Main Cast : - Kim Minseok

-Xi Luhan

Genre : Brothership, Family

Length : Chaptered

HAIII!

pertama kali post ff di ffn wwkwkkw biasanya di wordpress

udah lama ga nulis ff jadi gatau deh hasilnya gimana

BTW, Happy Reading ^^

Luhan merasakan tenggorokannya kering sampai membuatnya terbangun di tengah malam. Ia melihat gelas di meja di samping tempat tidurnya telah kosong. Dengan berat hati ia pun keluar dari kamarnya dengan setengah sadar.

Tetapi saat turun dari tangga ia mendengar perdebatan kedua orang tuanya di ruang tengah.

"Kupikir kau sudah tidak berhubungan dengan wanita itu lagi! Kau sudah berjanji padaku!"

"Bukan begitu, aku memang sudah tidak berhubungan dengannya. Tapi aku masih ada tanggung jawab dengan anaknya, kau tau keadaannya bukan?"

"Tapi kenapa harus kita yang pindah ke Korea? Bagaimana dengan..."

"Pindah? Ke Korea?" Luhan tiba – tiba saja menyeruak di tengah perdebatan suami istri itu.

"Luhan, appa bisa jelaskan."

"Tidak! Aku tidak ingin pindah ke Korea!" Luhan pun berbalik dan berlari menuju kamarnya. Ia sudah tidak peduli dengan rasa hausnya.

Sang appa hendak menyusul tapi ditahan oleh sang istri.

"Tidak, biarkan saja dulu. Aku yang akan berbicara padanya."

"Maafkan aku, tetapi sungguh kita tidak punya pilihan lain. Jika tidak..."

"Baiklah aku mengerti, maafkan aku." Sang istripun memeluk suaminya dengan sayang, mencoba mengerti apa yang mengganjal di hati dan pikiran suaminya tersebut.

Dua minggu kemudian keluarga tersebut akhirnya pindah ke Korea. Luhan masih saja terlihat tidak senang. Walaupun dulu Korea sempat menjadi rumahnya selama beberapa tahun, tapi tetap saja kenangan buruk yang sempat membuat keluarganya retak selalu membayangi dirinya. Ia tidak ingin kejadian itu terulang kembali.

Akhirnya mobil yang ditumpanginya pun sampai di halaman rumah yang sudah bertahun – tahun ditinggalkan, dan kini mereka akan kembali menempati rumah tersebut dengan tambahan satu anggota keluarga.

Seseorang telah menyambut mereka di depan pintu dengan senyum canggung dan tangan yang berkeringat karena tegang. Tuan Kim segera mendekati namja itu dengan senyum bahagia terpasang di wajahnya.

"Minseok-ah, wah kau sudah besar sekarang!" Tuan Kim tanpa ragu memeluk namja yang bernama Minseok itu, sedangkan namja tersebut nampak terkejut tidak menyangka akan mendapat perlakuan seperti itu.

"Selamat datang... appa." Ujarnya setelah ia menenangkan dirinya.

Tuan Kim pun akhirnya melepaskan pelukannya setelah puas melepas kerinduan kepada anaknya ini. Ia pun beralih kepada istrinya yang menunggu untuk berkenalan dengan Minseok.

"Sayang, ini Minseok."

"A..anyeonghaseyo eommoni." Sapa Minseok formal dan terdengar sedikit bergetar."

"Selamat datang, Minseok-ah." Ujar Nyonya Kim dengan senyum yang membuat Minseok sedikit tenang. Minseok mengerti maksud 'Selamat datang' yang diucapkan ibu barunya itu.

"Luhan, ini..."

"Appa bisakah aku langsung ke kamar? Aku lelah." Ucap Luhan sarkatis. Seketika acara sambutan itupun kembali canggung.

"Naiklah, kamarmu masih yang dulu."

Luhanpun masuk dan melewati Minseok tanpa menyapanya. Minseok mengerti alasan 'penolakan' Luhan padanya. Ia pun sudah mengantisipasi hal ini.

"Maafkan Luhan, mungkin dia lelah karena perjalanan." Ujar Nyonya Kim menenangkan.

"Gwenchana, eommoni. Kalian juga sebaiknya beristirahat. Biar aku yang mengangkat barang."

