Gadis bersurai pirang itu terus berjalan menyusuri trotoar seorang diri. Jam sekolah telah selesai, tak ada alasan baginya untuk berlama-lama di tempat yang entah saat ini selalu meresahkan hatinya. Dengan langkah gontai, gadis cantik itu berjalan lurus menembus padatnya jalan sore itu.
Sesekali mata caramelnya melirik ke arah café-café pinggir jalan yang memang merupakan tempat tongkrongan khas anak muda di Fiore. Lalu langkahnya tiba-tiba terhenti. Disana—di depan toko buku yang berjarak 2 meter dari tempatnya berdiri—laki-laki itu berdiri. Dia terlihat sama terkejutnya. Jika bisa Lucy—nama gadis bersurai pirang itu—ingin memutar balik arahnya hanya untuk menghindari pemuda itu.
Terlanjur, mata mereka sudah bertemu. Tak mungkin Lucy menghindarinya begitu saja. Terkadang waktu memang tak memihak disaat seperti ini. Lucy tak punya pilihan, menghindarinya pun akan percuma saja. Toh mereka hampir bertemu setiap hari di sekolah. Dengan terpaksa gadis itu melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti dan semakin mengikis jarak diantara mereka.
Aitakatta Sora (Langit Yang Kurindukan)
Fairy Tail milik Hiro Mashima
Karena itu Kau by Nalu D
Warning : Gaje, Typo, OOC, Gomenasai. Don't like Don't Read!
Mind RnR please!
"Kebetulan sekali, eh?" Pemuda itu dengan canggung membuka pembicaraan mereka. Sudah hampir 5 menit mereka sama-sama diam.
"Yah. Jadi apa yang sedang kau lakukan, Natsu?" Tanya Lucy, matanya sesekali berpaling ke arah jalanan. Berusaha menghindari tatapan onyx milik pemuda itu.
Natsu menolehkan kepalanya ke arah toko buku, "Mengantar seseorang. Merasa jenuh lalu berjalan ke luar dan tanpa sengaja melihatmu."
Lucy hanya mengangguk pelan mendengar jawaban Natsu. Matanya lalu melirik ke arah dalam toko buku. Pandangannya tertumbuk pada seseorang yang ada disana. Seseorang yang Natsu maksud, Lucy mengetahuinya. Sekilas terbesit kesedihan dimata caramel lembutnya.
"Lalu kau sendiri?" Mendengar pertanyaan Natsu, Lucy kembali memalingkan arahnya dan menatap lelaki yang ada didepannya. "Tak ada, aku hanya sedang dalam perjalanan pulang. Kemudian seperti yang bisa kau tebak, kulihat kau berdiri disini dan aku menghampirimu karena jalanku memang harus melewatimu."
Natsu hanya ber-oh pelan.
Hening.
Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Langit sore memamerkan senja yang begitu rupawan. Tak ada tanda-tanda akan turunnya hujan, udara terasa sedikit dingin. Maklum saja ini pertengahan musim gugur. Dinginnya sore itu tak bisa menepis udara canggung di Antara mereka. Meski samar rasanya seperti ada sesuatu yang menghalangi diantara mereka berdua. Sebuah dinding yang menjulang tinggi dan tak tertembus. Mungkin karena itulah, kedua orang ini memiliki luka dalam tatapan matanya. Sebuah luka yang tak bisa dijelaskan begitu saja dan berhasil memenjarakan mereka dengan kejamnya.
~0o0o0o~
Gadis berambut platina pendek itu tampak asyik dengan dunianya. Jemarinya dengan teliti menyusuri judul-judul buku yang tertata rapi di raknya. Sesekali senyumnya mengembang saat ia menemukan judul yang berhasil menggelitik rasa penasarannya. Ditariknya buku yang dirasanya seru lalu dibaliknya buku itu dan mulai membaca sinopsinya dengan teliti.
Gadis itu terus saja melakukan hal yang sama, hingga ia menyadari jika orang yang menemaninya tak ada disekitarnya. Dengan segera matanya memincing ke segala arah. Buku yang ia pegang ia letakkan kembali pada tempatnya. Lalu gadis itu segera bergegas dan mulai memutari toko buku itu yang memang tak terlalu besar.
Belum beberapa lama ia mencari, matanya tertuju pada dua sosok yang tengah berdiri di luar. Kaca toko itu tembus pandang, jarak mereka juga tak terlalu jauh. Lisanna—gadis berambut pendek platina—tak melepaskan pandangannya. Tubuhnya serasa membatu, dia tak bisa begitu saja pergi ke luar dan menarik pemuda itu agar kembali ke sisinya.
Dia tak memiliki hak sama sekali. Karena itulah hatinya sakit bukan main.
~0o0o0o~
Sekitar lima belas meter dari toko buku itu, dua orang pemuda berambut raven serta seorang gadis berambut biru sepinggang tengah berjalan beriringan. Ketiganya tampak asyik berbincang mengenai banyak hal. Seperti kebanyakan remaja lainnya, mereka juga berniat untuk makan bersama diluar.
"Jadi mau makan dimana senpai?" Tanya si pemuda berambut raven pada pemuda yang berjalan disebelah kirinya.
"Juvia mau ramen!" Juvia—Gadis berambut biru sepinggang yang berjalan disebelah kanan—menjawab antusias.
Lelaki itu mendengus, "Aku tak bertanya padamu." Juvia mengerucutkan bibirnya kesal, "Jahatnya Gray-sama."
