7 Days Love
.
.
Disclaimer © Masashi Kishimoto
7 Days Love © dheeviefornaruto19
Warning(s): AU, OoC, typos?
.
.
Happy reading! :)
.
.
.
Hari Pertama: Ramalan
Cuaca siang itu terasa lebih terik dari biasanya. Rasanya waktu masih lama berjalan, walau sebenarnya dari jauh sudah kelihatan di depan mata akan pemandangan pantai yang indah nan eksotis. Sebuah bus biru berhenti secara perlahan di depan sebuah gerbang besar berwarna merah yang membatasi pantai itu. Di belakang bus itu, menyusul dua bus lainnya-warna kuning dan merah. Ketiga bus itu berbaris rapi untuk mengantri masuk ke dalam pantai Konoha.
Seseorang berambut nanas turun dari bus biru, berjalan menghampiri seorang laki-laki yang berjaga di gerbang itu. "Kami dari SMA Konoha, yang mengirimkan proposal acara liburan bersama," kata siswa yang bernama Nara Shikamaru itu secara to the point. Sebagai Ketua OSIS, dia memiliki tanggung jawab besar dalam acara liburan kali ini, walau ia juga mengakui bahwa ini sungguh merepotkan.
Laki-laki yang ditanyai Shikamaru itu menelusuri pandangan ke arah tiga bus di hadapannya. Keningnya agak berkerut. Sepertinya dia lupa. "Bisa tunjukkan surat izin dari sekolah?"
Shikamaru agak kesal. Tapi tiba-tiba seorang cewek pirang yang berkuncir empat-persis Shikamaru- turun dari bus dan menghampiri mereka dengan secarik amplop di tangannya.
"Tolong diperiksa," kata Temari.
Sembari menunggu laki-laki itu mengkonfirmasi surat izin, Shikamaru bertanya pada Temari, "Bagaimana keadaan di dalam?"
UHUK UHUK!
Belum sempat Temari menjawab, seorang cewek berambut pirang dengan poni menjuntai panjang berlari turun dari bus sambil menepuk-nepuk dadanya. Wajahnya memerah dengan air mata berjatuhan. Ia lalu masuk ke dalam WC umum yang ada di dekat gerbang dan selanjutnya samar-samar terdengar suara muntahan dari dalam sana.
Temari mendengus ketika melihat beberapa anak lainnya mengikuti Ino-yang kebanyakan anak perempuan-ke dalam WC. "Sepertinya kita akan sibuk hari ini, Shikamaru."
Shikamaru mendesah berat. Batal sudah rencananya untuk tidur seharian nanti.
Laki-laki tadi mengembalikan amplop yang diberikan Temari. "Saya sudah mengeceknya. Maaf, tadi saya benar-benar lupa. Liburan selama tujuh hari, bukan?" tanyanya ramah.
Temari membalas senyumannya. "Iya. Anda juga sudah mengkonfirmasi reservasi kamar kami di penginapan pantai ini, kan?" tanya Temari untuk memastikan.
"Ya. Penginapannya cukup dekat dari sini. Silakan masuk ke sana dan bersenang-senanglah."
Yamanaka Ino-demikian nama gadis pirang berambut ponytail tadi-berlari keluar dari WC dan naik kembali ke dalam bus biru. Selanjutnya Shikamaru dan Temari menutup telinga mereka.
"NARUTO! Sudah kubilang kan, JANGAN pernah memakai parfum aneh milikmu itu di depanku! AKU ALERGI TAU!
.
.
•xxx•
.
.
Hinata, Tenten, Ino, dan Sakura membuka pintu kamar mereka-tempat mereka akan menginap selama tujuh hari ke depan. Dan...
SRIIING...! Tembok kamar yang berwarna biru langit langsung menyegarkan pandangan mereka. Aksen jendela dan pintu yang berwarna krem juga terlihat manis. Dua buah tempat tidur single plus sebuah extra bed terlihat empuk-dan saat Sakura dan Ino mendudukinya ternyata memang sangat empuk. Sebuah lemari di sisi kamar dan meja rias yang sederhana terletak di sebelah tempat tidur mereka. Kamar mandi terletak di sudut kamar, memiliki bilik tersendiri. Walau kamar ini sederhana, tapi mereka sangat menyukainya.
Hinata dan Sakura membuka kopernya dan mulai memindahkan baju-baju yang diprediksi akan dipakai selama tujuh hari nanti ke dalam lemari. Mereka sudah sepakat sebelumnya bahwa Ino dan Tenten akan memakai tempat tidur, sedangkan Hinata dan Sakura memakai extra bed.
Di atas tempat tidur, Tenten dan Ino berbaring dengan raut wajah kesal-oh, wajah mereka juga memerah.
