Title : Life Couldn't Get Better(Miracle)

Author : Kim Sun Ri

Genre : Romance, Fluff

Rating : T

Length : Mini Series

Disclaimer : This fict is mine, but the casts aren't

Warning : Genderswitch, AU, OOC(?)

Pairing : HyukHae(Genderswitch!Donghae)

.

Don't Like Don't Read!

WARNING : This story will have Genderswitch!Uke(s). Sebenernya author juga kurang suka bikin cerita GenderSwitch. Tapi plot cerita ini marriage life, dan aku masih merasa aneh kalo marriage life itu Yaoi. Jadi bagi yang kurang suka, apalagi ini HyukHae yang artinya Donghae yang jadi yeoja, mohon jangan memaksakan diri untuk membaca. Tapi yang mau aku akan sangat berterimakasih. Kritik saran diterima, asal bukan bash pairing, apalagi couple. Buat yang minta HaeHyuk, mianhae aku ga bisa bikin HaeHyuk jadi yang nggak suka, bear with it. Oh dan akan ada sedikit perubahan surname untuk beberapa tokoh.

Enjoy!

.

.:Life Couldn't Get Better(Miracle):.

.

Donghae's POV

"Aku akan menikah."

"A-Apa?"

Sebuah kalimat singkat dari bibirnya berhasil membuatku membatu. Tapi seolah ia tidak menyadari reaksiku, ia terus menyampaikan 'kabar gembira' itu dengan antusias. Seulas gummy smile yang amat sangat lebar terlukis di wajahnya.

"Kau mendengarku, Hae. Aku akan menikah!"

Ia mengulang kalimatnya, dan aku tidak bisa mencegah mulutku untuk tidak menganga terbuka dengan bodohnya. Aku bahkan tidak peduli jika saat ini aku terlihat seperti ikan yang terbawa arus ke daratan.

Menikah.

Menikah…

Menikah…?

MENIKAH?!

"MWO YAH?!" Jeritku segera setelah aku selesai memproses kata tersebut di otakku.

"Aish! Kau mau membuatku tuli hah?" Ia tertawa sambil mengusap telinganya.

"Aah… T-tapi… Menikah…? K-kau? H-Hyukkie?"

"Siapa lagi," ia mendengus, mulai kesal dengan kelambatanku walau jelas ia kesal bercanda.

"D-dengan… S-siapa…?" Aku menggumam pelan, kepalaku tertunduk.

"Hmm… Ia sangat cantik! Kami akan menikah tiga hari lagi! Ia amat baik, manis, menggemaskan, sempurna, dan-"

Dan Hyukjae, atau Eunhyuk, atau biasa kupanggil dengan Hyukkie, mulai berceloteh tentang yeoja yang akan ia nikahi. Aku? Aku hanya menatap kosong tak bernyawa. Seolah di hantam palu batu berukuran raksasa yang beratnya melebihi seratus kilogram.

Hyukkie adalah sahabatku sejak… Aku bahkan tidak bisa ingat. Yang kuingat, ia sudah ada disana bersamaku sejak aku memiliki ingatan. Kami tumbuh bersama seolah saudara. Tapi diam-diam aku menaruh perasaan padanya. Aku mencintainya, sejak kami menginjak bangku sekolah menengah pertama. Bahkan hingga sekarang, saat kami telah hidup selama dua puluh enam tahun lamanya, aku tidak pernah berhenti mencintainya. Rasa cintaku padanya tidak pernah berubah. Oh, tidak. Sebenarnya berubah. Ya, berubah, bertambah banyak.

Kukira tidak ada rahasia apapun diantara kami, kecuali perasaanku tersebut tentunya. Kami selalu menghampiri satu sama lain bila memiliki masalah apapun, saling membantu memecahkannya. Kami saling bercerita tentang apapun yang kami alami. Tapi sekarang disinilah dia, memberitauku ia akan menikah tiga hari lagi. Aku bahkan tidak tau ia mempunyai seorang yeojachingu.

Aku patah hati.

Hatiku pecah menjadi kepingan oleh kalimat singkat itu. Pikiranku berantakan. Kenyataan ini terasa begitu menyakitkan. Kenyataan bahwa Hyukkie menyimpan sesuatu dariku. Kenyataan bahwa Hyukkie akan bergerak maju dalam hidupnya dan bahagia dengannya. Kenyataan bahwa Hyukkie mencintai seorang yeoja tanpa bahkan menceritakannya padaku.

