Kuroko no Basket (c) Fujimaki Tadatoshi. saya tidak mengambil keuntungan materiil dari pembuatan fanfiksi ini.

.

a/n:

(1) semangat untuk kita semua yang akan menempuh un besok! fanfiksi ini untuk kalian ya. jangan lupa jaga kesehatan, banyak-banyak makan es krim. yah nggak usah dibawa tegang, percayalah bahwa selalu ada anak yang lebih kopong daripada kalian HAHA. (tunjuk diri sendiri) (tendang)

(2) fanfik terpendek saya lel ;v; ceritanya pengen nambah satu tokoh lagi cuma susah nyelipin momennya :') selamat membaca!


Dreary

drear∙y (adj.) dull, bleak, and lifeless; depressing

karena selama ini, tak pernah daiki biarkan bola basket membentur dasar dan memantul tanpa ia tangkap lagi.


Daiki datang ke sekolah pagi-pagi sekali.

Tidak akan ada yang memercayai, pun sebenarnya dia sendiri, bahwa bisa juga rupanya ia bangun tepat pukul empat pagi. Dibukanya gerbang yang tertutup namun tidak terkunci—sekolah memang libur hari ini. Yah, sebenarnya sudah sejak kemarin-kemarin sih, bangunan tua itu tinggal menunggu pelaksanaan wisuda bagi siswa-siswi kelas tiga yang akan datang dalam beberapa hari.

Mengapa ia diam-diam kemari?

Daiki masih terus bertanya-tanya dalam hati. Bahkan sampai langkah kakinya terus meniti. Menuju lapangan dengan dua ring di masing-masing tepian lebarnya yang sunyi ini. Terhenti tepat di hadapan bola basket yang tergeletak begitu saja di dekat kaki—seolah menunggu untuk dihampiri, atau bisa jadi tidak peduli.

.

Barulah ketika—masih tanpa sadar—begitu ia memegang bola basket dengan kedua tangannya … ia yang seperti setengah melamun mula-mula, sejurus kemudian membesarkan bola mata, terlonjak tiba-tiba, langsung ia lepaskan bola oranye di tangannya saat itu juga. Astaga, astaga, astaga! Tadi ia melihat, lalu mendekat, lalu tanpa sadar ia memegangnya, dan … apa, apa, apa?

(Imaji dirinya yang bermain basket dengan cengiran di muka terlintas begitu saja.)

.

Untuk menit selanjutnya, Daiki menunduk.

Lurus menatap bola basket yang dari sudut pandangnya bagaikan objek busuk. Baru saja ia membuat bola itu jatuh mengebuk. Onomatope jatuh di telinganya membuat ia bak dicambuk. Kalau sekarang ia menganggap bola basket bagaikan benda sial pembawa segala yang terburuk, kenapa dengan mengingat apa yang ia lakukan tadi membuat isi perutnya serasa diaduk-aduk?

Giginya bergemeletuk. Masa bodoh dengan harga diri yang menumpuk! Sebelah lututnya menekuk, tak mau ia mengambil dengan membungkuk. Diambilnya, dielusnya, pun ditepuk-tepuk—bagaimanapun juga, yang ditangannya ini semata-mata hanyalah objek lapuk, jadi salah juga ia kalau menjadikannya sebagai pelampiasan mengutuk.

.

"Maaf, aku menjatuhkanmu tadi," begitu bisiknya, "maafkan aku yang hilang kendali ini."

(Karena selama ini, tak pernah Daiki biarkan bola basket membentur dasar dan memantul tanpa ia tangkap lagi.

Tak pernah barang sekali.)

tamat