"Dasar Naruto itu, gara-gara parfumnya yang bau itu, kita dan anak-anak tak berdosa lainnya malah muntah-muntah," gerutunya.
Hinata dan Sakura tersenyum geli ketika mendengar Tenten menyebutkan kalimat 'anak-anak tak berdosa lainnya'.
"Iya, Naruto itu emang usil! Oh iya, aku baru ingat kalau mau belanja sore ini, terus juga mau lihat alat kosmetik terbarunya Temari. Terus apa lagi ya?" kata Ino komat-kamit, bergelut sendiri dalam ucapannya.
Hinata menoleh pada Tenten. "Hmmm... nanti kalian turun ke bawah nggak buat berenang?" tanya Hinata tidak mempedulikan Ino. "Kalau aku tidak. Aku mau istirahat, jadi kalau kalian keluar bawa kunci kamar ya?"
"Sepertinya aku mau berenang. Ino juga. Kalau kau, Sakura?"
"Aku tetap turun walau tidak berenang. Jalan-jalan di sekeliling pantai kelihatannya asyik," jawab Sakura.
"Lalu kalau kamu mau keluar gimana, Hinata?"
"Aku bisa SMS kalian."
Tenten mengangguk. Hinata lalu berdiri untuk mengambil gantungan baju yang tergeletak di sisi lemari. Kebetulan lemari itu dekat dengan jendela. Dan ketika Hinata memandang ke bawah, matanya langsung menangkap sesosok pemuda berambut kuning yang sedang duduk di bangku pantai bersama teman-temannya. Cowok itu sedang tertawa, kelihatannya mereka sedang bercerita dengan seru.
Uzumaki Naruto, murid XI IPS 2. Pemuda energik yang mampu membuat Hinata meliriknya selama dua tahun bersekolah di SMA Konoha. Orang yang membuatnya merasa berbunga-bunga tiap kali pandangan mereka bertemu kala melewati koridor sekolah. Walau mereka beda kelas, tapi Hinata selalu berharap bahwa suatu hari nanti dia akan punya kesempatan untuk-
"Hinata, kau melihat apa?"
Hinata terkejut. Dilihatnya Tenten yang kini berdiri di sampingnya, mencari-cari apa yang dilihat Hinata.
"Bu-bukan apa-apa kok..."
-untuk dekat dengan pemuda itu.
.
.
•xxx•
.
.
Rasanya baru saja Tenten hendak melompat ke dalam air ketika sebuah tangan menariknya untuk menjauh dari sana. Tenten menatap si empunya tangan dengan pandangan membunuh.
"Jangan pernah ganggu aku jika aku sedang tidak ingin diganggu," sembur Tenten pada Ino, yang menariknya ke balik pohon-pohon kelapa yang tinggi.
"Sssttt! Jangan berisik! Aku punya rencana gokil!"
Tenten menatap Ino dengan bosan. "Maksudmu?"
"Aku berencana membuka sebuah tempat ramalan..."
Kali ini Tenten menganga.
"...lalu aku akan memaksa anak-anak untuk diramal dengan bayaran yang tinggi tentunya. Lalu aku akan mendapat keuntungan besar dari bisnis ini. Lalu aku akan belanja di mal sore nanti dengan keuntung-"
"TUNGGU!" sela Tenten, menghentikan khayalan indah Ino. "Apa maksudmu dengan 'tempat ramalan', 'memaksa anak-anak', dan 'keuntungan'?" tanya Tenten lola (loading lama).
Ino memutar iris aquamarine-nya. "Tempat ramalan itu adalah tempat orang diramal masa depannya, dan jika kita bisa memaksa anak-anak untuk diramal, kita bisa meraup keuntungan besar selama liburan ini! Kita juga bisa memeras beberapa anak kaya, hmmm... seperti Hyuuga Neji, Uchiha Sasuke...," Ino terus berkutat dengan ucapannya. Darah materialistis-nya pun muncul.
"Tunggu! 'Kita', maksudmu? Kau mengajakku?" tanya Tenten bingung.
"Mau nggak? Lumayan juga kalau pendapatannya besar!" kata Ino riang.
Tenten tertawa mengejek. "Memangnya kau bisa meramal?" Kayaknya mesti nunggu bumi berubah jadi mobil-mobilan deh.
"Bisa saja," jawab Ino yakin. "Apalagi kalau aku dibantu dengan ahlinya."
Tenten baru akan bertanya apa maksud Ino ketika dilihatnya seorang nenek tua menyeramkan muncul dari belakang tubuh Ino. Tenten sampai memundurkan badan ketika melihat tatapan seram nenek itu. Pandangannya sungguh tidak bersahabat.