Kenyataan bahwa Hyukkie akan meninggalkanku.

Kemudian tiba-tiba seluruh tubuhku terasa seolah lumpuh. Aku tidak dapat merasakan apapun. Pandanganku memburam, dan telingaku tak dapat menangkap suara sekitarku. Bahkan suaranya pun terdengar samar-samar dan menyakitkan untukku sekarang. Mungkin karena ia masih membicarakan yeoja itu.

Aku tidak tahan lagi.

"Hae? Apa kau mendengarkanku?" Ia bertanya, menyadari respon yang kurang dariku.

"N-ne… Yasudah kalau begitu, aku mau… mm… M-mandi! Y-ya, mandi. Chukkae, Hyukkie... Sudah dulu ya!"

Aku mengangkat wajahku untuk menatapnya, dan memaksakan seulas senyuman. Aku berani bertaruh senyumanku terlihat aneh dan kurang meyakinkan, tapi itu yang terbaik yang bisa kuulaskan saat ini. Kemudian aku berbalik, berlari secepat yang kubisa, keluar dari taman depan rumahnya itu. Aku menyeberang jalan dan segera memasuki rumahku yang berada tepat di seberang rumahnya, menghiraukan suaranya yang menyerukan namaku dengan heran. Air mata mulai terbentuk di sudut mataku.

*Brak!*

Aku menutup pintu kamarku dengan agak keras. Untungnya, saat ini sedang tidak ada orang di rumah. Tubuhku segera merosot terduduk ke lantai, bersandar dengan lemah ke pintu kayu itu. Aku tidak dapat mengontrol emosiku lebih lama. Dan segera setelah itu aku menangis. Aku membiarkan air mataku mengalir keluar dengan bebas dari mataku. Aku menangis dengan keras, mengeluarkan jeritan hatiku dengan pilu.

Aku tidak tau berapa lama waktu telah berlalu saat akhirnya air mataku berhenti mengalir dengan deras. Aku tertawa pahit, dengan pelan dan lemah diantara linangan air mata. Aku tidak repot-repot mengusap air mataku, lagipula aku tau air mata itu tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Aku membiarkan air mataku mengalir sebanyak-banyaknya, berharap air mata itu akan membawa serta perasaanku mengalir pergi, yang tentunya mustahil.

"Kau bodoh… Kau hancur… Park Donghae…" Aku berbisik lirih pada diriku sendiri.

.

.:Life Couldn't Get Better(Miracle):.

.

Hari berikutnya, rasanya seperti neraka mencoba bangun dari tempat tidurku. Sebagian diriku berharap itu semua hanyalah mimpi, atau tepatnya mimpi buruk. Tetapi sayangnya sebagian diriku yang masih waras memberitauku bahwa itu adalah realita, dan aku tidak dapat lari darinya. Aku mengerang dan bangkit duduk di kasurku. Kepalaku terasa berat dan pusing, mungkin efek terlalu banyak menangis semalam. Aku bangkit berdiri dengan lunglai, dan duduk di depan meja riasku.

Aku terlihat kacau.

Mataku terlihat agak merah dan berkantung. Rambut brunetteku terlihat begitu berantakan seperti singa saja. Aku mengerang sekali lagi. Setidaknya aku harus merapihkan diriku sendiri dan berharap tidak ada yang menyadarinya. Jadi aku bergegas ke kamar mandi, kali ini sungguh mandi. Kemarin aku terlalu kalut untuk peduli melakukannya.

Aku memastikan rambutku bersih setelah keramas dengan shampo wangi vanillaku. Kemudian menyisirnya dengan rapih hingga kembali bergelombang sempurna mencapai pinggangku. Jadi, rambutku sudah beres. Aku juga mengenakan blus putih yang nyaman dipadukan dengan celana santai hitam panjang. Aku sudah menyikat gigiku, kemudian kembali menatap kearah cermin.

Bagus, aku masih terlihat seperti panda.

Aku menghela napas berat sebelum menyeret kakiku kembali ke meja rias. Aku mengambil concealer dan bedak dari laci. Kemudian mulai memakaikannya di wajahku, menutupi kantung mataku dengan cukup sempurna. Harus kuakui, bergaul dengan Sungmin-eonnie meningkatkan kemampuanku mengenai make-up.

Saat aku selesai, aku melihat kearah cermin sekali lagi. Kali ini diriku sudah terlihat sesempurna biasanya. Aku mencoba tersenyum paksa. Awalnya terlihat amat palsu dan kaku. Tapi kemudian aku menghabiskan sepuluh menit mencoba keras dan akhirnya aku bisa mengulaskan senyuman manis yang cukup normal, meski masih belum tulus dari hatiku.

