Levi tidak pernah merasa sebahagia itu sebelumnya. Tidak, bahkan ketika ia menikah dengan wanita yang dicintainya –satu-satunya wanita yang menarik perhatiannya dalam kurun waktu dua puluh satu tahun umurnya– ia tidak seperti itu. Lucu rasanya, ketika tanpa sadar bibirnya yang biasanya menurun ke bawah itu tiba-tiba berubah arah dari bukit ke lembah. Bahkan ia juga tidak sadar kalau tangannya gemetar, hatinya serasa ingin meledak.

Orang yang lama mengenal pria muda itu akan mengatakan siapapun yang melihatnya sedang berhalusinasi karena terik matahari (tidak peduli sekalipun saat itu masih awal musim dingin), atau efek samping penggunaan obat berlebih, atau mungkin kau sedang mabuk jadi terbayang-bayang.

Tetapi Levi tahu semuanya nyata, meskipun ia mengetahuinya beberapa menit kemudian.

Kebahagiaan yang dirasakannya nyata.

Masih segar di kepalanya, hari itu, ketika matanya menangkap sosok mungil yang terlelap. Begitu ringan, begitu lemah. Rapuh, sehingga Levi sejenak merasa takut untuk menyentuhnya, antisipasi kalau-kalau tenaga yang dikeluarkan terlalu berlebih dan menghasilkan hal yang tidak diinginkan. Betapa ia bahagia kala jemarinya menyentuh tangan yang jauh lebih kecil dari miliknya, dan saat ia membawanya dalam pelukan hangat.

Bahkan ia mengabaikan kekecewaan yang tertumpuk dalam hatinya. Seolah-olah segala emosi negatif lenyap, dan berganti dengan harapan baru, kebahagiaan yang baru.

Cinta yang baru.

Tanpa penyesalan tersisa dalam hati, Levi tersenyum. Senyum lembut, tulus. Yang orang tidak tahu bisa muncul di wajah datarnya itu.

Berbisik perlahan, "Aku akan menjagamu."


.::Schlaf gut, mein Sohn::.

Summary : Bisikan yang familiar di telinga, sorot mata penuh cinta, dan kemantapan hati untuk melindunginya, tiga hal yang akan selalu dipertahankan Levi demi "dia".

Disclaimer : Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime

Warning : AU, OOC, writing errors, minim dialog


01 | Father, I'm home

Dua kaki mungil melangkah, setengah berlari. Tas berwarna merah di punggungnya bergoyang-goyang. Kanan, kiri. Kanan, kiri. Seirama dengan ketukan sepatu bergesekan dengan aspal. Wajah itu berseri-seri dengan manik emerald bersinar cerah di bawah cahaya matahari musim gugur yang redup. Bibirnya mengembangkan senyum lebar, yang mungkin akan semakin lebar jikalau bisa kala jemarinya menggapai pintu kayu rumahnya yang terpoles, warnanya yang coklat tua tidak membuatnya tampak kotor. Bahkan ia yakin pintu itu terasa licin. Anak itu mendongak, melihat ke arah kenop pintu bulat beberapa sentimeter di atas kepalanya.

"Papa! Eren pulang!" Menunggu. Menanti 'Papa'-nya tersayang menampakkan diri di daun pintu dengan tidak sabar. Ia ingin segera masuk, memberi pelukan hangat dan mencium pipi ayahnya, kemudian menunjukkan apa yang dari tadi disimpannya di dalam tas ranselnya, lalu ia akan mendapat elusan lembut di kepalanya. Dan jika Papa sedang baik-baiknya, mungkin Eren akan dibuatkan panekuk hangat dengan sirup maple yang lezat. Jangan lupa ceri. Atau bisa juga diajak belanja ke supermarket dan dibiarkan mengambil es krim vanila. Es yang bisa dipatahkan, jadi Eren bisa berbagi dengan Papa. Terus karena Papa senang Eren jadi anak baik, Eren bisa mandi bareng Papa abis itu bobo bareng Papa juga. Kebetulan besok kan libur jadi Eren bisa peluk Papa sampai siang.

