuduga, kalian memang kuat."
"Sepertinya kau harus cepat-cepat menyelesaikan tugasmu, Gintoki. Itu jika kau tidak ingin terlambat pulang nantinya."
"He-Hentikan, Gintoki!"
"Aku mohon..."
"Gintokiiiii!"
"...Maafkan aku...Takasugi..."
. . .
"Teman ya...mungkin mereka tak akan berpikir begitu lagi, setelah apa yang kulakukan ini..."
Tanpa sadar Takasugi melangkah mundur, liquid bening tampak memenuhi pelupuk matanya yang masih aktif. Ia keluar dari ruangan tersebut, sama seperti kedatangannya yang tak di sadari. Kepalanya menunduk, membuat matanya yang tersisa tertutupi poni dari rambutnya.
Ia berjalan dalam diam, ingatan masih asyik menyiksanya perlahan. Tanpa sengaja ia berpapasan dengan Katsura, namun sepertinya mood Takasugi sedang buruk jadi Katsura diam saja ketika sapaannya tak di balas atau di abaikan oleh Takasugi.
"Oh, Takasugi! Mau kemana malam-malam begini?" tanya Tatsuma sembari memberikan senyuman khasnya.
Takasugi terdiam setelah melewati Tatsuma beberapa langkah.
"Menurutmu begitu? Tenang saja, mereka tak akan mengingat apa-apa tentang kejadian ini. Akan kukatakan bahwa perampoklah yang telah membunuh Guru mereka."
"Tatsuma, maukah kau menjawab pertanyaanku dengan jujur?" tanya Takasugi tanpa berbalik.
"Huh? Ya, baiklah-"
"Apakah Gintoki sudah mati?" potong Takasugi cepat.
"He? Apa maksudmu, Takasugi? Tentu saja tidak, Kintoki kan masih hidup. Dia sedang di rumah kan, aku yakin kau juga tahu itu."
"Sudahlah Tatsuma, hentikan saja sandiwaramu itu. Aku sudah ingat semuanya."
"Apakah kepalamu terbentur sesuatu Takasugi? Aku tidak mengerti maksudmu, sandiwara? Sandiwara apa?"
"Hentikan itu! Aku sudah muak dengan drama ini, Tatsuma. Lebih baik kau lepaskan saja topengmu itu, aku sudah tahu semuanya." termakan kekesalan, Takasugi berbalik dan mencekram kuat kerah baju Tatsuma.
"Begitu..., baiklah,jadi, sejauh apa yang kau ketahui, Takasugi?"
"Setidaknya itu cukup untuk membunuhmu dan si sialan Kintoki itu."
"Wah, wah, itu cukup banyak lho. Tapi sepertinya tidak terlalu banyak, benar?"
"Huh?"
"Faktanya, jika kau ingin balas dendam. Aku rasa kau sudah melakukannya."
"Apa maksudmu?" sinis Takasugi. Tatsuma tersenyum, lantas ia berjalan mendekati Takasugi.
"Kau membenciku karna aku membuatmu melupakan ingatan berharga itu. Kau juga membenci Gintoki karna dia membunuh guru kita lalu pertanyaannya, kenapa kau membenci Kintoki? Apakah karna dia yang memerintahkan Gintoki untuk membunuh guru dan teman-teman kita? Ataukah karna kau salah memenggal kepala seseorang yang kau kira dia? Nyatanya, Gintoki memang sudah mati. Aneh, lucu mendengarmu bertanya pertanyaan yang jawabannya saja sudah kau ketahui." kekeh Tatsuma.
Takasugi terdiam, wajahnya sulit mengekspresikan perasaannya sekarang. Tetapi Tatsuma tahu, bahwa Takasugi sedang bingung sekarang –terlihat jelas di matanya.
"Oh? Ada apa dengan sinar kebingungan itu? Kau tidak ingat? Bahwa kau sudah membantu 'mereka' membunuhnya?"
"...Aku...mem...bunuhnya...?"
"Astaga, ya ampun, Takasugi. Apakah kau benar-benar melupakan itu?"
"Izinkan aku yang melepaskan tali itu!"
"Huh? Apa maksudmu?"
"Aku...ingin mengakhiri nyawanya dengan tanganku sendiri."
"..."