"Perkenalkan Tenten, ini nenek Chiyo, peramal ulung yang kutemui dua jam lalu untuk menjalankan bisnis ini. Nenek, ini Tenten, teman sekelasku." Lalu Ino tersenyum sambil membatin dalam hati, "70% keuntungan untukku, 20% untuk nenek Chiyo, sisanya untuk Tenten."
Baru saja Tenten ingin membungkuk memberi salam, tiba-tiba nenek Chiyo mengatakan sesuatu.
"Kau akan tenggelam jika kau masih berniat untuk berenang. Apalagi cedera di kakimu itu masih belum sembuh."
Tenten terkesiap. Tubuhnya merinding. Ino bahkan tidak tahu kalau kaki kirinya cedera saat berenang dua minggu yang lalu di sekolah. Tapi kenapa nenek ini bisa tahu? Bahkan nenek ini juga mengatakan bahwa akan terjadi sesuatu padanya jika dia masih nekat berenang. Astaga... Ino benar-benar serius kelihatannya, hingga menemukan seorang peramal ulung seperti nenek ini.
"Kau masih meragukanku? Kalau tidak, lepas baju renangmu dan ikut aku ke stand yang sudah kudirikan. Pasti pengunjungnya sudah banyak," kata Ino dengan mata berbinar.
Tenten hanya bisa diam.
.
.
•xxx•
.
.
Tenten sudah mengganti bajunya dengan kaus biru dan celana selutut agar terlihat santai. Ketika dia hendak berjalan pergi dari kamar, Hinata memanggilnya.
"Tenten?"
Tenten menghentikan langkahnya dan menoleh. "Bukannya kau masih tidur, Hinata?"
Hinata mengucek-ucek matanya. "Aku mendengar suara pintu dan lemari yang dbuka. Kukira itu kalian, jadi aku bangun saja."
"Oh," jawab Tenten.
"Kau tidak berenang?"
"Tidak jadi, aku diajak Ino ke suatu tempat."
"Ke mana? Boleh aku ikut? Aku sudah tidak capek lagi, mungkin karena istirahat sebentar."
Tenten berpikir sejenak. Lalu dia menganggukkan kepala. "Oke, ayo kita turun."
.
.
•xxx•
.
.
Di luar stand ramalannya, Ino berteriak menggunakan toa-yang entah didapatnya dari mana.
"AYO MASUK KE SINI! Ramalan kami terbukti ampuh, uang kembali jika kami memberikan ramalan yang salah! Ayo cari tahu seperti apa masa depanmu, hanya di sini yang akurat dan terpercaya!" seru Ino seperti orang gila lagi promosi. Ia bahkan melambai-lambaikan tangannya agar orang-orang yang sedang berenang di laut bisa melihatnya. Sinting!
Tenten mendesah melihat kelakuan ajaib Ino. Hinata malah terbengong-bengong melihatnya. "Ada apa itu? Kenapa Ino mendadak membuka tempat ramalan?"
Tenten baru akan menjelaskan ketika seseorang memanggil Hinata dari kejauhan.
"HINATA!"
Sakura berlari-lari kecil ke hadapan mereka. "Kau harus lihat, Hinata! Bintang laut berwarna pink! Imut sekali!" seru Sakura bak orang memenangkan lotere.
Tenten menepuk jidatnya. Hal-hal kekanakan seperti itu saja diheboh-hebohkan. Ia semakin kesal ketika melihat Hinata dengan polosnya mengikuti ajakan Sakura dan akhirnya ia ditinggal oleh dua gadis itu.
Poor you, Tenten.
Dengan gontai, Tenten melangkah masuk ke dalam stand Ino. Di dalamnya, nenek Chiyo sudah duduk tenang menghadap sebuah meja kecil dengan taplak ungu. Di depannya ada sebuah kotak kecil untuk memasukkan uang pengunjung. Karena tidak tahu harus ke mana lagi, Tenten akhirnya duduk di sebelah meja kecil itu-walau hatinya masih merinding karena berdekatan dengan nenek Chiyo.
"Nek, pengunjung pertama kita datang!" pekik Ino sambil menarik-atau tepatnya menyeret-Inuzuka Kiba masuk ke dalam.
"Duduklah!" perintah Ino pada Kiba. Kasihan cowok itu, mukanya sudah memerah menahan kesal. Pasti dia dipaksa oleh Ino untuk masuk ke dalam stand ramalan anehnya itu.
Kiba menatap Tenten, kemudian nenek Chiyo. "Jadi kau yang akan meramalku?"
