SURVIVOR
Hujan salju pada akhirnya mulai mereda. Gadis itu bersyukur karena tidak perlu lagi mencemaskan kondisi beberapa pasiennya yang mungkin kedinginan akibat cuaca yang buruk semalaman. Dia kemudian bangkit untuk memastikan sekali lagi keadaan para pasiennya. berharap tidak ada sesuatu yang buruk akan terjadi semisal laporan tentang beberapa pasien yang meninggal akibat hipotermia.
"Oh ya Tuhan, kenapa aku bisa berpikiran seperti itu.." dia merutuki jalan pikirannya sendiri.
Pada dasarnya semua ini bukan menjadi tanggung jawabnya. Dia hanya gadis 17 tahun yang seharusnya sedang menikamati masa-masa memadu kasih atau hingar bingar kehidupan anak remaja. Dengan wajah ayu oriental dipadu rambut merah jambu sebahu dan mata beriris emerald yang indah, dia jelas idola para anak laki-laki di sekolahnya. Namun nyatanya keadaan tidak seindah itu. Fakta sekarang adalah dia seorang anggota medis yang dibentuk secara mendadak untuk menolong korban pengeboman Tentara Perdamaian.
Setelah cukup lama berjalan, diapun tiba di tempat yang dituju. Segera dia memasuki ruang perawatan itu dengan begitu percaya diri. Berharap hal bodoh yang sebelumnya terlintas di otaknya salah, dan syukurlah apa yang dia pikirkan memang hanya ketakutan bodoh saja.
"Bagaimana kondisi mereka Shizune senpai?" tanya gadis itu pada wanita berambut hitam kelam.
"Mereka sempat kedinginan tapi semua baik-baik saja.." jawab Shizune.
"Syukurlah, aku sempat memikirkan hal-hal bodoh saat menuju kemari.."
"Kesimpulannya jelas, kau sangat lelah dalam hal fisik dan mental nona. Jadi kuharap kau lekas beristirahat sebelum aku menendangmu dari tempat ini..!" timpal Shizune. Itu jelas sebuah perintah yang tidak bisa ditolak. Wanita berambut gelap itu memang sangat memperhatikan kondisi setiap anggota medis lainnya.
"Baiklah, tapi kau juga perlu memperhatikan kondisimu sebelum..."
"Kau menendangku saat sudah segar kembali?" potong Shizune lugas. Wanita itu memang tidak suka berbasa-basi.
"Kita sehati.." kata gadis itu menyeringai.
"PERGI..!" hanya sebuah desisan yang singkat namun penuh penekanan. Gadis itu segera beranjak keluar sebelum benar-benar ditendang oleh seniornya.
Sejenak setelah keluar dari ruang perawatan, gadis itu merasa sengatan kenyamanan saat menghirup udara pagi musim dingin. Dia menutup mata dan membiarkan bulir-bulir salju sisa hujan semalam menyentuh kulit wajahnya yang lembut. Sejenak berusaha menyamankan diri dari segala kegilaan akhir-akhir ini. Namun tak berlangsung lama, dia membuka mata saat menyadari jika keadaan kenyamanan yang dia rasakan sebelumnya tidak akan berlangsung lama. Gadis itu segera sadar jika musim dingin kali ini adalah musim dingin tersuram dalam hidupnya.
Musim dingin kali ini memang terasa suram baginya. Setelah segala yang terjadi selama satu minggu ini dia benar-benar sangat frustasi. Tapi apa mau dikata dia harus mengesampingkan semua itu demi menolong para korban serangan bom gila-gilaan dari Tentara Perdamaian. Ya, tepat satu minggu lalu serangan gila itu dilancarkan. Dengan jarak tiap penyerangannya adalah 2 hari, maka bisa disimpulkan jika sudah ada 3 kota yang telah dibumihanguskan oleh Tentara Perdamaian. Bukan tidak mungkin jika kota gadis cantik ini menjadi target selanjutnya. Karena itulah dia mencoba menyibukkan diri agar tidak memikirkan hal-hal yang berbau dengan serangan Tentara Perdamaian. Biarlah orang-orang tim investigasi saja yang memikirkannya. Menurut dia, memikirkan segala kemungkinan itu membuat lambungnya terasa mual.
"Sampai kapan kau melamun Sakura?" tanya seseorang gadis mengagetkannya.