"Aku memang tidak mengenalnya, tapi dia sudah merenggut seseorang yang sangat berharga bagiku, karna itu...karna itu izinkan aku membalaskan dendam guru dan teman-temanku!"
"Begitu...baiklah, kau boleh membalaskan dendam mereka."
. . .
"Kau..."
"Aku yang akan menjadi algojomu, hari ini Pangeran."
"Begitu..."
"Kenapa kau tersenyum? Kau akan mati hari ini."
"Entahlah, mungkin karna kaulah yang menjadi malaikat pencabut nyawaku hari ini."
"Melihatmu, aku jadi berpikir kalau kau benar-benar tidak takut akan kematian."
"Bukan begitu, nyatanya aku sangat takut akan kematian sekarang. Tapi entah kenapa perasaan itu menghilang begitu aku melihatmu, mungkin karna aku senang mengetahui kaulah yang akan mencabut nyawaku hari ini."
"Kau aneh."
"Mungkin."
"Aku disini karna aku ingin membalaskan dendam guru dan teman-temanku."
"Aku tahu."
"..."
"...Terima kasih..."
"Untuk?"
"Semuanya...kuharap kita dapat bertemu lagi."
"Sayangnya, aku tak ingin bertemu lagi denganmu."
"Ahahaha, kau tak pernah berubah Takasugi."
"Oh, melihat ekspresimu itu. Sepertinya kau sudah bisa mengingat semuanya dengan jelas..." bisik Tatsuma tepat di samping Takasugi.
.
.
~Son of Dark Purple~
.
.
Di sebuah pelabuhan, di pinggir kota.
Termenunglah seorang pemuda yang kesepian.
Aku pun datang dari belakangnya,
Dan mengambil pisau yang ada di kantungku.
Aku pun mengarahkannya, padanya.
Dan bersiap untuk mengayunkannya...
"Takasugi..."
Ada sesuatu yang aku harus mintai maafmu.
Maafkanlah aku karna tak bisa membalaskan dendammu.
Pemuda berambut perak itu adalah seseorang yang sama sepertiku dulu.
pemuda yang sangat-sangat kesepian.
Hidup seorang diri,
Adalah sangat menyakitkan.
"Bagaimana kali ini rasanya?"
"Tidak buruk..."
"Ahahaha, jangan begitu Zura. Kau harus jujur ingat? Kau tak boleh memberikan harapan palsu pada Kintoki, ahahaha."
"Bukan Zura, tapi Katsura! Siapa yang memberikan harapan palsu? Aku berkata yang sebenarnya. Takasugi, katakan sesuatu!"
"Hmm...ini jauh lebih baik dari yang sebelumnya, aku rasa kemampuan memasakmu sudah jauh lebih meningkat sekarang."
"Benarkah?"
"Ya, tentunya kau mungkin perlu sedikit berlatih lagi nanti. Itu jika kau ingin membuat masakan yang benar-benar enak nantinya..."
"Tentu saja! aku akan berlatih hingga dapat membuat makanan yang sangat enak."
. . . .
pemuda yang tak bisa melakukan apapun itu,
Akhirnya pun bisa memasak.
Brioche yang dibuatnya untuk makanan ringan,
Dipanggang dengan sangat baik.
Pada saat itu, di pelabuhan.
Aku melihat sebuah ilusi.
Kira-kira siapakah pemuda berambut perak itu?
.
.
.
.
END
A/N:
Sebenarnya ini udah lama siap, Cuma baru bisa publis sekarang :'v niatnya aku mau publis chap 3 Cuma filenya hilang entah kemana ._. #mojok
Kemarin setelah kulihat akun FFNku, ternyata ada reader yg minta update fic selanjutnya. Jadi ya aku publis yg ini aja :3 maafkan daku yg langsung update chap 4 dulu :'v *dihajar massa* jadi sebegai permintaan maaf, aku janji bakal update chap 3 secepatnya.
Oh ya, sekedar pemberitahuan. Karna beberapa alasan aku berpikir untuk mengedit ulang fic Servant of Evil dan Story of Evil, lalu merangkainya menjadi satu fic saja. Jadi strukturnya bakal begini:
Servant of Evil:Story of Evil.
