Kala itu awan hitam tengah menutup langit biru, memayungi bumi dengan gumpalan-gumpalan kelabu. Kala itu langit mendung tengah mengguyurkan airnya, memberi kehidupan untuk organisme-organisme yang tumbuh di atas tanah. Kala itu Levi tengah melindungi tubuhnya dari hujan deras dengan payung sewarna topan, ketika menemukan seonggok manusia yang menyerupai mayat duduk di sebuah pertigaan.

Di tengah guyuran hujan, Levi bertemu seseorang yang dibuang.

Langkah kaki tegap itu sedikit dipercepat. Guyuran air mata langit tidak lagi menghujami tubuh si manusia yang menyerupai mayat ketika Levi mendekat hingga payungnya mampu memberi sebagian perlindungan. Sedikit membungkuk, Levi mendapati suhu dari tubuh yang basah kuyup itu begitu dingin. Tapi tubuh pucat itu sama sekali tidak menggigil. Levi nyaris menganggapnya orang mati jikalau bola matanya tidak menangkap pergerakan kelopak mata lawannya.

Bola kelereng sewarna zamrud –atau emerald, atau bagaimana kau ingin menyebutnya– terbuka bertemu dunia. Levi tidak tahu bahwa sosok di hadapannya ternyata punya bola mata seindah aurora.

Kepala bersurai brownish terangkat. Memandang siapa yang telah menghalau air hujan darinya. Seorang pria bermuka stoic memantul di kedua bola matanya.

"Sedang apa kau disini, nak? Tidak punya tujuan atau tempat berpulang?"

Tidak sadar, eksistensi yang masih terduduk itu langsung menyukai suara bariton yang menyeruak indera pendengarannya.

Potongan rambut undercut merunduk mengikuti si empunya rambut yang menunduk. Sedikit jengah menanti jawaban. Secara tidak langsung Levi memberi uluran tangan. Tidak tahu bahwa yang ditolongnya bukan manusia biasa.


自由


Sepasang sayap putih berbulu yang memancarkan sedikit cahaya –kalau Levi tidak salah lihat– terbentang indah di punggung entitas yang beberapa jam lalu Levi pungut. Baju putihnya yang tadi lusuh dinodai hujan sudah berganti pakaian baru milik tuan rumah. Penghangat ruangan di ruang keluarga yang merangkap ruang tamu menghalau udara dingin dari luar. Sebuah meja kaca rendah berperan sebagai pembatas antara dua sofa kecil yang diduduki Levi dan Eren yang tengah bercerita tentang identitas aslinya.

"Jadi... kau adalah malaikat yang dibuang dari surga?"

Cerita orang –atau makhluk– di depannya mengingatkan Levi dengan kisah Lucifer.

"Anda tidak terkejut?" Selain bola mata yang indah, sang malaikat ternyata juga punya suara yang merdu. Dan reaksi yang diberikan Levi tampaknya di luar ekspektasi si makhluk immortal.

"Tidak juga. Aku yakin dunia ini masih menyimpan banyak rahasia lain. Namamu?"

"Ah, maaf atas ketidaksopanan saya. Nama saya Eren. Eren Jaeger, Sir. Anda?"

"Levi."

"Sir Levi." Sang malaikat yang dipanggil Eren terlihat suka saat melafalkan nama manusia yang menolongnya. "Ano... Sir Levi tinggal sendiri?"

Sebuah anggukan sebagai jawaban. "Kalau kau tidak punya tempat tujuan ataupun tempat berpulang, tolong jangan tinggal disini."

Eh? Jawaban yang bertolak belakang sekali dengan apa yang dipikirkan Eren.

"Aku akan memberikanmu apapun yang kau butuhkan malam ini. Dan kau bisa segera angkat kaki dari sini esok pagi."

Jadi, Eren diusir?

Sayap putih berbulu yang tadi terbentang dilipat, lalu menghilang begitu saja dibalik punggung Eren. "Sir... saya mohon jangan usir saya. Anda sangat mengerti saya tidak tahu harus kemana. Saya akan melakukan dan mengabulkan apapun permintaan anda, tolong ijinkan saya tinggal bersama anda."

Levi mendengus. "Nak, tidak ada yang perlu aku pinta dari malaikat sepertimu. Aku sudah bisa mendapatkan apapun yang aku inginkan dengan usahaku sendiri. Dan lagi, aku sedang tidak ingin terlibat masalah apapun, apalagi yang di luar akal sehat manusia seperti ini."

Eren sudah menduga manusia di depannya ini masih sulit untuk menerima kenyataan bahwa ia adalah malaikat. Siapa pula yang begitu saja percaya pada seseorang mirip mayat yang kau pungut di bawah hujan deras dan tiba-tiba mengaku bahwa ia bukan manusia? Tapi bukan Eren namanya kalau menyerah begitu saja. Otaknya berputar memikirkan apapun untuk membujuk tuan rumah di hadapannya ini agar mau menampung Eren.

Levi bangkit dari duduknya, berbalik hendak menuju dapur. "Katakan, apa malaikat memakan makanan manusia?"

"Kuharap kau mau menarik ucapanmu, Sir."

