Hello, it's me again, Yoon Soo Ji!
Ini ff keduaku setelah SWM Chanbaek, and the good news is, aku mencoba untuk mengikuti berbagai saran dan improvement yang aku coba buat sendiri?
Approximate words berdasarkan ms. word adalah 5409, sudah cukup panjang atau kurang?
Lol, aku akan mencoba yang terbaik untuk ini.
Anyway, enjoy the story!
The Switch
Seorang laki-laki berjalan menuju rumahnya, lengannya memikul sebuah tas berat berisi buku-buku yang dia butuhkan untuk belajar. Dari sudut matanya, dia dapat melihat anak kecil pucat yang terduduk di ayunan, remaja itu menggelengkan kepalanya dan terus melangkah.
Hingga anak kecil tadi tiba-tiba muncul di depannya, matanya yang hitam menatap kosong sementara gaun putihnya menjuntai ke bawah. Pelajar itu terhenti dari langkahnya, berusaha untuk bersikap biasa ketika dia berjalan menembus roh tersesat itu.
"Kau bisa melihatku, aku benar, kan?" tanyanya, namun dia hanya terus mengabaikannya dan berjalan pulang. Hantu tersebut justru terus mengikutinya, matanya terus menatap kosong. "Aku akan mengikutimu kalau begitu."
Dia hanya diam. Anak itu tahu, takkan ada gunanya menuruti permintaan orang mati, apalagi seorang anak kecil yang umumnya serakah. Hantu itu mengikutinya hingga dia tiba masuk ke dalam lewat gerbang rumahnya. "Apa itu adikmu?" ucapnya tiba-tiba dan pelajar itu menoleh.
Benar, adiknya melambai dan tersenyum padanya dari teras rumah. Matanya membelalak ketika melihat seringai licik dari anak yang mengikutinya sedari tadi. "Apa maumu?"
Hantu itu menyeringai kembali, menampakkan gigi seperti taring di dalam mulut mungilnya, matanya berkilat mengerikan. "Bantu aku."
Tidak. Batinnya menjerit untuk tidak melakukannya. Ayahnya tewas ketika melakukan itu, ketika orang mati yang dia tolong terus menuntut dan mengancam, dia menyaksikan itu semua, dan dia berikrar bahwa dia takkan melakukan apa yang ayahnya lakukan.
"Pulang kau, dasar hantu!" teriaknya, namun hantu itu kembali memunculkan seringainya dan menghilang menjadi kabut.
"Aku bukan hantu." Bisiknya di telinga sang manusia.
"Oppa, kau nampak pucat." Suara anak berumur dua belas tahun menatapnya polos, namun orang yang dipanggilnya kakak hanya tersenyum, menyentuh pundaknya lalu masuk ke rumah.
"Eomma dimana?" tanyanya dan ibunya menyembulkan kepala dari sudut dapur, memasukkan bahan makanan ke panci masakan. "Maaf aku terlambat."
Ibunya hanya tersenyum dan menatap putranya lekat-lekat. "Hani benar, kau pucat, Sehun." Anak itu menggeleng pelan, mencuil sedikit roti di atas meja, ibunya menghampirinya dan meletakkan tangan di dahi. "Kau kelelahan?"
Sehun kira tidak, "Wajahku memang seperti ini." balasnya dan dia dapat mendengar ibunya mendengus tak percaya.
"Aku yang melahirkanmu dan aku tahu wajahmu tak sepucat ini."
Sehun memutar matanya sambil menahan tawa, ibunya benar, dia tak pernah sepucat itu walaupun kulitnya nampak putih tak normal, seolah dia adalah albino, ditambah dengan rambut platinumnya.
Tapi Sehun bukan albino. Dia dan ayahnya memiliki kemiripan yang amat sangat dalam, termasuk warna putih yang mendominasi tubuh dan rambut mereka. Begitu pula dengan alam lain yang dapat mereka lihat.
"Oppa?" anak umur 12 tahun memanggilnya, cemberut karena tak memperhatikannya dari tadi. "Kau tadi bicara dengan siapa?" tanyanya dan Sehun dapat menebak bahwa adiknya menyaksikan bagaimana dia mengusir anak kecil tadi.
Ibunya segera menatap anak tertuanya dengan tatapan kaget, namun yang ditatapnya hanya menghela nafas dan mengacak rambut adiknya. "Bukan siapa-siapa."
Sehun merapikan meja belajarnya dan memasukkan semua yang dia butuhkan ke dalam tas, menghela nafas tanpa melihat satu sudut kamar.
