Hi, everyone!
Apa kabar? Anne datang lagi nih.. Thanks ya untuk semua teman-teman yang selalu menunggu cerita-cerita dari Anne *peluk dari jauh*
Seperti janji Anne waktu lalu, Anne akan update tiga cerita di Februari ini. Dan sebelum Februari berakhir, Anne siapkan satu cerita terakhir yang akan menyambut datangnya bulan Maret beberapa hari lagi. Setelah kemarin kita tangis-tangisan bersama kisah Harry dan Ginny, kali ini Anne siapkan satu cerita dari Ron dan Hermione soal keluarga mereka. Anne akan ajak kalian untuk sebal, ketawa dan mungkin marah-marah dengan kisah ini. Ada apa dengan mereka?
Yuk, langsung saja.
Happy reading!
"Kau selalu membuatku tak punya rumah, Harry?"
Ron menyeruput kopi hangatnya malas. Tumpukan file penyerangan terbarunya sudah menanti. Harry mengantarkannya langsung pada Ron sore ini sebelum mereka kembali ke pulang. Hanya beberapa Auror saja yang masih tampak mondar-mandir di ruang pegawai.
Harry sekali dua kali mengangguk membalas sapaan para anak buahnya ramah.
"Hati-hati, ya! Salam untuk keluargamu, Jordan," kata Harry.
Berbeda dengan Harry, kali ini Ron tampak tidak begitu bersemangat. Bahkan Harry sudah jauh mengamatinya sejak pagi tadi. "Hey, jangan mengeluh, Mr. Weasley. Kita harus profesional. Tidak lama, hanya dua hari." Bujuk Harry.
Harry ikut menikmati kopi pesanannya di meja kerja Ron. Terlalu lama sibuk di ruangannya, sering membuat Harry kurang nyaman untuk tidak interaksi. Ia selalu saja menyempatkan keluar ruangan setelah semua pekerjaannya usai dan memilih bergabung bersama Auror-Auror ruang pegawai. Itulah sebabnya, banyak anggota Auror lain yang sangat ramah dengan Harry. Bukan hanya sekedar sebagai bawahan yang menghormati atasnya, mereka memperlakukan Harry selayaknya sebagai sahabat. Meskipun masih dalam batas profesionalisme dalam bekerja.
Jika merujuk pada Ron, jangan tanya bagaimana sikap sopannya pada Harry. Ron tetap melihat Harry sebagai sahabat ataupun adik iparnya. Ia tetap merasa yang lebih tua dan patut dihormati oleh Harry. Bukan sebaliknya.
Toh, Ron hanya mencoba bersikap serius dan menghormati Harry jika dalam situasi mengharusnya bersikap demikian. Seperti ketika pertemuan resmi ataupun tidak sengaja bertemu dengan pimpinan departemen lain misalnya. Meskipun demikian, Harry memaklumi dan menerima saja kelakuan sang kakak ipar.
"Ada apa, sih?" tanya Harry sambil membenarkan posisi kacamatanya.
"Hugo." Kata Ron singkat.
Dua Auror wanita berpamitan pulang sambil melemparkan salam hangatnya pada Harry dan Ron bergantian. Kini tinggal mereka berdua di ruangan itu. "Loh, ada apa dengan Hugo? Dia sakit?"
"Entahlah. Aku belum jelas juga. Hanya saja, aku merasa Hugo tidak sakit. Hermione saja yang membuatku khawatir sampai seperti ini." Ujar Ron kembali meminum kopinya.
"Lalu?" Harry mengambil tas kerjanya memeriksa sesuatu. Takut jika ada yang tertinggal sebelum ia keluar dari ruangannya beberapa menit lalu.
Ron membuang cangkir kopinya di salah satu keranjang sampah di bawah mejanya lantas bergegas memunguti berkas-berkas pemberian Harry untuk segera dipelajari. Pikirannya masih kacau. Ia memikirkan Hugo.
"Hugo sempat tidak sadar beraApparate. Sendirian." Ujar Ron kembali mengungkit masalah Hugo.
"Apa? Ah.. seperti Al dulu." Harry tertawa.
"Apa? Jadi Al juga pernah?"
Harry mengangguk membenarkan. "Seingatku waktu dia seumuran Hugo juga. Dia bersamaku di ruang tengah menonton TV, eh, tiba-tiba langsung menghilang. Beberapa saat aku kebingungan mencarinya, aku langsung mendengarnya berteriak dari dalam kamarnya, dia ketakutan," cerita Harry mengingat kejadian ketika Al berumur tujuh tahun lalu. Melakukan kecelakaan sihirnya yang hampir membuatnya jantungan ketakutan.