Sebuah rengkuhan mendarat di kedua bahu Levi. Jilatan sensual mengelus cuping telinga kirinya.

Bola mata Levi membulat. Ada sosok lain di apartemennya?

Spontan, Levi melompat mundur, waspada. Sepasang tangan yang merengkuh bahunya otomatis terlepas. Sedang pemuda yang lepas dari rengkuhan terkejut bahwa yang ditemuinya masih sesosok makhluk yang mengaku namanya Eren Jaeger. Begitu manik obsidiannya menelusur, Levi tidak menemukan warna zamrud pada dua netra Eren. Sebagai gantinya, sepasang kelereng gold yang memantulkan bayangannya.

"Apa? Siapa kau?"

Yang ditanya tersenyum lebar. "Eren Jaeger, Sir. Bukankah aku sudah menyebutkan namaku?"

Levi menyipit. Selain mimik wajahnya, Levi yakin ada yang berubah dengan cara bicaranya.

Sementara Levi berpikir, Eren mendekati tubuh yang 10 senti lebih pendek darinya itu. Sebelah tangannya terangkat, mengunci dagu si tuan rumah yang masih dalam posisi awas. Onyx tenggelam dalam gold. Sayap yang tadi telah disembunyikan rapi di balik punggung kini kembali terbentang. Menampilkan sepasang warna yang berbeda, hitam dan putih.

"Aku akan tinggal bersamamu. Aku akan memberimu apapun yang aku punya, apapun yang kau pinta. Termasuk rengkuhan dan pelayanan yang kau butuhkan, sebanyak apapun. Khusus hanya untukmu, Sir Levi."

Bola mata yang lebih gelap berkilat, sedang yang lebih terang makin bersinar. Suara merdunya masih sama, yang ini lebih intens. Sayap hitam putih ikut merengkuh Levi yang tanpa sadar menurunkan tingkat kewaspadaannya, melingkupi dua tubuh yang nyaris tiada jarak. Bibir yang lebih tinggi maju, seolah tersedot oleh keberadaan bibir lain bagai magnet.

Namun tiba-tiba bola mata Eren membulat. Warna gold yang bersinar berangsur digantikan oleh hijau menenangkan. Warna hitam pada sayap kanan Eren perlahan berubah warna kembali menjadi putih, dari pangkal hingga ujung.

"Eren?" Satu panggilan menuntut penjelasan. Dekapan pada tubuhnya terlepas segera. Sayap yang tadi kokoh terbentang kini melemah seperti kain basah.

"Ma-maafkan saya," Pemuda non-human memasang ekspresi bersalah. Sayap lemah kembali dilipat dan menghilang untuk kedua kalinya.

"Apa maksudnya tadi itu. Kau punya bakat akting, huh? Mau menipuku?"

"Bukan, Sir," Sebulir keringat mengalir menuruni pipi.

"Lalu?"

Tatapan Eren menyendu. "Alasan saya dibuang dari surga, Sir... Saya punya kepribadian lain. Dan saya... masih belum bisa mengendalikannya."

"Oh." Sedikit banyak Levi paham jalan ceritanya. Bibir yang hampir sepanjang waktu melengkung ke bawah kini terangkat beberapa mili, membentuk seringai tipis. "Kupikir kali ini kau harus berterima kasih pada pribadimu yang lain itu, nak."

"Eh?"

"Aku merubah pikiranku. Aku bersedia menampungmu, bocah. Mari kita bicarakan peraturan selama kau tinggal di apartemenku."

.

.

.

JIYUU

Shingeki no Kyojin Hajime Isayama

Supranatural!AU, IblisMalaikat!AU

Levi x Eren, slight Eren x Levi

[1/2]

.

.

.

Pagi hari, agaknya Levi belum terbiasa mendengar dentingan alat makan yang bukan berasal dari tangannya. Koran harian terbentang menutupi pandangannya dari pemilik manik klorofil yang sedang makan seperti anak SD di seberangnya.

"Sir Levi tidak makan?" Eren yang masih menikmati makan paginya heran melihat hanya ada secangkir teh hitam di hadapan Levi.

Koran yang seolah menjadi pembatas antara dua kepala yang duduk di meja makan diturunkan, menampilkan wajah yang menyorotkan ekspresi bawaan seperti biasa –membosankan. Cangkir bercorak daun maple diangkat pada bagian mulutnya, diseruput isinya oleh bibir yang jarang digunakan tersenyum apalagi tertawa.

"Bagiku ini sudah cukup." Satu kalimat penjelas dilontarkan ketika cangkir dikembalikan diatas tatakannya. Kepala Levi mendongak, melihat waktu yang ditunjukkan jam dinding bundar berwarna hitam.

Tanpa berkata-kata, Levi berdiri sambil membawa cangkirnya ke bak cuci piring. Eren bisa melihatnya dari balik minibar dapur.

"Anda sudah mau pergi?"

"Ada jam mengajar pagi ini." Kembali ke ruang makan, si tuan rumah yang merangkap asisten dosen memperhatikan cara makan Eren yang agak diluar normal –kalau tidak ingin dibilang berantakan. "Hei, Eren. Bagaimana kau bisa mendapat dua kepribadian itu?"

