"Eh, Fan," tanya Gopal tiba-tiba seraya menguyah nyaring rotinya. "Elo," teguk, lalu nyomot lima-enam buah keripik pisang ke dalam mulut. "Bener kagak," kemudian menghirup susu kotak rasa apel hijau. Teguk lagi. Sambung: "Nolak Suzy?"

Yang ditanya, playboy cap kaktus Taufan 'Kece Badai' Aba, lekas berhenti menghirup nikmat Teh Sosro yang ia pegang, berlanjut menyeringai lebar ke arah si buto ijo yang menyemprot remah roti plus keripik sana-sini sambil menatapnya sok selidik. Sok Detektif Konon. Taufan pun cengengesan.

"Darimana lo tau, Pal? Gosipnya udah beredar, ya~?" Saking kegirangannya akan kemungkinan ini, Taufan lempar kepalnya ke udara, kepengin manjat lalu ngejingkrak dansa ajojing di atas meja kantin tapi akiut sama Mbok Yu. Mewanti-wanti kalau-kalau utangnya ditambahin gitu. Tapi, tetap saja... "Asiiikkk!" sambungnya, sumringah. "Berarti tambah populer dong gue! Huzzaaa! Di muka lo Fang!"

Gopal cuma kicep-kicep seketika, geleng-geleng kepala sok prihatin sembari menghisap sabu-sabu—eh, susu kotaknya sampai-sampai gelasnya kering bagai tundra segala. Setetes pun tak tersisa. Kasihan, si buto ijo kehausan rupanya.

Mengalihkan perhatiannya dari susunya, Gopal pun lalu bersabda:

"Hei, kau, pemuda durjana! Semua orang tuh pada tau kali kalo kenyataannya elo yang ditolak Suzy di sini. Bukannya sebaliknya! Gile, ya, lo. Seberapa besar, sih, bejat elo sampe berani ngubar gosip gak bermutu kayak gituan?" Gopal termangu seolah mengheningkan cipta demi kebegoan sobat karibnya (ralat: teman satu-satunya) itu, gelengannya makin menjadi-jadi. Pusing-pusing. "Fan, lo ini tau gak sih ngegosipin orang kayak gini tuh sama aja kayak fitnah? Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan, Fan! Rendah, broh. Rendah!"

Bukannya merasa bersalah atau dapat pencerahan, Taufan malah mengernyitkan dahinya, menyilangkan tangan saat ceramah Gopal cuma masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Biasa, sindrom kurang abdol beribadah. "Sejak kapan lo les sama Pak Ustadz?" selidiknya.

"Sejak lusa." jawab Gopal sok suci, senyam-senyum penuh arti. "Lo sih, bolos terus! Jadinya lebih pinter gue, deh."

Spontan, Taufan sebleng Gopal tepat di tengah kepala bundarnya.

"Enak aja!" sangkal si 'Kece Badai Seantero Negeri Jiran' itu. "Dari segi manapun gue yang absolut di sini, oke?! Tampang? Cakep-secakep Harry Stylus. Nilai? D plus semua. Cewek? Segunung! Kalo elo? Yang plus dari lo cuman lemak, Pal!"

Buset dah, kejam amat monyong nih anak! Gopal membatin, mengelus-ngelus dada yang tersakiti.

"Lemak jidat lo!" gebu si buto ijo kemudian, ikut-ikutan sewot. "Juga darimananya cewek lo segunung, hah?! Yang ada mah anjing rabies yang segunung pengen ngegigit pantat lo! Bukan cewek! Terus paling cuman Kunti yang tertarik sama elo, broh! Liat aja tuh Suzy, dia nolak lo, kan? Gak perlu jual maha segala, deh, Fan. Sadar diri! Ini juga pake acara ngefitnah orang segala! Musrik, broh! Entar dikira orang lo suka adu domba lagi!"

Taufan mendelik, blingsatan. Uratnya sungguh terasa nyeri.