Dengan bayang-bayang seperti itu, Eren yang tidak sabar mulai memindahkan tumpuan berat badannya bergantian, dari ujung kaki ke tumit, dari tumit ke ujung kaki. Berulang. Ujung kaki, tumit, ujung kaki, tumit, ujung kaki–

–berhenti.

Eren menengok jam tangannya –yang sangat kebesaran tidak peduli meskipun ayahnya sudah membuat lubang baru dan memotong karetnya agar pas di pergelangannya, sampai-sampai berhenti di telapak tangannya– dan berkedip. Sudah tiga menit. Tunggu lagi. Sebentar.

Berkedip, bibir menekuk ke bawah satu milimeter per dua kedipan.

Berpikir keras.

Berjinjit, tangan menggapai ke atas, mencoba meraih gagang pintu. Sebelumnya Eren tidak pernah berhasil menyentuh kenop itu. Hanya sekali, ketika ia melompat tepat di bawahnya dan berakhir dengan kepala terantuk keras.

T-tentu saja tidak! Eren tidak menangis, sama sekali tidak menangis! Apalagi hanya karena kejedug grendel pintu dan benjol sedikit. Perih, sih, tapi dia tidak menangis! Air yang di sekitar matanya itu hanya keringat. Karena waktu itu musim panas dan ada pelajaran olahraga yang membuat keringatnya mengucur deras sampai ke dekat mata. Saking panasnya sampai-sampai tidak berhenti sekalipun Papa sudah mendekapnya erat.

Tidak, Eren tidak cengeng, cuman gampang berkeringat. Mengerti? Oke? Bagus.

Eren terus berjinjit, merenggangkan tulang-tulangnya dengan harapan modot ke atas. Ia bisa membayangkan wajah Papa yang senang jika tahu Eren bisa membuka pintu sendiri sekarang. Lagipula jika Eren bisa membuka pintu depan sendiri, artinya Papa bisa bekerja di kantor dari pagi jadi Eren bisa membersihkan rumah, dan nanti Papa akan memuji kerajinannya.

...

Baiklah, ia bisa membayangkan Papanya di hadapannya saat ini, berlutut dan mengelus kepalanya dengan lembut sambil memujinya karena membersihkan debu di tumpukan buku ruang baca. Senyumnya melebar, dan Eren menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari-cari siapa tahu ada pijakan untuknya membuka pintu.

Matanya menangkap kayu yang tertumpuk di antara pot-pot tanaman. Beberapa kayu tebal yang panjang dan bisa ditumpuk jadi satu. Dengan segera, Eren melangkah menghampiri kayu-kayu tersebut. Ia berpikir, mungkin kalau diangkat semua akan lebih cepat, sehingga Eren tanpa basa basi menyelipkan tangannya ke sela-sela kayu dan tanah.

"Satu, dua, ti–"

Tumpukan itu ambruk, miring ke kanan.

Menimpa pot kecil di bawahnya.

"AAAAAAAAAAA–!" Berteriak panik, Eren segera memindahkan kayu-kayu tersebut, mengangkat dengan cara yang sama, mendorong tumpukan ke sisi berlawanan dan membuatnya jatuh ke kiri.

Setidaknya potnya selamat.

…daun yang tercabik dan tanah yang tumpah tidak dihitung. Lagipula sudah tidak tumpah. Tanahnya sudah kembali ke tempatnya tadi.

Setelah beberapa menit yang dihabiskan untuk beberes pot yang belum lama jatuh, Eren kembali memfokuskan diri kepada balok kayu di sana. Akhirnya ia memutuskan untuk membawanya satu-satu, dan kelelahan karena jarak antara pintu dengan lokasi bakal pijakannya lumayan jauh –sekitar dua puluh meter kurang sedikit– istirahat sebentar, kemudian menumpuknya. Aktivitas berat yang memakan waktu sepuluh menit.