Tangan yang memegang sendok dan garpu sempat terhenti di udara. Kemudian kembali bergerak dengan tempo yang lebih lambat dari sebelumnya. "Kutukan iblis, Sir." Mata hijaunya berkilat menandakan bahwa ia begitu benci menyebut makhluk yang dinamakan iblis.

Eren menandaskan makan paginya. Disitu Levi membuat catatan di kepalanya bahwa malaikat ternyata juga makan seperti manusia pada umumnya.

"Mereka menyebut saya... malaikat yang rusak. Karena itu saya yang rusak ini tidak layak lagi menghuni surga dan diusir ke dunia manusia."

"Mengapa rusak?"

Segelas air mineral di meja makan ditenggak. Bibir yang basah diusap dengan punggung telapak tangan. "Karena kepribadian saya bertolak belakang dengan sifat seorang malaikat seharusnya."

"Berapa usiamu?"

"Eh... entahlah, saya tidak pernah menghitung berapa tahun saya hidup. Tapi anda boleh menganggap berapapun usia saya jika diukur dari sudut pandang manusia."

Setelah itu Levi tak berkomentar apapun. Menyudahi wawancara dadakannya, jas dan tasnya yang tergeletak di kursi meja makan disambar. Kakinya dibawa menuju pintu depan.

"Aku pergi sekarang, bocah. Kau bebas melakukan apapun yang kau mau asalkan jangan mengotori apartemenku."


自由


Awalnya Levi hanya membuka pintu apartemennya tanpa mengucap apapun seperti biasanya. Namun mengingat kemarin ia baru saja memungut anak orang –anak malaikat, sih–, yang berarti kini apartemennya tidak hanya dihuninya seorang, mau tidak mau Levi harus mengucapkan sapaan yang sudah lama tidak diucapkannya.

"Tadaima."

Sebuah kepala melongok dari sofa panjang yang menghadap televisi, membelakangi arah dimana Levi masuk. "Oh, Sir Levi sudah pulang?"

"Levi saja." Dan kalau Eren mau memperhatikan dengan seksama, kedua alis Levi sedikit mengerut. "Harusnya kau menjawab minimal 'okaeri'. Karena kau sekarang hidup di dunia manusia, pelajarilah sopan-santun di dunia ini, bocah."

Eren yang tadinya berbaring di sofa beranjak duduk. Bola matanya yang lebar mengikuti Levi yang tengah berjalan menuju kamarnya. "Baik, Levi-san."

Beberapa menit kemudian, Levi keluar dari kamarnya dengan kaus putih dan celana santai panjang warna putih membalut tubuh tegapnya. Obsidiannya melotot horor ketika mendapati keadaan dapur apartemennya yang mengenaskan.

Eren yang masih asyik menonton televisi seketika merasa nyawanya terhisap kala sebuah tangan mencengkeram surai brownish berikut kepalanya, menyeret tubuh yang lebih tinggi ke arah dapur. Cengkeraman tangan setan berwujud manusia itu meresap bahkan terasa sampai tulang tengkorak si malaikat Jaeger.

"Kau yang bertanggung jawab atas ini semua, bocah."

Uh oh, Eren tidak tahu bahwa reaksi Levi diluar dugaannya. Semurka itukah asisten dosen yang tingginya bahkan tidak melebihi gantungan baju dibalik pintu ketika tahu bahwa satu-satunya eksistensi selain Levi lah tersangka yang sudah menghancurkan separuh dapurnya.

"Kupingmu yang berlumut atau sengaja kau biakkan jamur disana untuk tidak mendengarkan apa pesanku sebelum aku pergi?"

"Ta-tapi saya sudah membersihkannya tadi, Levi-san."

Levi berjongkok dan mencolek jejak saus yang tertinggal di sudut bawah kompor, mencorengkannya di dahi terdakwa.

"Itukah yang kau sebut bersih? Atau kutukan di dalam dirimu membuatmu berubah menjadi malaikat sampah?"

"Ba-baik, saya akan membersihkan ulang." Meski Eren makhluk immortal, entah kenapa ketakutannya pada manusia jejadian yang menampungnya ini tak bisa dibohongi. Dapur yang tadi habis digunakannya untuk memasak makan siang beserta makan malamnya jujur saja memang tak tanggung-tanggung hancurnya.

"Oi, Eren."

Yang dipanggil menoleh, sedikit takut-takut.

"Kau pergi lagi malam ini?"

Bahu yang tadinya tegang kini melunak mendengar pertanyaan biasa, bukan pembantaian telinga.

"Ya." Jawaban disertai anggukan. "Sir Levi tidak ingin ikut?"

Levi langsung mengenali siapa yang baru saja melontarkan pertanyaan padanya. Eren bermata hijau tidak akan lagi memanggilnya 'Sir'. Sebuah rengkuhan di bahu sudah mendarat di belakang Levi sebelum pria itu menolehkan kepalanya.

"Akan kutunjukkan pemandangan kota yang indah dari atas, Sir Levi."