"Kau tak perlu bersembunyi." Ucapnya dan sesuatu berdenyar dalam gelap, menganyam udara dan membentuk sebuah sosok, persis dengan yang dilihatnya tadi. Dia melirik anak itu, "Kau lagi."
Dia menyeringai, "Kau juga." Sehun menatapnya jengah. Belum ada yang berani masuk ke dalam kamarnya selama ini, dan anak bergigi taring itu terus menatapnya seram setelah dengan berani menginvasi daerahnya. "Aku ingin kau membantuku, apa itu susah?"
"Sangat." Sehun serta-merta menjawab, masih membereskan buku dengan wajah datarnya, tak melihat tatapan tajam makhluk astral di sampingnya. "Pergilah, dasar menjijikkan."
Dia beranjak untuk membuka pintu, namun perkataan anak kecil itu membekukannya seketika. "Kau putra Oh Minjae, kan?" dia menyeringai ketika melihat remaja yang seolah tak bisa bergerak dari tempat dia berdiri. "Perlu kuberitahu bagaimana dia dibunuh? Ibumu... atau adikmu?"
Sontak Sehun melemparkan sandal yang dia kenakan tepat ke kepala roh tersebut, namun dia dengan cepat berteleportasi untuk menghindari pukulan marah sang manusia. Hantu itu menyeringai dari atas tempat tidurnya, berjongkok dengan rambut panjang menjuntai kebawah.
"Keluar sebelum kau kubuat mati dua kali." Ancamnya, tangannya terkepal marah melihat mata hitam kosong yang mengganggunya sejak tadi. "Kau tak tahu apa yang bisa kulakukan."
Hantu itu berdecak, membuat Sehun semakin marah. "Kau bisa apa? Bahkan ayahmu tak mampu mengalahkan kami." mata manusia itu berkilat tajam, benci ketika salah satu dari mereka mengungkit ayahnya yang telah mati, seolah mereka tak pernah andil dalam kepergiannya.
"Dasar kepa-"
"Sehun?" Ibunya membuka pintu dan hantu itu menyeringai kembali, berdenyar dan hilang. Menyisakan Sehun yang pucat dan tersengal, membuat ibunya mendekatinya dan membantunya duduk. "Kau kenapa?" Dia menggeleng dengan cepat, membuat orang yang melahirkannya menghela nafas dan matanya menelusuri kamar sang anak. "Ada sesuatu?"
Sehun melirik ibunya, mungkin setelah bertahun-tahun tinggal bersama orang indigo, wanita itu sudah mengerti kapan mereka menyadari keberadaan yang lain dan kapan yang tidak. ditambah lagi, Sehun tak bisa berbohong pada ibunya.
"Sudah pergi tadi." jawabnya dan ibunya mengangguk, "Eomma, apa Eomma ingat bagaimana Appa meninggal?" dia dapat melihat tatapan terluka ibunya ketika dia menanyakan itu, tapi dia harus memastikan apakah ibunya tahu akan kebenaran pahit tentang ayahnya atau tidak.
Sang ibu tersenyum nanar, "Serangan jantung." Jawabnya dan Sehun menghela nafas dalam hati. Apakah ibunya membencinya jika tahu yang sebenarnya, apakah ibunya akan membencinya jika tahu yang membunuh kepala keluarga mereka bukanlah penyakit yang ibunya sebutkan?
"Tidurlah, kita akan bicara besok." Dia tersenyum dan mengacak rambut platinum anaknya sebelum menutup pintu kamar, meninggalkan Sehun sendirian.
Remaja itu turun dari kamarnya menuju ruang makan, melihat ibunya tengah menyiapkan sarapan di atas meja. Dia tersenyum padanya dan membantu menata piring yang telah diisi ke depan tiga kursi masing-masing.
"Panggil adikmu dulu, Sehun, kenapa dia lama sekali." Rutuk ibunya dan Sehun mengangguk, naik ke atas menuju ruangan di samping kamarnya.
Dia mengetuknya beberapa kali, "Hani, Hani, sarapan sudah siap." Panggilnya, namun yang dipanggil tak menyahut sama sekali, mungkin saja dia masih tertidur, namun adiknya bukanlah seseorang yang tertidur pulas lewat dari jam enam pagi. "Hani, Oppa masuk." Ujarnya dan membuka pintu.
Kosong.
Hening.
Tak ada siapapun di kamar itu. Tempat tidurnya rapi dan dingin seolah tak ditempati sejak malam tadi. Hani bukanlah tipe melarikan diri saat malam, apalagi tanpa alasan. Dengan itu, Sehun berlari memanggil ibunya.