Son of Dark Purple: Regret Message Ballad
Kalau diingat-ingat lagi, kalian pasti menemukan teks yang hanya berupa obrolan kan? Beberapa pasti ada yang sudah menduga kalau itu adalah kilas balik ingatan atau kata lainnya flastback. Pertanyaannya, kenapa tidak saya kasih keterangan? Itu karna saya berusaha menghemat word! #plak
Oke, keterlaluan emang. Habis saya tidak ingin fic ini kepanjangan sih...yah, walau pada akhirnya tetap saja kepanjangan sih... =_="
Terus kalau kita lihat-lihat lagi, kalian pasti menemukan scene Takasugi mau ngebunuh Kintoki kan? Nah, pertanyaannya. Apa maksudnya dari teks itu? Itu loh, kalimat yang lebih seperti lagi manggil Takasugi.
Itu maksudnya, Takasugi dengar ada seseorang yang lagi manggil namanya. Tapi karna di pelabuhan itu hanya ada mereka berdua, ia pun kebingungan. Lalu pada akhirnya ia mengurungkan niatnya buat ngebunuh Kintoki, pas dia udah mau balik ke rumah. Dia berbalik buat melihat Kintoki, eh tak disangka-sangka dia melihat ada seseorang dibelakang Kintoki. Dia melihat seorang pemuda berambut perak yang tingginya setara dengan Kintoki.
Untuk scene ini dan seterusnya, Takasugi udah tahu siapa dan asal usul Kintoki yang sebenarnya. Tapi ia dan Tatsuma sepakat untuk merahasiakannya dari Zura, karna Zura masih belum bisa mengingat apapun dikarenakan dosis obat yang terlalu tinggi.
Lalu untuk scene selanjutnya, kalian pasti melihat kalimat:
"Pada saat itu, dipelabuhan.
Aku melihat sebuah ilusi.
Kira-kira siapakah pemuda berambut perak itu?"
Nah, itu maksudnya Takasugi gak tau kalo itu Gintoki yang sebenarnya. Kenapa gak tau? Dikarenakan dosis obat yang diberikan Tatsuma memiliki efek samping yaitu nyawanya, jadi sebagai pengganti nyawanya. Takasugi memiliki ingatan yang buruk, maksudnya, Takasugi jadi lebih sering lupa pada ingatan-ingatan yang menurutnya penting. Sebagai contoh, ia lupa kalau ia telah membunuh Gintoki, atau ia lupa pada saat hari ulang tahun Zura(?) atau hari meninggalnya Shoyo.
Lalu gimana dengan Gintoki, bukankah dia juga selamat dari dosis tinggi obatnya Tatsuma? Kalo Gintoki sih, efeknya sama. Tapi karna Gintoki selalu masa bodoh dengan segala hal, jadi dia tak pernah lupa akan segalanya. Eh, mungkin pernah ding. Dan itu pada saat rapat dewan.
Ceritanya(?), Gintoki nemenin Kintoki buat jemput bibinya yaitu Otae. Gintoki lupa pada hal terpenting yang tak boleh dilupakan ketika Otae datang, yaitu pertama:
Jangan pernah menyinggung-nyinggung masalah dada Otae yang datar.
Karnanya Gintoki mendapatkan pukulan penuh kasih sayang dari Otae.
Yang kedua:
Jangan pernah mau menerima tawaran untuk makan atau mencicipi masakan berbahan telur buatan Otae.
Untuk yang ini, Gintoki memerlukan waktu seminggu untuk menghilangkan perasaan mualnya (yang hampir dikira Kintoki hamil muda) dari makanan tersebut. Itupun setelah bangun dari pingsannya selama 3 jam.
Yang ketiga sekaligus yang terakhir:
Jangan pernah berpikir untuk mengomentari masakan dari bibinya tersebut.
Karnanya Kintoki harus menunggu Gintoki untuk bangun berjam-jam lamanya, setelah 3 jam pingsan dan 8 jam menunggu untuk pingsan season keduanya. Gintoki terbangun dengan begitu banyak memar diwajahnya. Kintoki tak akan menebaknya untuk hal itu, ia sudah jelas tahu perbuatan siapa itu.
Yap, begitulah penjelasan untuk fanfic ini.
Terima kasih sudah mau membawa dan mereview fic ini,
Sekian dan terima kasih,
Salam HijiGin!
