Ada wangi telur dadar yang mengguar ke udara. Di sana juga ada ribut-ribut seperti di pagi-pagi biasanya. Dengan rasa malas sepenuhnya ia menyingkap selimut yang menutup sampai bahu. Direnggangkannya tubuh yang terasa pegal. Matanya mengerling pada jam dinding. Setelah melihat hasil yang ditemukan oleh ocean miliknya yang sayu karena waktu tak memberinya celah untuk terpejam lebih lama.

Ia menyeret langkahnya dalam balutan piama lusuh yang jadi favoritnya karena terasa nyaman. Sandal beledu dengan aksen pink berpadu dengan baby blue menyapu lantai kayu tanpa debu.

Ketika ia sampai di ruangan bawah, a melihat sepasang makhluk tuhan berbeda gender, karena usia dan rupa memiliki kesamaan yang begitu kentara tengah terlibat dalam suatu pembicaraan. Ini di sebuah dapur, Ino mendudukkan dirinya di kursi yang menghadap meja penuh makanan. Di lihatnya ada omelet isi kornet. Ya, ia tahu karena omelet itu sudah terbelah dan teriris simetris. Ayam goreng penuh bumbu, dan ia tidak bisa melihat yang lainnya lagi ketika menyeret langkah menuju kamar mandi.

"Ohayou."

Sapanya di ambang pintu. Ia berlalu meninggalkan cekikik geli seorang perempuan berapron motif bunga lily.

"Bukankah dia aneh sekali?"

Perempuan itu menyodorkan kopi hitam dalam porselen putih berbentuk bundar tanpa corak pada seseorang yang sibuk dengan media komunikasi yang ia miliki.

"Silakan."

"Hn"

"Simpan dulu alat itu saat kau akan sarapan, Sasuke." Sarannya sambil menatap pria dengan kegiatannya.

"Bukan urusanmu."

Perempuan itu mengulum senyuman lembut seraya kembali menyapa kabinet di sudut ruangan. Tidak ia pedulikan ungkapan ketus yang bisa saja mengundang decakan ataupun kemarahan sekalipun itu sepele. Tapi, ia terlalu terbiasa dengan sikap laki-laki itu. Terlalu bisa meredam segala hal. Segala hal.

.

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Yamanaka Ino [Uchiha Sasuke& Hyuuga Hinata]

My Lady

OOC, Typos

.

.

.

.

.

Chapter One : Yamanaka Ino

Beberapa menit berselang, Ino kembali memasuki ruang makan dengan pakaian agak layak. Ia memilih kaos oblong tanpa lengan berbahan katun rayon dan celana semi jeans di atas lutut yang terlihat menggulung di bagian ujung. Sudah ia duga ketika ia tiba semua nyaris sudah duduk di kursi mereka. Ia berjalan agak lamban dan duduk dengan tenang. Membalik piring dan menatap setiap masakan. Ia merasa lapar hanya dengan memperhatikannya saja.

Lalu semua memulai sarapan mereka dengan tenang.

.

.

.


Masih segar dalam ingatannya ketika pamflet penuh warna yang terpampang jelas di depan toko bunga legenda milik keluarganya, hancur terbelah dua. Ino yang baru saja tiba di depan rumahnya, sudah dihadiahi garis kuning melintang dengan arah horizontal. Tidak lama berselang, dua mayat yang didorong secara terburu lewat di hadapannya yang membeku.

Ino sangat depresi dan terus mengurung diri dalam waktu yang lama. Beberapa psikeater berhasil meredam jiwanya yang sangat emosional karena sebuah guncangan hebat. Hanya sedikit. Karena ia tidak pulih dan kembali menjadi gadis ceria yang banyak bicara. Sekarang Ino lebih banyak diam dan sorot mata cerahnya kini kelabu dan kerap kali di isi oleh kekosongan dan pandangan mengawang. Menyedihkan bukan?

Namun, ada hal yang Ino merasa tidak akan lupa ketika waktu berlalu dan kalender memijak bulan baru dalam sebuah musim. Ia sibuk dengan sebuah gelas mungil di rumah kelam penuh insiden mengerikan. Ia tidak mau meninggalkannya sekalipun itu bisa mengikis sedikit ingatan dan memulihkan jiwanya yang sedang dalam keadaan tertekan.

Jari panjangnya memegang dua buah butir gula batu, satu sudah tercemplung masuk ke dalam teh putih yang ia seduh. Satu lagi masih bertahan ketika suara hentakan sepatu mengusik pendengarannya.

Ia abaikan ketika siluet tinggi itu berdiri nyalang menghalangi sinar yang menyeruak masuk dalam jendela bertirai renda. Ia memasukan gula batu berbentuk dadu dengan tenang tanpa menyapa tamunya walau ia tahu itu tidak sopan namanya.

"Ino Yamanaka."

Ino pura-pura tidak mendengar ketika suara berat itu mengalunkan namanya. Terdengar dalam dan sangat datar.

"Keluargamu tewas saat kau sedang berada di sekolah. Kau satu-satunya yang selamat. Aku turut berduka. "

"Apa maumu?" Sambarnya cepat ketika orang itu membuka lembaran yang sedang tidak ingin ia ingat.