Wanita itu segera mengecek kebenaran yang putranya katakan. Kemana perginya anak gadis semata wayangnya? Tas sekolah masih ada, seragam di gantungan, tak ada catatan menandakan bahwa dia telah pergi.
"Hani!" teriak ibunya, "Oh Hani, ini tidak lucu. Jangan bersembunyi!"
Benar, ini tidak lucu. Hani, walaupun masih kecil dan jahil, tak pernah melemparkan candaan seperti ini. Dan Sehun tahu jelas ini bukan Hani yang melakukannya.
"Apa itu adikmu?"
Sial!
Sehun segera berlari turun dan memakai sepatu asal-asalan, setelah berteriak bahwa dia akan mencari ke sekitar, remaja itu segera berlari tanpa melihat arah, hanya mencari-cari anak kecil bergigi taring dimanapun dia berada.
Dia dapat membayangkan seringai anak itu, senang akan kekalutan dan kepanikannya. Dia seharusnya tidak membiarkan roh itu melihat adiknya. Dia tahu, roh itu pasti tertarik dengan anak yang seumuran dengannya. Namun Sehun dengan ceroboh membiarkan roh itu ikut bersamanya dan melihat adiknya.
Adiknya.
Adik perempuannya yang berharga.
Jika memang benar roh itu melakukan hal macam-macam padanya, Sehun mungkin tak bisa memaafkan dirinya. Dia dapat membayangkan mata rusa adiknya, wajah polos memohon pertolongan karena jeratan makhluk halus itu.
Hingga akhirnya dia melihat sekelebat anak kecil berlari menjauh dari sinar matahari, dan Sehun tahu dia sudah menemukan tersangkanya. Dia berlari dengan kencang mengejar anak kecil tadi hingga akhirnya menghadangnya di sebuah jalan buntu.
"Kemana adikku?" tanyanya langsung dan anak itu hanya menatapnya kosong, seperti biasanya. Hal itu membuat Sehun jengah, hatinya benar-benar tak tenang.
"Kau menuduhku?" tanyanya, dan ketika melihat tatapan Sehun menggelap, dia menyeringai dingin, menyukai aura kemarahan yang dipancarkan manusia di depannya. "Jika itu bukan aku?"
"Apa sanggahanmu kalau begitu?" tanyanya balik dan anak itu kembali menghilang dalam asap hitam. "Kembali kau, Brengsek!" teriak Sehun kepada udara kosong.
Dia terlalu lelah karena berlari sekarang, dan ketidaktenangan hatinya semakin menguras tenaganya pagi ini, dia bahkan belum sarapan. Hingga akhirnya sebuah sosok berdenyar, anak kecil itu, tangannya menggenggam manusia berumur 12 tahun yang tak sadarkan diri di sampingnya.
Mata Sehun membulat. Dalam genggaman bocah itu, adiknya nampak seperti hologram yang siap menghilang kapan saja, dia dapat melihat bekas air mata kering di kedua sisi matanya yang mirip rusa, dan bibirnya menjorok kebawah serta dahinya berkerut. Hani sedang kesakitan.
"Kau mau dia?" tanyanya dan melepas sosok sang adik, membuatnya buyar ketika genggamannya dilepas. "Ups." Dia menyeringai ketika melihat tatapan marah Sehun, "Sudah kubilang, bukan aku yang mengambilnya."
Lalu siapa? Pikiran Sehun berkecamuk tentang siapa sebenarnya yang membawa pergi adiknya dari rumah, dan mungkin saja di malam hari. Sebelum dia dapat mengatakan apapun, roh itu berdenyar dan hilang sekali lagi.
Sehun berjalan pulang dengan sendu dari sekolah. Ibunya telah memaksanya untuk mengikuti kegiatan belajar sementara ibunya yang akan mencari Hani terlebih dahulu. Walaupun Sehun dalam hati terus mengkhawatirkan adiknya yang entah dimana keberadaannya, dia menuruti ibunya.
Sekarang dia melangkah gontai untuk pulang. Dia telah mengabari ibunya bahwa dia akan terus mencari Hani dalam perjalanan pulang. Sangat berbahaya untuk pergi keluar di malam hari dan adiknya masih kecil, lebih berbahaya lagi.