Kepala bersurai brownish ditenggelamkan di perpotongan bahu dan leher. Levi dapat merasakan si Eren emas tersenyum lebar. Ekspresi Levi masih tenang meski kini bahunya dijilat dan diciumi. Sebelah tangannya dengan berani menelusup di balik kaus putih, merasakan bentuk perut si pemuda ebony.

Puas menghirup aroma si tuan rumah, tangan Eren yang bebas merambat ke pipi Levi. Dengan tarikan pelan, wajah yang selalu tajam di pandangan itu dihadapkan pada sepasang kelereng goldnya. Senyum yang sudah lebar terlihat makin melebar. Sebelum mendekat lebih jauh lagi, Eren bisa merasakan sebuah telapak tangan lain menahan bibirnya.

"Menjauh dariku, bocah."

Tangan yang masih terangkat dijilat jarinya. "Kenapa, Sir Levi? Kau punya pacar?"

"Bukan urusanmu."

"Ayolah, Sir. Biarkan aku mencicipi bibir yang menggoda itu. Aku belum pernah bertemu manusia yang setampan Sir Levi. Meski dengan porsi yang sebegini mungil, sih."

Si bocah mesum ini bermaksud memuji atau menghina?

Sensitif dengan kata 'mungil' dan sebangsanya, sebuah perempatan muncul di keningnya. "Sebaiknya kau segera selesaikan acara bersih-bersih dapurku, nak."

"Ah."

Sebuah pekikan kecil berhasil membuat Levi mendongak. Sepasang gold sudah lenyap. Senyum yang tadi terkembang kini menukik ke bawah dengan sedikit gelombang.

"Ma-maafkan saya, Levi-san..."

Tubuh jangkung Eren langsung dibawa melesat kembali ke dapur. Meninggalkan Levi yang masih berdiri terpaku.

Levi mendengus singkat. Sebelum menutup pintu kamar, lirikan tajam dilayangkan pada Eren yang masih dalam jangkauan penglihatannya. "Kau boleh keluar jika dapurku sudah kembali seperti semula." Kemudian diikuti jeblakan pintu kamar yang menutup diri dari dunia luar.

Eren lekas membereskan hasil karyanya menciptakan kekacauan di dapur orang secepat kilat. Begitu mampu melihat aura bling-bling imajiner menghiasi dapur Levi, segala atribut bersih-bersihnya segera disimpan ke tempatnya semula.

Kepikiran saat ia menggoda Levi tadi, sedikit banyak Eren mulai mengurangi kadar kebenciannya terhadap sifatnya yang lain. Kalau tidak karena entah apa yang membuatnya masih ingin bersama si tuan rumah dan Levi yang berubah pikiran akibat sifat hasil kutukan itu, Eren pasti lebih memilih lenyap ketimbang hidup dengan aib yang melekat.

Kaki jenjang Eren yang tak beralas apapun merangkak menaiki jendela kaca yang tak dikunci. Ia sempatkan melirik jam dinding hitam yang bertengger di atas televisi. Sayap putih yang selama ini tersembunyi rapi entah dimana terbentang dibalik punggung Eren. Dalam satu hentakan sebelah kakinya, tubuhnya melayang di udara mengabaikan gravitasi bumi.

Peraturan pertama yang Levi canangkan adalah dilarang mengganggu bahkan membuka pintu kamarnya saat jam tidur di malam hari.

Eren tak tahu serentan apa tubuh manusia. Ia tak bisa membayangkan selelah apa si Levi yang pulang setelah nyaris seharian di kampus. Tak mau jantungnya berdegup sia-sia akibat kena amukan, lebih baik Eren menurutinya saja.

Ketika Levi mulai mengunci diri di kamar pada malam hari, Eren akan terbang keluar memantau kota dari atas. Mungkin lebih tepatnya mencari hiburan sendiri.

Angin malam menampar-nampar wajah Eren dengan kurang ajarnya. Eren sendiri tak terlalu peduli. Toh, sedingin atau sepanas apapun cuaca takkan bisa membunuhnya. Eren terbang merendah, hingga kemudian hinggap di sebuah atap sekolah. Nampaknya Levi lupa memberitahu nama kota yang mereka tinggali saat ini. Tapi yang penting Eren tidak membenci pemandangan yang bisa ia lihat dari atas sini.

TAP.

Kepala Eren berputar secepat kilat begitu telinganya menangkap sebuah langkah kaki dibelakangnya. Menoleh kesana kemari, namun nihil tak menemukan yang ia cari.

Ada yang mengikutinya?

Sayap yang masih terbentang lebar dilipat dan disembunyikan. Kaki jenjang tak beralas dibawa berputar di sekitar atap. Eren yakin tadi telinganya menangkap langkah kaki, begitu halus dan tenang, seolah sengaja dipelankan agar tak terdengar. Sayang sepertinya penguntit itu tidak tahu bahwa Eren bisa punya pendengaran setajam kelinci.

Namun sayang Eren tak dapat menemukan si penguntit. Entah si penguntit yang terlalu pandai menyembunyikan diri atau Eren yang kurang pintar mencari.