"Apa sih Ino? kau berisik sekali tahu.." sahut Sakura kesal.
"Kau harus makan, lihat tubuhmu kurus kering nan datar. Jangan bilang kau sengaja melakukannya agar dadamu yang rata itu terlihat menonjol karena perut yang semakin tipis? Ya ampun Sakura kau benar-benar gila.." tuduh Ino membabi-buta.
Sakura mendengus kesal atas ucapan yang gadis ponytail pirang itu. Dia benar-benar tidak habis pikir dari mana gadis yang suka berpakaian seksi memperoleh pikiran seidiot itu.
"Aku masih punya stok alkohol cukup banyak untuk mensterilkan pikiran kotormu itu, mau coba..?"
"Akan kupertimbangkan.." kata Ino tersenyum tanpa dosa. "oh ya ada kabar baik. Cowok pirang itu sudah sadar loh.."
"Kau serius..?" tanya Sakura antusias.
"Ya, tapi kemudian dia tertidur lagi." Ino kemudian memberi jeda. "Saat terbangun dia mengucapkan sesuatu yang sama ketika sampai disini. Aku sudah memberi obat penenang padanya. Kemungkinan dia akan segera tersadar kembali.."
"Aku akan kesana setelah makan dan memeriksa beberapa korban yang baru tiba."
"Baiklah, aku tunggu loh.."
Kemudian Sakura dan Ino berpisah menuju tempat tujuannya masing-masing.
Suara berisik itu membuatnya seakan tidak nyaman dengan keadaan ini. Anak laki-laki itu mencoba bergerak dengan gelisah ke kanan ataupun kekiri berharap mendapat kenyamanannya kembali setelah beberapa saat seolah terenggut. Namun seolah tidak peduli dengan ekspresi terganggu yang dia tunjukan, suara-suara berisik itu justru semakin keras berdengung di telinganya seakan memaksa dia agar segera terjaga.
Anak laki-laki segera membuka matanya yang menampilkan samudra biru jernih. Anak laki-laki yang mungkin berusia 16-17 memandang sekitarnya tanpa berkedip sedikitpun. Dia kemudian mengusap bagian belakang rambut pirang jigraknya karena merasa malu dipandangi beberapa pasang mata saat dia terbangun dari tidurnya.
Setelah cukup mengumpulkan sedikit kepercayaan diri dia mencoba bangkit dari posisinya sekarang. Merasakan begitu banyak sengatan rasa sakit dia akhirnya hanya bersandar pada ujung tempat tidur dibantu kedua sikunya untuk menegakkan tubuhnya.
"Jadi apa yang kalian lakukan disini?" bocah pirang itu bertanya sedikit menggeram. dia tidak tahu apa sebabnya dia bisa kesal tapi emosi itu meluap begitu saja.
"Bung, harusnya dialog itu aku yang ucapkan..!" salah seorang diantara manusia di kamar tempat bocah pirang itu berada menjawabnya.
Anak laki-laki itu segera menatap si penjawab pertanyaanya.
Laki-laki dengan kisaran usia yang tidak jauh berbeda dengan dirinya. Dengan model rambut seperti buah nanas dan tinggi hampir 180 cm yang cukup seimbang dengan tubuh berisinya. Dilihat dari cara dia menjawab pertanyaan, bocah pirang itu sadar jika laki-laki yang ditatapnya saat ini adalah tipikal orang yang tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Namun dia segera paham akan sesuatu hal lainnya bahwa laki-laki yang sangat tidak menyukai kalimat pertama yang dia lontarkan saat terbangun adalah pemimpin dari semua orang yang ada di ruangan bocah pirang itu berada sekarang.
"Oke, jadi sekarang apa masalahnya?" tanya bocah kepala kuning itu tanpa mengurangi geramannya.
"Sumpah demi apapun, boleh aku pukul wajah anak tidak punya sopan santun ini Shikamaru?!" seorang laki-laki arah jam 11 dari tempat bocah kepala kuning itu.
'Jadi bocah rambut nanas itu namanya Shikamaru?'. gumam bocah kepala kuning itu pada dirinya sendiri.
"Belum saatnya Kiba, kalau 1 kali lagi dia berkata menjengkelkan kau boleh menendangnya pantatnya.." timpal Shikamaru asal. "Tapi sebelum itu, bisa katakan siapa namamu bung?"