Nenek Chiyo tidak menjawab. Ia malah memejamkan matanya. Tenten dan Kiba mengernyitkan kening bersamaan.
"Nek? Nenek Chiyo?" panggil Tenten. Apa dia tertidur?
"Cih! Sudah kuduga Ino hanya bohong mengenai stand ini. Mana bisa dia menyuruh nenek tua seperti ini-"
"Kau sedang berpacaran sekarang, bukan?" potong nenek Chiyo cepat ketika matanya terbuka. Baik Tenten dan Kiba yang sedang memperhatikannya terlonjak kaget.
"Ba-bagaimana Anda bisa tahu?" tanya Kiba ketakutan.
"Kalau kau tidak segera memberi cincin itu pada pacarmu, dia akan meninggalkanmu dan berpindah ke lain hati."
Kiba menelan ludah. Tenten kebingungan. Cincin? Apakah Kiba memiliki rencana untuk memberikan pacarnya sebuah cincin?
"Be-benarkah?"
"Aku tidak pernah main-main saat meramalkan sesuatu."
"HUAAA!" pekik Kiba kencang, disusul dengan Tenten yang segera menutup telinganya.
"TIDAK! Aku akan segera memberikannya! Ini uangnya!"
Kiba menaruh selembar uang di atas meja dan segera berlari pergi, melesat keluar dari tenda. Tenten hanya bisa menganga, sedangkan di luar terdengar suara cempreng Ino,
"DATANG KEMBALI YA!"
.
.
•xxx•
.
.
Sudah lima belas orang yang telah berhasil 'diramal' oleh nenek Chiyo. Dan rata-rata semuanya memiliki ekspresi yang sama pada akhirnya, sebab semuanya keluar dari stand Ino dengan wajah pucat.
"Naruto!" panggil Ino ketika melihat cowok itu berjalan di depannya sambil meminum es kelapa. Mangsa berikutnya, pikir Ino sambil terus membayangkan jumlah uang yang kelak akan diraupnya.
Naruto melihat Ino dengan pandangan 'apa?'.
"Ayo masuk!"
"Tidak mau."
"Ayolah! Untukmu, kukasih gratis deh!" rayu Ino.
"Tidak."
"Ayolah...," kata Ino sambil menarik tangan cowok itu untuk membawanya masuk ke dalam stand. "Ini kesempatan emas! Kapan lagi kau bisa tahu masa depanmu kalau bukan sekaranglah waktunya?!"
Naruto hanya bisa mengerutkan alis ketika diseret masuk oleh Ino ke dalam. Kerutannya makin dalam ketika melihat Tenten dan nenek Chiyo di dalamnya.
"Siapa nenek ini? Dia atau Tenten yang meramalku?"
"Nenek Chiyo, tentu saja, baka. Tenten mana bisa," jawab Ino blak-blakkan. Tenten memberikan deathglare pada Ino, tapi tidak digubris oleh gadis itu. "Oke, aku keluar dulu ya," kata Ino riang.
Naruto lalu duduk di hadapan nenek Chiyo. Terjadi keheningan yang cukup lama sehingga membuat Naruto jadi kesal.
"Jadi bagaimana masa depanku?" tanyanya dengan nada mengejek.
"Kau akan bertemu seorang gadis," jawab nenek Chiyo datar.
Naruto mendengus. Apa menariknya ramalan seperti ini?
"Ini bukan gadis sembarangan."
Naruto menatap nenek tua itu.
"Gadis ini akan menjadi pendamping hidupmu. Kau akan bertemu dengannya... tidak lama lagi. Dalam waktu tujuh hari."
"Apa maks-"
"Dia memiliki mata yang teduh dan menentramkan hati, membuatmu tak bisa lepas memandangnya. Senyumannya membuatmu merasa ingin selalu di dekatnya. Pada hari ketujuh, kau akan bertemu dengan perempuan itu, berambut sebahu, dan dia juga akan memakai rok selutut sambil membawa bunga mawar putih di tangan kirinya."
Rentetan kalimat panjang-panjang itu mengalun perlahan dalam benak Naruto.
"Itulah takdir 'cinta 7 hari'-mu," kata nenek Chiyo membuyarkan lamunan Naruto.
Pikiran Naruto langsung melayang. Rambut sebahu, memiliki mata yang teduh, senyumannya membuat Naruto merasa ingin di dekatnya...
Gadis itu, rasanya Naruto mengenalnya.
Tiba-tiba benaknya memikirkan sesuatu yang berwarna... pink.
.
.
.
FIN
.
.
.
Huaaaa, gimana nih minna-san? Ditunggu aja update chapter berikutnya Hari Kedua: Permulaan.
Please review... :)
.
.
Sign,
Devi Yulia