Eren membentangkan sayapnya lagi dan terbang ke atap sekolah lainnya. Kali ini sayapnya langsung disembunyikan, telinganya dipertajam. Sayang beberapa menit terlewat tanpa ada kejanggalan.

Mungkin Eren sendiri yang terlalu parno. Mungkin saja tadi adalah langkah kaki maling di kejauhan yang tidak disengaja tertangkap indra pendengarannya. Mengendikkan bahu, optimis dengan opini di kepalanya, Eren kembali menikmati pemandangan kota malam hari.


自由


Peraturan kedua Levi adalah Eren dilarang memasak sesuatu untuk Levi.

Berhari-hari menahan hasrat ingin memasak untuk sang penolong rupanya tak bisa Eren bendung lagi. Pagi itu, Eren diam-diam memasak sarapan di hari libur Levi. Beberapa sajian dari makanan pembuka hingga penutup kesukaan Eren terhidang di meja. Eren tak pernah tahu makanan kesukaan Levi. Eren bahkan nyaris tidak pernah makan bersama si pemuda alis berkerut itu. Pasalnya, satu-satunya waktu dimana mereka bisa duduk di satu meja makan yang sama hanya di pagi hari dan Levi selalu hanya bercumbu dengan teh hitam. Eren tak tahu sesibuk apa pekerjaan yang banyak menyita waktu Levi-san itu.

"Le...Levi-san, aku memasak sarapan untuk anda pagi ini," percaya diri dengan sembilan nyawa yang dia punya, Eren mengetuk pintu kamar Levi.

BRAK.

Satu debaman pintu kamar Levi dan Eren nyaris melompat ke atas meja hendak mendesis seperti kucing yang terancam.

"Hoo... kau sudah bosan hidup denganku, bocah?"

Eren tahu betul konsekuensi apa yang akan diterimanya bila melanggar satu saja peraturan sang tuan rumah. Tapi Eren terlanjur niat sepenuh hati untuk sarapan bersama Levi-san pagi itu.

"Bukankah aku sudah bilang–"

"Saya tahu Levi-san, saya tahu!" Eren keburu memotong. Eren sadar sudah melakukan pertaruhan besar sudah menyela bicara sosok yang berdiri di depannya dengan tangan menyilang di depan dada. "Tapi, izinkan sehari ini saja saya memasak sarapan untuk Levi-san. Sehari ini saja. Setidaknya anda perlu makan dengan sewajarnya untuk menjaga kesehatan tubuh anda."

Levi tampak menimang-nimang. Hingga kemudian sebuah helaan nafas pasrah meluncur dari bibir tipis Levi.

"Baiklah, sekali ini saja."

Eren tak kuasa menahan tangis bahagianya yang segera menjadi tempat landasan sekotak tisu dari tangan Levi. Serentetan kalimat 'Bersihkan ingusmu, aku tidak mau makanannya terkontaminasi' tercetak jelas di kedua onyx Levi.

Segera setelah Levi duduk di meja makan, Eren menyusul.

"Itadakimasu~"

Sesuap omelet dilahap Levi. Eren memperhatikan dengan was-was. Sedikit banyak ia yakin tidak ada yang salah dengan omeletnya pagi itu. Dalam pengalamannya masak berhari-hari di apartemen Levi, Eren selalu meracik resep dan bumbu apa yang terlintas di otaknya demi membuat makanannya semakin baik.

"Ba-bagaimana?" Tidak sabar menunggu komentar, Eren menyuarakan pikirannya.

"Hn... Tidak buruk."

Jawaban yang mirip gumaman tuan rumah membentuk seulas senyum senang di wajah Eren. Syukurlah kalau si Levi-san menyukainya. Pagi itu, Eren merasakan sarapan yang paling menyenangkan selama dua minggu tinggal di apartemen sederhana namun nyaman.

Eren menyodorkan botol berisi liquid kental berwarna merah. "Ini sausnya, Levi-san."

Levi menerima dalam diam. Bermaksud menorehkan saus sebanyak bumbu dapur itu menghiasi piring Eren, nyatanya genggaman tangannya terlalu keras hingga nyaris seluruh permukaan omeletnya kini tertutup saus.

Takut-takut Eren membuka mulutnya. "Err, itu saus pedas, Levi-san. Apa anda suka pedas?"

Sesuap omelet yang nyaris menyerupai gumpalan saus dilahap. "Hn... tidak apa."

Eren mangap. "Jangan-jangan Levi-san itu... punya lidah mati rasa?"

Suapan ketiga kembali dilahap. "Kau boleh menganggapnya begitu."

Oh, jadi itukah alasan kenapa Levi membuat peraturan kedua itu?

.

.

.

BRAK!

Levi dan Eren sedang mencuci piring ketika keduanya mendengar sesuatu menghantam jendela kaca Levi, jendela yang biasanya menjadi pintu keluar Eren ketika malam hari ia dicampakkan si tuan rumah.

"Bi-biar saya yang periksa."

Eren membasuh tangannya yang dipenuhi busa sabun sebelum beranjak keluar dari dapur. Levi yang masih asyik mencuci piring kembali dikejutkan dengan suara teriakan Eren.