Namun hasilnya nihil. Adiknya tak ditemukan dimana-mana, dan itu membuat anak tertua Oh frustrasi. Dia benar-benar mencurigai roh anak kecil yang mengikutinya sejak kemarin, tak mungkin adiknya raib begitu saja bagai ditelan bumi, kecuali jika ada sesuatu yang ikut campur.
Sehun melihat sekeliling dan mengernyit melihat rambut sewarna madu familiar di seberang jalan. Matanya melebar dan dengan cekatan, remaja itu berlari ketika sudah tak ada kendaraan yang melaju melewati jalan tersebut.
"Hani!" panggilnya dan anak 12 tahun tersebut menoleh, menatap orang di depannya yang tersenyum dengan kosong. "Kau kemana saja? Eomma dan aku sangat khawatir."
Anak itu membuka mulutnya dengan ragu, "Op...pa?" panggilnya, seolah terdapat keraguan, seolah itu adalah kata asing yang pertama kali dia cecap di lidahnya, mata coklatnya tampak kosong.
"Iya, ini Oppa, ayo pulang." Ajaknya dan menggandeng tangan sang adik, yang tiba-tiba ditepis oleh yang lebih muda, membuat Sehun menatapnya aneh. "Ada apa?"
Mata rusa sang adik menatapnya dengan ketakutan sekarang, "Jangan sentuh aku." Pintanya, menggelengkan kepala dengan cepat, air mata nyaris turun ke pipinya. "Kumohon."
"Hani, hey," dia berusaha menatap sepasang mata itu dengan berjongkok di depannya, mencoba melihat kilatan apa yang ada di dalamnya. "Apa Oppa menyakitimu?" tanyanya dan adiknya menggeleng. "Kalau begitu ayo pulang."
Hani menatap tangan yang terjulur ke arahnya, meminta untuk diterima. Sehun menyadari hal itu kemudian menghela nafas sambil menurunkan tangannya, "Kau bisa berjalan di depan, aku akan mengawasimu."
Adiknya mengangguk dan maju beberapa langkah, sementara sang kakak mengikutinya dari belakang. Bahkan cara jalannya sangat berbeda. Hani seharusnya berjalan dengan riang, bahkan berputar untuk melihat kakaknya atau menggandeng tangannya. Namun langkahnya sekarang terasa awas dan ragu. Bahunya bergetar karena dingin, dan Sehun menyadari bahwa dia tak mengenakan selapis jaket pun.
Dia menghela nafas, melepas jaket yang dia pakai dan menyampirkannya ke bahu sang adik, membuatnya melonjak sedikit. "Kau kedinginan, kan?" dia mengangguk ragu dan menurut ketika Sehun memasangkan kancing jaketnya.
"Kau seharusnya tak keluar dengan pakaian setipis itu." Nasehat kakaknya dan Hani melihat pakaian yang dia kenakan. Dress hitam panjang, roknya menjuntai di atas kakinya. "Kau seharusnya tahu lebih baik. Lagipula darimana kau dapat baju sejelek itu?"
Hani tak menjawab. Dia tersenyum setelah selesai mengancingkannya, "Ayo."
Ketika mereka tiba di rumah, sang ibu langsung memeluk Hani, membuat jantung Sehun berdetak kencang karena takut adiknya akan bereaksi negatif seperti padanya tadi. Namun dia hanya bergetar dan dengan ragu memeluk balik.
"Kau kemana saja?" adiknya tak menjawab dan sang ibu menatap anak tertuanya, matanya menyiratkan bahwa dia akan menceritakannya nanti.
Sementara sang ibu membuatkan adiknya secangkir coklat yang mereka sukai berdua, Sehun tak tahan untuk tidak memperhatikan adiknya yang terus meremas kaosnya yang baru saja dia ganti dengan gugup. Seolah setiap detik di tempat ini sangat mengganggunya.
Dia tak mengerti apa yang terjadi pada adiknya setelah satu hari menghilang dari rumah. Seolah kepribadiannya berubah dalam semalam dan itu membuat Sehun jengah. Ini baru dua jam dia bertemu adiknya lagi dan dia sudah merindukan bagaimana Hani yang lama akan merengek padanya untuk membelikan bubble tea atau bertanding kubus rubik.
"Hani, ada apa denganmu?"
Dan sebelum dia menjawab, kakaknya menangkap sosok gelap yang berjongkok di atas sofa, menyeringai sambil terus mengawasi mereka. Dan entah kenapa Sehun mengerti, sesuatu yang salah oleh adiknya berasal dari makhuk itu.
Jaga anakmu dengan baik.
Jangan biarkan dia berkeliaran ketika malam tiba sendirian.