Ke-le-wa-tan!

Ia labrak meja Mbok Yu, berdiri dari tempat duduknya yang lalu tumbang ke belakang. Pemuda bertopi biru itu kemudian berkacak pinggang dibumbui sedikit teater ibu tiri yang tertindas. Maklum, para pelanggan kantin pada ngeliatin meja mereka. Dia harus gaya, kan?

Merintis akting peran Ibu Tiri-nya, Taufan pun beraksi.

"Eh, Pal, asal lo tau, ya! Gue gak salah! Yang nyebarin gosip tuh bukan gue! Tapi—...!"

Belum ia bisa membuktikan ketidakbersalahannya pada Gopal, ceramah Taufan terhenti di tengah-tengah jalan. Sebuah colekan tak diundang pada pundaknya menggangu konsentrasinya, menyetop laju mulutnya. Ia tertegun, mengalihkan pandangan dari mantan kawan buto ijo-nya dan mengalihkan muka nan bingung ke samping kiri di balik punggungnya, di arah colekan berasal.

Tak disangka-sangka, tatapan serius seorang cewek berkerudung merah mudalah yang ia temui.

Taufan cengo, menyelidik cewek ini dari atas sampai bawah.

Pikirannya pun melayang ke jalur yang tak berbiadab.

Nih cewek cakep juga, pikirnya kesengsem. Minta pin BB ya, ah~

"Eh, kamu sia—..."

DEBUG!

Kantin hening seketika, Gopal beserta siswa-siswi kampus sekampung melongo dan secara tak sengaja kompak bersimponi mengheningkan cipta. Mendoakan kawan mereka yang roboh dipeperangan, kah?

Kenapa?

Habisnya...

Buseeet! Emaaakkk! Idung Upan, Mak! Idung Upan pataaah...!

Bingung? Bertanya-tanya apa gerangan yang telah terjadi pada protagonis kece badai kita saat ini oh, wahai pemuda-pemudi sekalian? Sederhana saja, Taufan sedang ditonjok si cewek cakep misterius yang datang entah darimana tepat di muka sekarang.

Tiga kali.


Catatan si Taufan

Adiaz Rue

Bab I

Inikah yang Namanya Ditonjok?


Januari, 18.

Dear Riri,

(Alias Diary).

Emak baru bawa gue pulang dari rumah sakit, nih. Gile, tuh cewek nonjoknya kuat bener, ya. Emang dia itu pecandu steroid apa? Kata Pak Dokter sih, idung gue ini bakal baik-baik aja. Gak bakal pengkor kayak paruh burung beo nanti. Tapi, Pak Dok juga menyarankan (alias, ngemaksa) kalo gue mesti harus tetep make perban di sekitar idung gue. Resep Pak Dok bilang lilit terus sampe sepanjang 10 meter (?!). Lalu biarin. Paling enggak, sampe tiga hari ini, buat jaga-jaga, katanya—baru boleh dicopot.

Tiga hari.

Sampe saat itu kekecean gue bakal tertutupi, dong?!

Shhhiiittt...!

Aduuuh, gimana gue bisa ngecengin cewek kalo muka gue bakal jadi kayak mummy gini, huh?! Paling-paling nanti gue cuman dijodohin ke Kunti, kayak kata Gopal. Itu pun kalo Kunti-nya mau!

Ih, amit-amit!

Gue juga gak mau sama lho, layau! Jangan ge-er, deh lo, Ti! S-Setop! Berhenti cekikikan! Ampiuuun! Gue mau deh kawin ama lo!

...

Hiks... betul-betul jatuh tenar gua, ya?