Levi bergegas menuju sumber suara. Awas saja kalau si malaikat serampangan itu memecahkan barang lagi, Levi tidak akan tanggung-tanggung mengeluarkan petuah mengerikan meski akan menimbulkan korban.

"Le...Le...Levi-san... ada seseorang yang mengerikan di luar jendela," Eren terbata-bata sambil menunjuk-nunjuk jendela.

Levi menoleh. Sebuah wajah berkacamata menempel pada kaca jendela lengkap dengan raut horornya.

"Hanji."

Yang disebut namanya tersenyum kemudian. Namun senyum manisnya sama sekali tak bisa menghilangkan tatapan yang lebih horor yang berasal dari pemilik kamar apartemen yang ditabraknya.

"Yo, Levi!"

Sapaan ceria dibalas tendangan tepat di muka.

"Le-Levi-san! Di-dia perempuan!"

"Ya. Perempuan gila."

Begitu perempuan yang dipanggil Hanji melompat masuk, Eren melongokkan kepalanya keluar jendela. Berharap menemukan tali atau alat apapun yang digunakan perempuan itu untuk masuk ke kamar apartemen Levi. Tapi nihil, dinding gedung bersih dari benda apapun selain jendela kamar lain. "Bu-bukankah ini lantai 11? Bagaimana anda..."

"Namaku Hanji Zoe," pertanyaan Eren disela, senyum ceria masih terkembang. "Aku dewa kematian."

Begitu kata 'dewa kematian' terucap, sebilah sabit yang ukurannya lebih besar dari Hanji muncul tergantung rantai emas di balik punggungnya.

"Dewa kematian? Apa anda akan menjemput Levi-san?"

Pertanyaan polos dibalas ledakan tawa.

"Ahahaha... Aku akan menjemputmu katanya, hahaha!" Entitas satu-satunya yang berbeda jenis kelamin memukul-mukul punggung Levi sebagai pelampiasan rasa bahagia yang berlebihan.

"Hentikan, Hanji," yang namanya disebut berusaha mengerem tawa dengan sebelah tangan. "Kalau kau datang hanya untuk menertawakanku, lebih baik kau tertawa saja bersama si alis tebal sialan itu."

Eren menatap hubungan dua makhluk di depannya dengan tampang bloon.

"Kid, tidakkah kau perhatikan dia memanggil namaku bahkan sebelum aku memperkenalkan diri padamu?" Hanji memberi clue, sepenuhnya belum bisa menghentikan tawanya.

"Eh? Jadi... kalian berteman? Atau kalian terikat kontrak?"

Jadi begitu, alasan mengapa si Levi-san tidak terkejut ketika pertama kali Eren memperkenalkan diri sebagai malaikat, adalah karena sebelumnya ia sudah berteman dengan sang dewa kematian, makhluk immortal sepertinya.

"Hahaha, bisa-bisa aku mati muda bila mengikat kontrak dengan Levi. Aku masih mencintai pekerjaanku sebagai dewa kematian. Jika belum terlambat, kau juga sebaiknya tidak mengikat kontrak dengannya, Eren," Hanji menangkap kernyitan di dahi sang malaikat begitu namanya disebut. "Levi sudah cerita tentang malaikat bernama Eren Jaeger yang dipungutnya di dunia manusia. Hari ini aku datang karena penasaran makhluk seperti apa yang sudah membuat Levi yang seperti ini tertarik."

"Apa maksudmu dengan 'yang seperti ini', kacamata sialan."

"Katakan, Eren," Hanji melangkah maju mendekati Eren. Suara bariton dari orang terpendek disana tak dihiraukan. "Katanya kau punya dua kepribadian?"

"Uhh, y-ya, begitulah..." Eren tak biasa ditatap sedemikian dekat oleh makhluk lain.

"Bisa kau tunjukkan padaku sekarang?"

Yang dipelototi sang dewa kematian terlihat gelagapan. "E-eh, maaf Hanji-san, aku bahkan tidak bisa mengendalikan kemunculan kepribadianku yang satunya."

"Jadi, dirimu yang lain muncul secara tiba-tiba bukan atas dasar keinginanmu?"

Anggukan sekali memberi jawaban pasti.

"Haha, menarik," Hanji berbalik, sabit yang menggantung di punggungnya menggores pipi Eren. "Oh, maafkan aku. Aku lupa sabitku juga bisa melukaimu," wajah bersalah disajikan, sebelah tangan Hanji mengusap sebuah garis hasil karya senjatanya.

"Tidak apa, Hanji-san. Luka seperti ini tidak akan membunuhku," tangan Hanji yang merambati pipi kiri Eren tidak ditepis.

"Oi."

Keberadaan Levi yang sempat terlupakan menginterupsi.

"Sebaiknya kau membersihkan kaca jendelaku dimana masih tercetak wajah menjijikkanmu disana, kacamata sialan."

"He~, Sir Levi cemburu, ya?"

Dua tatapan yang berkebalikan dilayangkan pada sumber suara. Yang satu antusias yang lain berkerut tajam. Senyum yang tidak kalah lebar dengan Hanji terpampang, membuat si pemilik suara intens terlihat makin tampan. Hanji sampai tidak sadar kedua tangannya menggenggam tangan kanan Levi saking terpukaunya.