Melihat pijakannya dengan puas, Eren mendengus bangga, kemudian mulai menaiki kayu tersebut.

Tangannya menggapai ke atas, menyentuh kenop pintu dan sedikit lagi. Ia hanya perlu memutarnya, kemudian mendorongnya. Hanya perlu memutar, lalu mendorong–

"Waa–?!"

–jatuh.

Timing yang sangat pas. Atau sangat tidak pas, entahlah. Yang jelas ketika Eren hendak memutar kenop pintu, tiba-tiba saja kenop itu terlepas dari genggamannya, dan pijakannya terasa bergoyang. Hal terakhir yang ia tahu adalah ia terjatuh ke arah pintu terbuka dan tertatap sesuatu.

Lembut, hangat.

"Ngapain kamu, Ere– Oi! Tanganmu kenapa kotor begitu? Tsk, dasar." Papa, Levi Jeager, dengan segera mengambil tissue basah dari dalam saku celananya dan mengelap tangan Eren, membersihkan debu tanah yang membekas di sana. Matanya tidak lepas dari tangan-tangan kecil anaknya, hanya sejenak. Ketika ia tidak mendengar jawaban dari Eren, ia sempat melirik ke arah pintu dan melihat tumpukan kayu kotor dengan pasir dan mengotori beranda depan rumahnya yang cantik.

Menghela napas panjang, Levi menyuruh Eren untuk melepas sepatunya, cuci tangan lalu mandi dan ganti baju, kemudian menunggunya di ruang makan untuk makan siang. Sementara Eren melaksanakan mandat dari Papa Levi, Levi sendiri segera memindahkan kembali tumpukan kayu ke samping pot tanamannya –yang kini tercabik-cabik dan mungkin tak bernyawa lagi– dilanjutkan dengan menyapu bersih pasir yang bertaburan di atas lantai putih.

Sekembalinya dari luar, Levi menuju ke dapur di mana asap mengepul di atas panci berisi sup sayur dan daging. Juga wajan berisi cairan merah pekat dengan gelembung-gelembung di atasnya, apa yang ada di bawah sama sekali tidak nampak. Ia mengaduk kedua masakannya, otaknya bekerja memikirkan hal lain.

Untuk apa sebenarnya, Eren repot-repot mengangkat kayu itu hanya untuk membuka pintu? Padahal kalau saja ia berteriak memanggilnya, Levi pasti akan keluar dan membukakan pintu. Atau bisa saja Eren lewat pintu belakang yang notabenenya lebih rendah dan gampang dibuka.

Entah anak itu anak siapa sebenarnya. Perasaan ayah dan ibunya tidak sebegitu 'tidak inisiatif'-nya.

Oh, apalah. Yang penting Eren tidak kenapa-kenapa. Levi mungkin akan langsung beranjak ke klinik milik Erwin kalau saja ia mendapati Eren tertusuk serpihan kayu dan sulit untuk mengeluarkannya. Atau kalau ia terluka karena tergores dan infeksi. Dan bicara tentang Erwin, seharusnya teman masa kecilnya itu dan beberapa orang lainnya sudah ada di rumahnya sekitar lima menit yang lalu, mengingat makhluk-makhluk itu termasuk yang tidak dapat mengurusi makanannya sendiri, sehingga seringkali –hampir setiap hari– Levi membiarkan mereka menyantap masakannya yang selalu berlebih bersama dengan Eren. Tentunya dengan catatan menjaga Eren selama ia pergi ke kantor dan anak itu sendirian.

Heh, sepertinya dari sekian banyaknya hal yang menjadi titik lemah manusia, kelemahan Levi hanyalah anaknya yang tunggal, yang masih sangat kekanak-kanakan itu.

Sepertinya.