"Baiklah."

Tuan dan Nyonya Kim pun masuk. Tinggalah Minseok yang masih terdiam di depan pintu. Tangannya meremas pinggiran baju yang ia pakai.

"Tenanglah, Minseok. Kau pasti bisa." Ucapnya untuk menenangkan dirinya.

Sore hari Minseok melangkahkan kakinya ke bagian belakang rumah barunya. Ia duduk di sebuah bangku taman di sana seraya memasang earphone di telinganya. Ia harus bisa menjalani hidup baru, bersama keluarga barunya.

Tiba – tiba saja ia merasa seseorang duduk di sebelahnya. Ia menoleh dan terkejut mendapati appanya tengah duduk di sampingnya.

"Appa?"

"Maafkan appa karena tidak datang ke pemakaman ibumu dan menemanimu melewati segalanya."

"Gwenchana, appa. Aku mengerti."

Sunyi kembali menyergapi ayah dan anak tersebut.

"Eomma bilang ia merindukan appa sebelum ia meninggal." Minseok mengatakannya dengan pelan.

"Appa juga merindukannya, tetapi hubungan kami bukan seperti yang kau bayangkan, Minseok-ah."

Minseok terdiam.

"Appa tau semua ini berat untukmu. Tetapi kini kau tidak sendiri lagi. Kau punya appa, eomma, dan Luhan. Semuanya akan terbiasa dengan berjalannya waktu. Mungkin Luhan belum bisa menerimamu, tetapi lama kelamaan ia juga akan mengerti. Bersabarlah, Minseok-ah. Appa akan menjagamu mulai sekarang."

"Ne, appa. Terimakasih untuk segalanya." Minseok memeluk appanya yang sudah lama ia rindukan. Akhirnya ia menemukan orang lain untuk bersandar selain eommanya yang sudah tiada.

"Kurasa, eomma mu sudah menyiapkan makan malam. Masakannya sangat enak! Kau harus makan banyak malam ini! Ayo masuk!"

"Ne!"

Makan malam kali ini terasa amat canggung. Hanya dentingan sendok dan sumpit yang beradu dengan piring yang memecah hening malam itu.

"Oh iya, Luhan. Kau akan bersekolah di sekolah Minseok."

Luhan mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk karena fokus dengan makanan di depannya. Wajahnya tampak tidak setuju tapi ia tidak bisa menolak.

"Aku selesai." Luhan akhirnya memutuskan untuk meletakan sumpit di atas meja tanda ia selesai makan malam. Setelah itu ia berdiri dan bergegas kembali ke kamarnya.

Minseok kembali tertunduk. Lagi – lagi Luhan memperlihatkan ketidak setujuannya akan hadirnya Minseok di keluarganya.

Minseok tengah berjalan ke arah kamarnya ketika ia melihat Luhan sudah berdiri di depan pintu kamarnya yang bersebelahan.

"Aku tidak ingin murid – murid di sekolahku yang baru tau jika kita tinggal satu rumah. Kau hanya anak haram, ingat itu." Setelah mengucapkan kata – kata kasar itu Luhan kembali masuk ke kamarnya meninggalkan Minseok yang masih terdiam di tempatnya.

Hari – hari berlalu dengan sangat lambat bagi Minseok. Walaupun hubungannya dengan ayahnya semakin dekat, hubungannya dengan ibu barunya juga baik, rasanya ia tetap merasakan penolakan yang Luhan berikan benar – benar mengganggunya. Ia bahkan tidak pernah bertegur sapa dengan Luhan dan Luhan hanya memberikannya tatapan penuh kebencian.

Oh ayolah, ia akui dirinya memang anak yang bisa dibilang tidak diinginkan, tapi apa yang bisa ia lakukan. Ibunya sudah tiada dan ayahnya menawarkan diri untuk merawatnya. Walaupun ia menolak ayahnya tetap memaksa dan iapun tidak memiliki pilihan lain. Lagipula itu juga ayah kandungnya.

Minseok tidak bisa konsentrasi pada pelajaran. Ia memutuskan untuk meletakan kepalanya di atas meja dan menatap keluar jendela. Tidak peduli pada sonsaengnim yang tengah mengoceh di depan kelas, toh setengah dari isi kelas juga sudah mulai bermimpi.