"Tak apa juga. Aku pun dulu seperti itu waktu umurku.. em.. sekitar delapan atau sembilan tahun. Aku lupa, aku juga berApparate sendiri. Tak sadar saat aku diusili Dudley dan teman-temannya di sekolah." Harry tertawa. Ron semakin penasaran dengan cerita Harry selanjutnya.
"Lalu, kau apakan? Maksudku, kau atau Al waktu itu? Kalian tidak apa-apa? Tidak jadi masalah, kan? Karena.. aku, Hermione bahkan Rose juga tidak pernah melakukan kecelakaan sihir seperti itu."
Mereka siap untuk keluar menuju perapian. Seperti biasa, Harry dan Ron memang terbiasa pulang bekerja bersama-sama. Mereka hanya akan berpisah ketika masuk ke perapian masing-masing untuk pulang.
Sepanjang jalan, Ron masih terus menghawatirkan Hugo. "Memangnya apa yang terjadi dengan Hugo sampai kau sebegitu khawatirnya?" Harry semakin penasaran.
"Jadi," Ron melambaikan tangannya pada salah satu sahabat mereka dari departemen lain, "Hugo sekarang jadi sensitif sekali. Sedikit-sedikit ngambek, suka marah. Emosinya tidak terkontrol. Dia ketakutan sendiri, Harry. Katanya, tangannya juga sering terasa aneh. Aku lihat sendiri, waktu makan, sendok yang dipegangnya sampai bengkok. Aku sampai melarangnya berangkat sekolah sekarang. Aku takut jika Hugo tetap sekolah dan tiba-tiba dia melakukan kecelakaan sihir lagi, anak-anak Muggle sahabatnya bisa tahu."
Tidak hanya Ron, Hermione pun merasa tidak tenang dengan putra bungsu mereka. Demi menjaga Hugo, Hermione harus ijin kepada Kementerian untuk tidak masuk beberapa hari demi menemani Hugo.
"Bisa sampai seperti itu? Astaga—" pekik Harry teringat sesuatu.
"Kau sendiri sudah membawanya ke St. Mungo? Paling tidak untuk diperiksa?"
Ron menggeleng. "Hugo masih di rumah dengan Hermione. Kejadiannya baru kemarin pagi jadi aku belum ada rencana untuk memeriksakannya."
Harry manggut-manggut paham. Tak terasa, keduanya kini sampai di depan perapian. Ada dua pegawai lain yang mengantri berispa untuk pulang. Harry membalas sapaan seorang pria seumurannya yang bersiap masuk mendahuluinya. Harry kembali melihat Ron yang mulai bersiap untuk masuk.
"Seingatku dulu aku dan Ginny sempat membawa Al ke St. Mungo. Cobalah bawa Hugo ke sana. Apa salahnya untuk memeriksakan kekuatannya." Pesan Harry.
"Iya, aku akan rundingkan dengan Hermione—"
"Dan satu lagi," Harry menahan langkah Ron untuk segera masuk. Wajah Ron langsung berubah dingin, kesal. "Jangan lupa dipelajari berkas dariku. Kita berangkat lusa. Ok, Mr. Wealsey!"
Ron mendengus kesal. Tugas selalu datang saat kondisi putranya tidak baik. Sebagai ayah, Ron merasa tak tega untuk meninggalkan buah hatinya itu. "Aduhh, kau tak kasihan padaku ini, Harry? Istriku bagaimana sering aku tinggal? Keterlaluan kau—"
"Merlin, lalu bagaimana dengan aku? Kau pikir siapa suami adik perempuanmu satu-satunya?" pekik Harry ikut tidak terima. Ron begitu mengeluh dengan pekerjaannya tanpa mengingat jika perasaan itu sebenarnya juga dirasakan oleh Harry. Meninggalkan istri dan anak-anak untuk bekerja dengan resiko keselamatan yang selalu dipertaruhkan.
Mereka saling memasang pandangan tajam saling melawan. Ron berlaga berpikir, "Dean Thomas!"
"Sialan kau, Ron!" pekik Harry kesal mendengar nama mantan kekasih istrinya itu.
Ron terbahak masuk berhasil membuat Harry marah. Mereka akhirnya berpisah, siap untuk pulang ke rumah keluarga kecil mereka.