"Oh~ inikah si Eren yang lain?"

Begitu genggaman tangannya ditepis, Hanji langsung berganti menggenggam tangan milik Eren. "Aku yakin akan menyukai dirimu yang ini, Eren emas!"

.

.

.

Melihat sekelebat bayangan bersayap hitam putih keluar, melesat pergi, dari kamar apartemen yang sedari tadi diperhatikannya, Hanji melompat mendekati jendela kaca yang masih terbuka lebar.

Tanpa rasa bersalah, sang dewa kematian melesak masuk begitu saja. Rambut ungunya yang sudah gelap membaur dengan keremangan membuat sosoknya makin tersembunyi di ruangan tertutup itu. Kakinya melangkah membawa tubuhnya ke hadapan salah satu pintu dimana ada eksistensi lain di dalamnya.

"Levi."

Bibir yang suka sekali mengeluarkan tawa itu menyebut nama. Tak peduli ia menggemakan suara di dalam ruangan yang sudah sepi. Toh, dari awal ia tak bermaksud menyembunyikan diri.

Pintu di depan hidung Hanji terbuka, menampilkan pria ebony dengan tinggi di bawah rata-rata. Alisnya menukik seperti biasa. Sebelah tangan masih memegang gagang pintu dan sebelah lainnya dimasukkan dalam saku.

"Yang baru saja pergi adalah Eren emas, lho. Kau tidak penasaran apa yang dilakukannya malam-malam begini terbang di atas kota, Sir Levi?"

"Melihat pemandangan kota seperti biasa mungkin. Langsung saja, Hanji," Sebuah kikikan yang menggema hanya mendapat tatapan dingin dari pemilik kamar apartemen.

Hanji mengangkat tangan kanannya yang menggenggam beberapa lembar film. "Aku sudah mendapatkan sedikit memory record milik Eren."

.

.

.

"Dikutuk oleh iblis bernama Grisha. Grisha mencintai malaikat bernama Carla. Namun karena cinta iblis dan malaikat adalah tabu, Carla menolak Grisha. Grisha yang marah memberi kutukan, tetapi yang terkena imbasnya adalah si malaikat junior dibawah bimbingan Carla, yaitu Eren."

Levi yang bersilang dada menyimak dengan seksama. "Oh, dengan begitu si Grisha itu bisa kembali membujuk Carla untuk mau menerima cinta bodohnya?"

Lawan bicara yang ditanya hanya mengangkat bahu sambil tersenyum simpul. "Siapa yang tahu?"

Levi menyandarkan punggung di sofa panjangnya. Ia teringat bagaimana sabit Hanji menggores pipi Eren dan menyebabkan beberapa lembar film di tangan Hanji keluar dari sana.

Memory record. Salah satu keistimewaan dewa kematian adalah mereka bisa membaca masa lalu. Cukup menggoreskan atau menusuk sabit mereka pada objek maka film berisi kilasan kehidupan mereka akan muncul dari luka. Para dewa kematian menyebutnya memory record. Semakin besar goresan, semakin lama jangka waktu yang bisa dilihat di masa lalu.

"Hei Hanji, apa yang terjadi kalau iblis dan malaikat memadu kasih?"

Senyum yang biasa tersungging memudar perlahan. Tampang serius kini terpajang di wajah sang dewa kematian. "Biasanya malaikat, iblis, atau bahkan dewa kematian sekalipun, akan dibuang dari langit ketika mereka dianggap rusak. Seperti Eren. Hanya dibuang. Status mereka sebagai makhluk langit masih ada. Tapi hubungan diantara ketiga makhluk tersebut adalah tabu. Jika diantara mereka berciuman..." Hanji sengaja menggantungkan kalimatnya. Kacamata yang tak merosot dinaikkan. "Katanya mereka akan dilenyapkan."

"Dilenyapkan? Oleh siapa?"

"Entahlah. Aku hanya dengar-dengar saja. Tapi temanku pernah bercerita bahwa kenalannya jatuh cinta pada iblis. Begitu mereka berciuman, mereka lenyap begitu saja. Seperti abu."

"Hm. Penghabisan di tempat, ya."

Sang dewa kematian beranjak berdiri dari duduknya. Sofa empuk yang habis tergencet kembali ke bentuknya semula. "Sudah, kan? Aku dipanggil, nih. Kau hanya memintaku menelusup sedikit ke masa lalu Eren, bukan? Kupikir kau akan minta tolong apa, ternyata hal mudah begini. Aku berharap sesuatu yang lebih menantang, sih."

"Terima kasih infonya, Hanji."

"Eh? Levi berterima kasih? Aku tidak salah dengar, nih? Jangan-jangan bakal ada bencana sebentar lagi," sebuah tawa menggema.

"Cih. Apa maksudmu, kacamata sialan?"

Senyum khas Hanji terkembang. "Sepertinya Eren sedikit merubah suasana disini, ya?"