Luhan begitu membencinya. Bahkan setelah hampir satu bulan tinggal bersama ia tetap tidak bisa dekat dengan Minseok. Seakan akal sehatnya menolak untuk Luhan berdekatan dengannya. Melihat Minseok selalu mengingatkannya ketika ia melihat ibunya menangis hebat karena bertengkar dengan ayahnya. Walaupun saat itu ia belum cukup dewasa untuk mengerti, tetapi ia ikut merasakan apa yang ibunya rasakan.

Terlebih lagi saat itu ibunya memaksa Luhan untuk pulang ke Beijing, kota di mana ia dilahirkan. Ia harus meninggalkan teman – temannya dan juga gadis cilik seumurannya yang berhasil menarik perhatian Luhan. Luhan amat membenci Minseok karena itu. Dan sekarang saat Minseok kembali masuk ke keluarganya, segalanya semakin terasa kacau. Perhatian ayahnya selalu untuk Minseok, dan juga ibunya mulai terbuai dengan sikap manis yang Minseok tunjukkan.

Ia akui Minseok memang anak yang baik dan penurut, tentu saja itu yang membuat ibunya-ia rasa-mulai menyayangi Minseok. Tetapi hal itulah yang membuat ia makin membenci Minseok. Luhan ingin membuat Minseok menderita dengan cara mendiamkannya, dan ia rasa itu berhasil.

Hari ini Luhan tampak bahagia tidak seperti biasanya. Ia terus – terusan tersenyum seperti orang gila sejak makan siang.

"YA! Apa kau sudah gila?" tanya Junmyeon, teman masa kecilnya yang sejak tadi bersama Luhan.

"Kau ingat aku pernah bercerita tentang cinta pertamaku sebelum aku pindah ke Beijing?"

"Aish, anak kecil mana mengerti cinta pertama."

"YA! Aku serius! Dia ternyata sekolah di sini, tadi aku berpapasan dengannya. Kurasa ia juga mengenaliku!"

"Siapa? Aku sudah lupa."

"Yoon Mirae!"

"Ahh gadis yang berada di sana?"

Junmyeon menunjuk ke luar jendela ke arah lapangan. Luhan memincingkan mata memastikan. Saat ia yakin yang ditunjuk Junmyeon itu Mirae, ia melihat namja yang duduk di sebelahnya.

"Sedang apa Mirae dengan Minseok?" tanyanya sedikit emosi.

"Ahh, mereka kan memang dekat."

"Jinjja? Sedekat apa?"

"Aku tidak tau pasti, tapi yang kutau mereka dekat yaa seperti sepasang kekasih tetapi bukan."

"Benarkah?"

"Aish, santailah. Selama belum ada berita mereka berpacaran kau masih mendekatinya."

Luhan tertegun melihat gadis yang ia sukai sejak kecil duduk berdekatan dengan saudara tiri yang ia benci. Jika benar mereka dekat, apa perlu Luhan menyingkirkan Minseok? Toh ia sudah banyak menghancurkan kehidupan dirinya dan keluarganya.

Luhan belajar di koridor ditemani dengan cahaya langit sore yang masuk melalu jendela – jendela. Ia pulang terlambat hari ini karena ia harus menyelesaikan banyak tugas dan tidak ingin menundanya lagi. Sekolah sudah tampak sepi, hanya beberapa murid yang terlihat di lapangan atau berkeliaran sekitar ruang musik.

Luhan melihat ke arah lapangan, di mana seorang lelaki yang ia kenal tengah berada di lapangan sepak bola. Luhan memperhatikannya yang sedari tadi hanya terdiam seraya memegang bola. Luhan memutuskan untuk ke lapangan bola menemui saudara tiri 'tersayang'nya itu.

"Luhan? Kau belum pulang?" tanya Minseok terkejut ketika melihat Luhan berjalan ke arahnya.

"Sedang memikirkan cara untuk menghancurkan keluargaku lagi? Anak haram" Luhan berkata dengan tatapan mengejek.

Minseok hanya bisa menghela napasnya.

"Aku tidak ingin bertengkar denganmu, Luhan-ah."

