Disclaimer : Vampire Knight isn't mine. I'm sure you've known it.


Gagal…

Semuanya gagal…

Sepasang mata merah kecokelatan memandang sekelilingnya yang hancur, sementara tubuhnya terbaring tak berdaya di atas bongkahan beton.

Segalanya yang dia lakukan… dia gagal…

Dia gagal menepati sumpah yang dibuatnya sejak sepuluh ribu tahun lalu…

Dia gagal menepati janji… gagal mewujudkan impian wanita yang dicintainya…

Sudah… tak bisa lagi…

Suara langkah kaki terdengar mendekat, dua sosok vampir menghalangi pandangannya yang tertuju ke langit. Walau begitu, dia tidak bereaksi. Untuk apa? Tubuhnya sudah semakin lemah, dia tak mampu lagi bergerak, dia bisa merasakan darah merembes deras tanpa henti, bahkan kemampuan penyembuhnya sebagai vampir sudah tak bisa membantu lagi.

"Kaname…"

Dia mengenali suara itu.

Yuuki.

Yuuki yang cantik dan manis. Gadis yang sangat penting baginya, yang menjadi pedomannya dalam kehidupannya setelah dibangkitkan kembali. Adiknya… yang juga bukan adiknya.

Dia melihat sosok tinggi berambut perak berdiri di samping Yuuki. Sosok yang menghantui perasaan bersalah dalam nuraninya.

Zero Kiryuu.

Apa mereka berdua akan menyelesaikan apa yang mereka mulai?

"Kaname, maaf…"

Kenapa kau minta maaf, Yuuki? Aku yang seharusnya minta maaf. Aku, yang telah berjanji untuk melindungimu, malah menyakitimu, bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali.

"Maaf…"

Tolong jangan menangis, Yuuki.

Hal berikutnya yang dia tahu adalah rasa sakit yang teramat sangat, tubuh bagaikan dibelah dan dilubangi oleh besi panas beracun. Dia menutup matanya, menyerahkan dirinya pada kegelapan yang melingkupinya.


PROLOGUE


"Temani aku, Kaname."

Sosok wanita bertudung tersenyum di hadapannya dengan sebelah tangan terjulur ke arahnya. Kaname menatap terpaku wanita itu, wanita yang sangat dicintainya sedari dulu sekali, wanita pertama yang rela mengorbankan dirinya sendiri demi membantu manusia.

Kaname mengangkat tangannya, menyambut uluran tangan itu, melihat wanita itu berbalik dan melangkah tanpa kata-kata, menariknya berjalan mengikutinya. Seberkas cahaya menyambut kegelapan yang mengelilingi mereka, membuat Kaname mengerjap karena cahaya membutakannya sesaat.

Mereka berdua terus berjalan, sampai cahaya memudar dan menampakkan campuran warna hijau, hitam, dan putih yang buram. Pemandangan rerumputan dan hutan yang menyatu dengan salju terlihat tatkala keburaman yang terjadi menghilang.

Sepasang mata merah kecokelatannya melebar. Dia mengenali tempat ini, tempat yang sudah lama sekali. "Tempat ini…"

Suara tawa kecil terdengar. "Kau ingat." Bukan pertanyaan yang dilontarkan oleh wanita bertudung, melainkan pernyataan.

"Tentu saja." Nafas berat ikut keluar bersamaan kata yang diucapkan Kaname. "Ini tempat pertama kali kita bertemu."

"Hm…" gumam wanita itu, sebelum melepaskan pegangan tangannya di tangan Kaname, membuat lelaki berambut cokelat itu sedikit kecewa. Wanita itu lalu berjalan menuju pohon besar yang sedikit menjorok danau. "Dan di atas dahan pohon ini, aku menemukanmu duduk penuh kegalauan seperti dunia mau kiamat," ucap wanita itu sembari tertawa kecil, tangannya mengetuk pelan batang pohon.