Tiga menit, mematikan kompornya, Levi meletakkan masakannya di atas meja di mana peralatan makan dan beberapa sajian telah tertata sebelumnya. Tidak lama setelah Levi meletakkan panci sup di atas tatakan karet di meja, terdengar bunyi bel rumahnya. Ia melepaskan celemek hitam yang dikenakannya kemudian berjalan ke pintu depan, hanya untuk mendapati Eren yang berjinjit membuka pintu –berhasil, karena lantai di dalam sekitar lima sentimeter lebih tinggi daripada di luar– mempersilakan seorang lelaki dan…orang dewasa berkacamata memasuki rumah kediamannya.

"Vati [1]! Papi!" Eren semerta-merta langsung melompat dan memeluk dua orang yang baru saja masuk. Yang dipanggil Vati mengangkatnya, menggendongnya dengan tangan kanan menopang punggung dan tangan kiri menyangga tubuhnya.

"Oh, Eren. Sepertinya kau tidak tumbuh." Pria pirang itu tersenyum ramah. Erwin Smith, teman sejak kecil Levi yang beberapa tahun lebih tua, dan 'beberapa' sentimeter lebih tinggi juga.

Eren menggembungkan pipi kemudian meronta minta diturunkan karena "Vati jahat sama Eren jadi Eren nggak mau sama Vati."

Hanji –yang rambutnya diikat– terkikik kecil. Pemandangan biasa, hanya saja Eren kelihatan lebih semangat hari ini. Hanji menutup pintu, dan mengekor di belakang Eren yang menarik-narik celana Levi dengan senyum cerahnya yang tak hilang. Sesekali melemparkan ejekan kepada Erwin ("Papa lebih pinter masak dari Vati, jadi Eren lebih sayang sama Papa!" atau "Papa lebih enak dipeluk daripada Vati. Masa cuma mau cium pipi Eren harus naik kursi?"). Seolah tersengat sesuatu, senyum Eren muncul pula di bibirnya.

"Kau membesarkannya dengan baik, Levi."


.::::.

Makan siang waktu itu berlangsung agak lama. Diselangi dengan pertanyaan Levi tentang yang lain yang tidak datang saat itu dan kenapa porsi untuk delapan orang tetap habis sekalipun hanya dimakan empat orang. Hanji bereksperimen dengan cairan merah –kuah kepiting rebus yang dibumbu sedemikian rupa, rasanya luar biasa, serius– dan makanan di atas meja sehingga Levi melemparkan piring plastik ke kepalanya, mendarat dengan sempurna. Erwin tidak banyak bicara, hanya terus-terusan menggoda Eren karena tinggi dan sifatnya yang tidak berubah sedikitpun sejak kecil hingga kini Eren hampir delapan tahun.

Setelah makan siang, Levi membereskan dapurnya dan bergegas pergi ke kantor hingga sekitar pukul sembilan malam. Urusan Eren diserahkan kepada Erwin dan Hanji yang tidak kembali ke pekerjaan mereka.

Malam itu, Levi sedang banyak pikiran. Mulai dari ketika Eren pulang sekolah tadi, anaknya itu sedikit aneh. Apa istilahnya? Banyak polah? Anak itu tidak bisa diam sedikitpun dari tadi dan kelakuannya mencurigakan. Seperti menyusun kayu untuk membuka pintu, tidak mengatakan padanya kalau dia akan membukakan pintu (karena biasanya setidaknya Eren akan bilang "Biar Eren yang buka pintu" atau sebagainya), dan mencari cara agar bisa mengajak bicara Levi empat mata. Entah apa maksudnya. Bukan hanya itu, jika dilihat-lihat, dari tadi Eren membawa gulungan kertas, gulungan yang sama yang mencuat dari dalam ranselnya tadi siang.