"Baiklah, ayo kita bertanding bola!" Luhan merebut bola yang ada di tangan Minseok dan memainkannya. Dulu ia merupakan pemain terbaik di sekolahnya di China.

"Tapi, Luhan..."

"Kenapa? Kau takut, anak haram?"

Cukup sudah Minseok menahan amarahnya. "Baiklah, sampai tidak ada lagi yang bisa bertahan."

"Ok."

Luhan mulai berlari menggiring bola di kakinya. Minseok mengikutinya dari belakang sambil terus berusaha mengambil bola di kaki Luhan. Luhan memasukan bola ke gawang untuk pertama kalinya.

"Hanya itu saja kemampuanmu, anak haram?"

Minseok geram dan kembali berlari ke arah Luhan yang sudah mulai menggiring bola lagi. Tapi kali ini Luhan kurang cepat. Minseok berhasil merebut bola di kaki Luhan. Ia menggiringnya ke arah gawang dan memasukannya.

"Jangan remehkan kemampuanku."

Mereka terus menerus saling merebut bola. Inti dari permainan ini bukanlah untuk mencari siapa yang paling banyak memasukan bola, tetapi siapa yang dapat bertahan.

Bulir – bulir keringat mulai membanjiri seragam mereka. Luhan dan Minseok sudah sama – sama lelah karena pertandingan tidak kunjung berakhir. Tetapi mereka tidak ada yang mau mengalah satupun. Mereka masih saja terus – menerus berebut bola.

Tanpa Luhan sadari performa Minseok semakin menurun. Yang ia tau tiba – tiba saja Minseok berhenti mengejarnya dan hanya terdiam sambil mengatur napasnya. Entah apa yang merasuki Luhan sehingga ia tega menendang bola sekuat tenaga ke arah Minseok.

Napas Minseok seperti terhenti ketika bola yang ditendang Luhan mengenai dadanya. Ia langsung berlutut meremas dadanya kuat. Luhan mendekatinya dengan seringaian di bibirnya.

"Itu untuk menghancurkan keluargaku. Kau tidak seharunya ada dan menghancurkan segalanya. Kau dan ibumu seharusnya tidak ada di kehidupanku dan keluargaku!" Luhan berkata tajam seraya melihat Minseok yang masih berlutut berusaha menstabilkan napasnya. Luhan pun berjalan menjauhi Minseok.

"Mianhae, Luhan-ah... jeongmal mianhae. Mungkin sebentar lagi juga kau tidak akan melihatku lagi." Ujar Minseok yang membuat Luhan menghentikan langkahnya.

"Baguslah, pergi yang jauh dan jangan pernah kembali."

Luhan kini benar – benar meninggalkan Minseok yang masih berlutut di lapangan. Tetes – tetes air mata mulai keluar dari mata Minseok.

"Eomma... apa yang harus kulakukan?"

Minseok memasuki salah satu bilik kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya. Sakit di dadanya semakin menjadi. Ia berusaha menstabilkan napas dan detak jantung yang sedari tadi berdetak cepat dan menimbulkan sakit di dadanya. Luhan benar – benar menendang bola tadi tepat mengenai bagian yang paling rawan di tubuhnya.

Minseok hanya berharap sakit itu akan segera menghilang.

Minseok memasuki rumah dengan wajah pucat. Hari sudah gelap dan ia baru sampai rumah. Sepanjang jalan ia hanya dapat berharap dia tetap sadar.

Semua tengah berkumpul di meja makan dan menyantap makan malam mereka. Minseok merasa tubuhnya sangat lemas sehingga memutuskan untuk ke kamarnya.

"Minseok-ah dari mana saja kau? Ayo cepat makan makan malammu!" panggil ayahnya yang melihat Minseok masuk.

"Aku tidak lapar, appa. Aku ingin cepat tidur."

"Apa kau sakit, Minseok-ah?" nyonya Kim menyadari wajah Minseok yang pucat.

"Tidak eommoni, aku hanya lelah."

"Istirahatlah, Minseok-ah."

"Ne."

Minseok menaiki tangga dan segera memasuki kamarnya. Merebahkan tubuhnya yang begitu lelah di tempat tidur. Menghiraukan detak jantung di dadanya yang sedari tadi berpacu dengan cepat, berharap detakkan itu akan kembali normal saat ia bangun nanti.