"NARUTO.." bocah kepala kuning mengucapkan namanya begitu saja. Dia tidak mengerti dorongan apa yang membuatnya mengatakannya. Padahal dia masih yakin dengan jelas sejak dia membuka mata tidak ada satupun memori di kepalanya dan saat mengatakan nama itu begitu saja dia merasa kebingungan seolah semua telah diatur sedemikian rupa hingga ketika ada seseorang menanyakan namanya maka otomatis bibirnya akan mengucapkan nama itu.
"Kenapa bung? kau seolah-olah tidak rela sekali menyebut nama itu?" tanya bocah yang Naruto ketahui bernama Kiba. Seperti keliatannya Kiba adalah tipe orang yang tidak sabaran. Terlihat dari matanya yang tajam seperti burung elang. Hanya satu hal yang mengagumkan dari Kiba menurut Naruto, warna kulitnya yang eksotis.
"Dia hilang ingatan, ingat..?" jawab anak laki-laki lain yang berada di sebelah Shikamaru.
"Terima kasih Sai atas penjelasan singkatnya." Balas Shikamaru. Setelah Shikamaru dan Kiba kini nama Sai masuk dalam otak Naruto.
"Oke, jika aku hilang ingatan kenapa kalian ada disini?" kali ini Naruto menanyakannya dengan nada yang sedikit bersahabat.
"Biar aku jelaskan tuan hilang ingatan.." kali seorang gadis yang berbicara padanya. Rambut pirang panjang gaya ponytail dengan bola mata hampir sewarna dengan miliknya.
"Maaf jika aku merusak kesenanganmu, tapi harus kukatakan sebelumnya bahwa jika kau mengira ruangan ini adalah kamar tidurmu itu adalah salah besar. Ruangan ini adalah kamar pasien." jelas gadis itu.
"Karena itu jangan sekali-kali bertanya padaku kenapa ruangan ini tidak berwarna merah jambu seperti kamar tidurmu bung" timpal Kiba dengan nada mengejek. Naruto mendengus kesal sedangkan gadis itu memutar bola matanya.
"Kami menemukanmu terkapar di depan gerbang wilayah perlindungan dengan beberapa luka di sekujur tubuh.." gadis kembali menjelaskan.
"Berapa lama aku tak sadarkan diri?"
"3 hari lebih.. dan perkenalkan namaku Yamanaka Ino. Kau bisa memanggilku Ino.." jawab gadis itu disertai perkenalan diri. Naruto hanya meresponya dengan mengangguk. Setidaknya ada satu orang yang meresponnya sedikit bersahabat daripada yang lainnya.
"Aku harap ingatanmu cepat kembali agar bisa kembali ke daerah asalmu, untunglah menurut Sakura kau hanya mengalami amnesia ringan.." Ino kembali berkata. Sejauh ini semua yang dia katakan terdengar tulus.
"Siapa Sakura?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Naruto. Lagi-lagi dia merasa aneh dengan kelakuannya sendiri. Kenapa dia merasa tertarik dengan seseorang bernama Sakura. Seolah nama itu memang begitu penting baginya.
"Dia salah satu anggota tim medis di tempat ini. Sebentar lagi kau akan melihatnya" ucap Shikamaru masih dengan gaya masa bodohnya.
"Dia mungkin agak lama, banyak korban baru yang berdatangan.." Ino menyambung.
Korban? apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini. Naluri Naruto dengan cepat menduga jika keadaan diluar dia berada sekarang begitu buruk. Rasa penasaran yang menggelitik membuat dia ingin melontarkan beberapa pertanyaan pada orang-orang di depannya. Namun sebelum dia sempat mengatakannya, suara seseorang terdengar di telinganya.
"Apa aku terlambat?"
Naruto segera memutar kepalanya ke arah suara berasal. Detik itu juga tanpa sadar dia bangkit dari tempat tidurnya seolah luka-luka di tubuhnya cuma ilusi. Dengan gerakan begitu cepat tanpa disadari oleh lainnya dia menghentakan seseorang yang baru saja tiba itu dengan keras hingga membentur tembok. Dia mencengkram orang itu dengan begitu kuat dan menghimpitnya agar orang tersebut tidak dapat melarikan diri. Sebelum dia mengatakan sesuatu pada orang dihadapanya satu pukulan mengenai bagian belakang kepalanya. Dia jatuh tersungkur dan kemudian semua kembali terlihat gelap.
to be continue