Kaname merasa wajahnya sedikit panas. Memang… kejadian itu sedikit memalukan, kenangnya terhibur. Namun ingatan tentang perang yang dilakukannya muncul dalam pikirannya, membuat kegembiraannya memudar.

Mulut wanita bertudung menekuk, melihat Kaname yang berdiri menjauhinya. "Kaname?" panggilnya, menjulurkan sebelah tangannya untuk menyentuh wajah lelaki itu, namun dia sontak menarik lagi tangannya ketika Kaname mengernyit atas sentuhannya.

"Maaf…" gumam Kaname, memalingkan wajahnya.

Wajah wanita bertudung itu mengeras, berusaha menyembunyikan perasaan terluka yang melandanya. "Ada apa, Kaname?" tanyanya tenang, tangannya kali ini meraih tangan Kaname, dan merasa lega ketika Kaname tidak menolaknya.

Sunyi. Kaname tidak mengatakan apapun.

Wanita bertudung itu terdiam sesaat, sebelum senyum pengertian tersungging di bibirnya. Dia lalu menarik Kaname untuk duduk di atas dahan pohon tempatnya berdiri tadi.

"Katakan apa yang mengganjalmu, Kaname," ucapnya lembut. "Atau aku harus memaksamu mengatakannya dengan pistolku," ancamnya dengan nada bercanda. Senyumnya memudar ketika melihat Kaname tidak terpengaruh dengan candaan itu. "Kaname?"

"Rei."

Tubuh wanita itu menegang saat mendengar namanya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali dia mendengar seseorang menyebut namanya.

Kaname mengangkat wajahnya, menatap sendu ke arah wanita yang duduk di sampingnya itu. "Maaf," ucapnya lagi, kali ini dengan suara yang lebih keras. "Maaf, aku telah menggagalkanmu."

"Kau tidak…"

"Tidak, aku benar-benar menggagalkanmu." Rei menutup mulutnya, membiarkan Kaname melanjutkan ucapannya. "Aku sudah berjanji, bersumpah, padamu untuk membuat dunia damai seperti yang kau, kita, inginkan. Untuk menciptakan kedamaian antara vampir dan manusia." Kaname memalingkan wajahnya, rona merah terlihat sedikit di wajahnya yang penuh penyesalan. "Dan aku malah membuat segalanya semakin hancur…"

Rei tetap diam.

"Percayalah! Aku sudah melakukan segalanya yang kubisa untuk membuat impian itu terwujud!" sahut Kaname, putus asa. "Tetapi…!"

"…kau berhasil," ujar Rei, menyambung ucapan Kaname. Dia menangkupkan telapak tangannya di pipi lelaki berambut cokelat itu. "Kau berhasil mewujudkannya, Kaname."

"Apa…?"

Rei tersenyum lembut, jemarinya menelusuri wajah Kaname. "Kau berhasil mewujudkan kedamaian itu saat Perang Fajar pertama, dan kau berhasil melindungi kedamaian antara vampir dan manusia dalam kehidupan setelah kebangkitanmu kembali."

Kedua alis Kaname menaut depresi. "Tapi…"

"Jangan membantah, atau aku akan benar-benar menembakmu dengan pistolku," ancam Rei, membuat Kaname menutup mulutnya. "Kau berhasil menepati janji dan sumpahmu. Itu bukan salahmu bahwa garis darah pureblood tak bisa berubah walau sudah menurun dalam banyak generasi. Bukan salahmu bahwa hati mereka tetap sama, bahwa sifat vampir mereka tak bisa diubah ataupun dihapus. Setidaknya kau bisa mengubah pandangan beberapa vampir generasi muda yang berada di bawah naunganmu. Kau bisa membuat para vampir di Cross Academy mau melindungi manusia di saat masa-masa kritis terjadi."