Pagi itu keluarga Kim telah berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Tetapi ada satu kursi yang kosong pagi itu.

"Di mana Minseok?" tanya tuan Kim.

"Tuan muda Minseok sepertinya sakit tuan. Tadi saya membangunkannya tetapi sepertinya tuan muda Minseok tidak enak badan."

"Kalau begitu nanti antarkan sarapan untuk Minseok ke kamarnya dan panggil Dr. Park."

"Baik tuan."

"Cih, dasar anak manja." Rutuk Luhan pelan.

"Ada apa Luhan-ah?" tanya ibunya.

"Ani. Aku berangkat sekolah eomma, appa." Luhan berdiri dari duduknya dan lekas berangkat sekolah.

Minseok terbangun dari tidurnya. Ia merasakan seluruh tubuhnya terasa sangat sakit apalagi di bagian dada. Detak jantungnya masih belum kembali normal, membuat Minseok sedikit kesakitan di saat jantungnya berdenyut.

Ia merasakan tenggorokannya kering. Ia melihat gelas di dekat tempat tidurnya sudah kosong, sehingga ia memutuskan untuk turun dari kasurnya yang nyaman.

Tubuhnya terasa sangat lemas. Dengan susah payah ia turun ke lantai bawah untuk mengisi gelasnya. Lantai bawah tampak sepi. Minseok berpikir mungkin semua orang sudah pergi. Minseok berjalan perlahan ke dapur untuk mengambil air, membasahi tenggorokannya yang kering kemudian mengisi gelasnya kembali untuk dibawa ke kamar.

Saat ia melewati ruang tengah ia baru sadar ada sebuah piano klasik di sudut ruangan. Ia bingung kenapa selama ini ia tidak menyadarinya.

Minseok mendekati piano tersebut dan duduk di hadapannya. Ia menaruh jari – jarinya di atas tuts piano. Ia mulai menekan beberapa tuts yang menghasilkan nada – nada yang indah. Setiap kali ia memainkan piano, hal yang selalu diingatnya adalah ibunya. Ibunya yang telah mengajarkannya bermain piano, karena ibunya juga Minseok mencintai alat musik itu.

Ia menikmati permainannya, walaupun sebenarnya setiap tuts yang ia tekan seperti membuat jantungnya semakin terasa sakit.

"Minseok-ah?"

Minseok segera menjauhkan tangannya dari tuts piano ketika mendengar seseorang memanggil namanya dari belakang.

"Eommoni? Maafkan aku lancang memainkan pianomu." Minseok segera bangkit dari tempat duduk, mengambil gelasnya, dan segera melangkahkan kakinya.

"Permainanmu bagus, Minseok-ah. Kenapa berhenti?"

Minseok tidak ingin menjawabnya. Ia ingin segera pergi ke kamarnya. Tetapi tubuhnya seperti menolak. Minseok merasakan tangannya terasa sangat lemas sehingga ia tanpa sengaja menjatuhkan gelasnya.

"Minseok, kau baik – baik saja?"

Minseok berusaha menghindari ibunya. Tetapi baru ia melangkah, napasnya tiba – tiba saja terhenti membuatnya terjatuh ke lantai. Susah payah ia berusaha menarik napas, tetapi itu membuat dadanya semakin sakit.

"Minseok!" nyonya Kim segera mendekat ke arah Minseok yang telah terjatuh di lantai seraya menekan erat dadanya.

Minseok mengerang pelan merasakan dadanya yang semakin sakit. Samar – samar ia mendengar ibu tirinya memanggil ambulance.

"Minseok-ah bertahanlah!" ia tidak tega melihat Minseok seperti ini. Ini kali pertamanya melihat Minseok begitu menderita. "Katakan jika sakit, Minseok-ah. Jangan takut ada aku di sini. Kau akan baik – baik saja." Nyonya Kim memeluk Minseok menyalurkan kekuatannya.

"S...sakit... eommoni... hiks..."

TBC

Segitu dulu yaa nanti dilanjut hehhe

PLEASE REVIEW ^^

You can also visit my blog .com

banyak ff aku yang dulu dulu hehe

Thanks...