Harry menepuk-nepuk pundaknya kencang menghilangkan debu sisa floo yang menempel di seragam Aurornya. Baru saja melangkah keluar, sosok kecil menyambutnya dengan teriakan kencang mempertunjukkan suara cemprengnya.
"Hello, flower?"
Lily melompat semangat kegendongn Harry langsung memeluk erat dan bergelayut manja di leher sang ayah. Harry langsung beradu ciuman bersama Lily menuju dapur, dimana Ginny sedang memasak makan malam untuk mereka. "Mummy masak ayam saus, Daddy. Aku yang pilih ayamnya tadi di supermarket." Cerita Lily.
Anak enam tahun itu terlalu manja jika bersama ayahnya. Namun jangan salah, Lily adalah orang ke tiga yang ditakuti oleh Al bahkan James. Kedua kakaknya bahkan bisa bertekuk lutut jika mereka siap bertengkar bersama. Lily satu-satunya anak yang akan siap dibarisan pertama jika untuk urusan berkelahi.
"Lily, turun dong. Kasihan Daddy baru pulang, masak langsung minta gendong? Daddy belum apa-apa—"
Cup! Harry memberikan ciuman singkat di bibir Ginny. Membungkam semua kecerewetan istrinya secara tiba-tiba. Harry tersenyum mengedipkan matanya pada Ginny. Lily sampai tertawa melihat ulah ayahnya yang selalu sukses membuat ibunya diam tak berdaya. "Sekarang sudah cium Mummy. Jadi nggak apa, ya, Lils? Daddy kan juga kangen sama Lily."
"Iya, Mummy cemburu, ya?"
Knop kompornya diputar naik. Api mati seketika namun kuah kental yang bercampur potongan daging ayam itu masih saja meletup-letup. Bau harumnya menguar ke seluruh dapur. Ginny menoleh tajam dan memegang erat kepala Lily sampai tidak bisa bergerak. Lily memekik pelan geli melihat wajah ibunya semakin dekat.
"No, Mummy! Jangan!" teriak Lily di gendongan Harry. "Daddy, tolong! Mummy mau makan aku!"
"Mummy akan memakan hidungmu, sayang, kalau masih tetap minta digendong Daddy. Bagaimana? Mau Mummy makan hidungmu?" Ginny terus menggoda sampai akhirnya Lily melorot turun dari gendongan Harry. Berteriak kencang menuju depan TV di mana Al dan James asik bermain games berdua.
Ginny terbahak di sisi lemari pendingin sementara Harry mengambil air dingin untuk minum. Lily selalu jadi hiburan bagi Harry setiap pulang dari Kementerian. Ada saja kelakuannya yang membuat ia maupun Ginny tertawa. "Dasar Daddy's girl!" seru Ginny.
Harry memeluk Ginny dan menarik pinggang kecil itu agar mendekat. "Selalu begitu. Pasti mirip ibunya. Dad sudah pernah bercerita padaku jika kau dulu mirip seperti Lily. Kau tak mau lepas dari Dad sampai Mum cemburu padamu, karena Dad lebih suka dekat denganmu daripada dirinya, " bisik Harry.
"Ahh, iya. Dan sekarang aku merasakan bagaimana posisi Mum dulu." Bisik Ginny pelan. Ia kembali melumat bibir Harry. sedikit lebih lama dari yang pertama, toh mereka hanya berdua di dapur itu.
"Jadi kau cemburu, love?" goda Harry. Ciumannya berganti ke arah leher.
Ginny tertawa menahan geli. "Iya, dan aku sudah seperti orang gila cemburu pada anak sendiri yang usianya bahkan belum genap tujuh tahun."
"Ow, kemarilah!"
Harry dan Ginny bersamaan kembali berpelukan. Tak henti-hentinya Harry menciumi wajah Ginny rata saking bahagianya. Ia begitu bersyukur, Ginny kini menjadi miliknya. Terkadang Harry merasa bersalah mengapa tidak dari dulu ia menyadari perasaanya pada Ginny.
"Sudah, ah. Kau bau keringat, Harry. Sana, ah—"
"Dad? Mum?" James berteriak memanggil. "Ada pesan Uncle Ron di perapian. Penting. Cepatlah!" bantu Al.
Harry dan Ginny langsung bergegas berlari. Lily dan dua kakaknya sudah berada di depan perapian sambil terus berbicara pelan. Ada wajah Ron muncul di bara api perapian. Tampak bingung dan panik.