Pemuda yang dipanggil Gray hanya mengerlingkan matanya saat menghadapi tingkah Juvia. Melihat tingkah kouhainya, pemuda yang nampaknya paling tua hanya tertawa kecil. "Ramen saja, Gray."
"Yey! Zeref-Senpai memang baik." Juvia tampak girang karena ada yang mau menuruti permintaannya.
Gray hanya bisa mengalah, "Ada saran tempat? Yang dekat tapi." Gray melirik bergilir ke arah Juvia juga Zeref.
"Kudengar di seberang toko buku ada kedai ramen enak, bagaimana."
"Oke." Gray dan Juvia menjawab serempak.
Ketiganya dengan segera berjalan ke arah pinggir trotoar, kemudian berhenti tepat di depan zebra cross. Dengan sabar menunggu lampu rambu lalu lintas berubah memunculkan gambar manusia sedang melangkah. Begitu berubah, mereka kembali melanjutkan langkahnya lalu memapaki jalan bergaris hitam putih bersamaan dengan manusia lainnya yang juga mempunyai tujuan yang sama.
Sampai di seberang jalan, mereka berbelok ke kanan dan segera menuju kedai ramen. Tak lama mereka sampai di kedai ramen itu. Sebelum masuk, Zeref berhenti. Matanya menatap ke arah seberang jalan, melewati dua remaja yang sangat dikenalnya. Terus masuk hingga matanya terfokus pada sosok gadis yang diam mematung di Antara rak-rak buku yang lebih pendek darinya. Gadis berambut platina pendek itu menatap ke arah luar. Zeref yakin objek yang dilihatnya adalah dua remaja yang merupakan juniornya di sekolah, Natsu dan Lucy.
"Ada apa Senpai? Kenapa tidak masuk?" Tanya Gray heran saat melihat Senpainya diam tiba-tiba. Merasa namanya dipanggil dengan segera Zeref mengalihkan pandangannya dan menatap Gray. "Tidak ada. Ayo masuk."
Zeref berusaha mengenyahkan apa yang baru saja dilihatnya. Tidak masalah baginya jika Natsu dan Lucy mengobrol seperti itu. Zeref pikir itu hal yang wajar. Mereka adalah teman. Yang ia pikirkan saat ini adalah Lisanna. Meskipun Zeref tak bisa melihatnya dengan jelas, Zeref yakin Lisanna pasti gelisah. Melihat Natsu dan Lucy berbicara seperti itu pasti membuatnya terganggu. Begitu pula dengan Zeref.
Zeref pun merasa terganggu jika harus melihat Lisanna merasa gelisah atau mungkin lebih tepatnya terluka. Zeref ingin melihat Lisanna bahagia, terutama jika itu dengan dirinya. Walaupun harus Zeref akui, keinginannya itu akan sulit untuk terjadi.
~0o0o0o~
Sudah berapa menit berlalu?
Setiap detik rasanya bagaikan selamanya. Dinginnya udara mulai membuat Lucy bergidik, dia ingin segera pulang. Harusnya dia tinggal pulang saja seperti biasanya. Tapi karena Natsu, dia tak bisa bersikap biasanya. Dulu mereka memang bisa, tapi sekarang tidak lagi.
"E—" Belum sempat Lucy berbicara Natsu sudah memotong kalimatnya.
"Maaf." Natsu menundukkan kepalanya.
"Eh?"
"Aku—"
"Tak perlu. Aku paham itu Natsu." Lucy mendengus kesal. Lucy selalu merasa tidak enak jika Natsu harus terus meminta maaf padanya.
Natsu mengangkat kepalanya, lalu menatap dalam ke arah Lucy. "Tapi Luce…"
"Sudahlah Natsu. Jangan membuatku untuk terus mengatakannya lagi dan lagi." Gerutu Lucy. "Aku paham, kita tak bisa kembali ke masa lalu. Lagipula aku juga sudah tak menginginkannya lagi. Jadi berhentilah meminta maaf. Jujur saja itu membuatku merasa terganggu. Sangat."
Natsu mengatupkan bibirnya rapat. Berusaha menerima kenyataan seperti Lucy. Masa lalu memang tak bisa kembali. Jika Natsu terus bertaruh pada masa lalu, maka dia akan terus menerus mengalami kekalahan.
Lucy menghela nafas. "Aku duluan, sampai jumpa." Lucy dengan segera pergi meninggalkan Natsu yang masih tak bergeming dari tempatnya berdiri.
Bisingnya jalanan sore itu tak bisa membuat Natsu lupa pada kata-kata Lucy. Dadanya sesak bukan main. Dia ingin mengejar Lucy, tapi dia tak bisa. Jika mengejarnya maka tak akan ada jalan kembali. Janji yang diucapkannya dulu telah mengekangnya.
Yang bisa Natsu lakukan hanyalah memandangi kepergian gadis itu. Semakin lama jejak kehadirannya semakin hilang dan terus menghilang hingga tak tersisa.
"Kenapa rasanya begitu sulit?" Bisik Natsu pelan.
~TBC~
Yuhuu, author balik lagi dengan FF baru. FF kali ini terinspirasi dari fandom sebelah. Tapi ceritanya beda kok, enggak sama malahan. Menurut kalian gimana? Semua kali ini FF nya lebih bagus daripada yang sebelumnya. Makasih udah baca. Dan juga mohon reviewnya.