Kau bisa melakukannya, Donghae…

Ini untuk Hyukkie, kau harus senang.

Perlahan aku keluar dari kamarku, dan pergi ke ruang makan. Kumulai kegiatan sehari-hariku di akhir pekan. Eommaku, Park Jungsoo, dan appaku, Park Youngwoon, sudah ada disana. Appa sedang duduk di bangku sambil membaca koran sedangkan eomma masih menatap meja. Aku menghampiri mereka, tersenyum lebar. Aku mengecup sekilas pipi kedua orang tuaku sebelum duduk.

"Pagi!" Seruku dengan nada ceria.

"Pagi, chagiya," eomma menjawab dengan lembut, sementara appa hanya mengangguk dan tersenyum.

"Tidurmu nyenyak?" Tanya appa, menunjukkan kepedulian dan kasih sayangnya padaku.

"Ne!" Jawabku yang sebenarnya berbohong.

Eomma kemudian duduk di samping appa, menghidangkan roti panggang yang masih hangat kepadaku. Aku segera memakannya. Appa juga meletakkan korannya dan memakan sarapannya bersama kami. Kami makan sambil berbincang-bincang ringan, menciptakan suasana yang hangat di sekitar kami seperti pagi biasanya. Keluarga kecil kami hanya terdiri dari kami bertiga, tapi amat hangat dan aku menyukainya.

"Ngomong-ngomong, Hyukjae akan menikah besok lusa bukan?"

*Brush!* Aku menyemburkan air yang sedang kuminum.

Cara menghancurkan mood yang amat baik, appa.

"Wah, hati-hati chagiya!" Appa membantu mengusap punggungku.

Eomma terkekeh dan membersihkan meja dari air semburanku dengan selembar kain, kemudian kembali melanjutkan pembicaraan. Kali ini aku cukup siap untuk tidak menyemburkan makanan atau minuman apapun. Tangan kananku mengepal ujung bajuku di bawah meja, mencoba menahan rasa sakit yang kurasakan di hatiku.

"Ah, waktu benar-benar seolah terbang. Ia sudah dewasa sekarang…" Eomma menggumam.

Apa hanya imajinasiku belaka, atau memang ia sedang menatapku dengan mata berkaca-kaca?

Appa hanya menggeleng dan mengedikkan bahunya. Tapi kenapa sepertinya orang tuaku terlihat begitu santai dengan hal Hyukkie-akan-menikah ini? Hyukkie sudah seperti putra mereka sendiri, tetapi mereka sepertinya tidak terkejut saat tiba-tiba ia akan menikah lusa entah dari mana.

Bahkan aku masih belum tau siapa pengantin wanita yang beruntung itu.

"Pernikahan adalah sesuatu yang besar. Tetapi eomma yakin ia sudah siap, eomma mempercayainya," eomma kembali berujar.

"Yeobo, kau berkata seolah kau yang akan menikah saja," appa menghela napasnya.

"Tapi yeobo-"

"A-a-ah! Cukup, Teukie," appa memotong pembicaraannya.

Aku hanya mengangkat sebelah alisku atas pembicaraan ambigu mereka. Seolah mereka bisa menggunakan telepati, mereka saling menatap satu sama lain sebelum senyuman lebar terulas di bibir masing-masing. Entah kenapa lebih terlihat seperti cengiran. Entah kenapa aku merinding melihatnya, kemudian mengedikkan bahuku tidak peduli dan menghabiskan sarapanku.

"Jadi, apa kau punya rencana hari ini, chagiya?" Eomma bertanya padaku.

Aku menggelengkan kepalaku, "Tidak."

"Wah itu tidak biasa. Bukankah biasanya kau pergi bersama Hyukjae?" Appa mengkomentarinya.

Tapi bertemu dengan Hyukkie adalah hal yang tersulit untukku saat ini.

"Bukankah ia harus mempersiapkan pernikahannya atau semacamnya?" Aku mencoba beralasan.

"Justru itu, kau harus membantunya!"

Dan menyiksa diriku sendiri? Tidak terimakasih.

"Aku tidak bisa seenaknya mencampuri persiapan pernikahan seseorang," ujarku lain dari pikiranku tentunya.

"Tapi itu bukan pernikahan 'seseorang'. Itu pernikahan Hyukjae! Yang seolah saudara kembarmu!" Eomma berujar dengan riang.