Eh, anu, masalah nasib gue yang bakal dijadikan sesaji bohay nan teramat nikmat buat Mbok Kunti di Jeruk Purut kita pinggirkan sesaat, gue pengen bilang nih... syukur-syukur! Idung mancung gue ini gak papa~ Tadi gue sempet kebelet lho di kantor Pak Dok—enggak-enggak, bukan kebelet mau ke WC, kok—cuman pengen capcus aja saking kuatirnya kalo gue harus dioperasi. Kan, mahal. Kasihan Emak. Terus, idung kayak milik gue ini, kan, jarang-jarang diliat di Negeri Jiran ini. Kalo dioperasi nanti jadi pesek, dong. Kan, bakal jadi berabe. Musnah sudah idung satu-satunya di dunia ini. Makanya, gue harus mensyukuri idung gue ini setiap waktu, beritual sujud tujuh hari siang-malem, tambah mandi kembang juga, terus kalo bisa ditemenin sama si Buto Ijo karena telah diberi anugrah wajah kece Shahruk Khamin kayak begini. Untung ternyata tulang idung gue masih padat 3D dan kagak patah ato lemek kayak kue lapis seperti yang gue kira.

Ayo Ri, kita harus bilang apa untuk mensyukuri sesuatu? Alhamdu...? LILLAH!

Oh ya, hampir lupa. Emak bilang ke gua tadi kalo gue gak perlu ke kampus besok. Istirahat dulu, katanya. Hmm. Jadwal kelas gue besok emang dikit, sih. Gak ada acara apa-apa tuh. Terus ada Fisika pula! Ato, kelas: Ya-Allah-Gue-Kesurupan-Apa-Bisa-Milih-Kelas-Ini-Hiks-Tolong-Lindungilah-Gueee...! dari kelas lainnya. Walaupun begitu, tapi, kan...

Tuh, cewek...

BERANI-BERANINYA DIA NONJOK WAJAH SHAHRUK KHAMIN INI!

GUE KAGAK RELA! KAGAK RELAAA, GUE BILANG!

EMANG DIA PIKIR DIA ITU SIAPA, HAH?! SEENAK JIDAT NONJOK ORANG! APA SALAH GUE SAMA DIA COBA?! KENAL AJA ENGGAK! KENAPA GUE HARUS DIGEBUKIN SEGALA, HUH?! APA SALAH GUEEE, DUNIA?!

(Selain jadi playboy cap ikan as—hatchi!).

Uhuk. Begitulah hari gua, Ri. Kalo disingkat; ditolak cewek, traktir temen, diceramahin tuh temen, ditabok cewek lagi, terus masuk rumah sakit dengan kemungkinan dibawa ke ruang ICU karena gue rewel gak pengen dioperasi. Normal-normal aja, kan? Hush! Dah, ya. Sekian dari gue, nih. Besok gue rencananya bakal tetep ke kampus, cari tau siapa tuh cewek dan apa masalahnya sama gue. Beri dia 'pelajaran' gitu, uhuk.

(Siapa tau kalo ternyata dia suka ama gue tapi gengsi, iya kan?).

(...Apa mimpi gue ketinggian?).

Upan Kece Badai, out!


Taufan pontang-ponting berlarian menuju kelasnya supaya bisa hadir tepat waktu. Mana kelas Fisika lagi! Mengikuti gerakannya, ranselnya itu ikut memantul atas-kiri bawah-kanan saking ekstremnya ia menderap. Ia melaju melewati barisan murid demi murid. Koridor demi koridor ia tempuh tanpa pikir panjang yang semestinya. Kakinya lantas bekerja secara otomatis saat ia menengok selempang ranselnya supaya bisa diam ditempat, tidak keselip, memperbaikinya tanpa melirik jalur yang di hadapannya.

Tentu saja kelalaiannya ini berakibat pada dirinya yang mantul menabrak seseorang.

"ADOOOWWW!" Idung gueee...!

"EEEEKKK!" pekik korbannya, sama-sama terpelanting akibat gaya tabrakan mereka.

(Masih ingat, kan, anak-anak? Hukum III Newton? Hafalkan selalu, oke?!).

