Tittle : When We Called It Love
Maincast : Super Junior Members, and another characters
Pairing : Donghae – Eunhyuk (jika saya menghendaki. Huahaha)
Rated : T (entah kalo ntaran berubah)
Summary : Eunhyuk benci dengan segala hal tentang masa lalunya. Sebuah memori yang mengubah pandangannya terhadap segala hal ; tentang cinta, tentang kesetiaan, tentang pengorbanan, dan... tentang Donghae
All casts belongs to God and their parents. But in my story, they belong to me.
Warning : Maybe typo(s), no genderswitch. Umur mereka nggak 26. Mereka sama-sama aku buat jadi 23 tahun. Kata-katanya mungkin sedikit kasar, makanya aku buat T.
So, I really hope you love it! Happy reading ^_^
~ When We Called It Love : Prolog ~
Senin, 20 Juli 2002
Tahu tidak, pagi hari tadi aku bertemu seorang lelaki tampan. Umurnya 10 tahun, sama denganku. Kami bertemu di taman, dia duduk disampingku. Namanya Lee Donghae. Omoo, bagus sekali bukan? Donghae sangat baik juga ramah. Menyenangkan sekali, sayang itu hanya perkenalan singkat. Kuharap, aku bisa bertemu denganmu lagi!
Bisa kan Donghae-ssi? Pasti bisa! Hwaiting!
Sabtu, 25 Juli 2002
AKU BERTEMU DENGANNYA LAGI DI MALL! Kyaaa~ Donghae-ssi tetap tampan seperti di taman dulu. Eh, dulu? Entahlah. Aku sangat menunggu untuk bertemu dengannya, jadi, entah kenapa, pertemuan pertama di taman terasa sudah sangat lama. Dan, tahu tidak? Dia yang menyapaku duluan!
Sebenarnya (kupikir) aku yang melihatnya pertama kali. Tapi aku tidak berani menyapanya, karena dia sedang bersama umma-nya mengamati kamera-kamera yang dipajang. Dia menyukai fotografi, apakah benar? Terlebih, sepertinya aku tidak bisa menyembunyikan wajah bahagiaku, sesulit apapun aku menghilangkannya. Dan, ah, aku juga bisa merasakan pipiku memerah. Menyebalkan sekali keadaanku.
Aku melihat Umma-nya meninggalkan Donghae-ssi yang masih sibuk melihat-lihat. Sedangkan Umma-ku? Sedang sibuk melihat-lihat pakaian. Biarlah. Melihat Donghae-ssi sepertinya jauh lebih menarik daripada melihat Umma yang berjalan kesana-kemari memburu pakaian. Lihatlah, Donghae-ssi tetap tampan. Bahkan jauh lebih tampan dibanding pertama. Ah, aku masih ingat jelas wajahnya ; matanya, hidungnya, bibir merah—, dia melihatku!
Aku tidak mengalihkan pandangan. Tapi kubuat pandanganku menerawang. Ah, Donghae-ssi datang menghampiri. Tahukah? Ini adalah kali pertama jantungku melompat-lompat dengan riang. Bukan, bukan. Kali kedua. Pertama kalinya, dengan orang yang sama di taman. Ini benar-benar hari yang menyenangkan!
Setelah ini, bisakah kita bertemu lagi?
Sabtu, 3 Februari 2011
Musim salju dataaaaaang! Indah sekali melihat segala penjuru kota ditumpuki putih salju. Dari sudut hingga tengah jalan pun kebagian. Aku tidak menyangka bisa menghabiskan waktuku di New York.
Umma menyuruhku kembali ke Korea sesekali. Kemarin malam ia menelpon. Ah, tapi sepertinya aku tidak bisa. Aku
Jemari tangan Eunhyuk berhenti. Ia menghela napas dalam-dalam. Untuk saat ini –dan seluruh sisa hidupnya– ia benci harus mengungkit-ungkit masalah yang sudah lama terjadi. Sudah sangat lama terjadi.
Saat meninggalkan Seoul, Eunhyuk berharap New York dapat menguapkan memori yang ia benci. Dan sepertinya New York telah melakukan pekerjaannya dengan baik. Dan ia telah bersumpah untuk tidak kembali ke Seoul lagi. Atau ke taman itu lagi, atau ke mall. Entahlah, segala hal tentang Donghae begitu menyebalkan.
Eunhyuk memejamkan mata. Wajah namja imut itu terlihat begitu tertekan. Ia putuskan untuk melanjutkan acaranya yang sempat tertunda, menulis catatan hariannya.
Aku tidak bisa kembali ke Seoul, karena itu sama saja mencari mati. Rasanya sia-sia 6 tahun aku tinggal disini, lalu memori itu dengan senangnya menggerogoti rasa bahagiaku. Tapi sejujurnya aku masih mempunyai satu pertanyaan besor. Besar sekali.
Ya, Lee Hyukjae masih mempunya satu pertanyaan yang bersarang sejak lama dihatinya. Pertanyaan yang tidak bisa ia lupakan, pertanyaan yang membuatnya frustasi, pertanyaan yang membuatnya merasa seolah-olah dunia sedang mengutuknya.
Lee Donghae, kenapa kau meninggalkanku?