"Ne, eomma benar, Hae. Kau harus membantuku!"

Aku berbalik mendengar suara di belakangku. Dan disitulah ia, dengan rambut merah-maroonnya yang lembut, dengan vest bergaris, tersenyum menampilkan gusinya.

Sebesar apapun usahaku, aku tidak akan pernah bisa, tidak mencintai senyumannya.

"Oh, annyeong Hyukjae!" Sapa appa.

"Annyeong appa, eomma," sapanya balik.

Ya, kami begitu dekat hingga ia memanggil kedua orang tuaku seolah orang tuanya sendiri. Tetapi aku juga berlaku demikian pada orang tuanya sih. Dan jangan heran jika ia bisa muncul secara acak di rumahku, rumah kami hanya terpisah oleh sebuah jalanan dan ia memiliki duplikat kunci rumahku.

"Kau datang pagi hari ini! Ingin mencuri susu strawberry lagi?" Eomma menggodanya.

"Bukan mencuri namanya jika eomma sengaja membelinya untukku dan memberikannya tanpa merasa keberatan," Hyukkie terkekeh.

Eomma tersenyum dan mengambil satu kotak susu strawberry, memberikannya pada Hyukkie yang tentunya tidak akan menolak.

"Jadi, kenapa kau disini pagi sekali, nak?" Appa bertanya.

"Aku mau menculik putrimu, appa. Aku ingin mengajaknya kencan," ia mengulaskan gummy smilenya.

Biasanya aku akan berbunga-bunga saat ia mengatakannya. Tapi entah mengapa kini terasa sedikit sakit, tau bahwa ia tidak serius mengucapkan kata-kata tersebut. Aku tersenyum paksa dan menepuk lengannya bercanda.

"Menculik seharusnya secara diam-diam, pabbo. Dan berhentilah bergurau seperti itu, kau akan segera menikah!"

Meski wajahku tersenyum, hatiku terluka begitu dalam.

"Jika denganmu, tidak apa-apa."

Entah mengapa aku ingin menangis. Tetapi aku hanya menundukkan wajahku dan menatap apapun selain dirinya. Hyukkie, kau tidak tau betapa kata-kata itu sungguh berarti bagiku. Tetapi meski begitu aku tidak se-spesial itu di hatimu, jadi kumohon berhenti memberiku harapan kosong.

"Ah, aku ingin mengajak Donghae membantuku mempersiapkan pernikahanku, bolehkah?"

Kumohon, Tuhan, bunuh aku sekarang.

Aku seharusnya menerima ajakan Siwon untuk kegereja.

Mungkin dengan itu Tuhan tidak akan mengutukku seperti saat ini.

Atau mungkin bergaul dengan Kyuhyun bukan ide yang baik.

Ke-evil-an nya mungkin membuatku dikutuk.

"Tentu," appa menjawab dengan singkat.

Tanpa kata-kata lebih lanjut, dan aku bahkan tidak dapat memprotes, Hyukkie sudah menggenggam tanganku dan menyeretku keluar rumah setelah pamit pada kedua orangtuaku.

"Ah, Hyukjae-yah!" Aku mendengar eomma memanggil.

Kami berhenti tepat sebelum keluar rumah dan berbalik. Eomma bertukar tatap dengan Hyukkie, seolah membicarakan sesuatu tanpa kata-kata dan sekali lagi aku hanya bisa terdiam tidak mengerti.

"Jaga Donghae, ne?"

"Pasti."

Dan dengan itu kami keluar rumah, Hyukkie masih menarik tanganku. Aku mengangkat sebelah alisku heran tetapi tetap mengikutinya.

"Itu barusan tadi apa?" Tanyaku heran.

"Bukan apa-apa~"

Dan mereka bilang akulah yang aneh dan hyper.

Aku menghela napas.

.

.:Life Couldn't Get Better(Miracle):.

.

"Hey, Hae! Menurutmu yang ini bagaimana?"

Aku menghampirinya dan melihat kearah buket bunga mawar merah di tangannya.

"Hmm… Sebenarnya bagus. Tapi aku tidak tau apa yang calon istrimu suka, kau tau…" Aku menggumam.

Bahkan membicarakan tentang calon istrinya saja membuat hatiku sakit…

"Sayangnya, aku juga. Kalau yang kau suka? Kau tau, sebagai seorang yeoja, mungkin saja sama."