Kaname berusaha tidak menikmati sentuhan lembut di wajahnya. "Tapi, mereka melakukan semua itu karena perintahku,"

"Dan mereka melakukannya berdasarkan nurani mereka." Rei menempelkan dahinya ke dahi Kaname. Kedua matanya menutup, senyum masih di wajahnya. "Memang, mereka masih tidak suka menolong dan melindungi manusia, tapi yang bicara itu sifat arogan vampir yang telah menurun dalam generasi mereka. Hanya saja, nurani mereka memilih melindungi manusia, dan mereka pun memilih kata nurani mereka. Nurani itu sesuatu yang tak bisa dipaksa, dan kau berhasil membuat nurani mereka memilih untuk melindungi makhluk yang lebih lemah dari mereka, bukan memusuhinya. Ada banyak macam orang di dunia ini, orang-orang itu diberi kebebasan memilih. Macam orang yang lebih memilih sifat yang sudah menurun dalam diri mereka, dan macam orang yang memilih menuruti hati nuraninya. Usahamu sangat berhasil, Kaname. Buktinya kau bisa mengubah pandangan dalam garis keluarga Isaya. Mereka memilih untuk memberontak sifat keturunan mereka, dan lebih memilih menuruti hati nurani mereka. Kau tak bisa memaksa orang memilih hati nurani, Kaname, jadi itu bukan salahmu bahwa segalanya menjadi semakin hancur karena lebih banyak keluarga pureblood dan keluarga vampir lainnya yang lebih memilih sifat arogan mereka."

Kaname tak mampu berkata apa-apa.

Rei tersenyum, dia menepuk pelan pipi Kaname dengan punggung tangannya. "Lagipula, jika kau masih menganggap segalanya yang kau lakukan itu gagal, kegagalan itu bukan hanya tertuju padamu semata. Aku juga harus disalahkan, karena aku terus memberontak dan menghalangi usahamu untuk mewujudkan impian kita."

Kaname mengerjap. "Apa maksudmu?"

Tawa kecil keluar dari mulut Rei. "Aku di sana ketika semuanya terjadi. Aku bahkan berpartisipasi dalam perang itu."

Mulut Kaname terbuka sedikit, kedua matanya perlahan melebar, menyadari sesuatu. "Kau… Jangan-jangan kau…"

Tawa Rei semakin keras, dia menarik tangan Kaname, mencium bibir lelaki itu. "Karena kau masih merasa gagal, dan gara-gara itu aku tak bisa membawamu bersamaku," Dia lalu mendorong Kaname menuju danau. "Aku memberimu kesempatan kedua untuk melegakan hatimu."

Sepasang mata merah kecokelatan membelalak menatap mata violet wanita yang tersenyum geli sembari melambaikan tangan ke arahnya itu, Kaname merasakan tubuhnya perlahan jatuh menuju danau.

"Selamat berjuang! Oh, dan kau boleh mencari reinkarnasiku, Kaname."

Itu kalimat terakhir yang dia dengar dari Rei, sebelum tubuhnya terjerumus ke dalam air danau sementara kesadarannya menghilang.

.

.

.

"Sometimes life can be unexpected. Sometimes things surprise you and all you can do is roll with the punches or let them beat you to a bloody pulp."

Sage Hannigan, Contingency

.

.

.

To Be Continue…


A/N :

Author : Yeah… fic baru lagi. (-w-)

Noir : Yeah… dan lu nambah lagi satu fic dimana lu masih punya fic lain yang mesti lu tamatin.

Author : ('=_=)

Noir : (~_o)

Author : (cough) Oke. Terima kasih telah membaca fic ini. Dan juga saya ingin bertanya pada anda, para reader sekalian. Apakah fic ini harus dilanjutkan atau tidak?

Noir : (rolled his eyes) Lanjutin aja. Toh, udah dipublish.

Author : (death glare at Noir)

Noir : (siul sambil megang banner bertuliskan "Please review if don't mind")

…..

With crimson camellia,

#

Scarlet Natsume.