Menghela napas panjang, Levi mengendurkan dasinya seraya berjalan ke ruang tidur anaknya. Apakah Eren sudah tidur? Anak itu adalah tipe yang suka begadang dan di saat yang sama kerbau yang suka tidur. Sulit ditebak. Hanya ketenangan dan orkestra serangga malam yang terdengar, yang mengindikasikan terlelapnya buah hatinya itu.

Dan tepat seperti dugaannya, Eren telah terlelap.

Bersama dengan Erwin yang tidur di sampingnya, jadi guling raksasa.

Meregangkan otot-otot leher, Levi mendekati ranjang setelah meletakkan tasnya di atas kursi putar. Dilihatnya sejenak kedua orang yang terlelap di sana, dan ia tidak dapat menahan lengkungan muncul di sudut bibirnya.

Tangannya mengusap dahi anak tersebut. Menyibakkan poni yang jatuh, dan mengecup keningnya dengan lembut. Ciuman selamat malam yang terlambat, yang selalu diberikannya kepada Eren setiap malam.

Entah sudah berapa lama ia tidak dapat memberi ciuman selamat malam saat anak itu terbangun, terutama di hari kerja. Ia merindukan hari-harinya yang dulu, di mana Levi dan Eren seolah memiliki seluruh dunia untuk mereka berdua. Berjalan-jalan di padang bunga, menelusuri jalan setapak menuju puncak bukit, membeli mainan di tengah jalan, permen dan kue enak di café langganan.

Dua tahun berlalu, dan Levi kesulitan untuk menyesuaikan jadwal kerjanya.

Sungguh, ia tidak menyangka bahwa setelah ia berada di puncak karirnya, hidupnya langsung menjadi seberat itu. Rapat, rapat, rapat, dan rapat. Ia tak punya waktu senggang untuk Eren kecuali hari Minggu. Itupun jika tidak ada rapat dadakan hari Minggu, atau acara wajib hadir di mana ia tidak diijinkan membawa anaknya ikut serta.

Di situlah Erwin datang, dan menyelamatkan dirinya sehingga kini ia dapat bekerja dengan tenang. Meskipun dengan bantuan orang lain, tapi ia dapat menjaga Eren.

Jika dipikir-pikir lagi, ini sudah kesekian kalinya Erwin berjasa besar terhadapnya.

Levi mengalihkan pandangannya, menatap lelaki yang terbaring lemas dengan deru napas teratur, dada naik-turun, wajah tenang, dan tanpa penjagaan. Di saat seperti ini, Erwin dan Eren tidak ada bedanya.

"Dasar bocah." Menepuk pipi sahabat karibnya, ia mengelus rambut pirang tersebut. Mengusap surai-surai keemasan yang menggelitik saraf jarinya. Memperhatikan bulu mata yang berwarna lebih tua, bibir sedikit terbuka–

Terdiam.

Tangan yang tadi mengelus rambut Erwin kini terangkat. Melewati wajah pria itu dan mendekati tangan mungil Eren yang menggenggam sesuatu.

Gulungan kertas.

Levi mengambilnya perlahan, mengangkat tangan Eren dan melepaskan jari-jari yang membuatnya sedikit ragu untuk mengambil kertas itu, takut membangunkan anaknya yang terlelap dengan pulas. Begitu ia berhasil mengambilnya, Levi membukanya.

Gambar.

Sebuah gambar anak-anak. Coretan krayon yang berantakan, tapi masih menghasilkan bentuk-bentuk yang dapat dikenali. Kepala, badan berbentuk kotak dan segitiga, trapesium juga. Kaki dan tangan garis. Lalu kacamata bulat. Mata berbentuk titik dan garis. Rumah. Seorang anak kecil. Seorang pria berambut hitam. Seorang wanita berambut coklat pendek, yang satunya coklat tua, kacamata, rambut panjang diikat. Empat pria pirang.

Tulisan "Keluargaku" tertera di pojok kanan atas, bersanding dengan "Eren Jeager" di sampingnya.