"Aku…? Hmm… Biar kulihat…"

Aku melihat kearah sekeliling toko. Begitu banyak bunga-bungaan di sediap sudut, berbagai jenis dan warna. Kemudian aku melihat kearah bunga lily putih, dan kembali kearah mawar merah di tangannya.

"Sebenarnya aku lebih suka bunga lily daripada mawar, meski kurasa lebih banyak yeoja menyukai bunga mawar. Dan untuk pernikahan, sepertinya lebih baik berwarna putih…" Aku menjelaskan menurut sudut pandangku.

Hyukkie mengangguk dan tersenyum hangat padaku. Kemudian aku melihat bunga berwarna baby blue kecil yang begitu cantik. Aku membungkuk sedikit untuk mengambil bunga kecil itu, tanpa sadar aku tersenyum. Aku menghirup wanginya dan menatapnya.

Cantiknya…

"Kau suka yang itu?" Tanyanya, melongok dari sampingku.

Aku mengangguk, "Ini sangat cantik, bukan begitu?"

Ia mengangguk dan tersenyum, senyuman hangat dan penuh kasih sayang. Betapa aku berharap senyuman itu milikku, dan hanya untukku. Betapa aku berharap akulah alasan kami ada disini memilih bunga-bungaan. Tapi itu hanyalah sebuah harapan. Aku memalingkan wajahku, tidak berani menatapnya atau aku akan semakin merasa sakit.

.

.:Life Couldn't Get Better(Miracle):.

.

Setelah melihat dan memilih bunga, juga ke butik untuk mencoba jasnya, kami pergi ke taman. Memakan es krim sambil duduk di ayunan, persis seperti anak kecil yang sepertinya memang sifat kami. Kami memang anak kecil dalam tubuh dua puluh enam tahun. Seperti biasa, es krim miliknya rasa strawberry dan milikku rasa vanilla. Setelah menghabiskan es krim kami, kami berbincang dengan riang. Dan untuk sesaat, aku lupa bahwa ia akan menikah dan menjauh dariku.

"Ngomong-ngomong… Dari tadi aku bertanya-tanya…" Tiba-tiba ia menggumam.

"Hmm?"

Kemudian ia menatapku, tangannya perlahan terulur ke wajahku. Tangan kirinya menangkup pipiku dengan lembut, mengangkat wajahku untuk menatapnya. Aku tanpa sadar bersemu atas perlakuannya itu.

"Ini…"

Tangan kanannya terulur dan ibu jarinya dengan lembut mengusap bawah mataku, menghapus tumpukan bedak dan concealer yang kugunakan.

"Kenapa kau memakai make-up sebanyak ini?"

"A-Aku… Err… Aku sedang b-berlatih?" Jawabku, terbata dan bodoh.

Ia tertawa pelan, "Berlatih? Baiklah kau tidak perlu menjelaskan… Tapi… Istirahatlah yang cukup, ya?"

Hyukkie mengelap sisa bedak di wajahku dengan tissue. Untungnya kantung mataku sudah hilang sekarang. Kemudian ia mengelus lembut rambutku setelahnya.

Ia tau, saat eomma bahkan tidak menyadarinya.

Ia tau, dan tidak memaksaku untuk mengatakan alasannya.

Ia terlihat khawatir.

Kenapa, Hyukkie? Kenapa kau hanya membuatku semakin mencintaimu…

Kenapa kau begitu perhatian padaku, saat sesungguhnya aku tidak memiliki harapan?

"Hae," panggilnya padaku.

"H-Hah?"

Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya. Sepertinya sekarang aku tidak dapat menyembunyikan kesedihanku dan ia menyadarinya sekilas. Aku segera menyembunyikannya lagi. Ia menghela napas sebelum melihatku tepat di mataku, dalam, dan mulai berbicara.

"Kau tau, setelah ini banyak hal tidak akan sama lagi setelah aku menikah," ujarnya.

Aku tau.

"Kita tidak akan seperti ini lagi,"

Aku tau.

"Dan mungkin… Tidak… Aku yakin kita tidak bisa menjadi sahabat lagi…"

Kumohon… Aku tau kau akan pergi dariku… Tapi jangan katakan hal itu.

Aku tidak sanggup mendengar kata-kata bahwa kau akan pergi dariku.

"A-Aku tau. Semoga kau bahagia, ne Hyukkie! Ah sudah mulai larut! Aku harus pulang sekarang! Annyeong, Hyukkie!"