"Ron, ada apa?" tanya Harry. "Terjadi masalah?"
"Harry, a-aku di St. Mungo. Aku dan Hermione di St. Mungo. Rose dan.. Hugo—"
Ginny langsung panik ketika Ron mengatakan ia berada di St. Mungo. Pasti ada masalah jika sesuatu hal berakhir di St. Mungo. Ia lantas bertanya, "ada apa dengan mereka, Ron?" tanya Ginny bernada khawatir.
"Mereka terluka, ah—aku bingung menjelaskannya, aku hanya mau meminta tolong pada kalian. Tolong datang ke rumahku," kata Ron terbata-bata. Suaranya bergetar seperti baru saja menangis.
"Rumahmu?" Harry melihat Ginny, "ada apa—"
"Hugo melakukan sihirnya kembali, Harry, dan rumahku—"
Suara Ron terputus dan perapian mati. Ketiga anak Potter mendesah kecewa karena tak mendapatkan informasi lanjutan dari Ron. Semua masih serba tak jelas.
"Apa mungkin dengan cerita Ron tadi, ya?" bisik Harry pelan.
"Cerita Ron?"
Harry mengangguk lantas menceritakan tentang Hugo yang berubah sejak melakukan sihir pertamanya. "Seperti kau dulu, Al!" kata James menunjuk Al di sisinya.
"Lalu, Dad? Apa Hugo sudah di bawa ke St. Mungo untuk dikendalikan sihirnya? Sepertiku dulu?" tanya Al.
"Entahlah, mungkin Hugo baru saja melakukan sihirnya kembali sampai melukai dirinya dan juga Rose. Tapi—"
James melipat tangannya di depan dada tampak berpikir. "Rumah Uncle Ron? Kenapa Uncle Ron meminta kita melihat rumahnya?"
Harry berlari naik ke kamarnya. Beberapa menit kemudian ia kembali berganti pakaian dengan memakai jaket hangatnya. Harry menghampiri Ginny dan anaknya siap berangkat membantu Ron.
"Aku akan ke rumah Ron, kalau bisa kau coba ke St. Mungo, Ginny. Cari tahu apa mereka membutuhkan bantuan." Pesan Harry meminta Ginny agar bersiap-siap.
"Aku ikut, ya!" tawar James pada Harry.
"Aku juga, Dad. Mungkin aku dan James bisa membantu," Al ikut menawarkan diri.
Lily di dekat Ginny tampak kebingungan. Ia bingung sendiri apakah ikut dan memilih ikut bersama siapa. "Aku—"
"Lily, kalau kau ikut, lebih baik bersama Mummy. James, Al, kalian boleh ikut Daddy. Sekarang ambil jaket kalian."
Semua anggota keluarga Potter telah bersiap menghilang di perapian bergantian, menuju lokasi berbeda untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga Ron dan Hermione.
"Dad?"
Al memanggil ayahnya dengan nada tak percaya. James ternganga menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri banyaknya penyihir yang berkerumun di depan puing-puing rumah Ron. Ya, rumah Ron hancur, menyisakan balok-balok tembok yang hancur serta jejak bekas asap di beberapa sudutnya.
"Apa ini ulah Hugo?" tanya James tak percaya.
"Entahlah, Sons. Kalian berhati-hatilah. Kita coba mendekat sekarang."
Harry menggiring kedua putranya mulai mendekat ke arah kerumunan. Seorang penyihir melihat Harry datang lantas mengangguk hormat padanya. Sesegera mungkin, Harry, James dan Al diberikan jalan menuju arah pintu rumah yang masih berdiri di tengah puing-puing tembok lain yang telah hancur.
"Kami tidak tahu bagaimana bisa terjadi, Mr. Potter," kata Mr. Stunden, salah satu tetangga Ron yang mendampingi Harry, "dari rumah saya, saya sendiri merasakan ada getaran sampai akhirnya suara ledakan terdengar. Saat saya keluar, ternyata—"
"Rumah Ron sudah hancur," lanjut Harry mengambil puing tembok rumah Ron di bawah kakinya.
- TBC -
#
Wah, ada apa dengan rumah Ron? Apa yang sebenarnya terjadi? Yuk, cari tahu di chapter 2.
Anne tunggu review kalian. Maaf kalau masih ada typo, ya! Anne sayang kalian.
Thanks,
Anne xoxo