Hanji melompat menuju jendela kaca yang masih terbuka lebar, menghantarkan angin malam yang sama sekali tak mengusik dua makhluk di dalam ruangan. "Oh ya, kau tau, kan, malaikat bisa melihat masa depan. Jangan sampai Eren melihat masa depanmu, Levi. Sekalipun kemampuan itu hanya berlaku pada manusia." Dan detik berikutnya Hanji melompat menembus malam, meninggalkan entitas yang masih menatap pemandangan langit malam dari jendela.

"Aku tahu itu, dewa kematian sialan."


自由


Dua makhluk yang berbeda duduk bersisian. Yang satu menonton televisi, yang satu membaca buku.

"Ne, Levi-san. Tahukah anda, malaikat bisa melihat kilasan masa depan manusia, lho."

Sebelah alis Levi terangkat. Apa pula ini, baru kemarin ia dan dewa kematian berkacamata itu membicarakan kemampuan malaikat yang bisa melihat masa depan. Sekarang, bocah di sampingnya ini sudah mengangkat topik serupa?

"Oh."

"Kami hanya perlu menatap mata manusia beberapa detik seolah kami menenggelamkan diri di dalamnya."

"Begitukah."

"Aku penasaran bagaimana rasanya tenggelam di bola mata Levi-san yang indah itu."

Satu halaman buku dibalik. "Kalau kau ingin membaca masa depanku, tidak terima kasih. Aku sama sekali tidak tertarik. Aku sendiri yang menentukan bagaimana masa depanku nantinya."

Mulut yang berusaha menampilkan senyum kini memberengut. Terlintas suatu pertanyaan yang selama ini dipendamnya.

"Kau tidak ingin mengikat kontrak denganku, Levi-san? Itu lebih memudahkanku untuk membantumu dimanapun dan kapanpun. Kau hanya tinggal memanggilku dan aku akan muncul dimanapun anda berada."

"Tidak, bocah. Kudengar kalau manusia mengikat kontrak dengan malaikat, bayaran yang harus diberikan adalah masa depan. Sudah kubilang aku sendiri yang akan menentukan masa depanku. Selain itu, aku lebih suka hubungan majikan dan peliharaan daripada pengontrak dan yang dikontrak."

Satu serangan telak berhasil membuat Eren bungkam.

Levi masih tenggelam dalam bacaannya sampai ia dikejutkan oleh sebuah rengkuhan tiba-tiba. Namun siapa sangka bahwa kini sebelah tangannya berhasil terangkat sebelum rengkuhan itu mencapai pundaknya.

"Wah, responmu cepat sekali," Senyum manis yang sudah Levi kenal selama hampir dua bulan ini masih sama. "Jujur saja aku tidak terima dipanggil peliharaan olehmu. Dan ayolah Sir Levi, ijinkan aku sekali ini saja tenggelam dalam orbs hitam memukau itu."

"Cih. Suka merayu seperti biasa. Kau pikir kau ini malaikat pelacur?"

"Eh~ aku lebih tidak menyukai sebutan itu, Sir."

Di detik berikutnya pergulatan terjadi. Jujur saja Levi mengakui Eren emas memiliki fisik yang jauh berbeda dengan Eren hijau. Hanya dalam beberapa menit saja, tubuhnya sudah berada di bawah kungkungan si malaikat yang lebih menjulang dari tubuhnya.

Dengan sigap, Levi menutup mata sebagai bentuk antisipasi. Ia bisa merasakan kedua tangannya ditahan di samping tubuhnya dengan telapak tangan milik pemuda di atasnya.

"Sir Levi..."

Tak sadar, Levi melebarkan kelopak mata yang menyembunyikan kedua netranya. Suara yang memanggilnya barusan seolah punya efek hipnotis. Lembut. Intens. Menggoda.

Begitu manik obsidiannya terbuka, atensinya seolah dirampas sepenuhnya oleh sepasang gold yang tak pernah kehilangan cahayanya. Beberapa detik manik emas memandang penuh percaya diri. Siapa sangka bahwa kemudian ia memandang heran.

"Aneh. Aku tidak dapat melihat apapun di matamu, Sir Levi."

Kungkungan masih tidak ingin dilepaskan. Baik Eren maupun Levi diam-diam tidak membenci posisi ini.

"Kau ini... sebenarnya apa?"

.

.

.

.

.


Ahh... saya tahu chapter ini pendek banget. Doakan saja chapter depan bisa lebih panjang haha.

Sebelumnya sempet ragu mau publish ini fic apa nggak. Tapi sayang juga kalo dikubur ditumpukan folder yang bakal ditumbuhi sarang laba-laba /nggak/

Sudah dari rencana awal cerita ini hanya akan saya buat dua chapter saja. Sampai jumpa di chapter depan!


.

.

.

.

.

Cuplikan

.

.

Kenapa hanya Levi yang tak bisa ia lihat masa depannya?

.

.

"Ini manusia yang terikat kontrak denganku."

.

.

"Menjauh dari Sir Levi, iblis!"

.

.

"Kau mau melihat masa lalu Levi?"

.

.

"Jadi anda yang selama ini diam-diam mengikuti saya?"

.

.

Sekarang semuanya jelas. Semua peraturan yang dibuat Levi tidak tanpa alasan.