Aku segera bangkit berdiri, melepaskan tangannya dan berlari menuju rumahku. Aku tidak ingin ia melihat air mataku. Aku tidak peduli jika ia bingung akan sikapku, tapi itu lebih baik daripada ia melihat air mataku. Aku takut ia akan menyadari perasaanku padanya. Aku bergegas memasuki rumah dan langsung mengunci diri di kamarku.

Dan sekali lagi aku tidak dapat membendung emosiku. Tapi kali ini aku berhasil mencapai kasurku sebelum menangis sepuasnya, mengeluarkan jeritan hatiku. Hingga akhirnya tertidur karena rasa lelah. Hari berikutnya pun tidak lebih baik, hanya saja aku tidak memiliki keberanian untuk menemui Hyukkie.

.

.:Life Couldn't Get Better(Miracle):.

.

-wedding day-

Aku terbangun dengan susah payah, saat eommaku menjadi amat bersemangat mengenai hari besar itu. Aku pergi mandi, dan baru saja hendak memakai dress formal yang simple untuk menghadiri pernikahan itu. Tapi tiba-tiba mataku di tutup oleh kain hitam yang halus. Aku hampir berteriak karena panik tapi eomma langsung menyuruhku diam.

Aku dipaksa mengenakan dress yang lain, dan pikiranku berusaha keras memecahkan apa yang sedang terjadi. Tapi karena rasa malas dan stress yang berat, aku hanya menyimpulkan bahwa eomma lagi-lagi sedang bertingkah kekanakan dan ingin aku menggunakan dress yang ia siapkan. Aku hanya berharap itu bukan dress aneh seperti milik putri-putri negri dongeng.

Aku dapat merasakan eomma menata rambutku dan merias wajahku. Aku hanya menghela napas. Ayolah, ini hanya pernikahan Hyukkie jadi mengapa ia begitu bersemangat mendandaniku? Dan mereka bilang akulah yang kekanakan. Setelah ia merasa puas, aku diseret pergi masih dengan penutup itu di mataku.

"Kenapa eomma melakukan ini padaku?" Aku menggumam saat kurasa kita sudah berada di dalam mobil.

Tapi bukan jawaban yang kudapat, melainkan aku mendengar eomma terisak pelan dengan haru. Menggumamkan sesuatu tentang aku sudah dewasa, dan memelukku dari samping. Ia semakin membuatku bingung dengan sikapnya yang begitu aneh dan tak masuk akal.

"Kita sudah sampai!" Aku mendengar suara appa.

"Dan kenapa kalian harus menutup mataku? Bolehkah aku melepasnya?"

"Belum, chagiya. Belum," eomma menjawab.

Kudengar mobil berhenti, dan pintu mobil dibuka. Aku merasa sebuah tangan yang kupercaya sebagai tangan appa menuntunku keluar mobil. Eomma sepertinya ikut di belakang kami, dan aku berjalan dengan agak sulit karena masih belum bisa melihat apapun.

Tiba-tiba appa berhenti, membuatku berhenti juga.

"Kau siap?" Tanya appa.

"Siap untuk apa?" Aku bertanya balik, mulai merasa kesal.

Kemudian aku merasa penutup mataku dibuka. Perlahan kubuka mataku, dan mataku berkedip dengan cepat saat cahaya kembali menusuk mataku.

Hal yang pertama kulihat, adalah karpet merah, altar, dan Hyukkie berdiri di ujung sana, tersenyum dalam jas putihnya menuju ambang pintu gereja, dimana aku sedang berdiri. Tempat ini dihiasi begitu banyak bunga lily putih, dan bunga biru kecil yang kusukai sebelumnya. Juga semua yang kusarankan padanya.

Dan tiba-tiba pikiran itu menghantam otakku.

Aku menunduk melihat diriku sendiri.

Aku mengenakan gaun putih.

Gaun putih, senada dengan jas miliknya.

Apa yang…

"Chagiya, ini hari besarmu. Hari pernikahanmu," appaku berujar.

Oh, jadi ini pernikahanku.

Jadi aku pengantin wanitanya.

Jadi aku yang akan menikahi Hyukkie.

APA?!

"A-aku?"

Suaraku terdengar lebih mirip seperti decitan yang dikeluarkan seekor tikus saat tergilas truk besar. Kepalaku terasa pusing akan segala yang sedang terjadi.

Appa tersenyum, "Lihatlah dia, chagi. Apa kau melihat keraguan di matanya?"