Karena mereka ada.
Dan mereka akan membawanya pergi.
Ketika makhluk halus membawa seorang anak manusia, akan ada tiga kemungkinan yang terjadi padanya. Mainan, budak, atau makanan. Semua itu adalah ketentuan antara para manusia dan makhluk astral, bahwa mereka dapat masuk dengan batasan masing-masing.
Ketika mereka menjadi mainan dan budak, kaki mereka akan dipotong hingga lutut, yang kemudian bagian tubuh itu akan disantap dan direbus tulangnya, sementara jika dijadikan makanan, mereka akan dikuliti, daging dilepas dari tulang dan dibekukan, sementara tulang-tulang mereka akan direbus.
Dan ketika seorang anak diambil dari sebuah keluarga, seorang anak iblis – seorang changeling – yang terlahir dari sisa tulang-belulang anak yang mereka ambil, akan menggelegak keluar dari kuali mendidih, dengan wujud yang sama dengan anak manusia tadi.
Dia akan hidup. Dia akan hidup sebagai makhluk astral pada dasarnya, namun dia terlahir dari sisa manusia dan akan terus terikat dengan keluarga dari manusia tersebut. Sehingga tugas pertama seorang changeling yang baru lahir adalah masuk ke dunia manusia dan membunuh semua anggota keluarga anak manusia tersebut, hingga tidak ada yang tersisa dan ikatannya dengan dunia manusia akan terputus secara mutlak.
Hanya dengan itu dia bisa bertahan dan hidup dengan baik.
Kuali di tungku menggelegak setelah beberapa saat sisa tulang-belulang di masukkan. Sepasang makhluk astral memperhatikan air dalam kuali naik dengan warna lumpur bercampur darah yang menjijikkan, melawan gravitasi dan membentuk makhluk lain dengan tulang berbungkus kulit.
Kedua makhluk itu mengangkat Changeling yang baru lahir dan dengan hati-hati meletakkannya di atas sebuah jubah kelabu, wajahnya yang mengerikan mulai terisi daging begitu pula dengan anggota tubuhnya yang lain.
Mereka menyaksikannya membuka matanya yang bersinar penuh rasa ingin tahu, dan menatap tangannya sendiri dengan ragu. Sepasang makhluk itu tersenyum padanya dan membantunya berdiri, membungkus jubah itu ke dirinya.
"Gadis mungil," mulai mereka, "Kau ingin kami memanggilmu apa?" tanya yang satu dan gadis itu menatapnya aneh, dia tak mengerti, dia sendiri tidak tahu apapun tentang dirinya. "Lihat matamu, seperti rusa, sangat indah." Puji satu lagi, membuat Changeling itu tersipu.
"Lu (Rusa) Han..." ejanya dengan bibir bergetar, "Panggil... aku... Luhan."
Mereka tersenyum dan menuntunnya ke sebuah ruangan, tempat seorang anak kecil bergigi taring menyeringai padanya, tubuhnya yang kecil berjongkok di atas meja. Luhan menjerit, ketakutan akan apa yang dia lihat.
"Aku tak menyakitimu." Ucap anak itu, masih menyeringai, "Tapi sepertinya sisi manusiamu masih mengingatku." Dia tak mengerti kenapa dia ketakutan, batinnya seontak menjerit bersama mulutnya ketika dia melihat wujud mengerikan roh anak kecil di depannya.
"Luhan," panggil dua makhluk tadi, "Kami akan mengantarmu ke sebuah rumah, ada satu wanita dan satu remaja laki-laki yang akan mengurusmu." Gadis kecil itu mengangguk mengerti, "Tapi kau harus membunuh mereka, jangan terburu-buru, tapi harus."
Mata Luhan membelalak, membunuh? "Kau tak mau?" tanya yang satu dan Luhan menggeleng dengan cepat, seperti kata mereka, dia harus melakukan itu. "Bagus, kau hanya bisa hidup setelah mereka mati."
Luhan berdiri di sebuah ruangan kosong, dinding berwarna pink lembut menyapanya dan tempat tidur penuh dengan hello kitty plushies mengundangnya untuk duduk di atasnya.
Mereka memanggilnya Oh Hani, tak ada yang mengatakan bahwa dia akan dipanggil lain dari nama yang dia pilih untuk dirinya sendiri. Lalu kenapa mereka menanyakan siapa namanya?