"Eren..." Levi tidak dapat mengatakan apapun lagi. Ia kesulitan untuk membahas soal keluarga kepada Eren yang sejak kecil tak memiliki ibu. Bahkan Levi tidak pernah menyinggung ibunya. Tidak, itu adalah luka yang belum bisa ia ceritakan kepada anaknya. Dendam akan mengotori hatinya yang suci dan Levi tidak ingin itu terjadi. Ia merahasiakannya. Semuanya. Tidak menjawab ketika ditanya, dan berusaha sebaik mungkin membahagiakan Eren seorang diri. Tekadnya yang kuat untuk menjadikan Eren lelaki yang baik selalu mengalahkan akal sehatnya yang terkadang ingin menceritakan sepatah-dua patah kata kepada Eren tentang ibunya, karena Eren punya hak untuk tahu.

Tetapi Levi tidak bisa.

Karena itulah ia membiarkan kawan-kawannya yang setia padanya, yang tidak menjauhinya dan tidak peduli akan sikap dan pembawaannya yang dingin kepada orang luar, untuk menemani Eren. Mengenalkan pada Eren bahwa "keluarga bukan hanya soal hubungan darah". Hal yang membuat Eren memiliki tiga orang ayah, seorang ibu, dua orang kakak dan seorang paman.

"Eren…" Bibirnya kembali membisikkan nama itu, 'Eren', mantra yang membuat hatinya tenang sekaligus gelisah. Ia menoleh, memandang kembali wajah anaknya dan mengecup pipinya. "Schlaf gut, mein Sohn." [2] Ucapnya sesaat sebelum meraih tasnya dan meletakkan gambar anaknya di atas meja, kemudian pergi meninggalkan Erwin dan Eren yang tertidur.

Levi terdiam di balik pintu kamar itu. Ia menyandarkan tubuhnya. Kepalanya memaksanya untuk memikirkan suatu hal.

Masalah besar yang baru disadarinya ketika Eren berumur lima tahun.

Tidak tahu bagaimana bisa terjadi, Levi sendiri tidak habis pikir. Ia tak menyangka bahwa akan ada sesuatu yang menghancurkan dirinya sendiri, yang berasal dari dirinya sendiri.

Sebuah racun yang manis, yang tidak ingin ditinggalkan, tetapi tidak ingin dipelihara pula.

Sulit untuk ditanggalkan, dan kemungkinan besar saat ini ia sudah terlambat.

Menghela napas panjang, lagi, Levi berbisik, "Kuharap aku bisa menahan perasaanku, atau aku akan menjadi ayah yang gagal."

To Be Continued


Footnote :

[1] Vati (German) : Ayah atau Papa, atau Daddy.

[2] Schlaf gut, mein Sohn (German) : Secara literal artinya "Tidur yang nyenyak, anakku".


Oke, jadi untuk chapter 1 ini sepertinya kurang em, entahlah. Saya sendiri kurang puas. Di banyak bagian, hehe. Tapi berhubung saya mengetik ini di sela-sela jam belajar buat UTS yang mengejar dan ide yang mengalir di minggu-minggu tes, saya tidak bisa berhenti menulis dan berakhirlah seperti ini.

Maafkan saya jikalau ini kurang baik di mata Anda sekalian, dan maaf jika Levi keterlaluan OOC-nya. Saya kesulitan dan otak saya tidak bekerja dengan baik karena sudah diselubungi mikrosof akses buat besok.

Ahem, well, whatever. Saya harap tidak ada flame karena pairing. Belum lagi pairingnya belum ditentukan, saya hanya membuat cerita yang mengalir di kepala saya. Menulis apa yang terpikirkan, itu saja.

And so, eh, be gentle with me, please?

OH! Dan benda ini ditujukan untuk seseorang yang sering fangirlingan sama saya di hari Minggu~ Hope you like it, dear. And help me a bit, will you? QuQ

Danke~~