Dan aku melihat kearah Hyukkie. Tidak, sama sekali tidak ada. Ia berdiri tegap, dengan senyuman yang begitu hangat kepadaku. Menungguku dengan sabar. Aku menggeleng pelan, menjawab pertanyaan appaku.

"Apa kau mencintainya?"

Tanpa sadar aku mengangguk.

"Kalau begitu apa lagi yang kau tunggu? Ayo."

Kemudian appa menuntunku berjalan melintasi gereja, diatas karpet merah itu. Aku melihat sekelilingku, dan melihat semua keluarga dan teman-temanku disana. Mereka bersorak riang untukku dan aku tidak bisa tidak tersenyum. Meski masih memproses apa yang sedang terjadi di dalam otakku sambil berjalan.

Ini artinya… Hyukkie juga mencintaiku kan?

Tapi bagaimana mungkin ia tidak pernah mengatakannya padaku? Bagaimana mungkin kami tidak pernah menjalin hubungan, tapi disinilah kami sekarang, disanalah ia menyeretku kedalam sebuah pernikahan.

Tiba-tiba semuanya jadi masuk akal.

Tangisan haru dramatis eomma dan racauannya mengenaiku yang sudah dewasa, ia melepasku untuk menikah.

Kata-katanya pada Hyukkie untuk menjagaku.

Kata-kata Hyukkie bahwa kami tidak akan sama lagi.

Kami tidak bisa lagi menjadi sahabat, karena kami akan menjadi lebih dari itu.

Tapi siapa yang peduli sekarang? Aku tidak ingin terlalu banyak berpikir saat ini.

Yang ku tau adalah, sekarang kami akan menikah.

Ah, aku mulai merasa emosional. Sepertinya air mataku mulai muncul.

Saat itu aku sadar aku sudah sampai. Appa mengangkat tanganku, dan memberikannya pada Hyukkie. Hyukkie dengan lembut menyambut tanganku, dan menautkannya dengan jemari tangannya.

"Ia milikmu sekarang, nak. Jaga dia baik-baik," ujar appa sambil tersenyum.

"Pasti, appa. Jangan khawatir," Hyukkie menjawab dengan penuh keyakinan.

Kemudian appa kembali ke tempatnya. Hyukkie berbalik menghadapku dan tersenyum begitu hangat dengan penuh kasih sayang. Bagaimana mungkin aku tidak menyadari kasih sayang yang selalu ia tunjukkan padaku melalui tatapannya? Itu memang untukku, hanya untukku.

"Bisa kau jelaskan? Karena sungguh, aku mulai sakit kepala sekarang," aku berbisik padanya, tersenyum.

"Aku mencintaimu, dan aku ingin menikahimu. Se-simple itu, Hae," ia balas tersenyum.

"Kau namja gila…" Aku terkekeh.

"Hanya untukmu," balasnya masih tersenyum lembut.

Air mata perlahan mengalir dari mataku. Kali ini, itu adalah air mata bahagia. Ia menghapusnya dengan lembut, dan menuntunku mendekat. Kami berdiri di depan altar bersama.

Tak pernah sekalipun di hidupku, aku berpikir aku akan menikah tanpa pacaran.

Tak pernah sekalipun di hidupku, aku mengira akan di seret ke pernikahanku sendiri.

Tak pernah sekalipun di hidupku, aku berpikir aku tidak akan tau hari pernikahanku sendiri.

Meski begitu disinilah aku, disamping namja yang kucintai.

Yang ternyata juga mencintaiku.

Aku tersenyum sekali lagi pada Hyukkie, mengagumi segala yang ada padanya. Rambut merahnya amat kontras dengan kulitnya yang putih mulus. Matanya yang berkelopak satu, dan garis rahangnya yang tegas. Semuanya akan jadi milikku sebentar lagi. Kami akan terus bersama, untuk sisa hidup kami.

"Kau tau, sebenarnya sakit juga bagiku melihatmu begitu sedih saat aku memberitaumu aku akan menikah, tapi aku menahannya karena lagipula kaulah pengantin wanitanya," ia mengaku.

"Kau menyadarinya?"

"Tentu. Kau tergila-gila padaku," ia menyatakan dengan penuh percaya diri.

"Kau beruntung kau tampan. Jika tidak aku sudah menendangmu dari tadi," aku menggumam sambil tanpa sadar cemberut.

Ia hanya terkekeh dan kami menghadap kearah pendeta yang sudah menunggu kami dengan senyuman.