"Adoh, doh, doh... lo gak papa?"

Sebagai gentleman yang bermartabat dan bersertifikat (maunya), Taufan cepat-cepat bangkit dari posisinya yang agak memalukan—telentang ngangkang. Apalagi setelah sadar kalau korbanya itu cewek. Ia buru-buru mengulurkan tangannya; tersenyum manis khas playboy cap teh botol Sosro yang memang keahliannya.

Si eneng—untungnya—mau mengambil tangannya (Taufan meringkih kesakitan mengingat hati juga tangannya yang ditepis dulu. Biasa, tersakiti sebab gagal membuat cewek terkesan). Siswi itu remas telapak tangan Taufan dan lalu ia ambil gerakan tersebut sebagai pertanda untuk menarik tubuh korbannya guna menyokongnya kembali ke posisi semula. Tak lama kemudian, mereka berdua kini berdiri menghadap satu sama lain, menapok ini dan itu dan memperbaiki penampilan masing-masing serta mengumpulkan isi tas juga buku mereka yang berceceran di mana-mana, tanpa memandang doi yang di depan. Malu-malu kucing, kah?

Setelah selesai, barulah otak Taufan yang lelet tersadar akan siapa sebetulnya yang ia tabrak tadi.

Secara resmi Taufan akui bahwa kerudung merah muda akan menjadi semacam pertanda malapetaka demi kesejahteraannya sebagai pria muda sahaja. Menghantuinya.

"Lah, elo, kan, yang nonjok gue kemarin!"

Tambah adegan lebay menuding dengan jari telunjuk di sini.

Cewek-Brutal-Yang-Mematikan itu terhenyak, sama-sama kaget mendapati Playboy-Tak-Berbobot-lah biang keladi sakit pantatnya ini. Meski cewek itu menilainya diam-diam, Taufan tahu betul matanya itu tertuju pada perbannya, meneliti balutan itu dengan saksama. Sekilas, Taufan tangkap sebersit cahaya rasa bersalah di dalam manik kopi cewek itu, namun secepat ia melihatnya secepat itulah ekspresi gamangnya hilang.

Apa Taufan cuma mengkhayalkannya saja, ya?

Au ah, gelap.

Kembali ke cewek itu. Entah apa masalahnya, memelototi Taufan begini. Mungkin dia lagi kepengin menghayati sisi belagunya kali, entahlah. Tapi menurut Taufan, sikap si cewek yang bergaya sok jual mahal terlalu lucu untuk dijadikan subjek amarah. Ekspresinya terlalu dipaksa buat dianggap serius. Si cewek memeluk buku-bukunya erat dengan mengangkat dagunya—angkuh nih ceritanya—mendengus secara bermartabat (?), tengak-tengok ke sisi lain yang tentu bukanlah Taufan, lalu lenggang-lenggok berjalan melewatinya selayaknya ratu.

Semua ini dilakukan dalam kurun waktu sedetik.

Hebat juga.

Tetapi...

Kepergiannya ini bakal keren, kalau si Cewek-Brutal-Yang-Mematikan itu tidak tertatih sesekali dilangkahnya, kehilangan keseimbangan dan hampir ambruk lagi beberapa kali. Kakinya goyah seolah tungkainya itu terbuat dari jelly. Kayak lagi pakai high-heels saja. Padahal dia memakai sepatu kets, lho.

Memandang cewek aneh tapi cakep itu menjauh tersendat-sendat, Taufan terkekeh. Kepengin ia iseng berteriak:

"Pengen jadi belagu, Neng? Belajar ama Neng Kunti, deh, sana!"

Pemuda itu menggelengkan kepalanya, mulut tersenyum tipis merasa terhibur walau hidungnya terus nyut-nyutan mengingatkannya akan pertemuan mereka sebelumnya.

Mata Taufan melebar.

Ah! Lupa minta pin BB-nya!