"Ayahmu seorang pegawai di instansi keuangan Negara. Ibumu seorang ikebana. Kau anak tunggal dan tidak memiliki 'saudara'."

Ino diam saat pemuda itu membicarakan riwayat hidupnya seolah sedang membacakan dakwaan.

"Itu yang dunia tahu."

Ino menyesap tehnya dalam angan yang mengambang. Tidak memedulikan ocehan itu, bahkan ia tidak bertanya bagaimana orang itu bisa masuk rumah orang dengan seenaknya. Ino, berada dalam kekosongan yang teramat menyesakkan.

"Ayahmu seorang penembak jitu. Ia bekerja di bagian terkelam sebuah perusahaan terkenal yang memiliki mutu. Itulah mengapa keluargamu bisa terbunuh walaupun orang tuamu tidak memiliki catatan kriminal dalam riwayat pekerjaannya."

"Kau!"

Ino menunduk dalam dengan geram. Ia bisa meraskan kehadiran dua orang, Tapi sosok lain tidak mau memulai pembicaraan. Ino tidak mau mengangkat kepalanya untuk orang yang tidak penting dalam anggapan.

"Apa yang kau tahu soal keluargaku bukan urusamu! Apa tujuanmu datang menemuiku? Untuk menangkapku? Silakan!"

Ino mencercanya. Tak mampu lagi ia diam menahan geram. Dagunya terangkat kala ia berucap. Dua sosok yang menyembunyikan tubuhnya dengan pakaian musim dingin tebal, topi yang menutupi setengah wajah mereka begitu memuakkan. Matahari, cahayanya seolah mendominasi dan memihak mereka untuk ikut serta dalam menyembunyikam identitas diri.

"Iie."

Seseorang yang sedari tadi mengoceh memajukan langkah. Menepi berdiri dengan jarak tiga kaki darinya.

"Kau Yamanaka Ino, gadis yang pintar dalam seni merangkai bunga. Itu warisan dari ibumu bukan?"

Kini Ino sedang dalam posisi 'terserah kau saja.' Toh ia tidak peduli dan tidak sedang berusaha untuk menjadi pendengar.

"Mewarisi kemampuan Yamanaka Inoichi, kemampuanmu dalam menembak patut diapresiasi."

Ino menatap bibir porselen. Sebuah gelas yang terbuat dari keramik cina, ibnya dapat dari rekan tercinta. Dengan bahagia memamerkannya pada ia dan ayahnya. Itu tersenyum sangat tipis.

"Bukankah pembunuh orang tuamu tidak tahu jika mereka menyisakan tunas yang berpotensi lebih besar dari korban yang mereka lenyapkan?"

Siapapun orang ini, Ino akui kehadirannya patut diperhitungkan. Ia tahu apa yang dunia tidak ketahui. Orang ini mengenal dengan baik siapa dia dan apa yang menjadi kemampuan yang sangat dirahasiakan oleh keluarganya.

"Sudah tidak lagi,"

Ia tidak sedang berdusta. Apa yang ia katakana benar adanya. Senapan api, amunisi, dan segala hal mengenai itu semua telah ia lenyapkan bersama kobaran api di pekarangan tiga hari berselang setelah kedua orang tuanya di kebumikan.

"Hm?"

"Pergilah tuan. Aku rasa anda tahu di mana pintu keluarnya."

Ia menatap pantulan diri dalam genangan air teh yang ada di hadapannya.

"Dengan segala kerendahan hati, bergabunglah denganku untuk suatu misi."

Ino bergeming. Pandangannya tidak berubah. Namun kini ia beralih menatap lekat ujung meja persegi yang dipernis coklat mengilat.

Ia abaikan suara orang yang melembut dalam coat coklat panjang sebatas lutut. Topi yang menutupi wajahnya ia buka dan letakan di dada, sebuah wujud penghormatan demi sebuah ajakan yang membuat Ino tidak mudah untuk paham.

"Jika kau mau, dengan senang hati aku akan melenyapkan orang yang telah mengirim orang tuamu ke surga."

Ino membelakakan mata.

Atas dua hal yang ia terima.

Sebuah penawaran yang bisa menuntaskan rasa dendam dan ambisi ketika seseorang yang berhasil melenyapkan nyawa kedua orang tuanya tidak bisa ia lacak secara akurat. Juga, oleh pesona seseorang yang merendahkan kepala sebagai wujud formal dari penghormatan. Suaranya melembut disertai uluran tangan.

Ino lupa bernafas dan ia sedang mengeja suatu rasa yang terasa sangat ringan di dalam kepalanya. Kini, ia merasa tidak memiliki alasan untuk melayangkan penolakan, pandangannya telah membuat ia merasakan kehidupan. Baru.

Ia merasakan jutaan kupu-kupu beterbangan di perutnya.

"Sasuke. Kau bisa mempercayaiku."

Ia memperkenalkan dirinya.

"Dan ini Lady Hinata."

Dan seseorang yang berdiri disampingnya.

.

.

.

.

.

.

.

.

To be continued

.

.

Nunnally, 26 Agustus 2016