"Apa kau, Lee Hyukjae, bersedia menerima Park Donghae sebagai istrimu, dan sebagai satu-satunya pasangan hidupmu?"

"Aku bersedia," aku tersenyum saat mendengar ia menjawab dengan ketegasan, tanpa keraguan sedikitpun.

"Declare your vow," sang pendeta melanjutkan.

Hyukjae berbalik kearahku, mengenggam kedua tanganku. Ia mengambil sebuah cincin, cincin perak yang begitu indah dengan permata berbentuk hati berwarna aquamarine tertata diatasnya.

"Park Donghae… Saat pertama aku melihatmu, aku tau aku ingin membagi hidupku denganmu. Kecantikanmu, ketulusan hatimu, seluruh dirimu adalah semua yang bisa ku harapkan. Aku selalu ingin berada bersamamu. Tapi bahkan setelah itu, aku ingin lebih. Aku ingin mendapat kepastian bahwa kau akan terus bersamaku hingga akhir hidupku. Aku bersumpah untuk mencintaimu sepanjang hidupku, menghargaimu, menghormatimu, setia padamu, dan membagi kehidupanku bersamamu…"

Ia berhenti sejenak, memakaikan cincin itu pada jemariku, dan saat itu juga aku meneteskan setetes air mata kebahagiaan.

"This, I promise you, my solemn vow," ia mengakhiri sumpahnya dan menatapku dengan penuh cinta.

Pendeta itu berbalik kearahku, "Apa kau, Park Donghae, bersedia menerima Lee Hyukjae sebagai suamimu, dan sebagai satu-satunya pasangan hidupmu?"

Aku tersenyum, mencoba mencegah air mataku untuk mengalir turun.

"Aku bersedia…" Jawabku cepat.

"Declare your vow."

"Saat aku pertama melihatmu… Sejujurnya, aku bahkan tidak bisa mengingatnya."

Semua tertawa, dan Hyukkie ikut tertawa pelan.

"Tapi sejauh ingatanku, kau selalu menjadi orang yang begitu penyayang yang kucintai. Kau, Hyukkie, yang mencerahkan hariku dengan gummy smilemu itu. Kebaikanmu, kelembutanmu, dan kesempurnaanmu adalah segalanya untukku. Aku juga ingin terus berada disisimu, hingga sisa hidupku. Aku bersumpah untuk mencintaimu sepanjang hidupku, menghargaimu, menghormatimu, setia padamu, dan membagi kehidupanku bersamamu…"

Aku memakaikan cincin pada jemarinya juga.

"This, I promise you, my solemn vow," aku mengakhiri sumpahku dengan senyuman.

"Cincin ini menyimbolkan cinta tiada akhir, dan dengan itu Tuhan akan menyatukan mereka selamanya."

Sang pendeta berhenti sejenak, melakukan beberapa gerakan.

"Aku nyatakan kalian sebagai sepasang suami dan istri. You may kiss the bride…"

Dan dengan itu, Hyukkie mendekat padaku, menghapus jarak diantara bibir kami. Aku menutup mataku dan tersenyum diantara ciuman itu, bisa kurasakan ia juga melakukan hal serupa. Itu adalah ciuman pertama kami, ciuman pernikahan kami, aku merasa amat bahagia. Dan saat itu aku tau, my life couldn't get any better than this… It's indeed, a miracle.

.

-Fin-

.

Kali ini bawa cerita yang super cheesy dan fluffy! The cheesy author is back! xD

Ngomong-ngomong... itu wedding vownya jadi aneh ya kalo bahasa indo... ugh mianhae #bow

Ini bakal jadi mini series. Mungkin 3-4 chapter. Tapi seperti yang dilihat, bisa saling dipisah-pisah jadi ga ngaruh kalau baca cuma 1. Semuanya super fluffy. Pokoknya intinya tentang marriage life ahaha.

Dan aku memakai judul lagu-lagu oppadeul buat setiap part nya. Bahkan judul fanfic secara keseluruhannya juga. Kenapa? Entahlah. Iseng aja #plak

Ngomong-ngomong belakangan aku lagi demen otak atik Sony Vegas Pro 9 (program buat video editing). Jadi aku sekalian nyoba bikin fanfiction trailer. Silahkan dilihat kalau sempat!

www.#youtube.#com/watch?v=CJJUImNjhdE - fantasy

www.#youtube.#com/watch?v=hMeetZboTWM - Innocent Beast!

Masih baru nyoba jadi masih abal mianhae! #bow

Mind to RnR? ^^