Refleks, Taufan berbalik, satu tangannya meraih udara kosong sementara mulutnya terbuka untuk memanggil.

Tapi terlambat, cewek itu telah lari dari zona penglihatannya.

Gagal lagi... oh, well.

Mengangkat bahu tak terlalu memusingkannya, Taufan berputar hendak capcus ke kelas. Tenang! Dia cuma telat—ngelirik jam HP sebentar—dua jam saja, kok! Pasti nggak bakal dihukum, batinnya berujar, tumben-tumbennya optimistis. Namun, sebelum Taufan bisa beranjak, sebuah buku yang tersisih dekat dinding di tepi lantai koridor menghentikan langkahnya tepat di tempat, membuncah rasa penasarannya.

Dengan pelan, Taufan datangi buku itu dan ia pancing benda tersebut ke tangannya, sedikit membungkuk untuk mengambilnya.

Novel. Buku ini novel. Memainkan buku itu dan membuka lembar demi lembar isinya, Taufan berhasil mengidentifikasi buku tersebut sebagai sebuah novel. Paling tidak, yang sejenisnya, lah. Buku yang kini berdiam digenggaman Taufan adalah sebuah buku fiksi setebal 8 senti berlapis hard cover. Berat. Satu intipan pada sampul bagian belakangnya sudah cukup untuk memberitahunya bahwa buku ini termasuk salah satu koleksi buku material dari perspustakaan.

Buat skripsi, kah? tebaknya, asal.

Yang menarik, selain tanggal pengembalian di bagian tanda terima di halaman akhir, daftar nama peminjam juga terlampir di catatan tersebut.

Dan nama yang tercantum terakhir dari daftar tersebut?

Yaya Yah.


Disclaimer: Boboiboy adalah hak milik Animonsta Studio.

A/N: Uhuk, uhuk. Halo. Uhuk, uhuk.

Sedikit info, cerita ini cuma cerita iseng yang kudapat karena keseringan ngintip buku diary temen. Aku tau, hobi yang lancang. Pengen berhenti tapi temenku itu juga yang sering ngengoda aku. Mengulur aku ke jalur setan. Secara tak langsung, sih. Coba denger, deh. Masa buku diary—yang notabenenya mengandung setiap rahasia rasa makyuss pemiliknya—ditinggal di atas meja begitu aja? Nggak digembok pula. Padahal ada lho mini-kuncinya. Karena kebuka, yah, kubaca aja, deh #plak.

Uhuk, BTW buswey, diharap tulisan gaje-ku ini tak melukai hati dan hanya mengundang gelak tawa saja. Setiap kesalahan yang Anda lihat tolong untuk dimaklumi serta dimaafkan, aku masih belajar. Bila ada yang mengganggu—ahem! Ejaan yang Digaulkan, ahem!—tolong di... hmm... toleransi? Ini juga fanfic keduaku serta cerita pertama yang bersambung, jadi saran dan kritik dalam review sungguh dihargai. Bagi yang suka sama cerita ini dan kepengin liat lanjutannya, plis di-fav dan follow juga? Setiap like bakal bikin aku jingkrak-jingkrak kesenengan, lho~ ;).

(Sesi promosi, plis baca cerita pertamaku 'Jin, Teman Baikku?'? Bakal kuberi biskuit Yaya nih! #plak)

Ahem. Sekian dariku, dan terima kasih.

—Adiaz Rue

PS: Ada yang bisa nebak jurusan apa yang dipilih Taufan dan Yaya? (Kalau ada yang bilang Tata Boga buat Yaya awas aja, ya...!).

PPS: Tolong jangan samakan fic ini dengan Catatan si Boy. Apalagi sama-samain Taufan si playboy gagal ama Boy si Anak Jalanan. Plis, deh. Nggak terbanding! Dan dengan itu, terima kasih akan perhatiannya dan sampai berjumpa lagi! #plak.