Luhan menghela nafas dan berdiri dari tempat tidur yang sedari tadi dia tempati dan beralih ke jendela. Angin malam terasa sangat dingin, tapi dia menyukainya, sangat menenangkan. Dan dia tak merasakan apapun selain semilir hawa dingin biasa dibandingkan dengan beberapa orang yang menggigil ketika melewati rumahnya.
Lagipula dia bukan manusia.
Sebuah ketukan memanggilnya dan dia berjalan ke arah pintu, bertemu muka dengan orang yang tadi dia panggil kakak. Dia tak mengerti darimana instring itu, tapi ketika melihatnya, dia tiba-tiba berhasrat untuk memanggilnya kakak.
Laki-laki itu tersenyum, membawa sebuah bungkusan berisi minuman, "Oppa membeli bubble tea, kau mau?" Luhan menatapnya bingung, dia tak pernah mencoba minuman itu, dia bahkan tak pernah mendengarnya, tapi Changeling itu mengangguk dan menerima minuman coklat itu.
Sehun memperhatikan adiknya yang menyeruput bubble tea yang dia belikan, tersenyum. Sepertinya ada satu kebiasaannya yang tidak hilang, kesukaannya akan bubble tea coklat yang sering mereka beli bersama. Walaupun dia bersikap dingin padanya, dia senang karena setidaknya Hani mau menerima minuman yang dia belikan.
Luhan menyerahkan wadah kosong pada kakaknya yang bahkan masih meminum sepertiga. Remaja itu menatapnya kaget, "Biasanya butuh waktu satu jam untukmu menghabiskannya, kenapa cepat sekali sekarang?"
Gadis itu membuang muka, "M-Maaf." Gumamnya, namun manusia di depannya hanya mengacak rambutnya, gadis itu sudah terbiasa dengan kontak fisik yang tiba-tiba dilakukan manusia itu, dan Luhan menatapnya polos, "Oppa tak marah?"
"Kenapa aku harus marah?" dia tersenyum, dan Sehun menyilangkan kakinya ke atas tempat tidur, "Hani," dia melihat adiknya dengan ragu mengangkat kepalanya ketika dia memanggil, "Kau kemana kemarin malam?"
Luhan menelan ludah ketakutan, mereka melarangnya untuk tidak mengatakan dia kemana saja sebelum dia bertemu 'kakak'nya, jika itu terjadi, mereka khawatir dia harus mati. Changeling itu menggelengkan kepala dengan cepat.
"Itu bukan urusan Oppa."
Sehun menghela nafas, "Hani," panggilnya lagi, tapi anak umur 12 tahun itu hanya melempar wadah bubble tea-nya ke tong sampah kamarnya, enggan untuk ke dapur dan membuangnya disana. "Kenapa kau begini denganku?"
"Aku bukan anak kecil." Bantahnya dengan dingin, tak menatap sang kakak dan jelas tak melihat kilatan kecewa dari yang lebih tua. "Aku mau tidur."
Sehun menghela nafas, mengalah untuk tidak bertanya lagi, "Baiklah, tidurlah."
Tepat setelah Sehun menutup pintu kamar adik, sebuah sosok berdenyar menganyam udara, menyeringai dan berjongkok di atas tempat tidur Luhan. Rambut hitam panjangnya terurai menutupi wajahnya dan gaun putihnya menjuntai.
"Keren," ucapnya, dan Luhan mencoba untuk tidak berjengit ketika sosok itu mendekat kearahnya, berjalan dengan gaun putih dan seringainya yang mengerikan. "Kau masih takut padaku?" tanyanya dan Changeling itu mengangguk.
"Kau mengerikan." Gumamnya, tak melihat seringai makhluk itu yang semakin lebar, "kau benar-benar mengerikan."
"Tak perlu khawatir." Ujarnya, seringai jahat masih terpasang di mulutnya yang dipenuhi taring. "Kau akan seperti ini nantinya." Dan dengan itu, roh itu meninggalkan Luhan yang terduduk ketakutan.
Sosok itu adalah seorang Changeling juga, yang telah berhasil membunuh semua anggota keluarga dari anak yang telah dia tiru.
Luhan menatap 'ibu'nya dari belakang, berandai-andai apakah dia harus merampas pisau dapur yang wanita itu pegang di dapur atau harus terus duduk manis di meja makan menunggu kakaknya keluar dari kamar.
Ibunya berbalik dan tersenyum hangat padanya, memintanya untuk menunggu sebentar karena sarapan sudah akan siap. Luhan tersenyum terpaksa, menepis pandangan pisau dapur yang berkilat di bawah lampu, seolah mengundangnya untuk mengambil dan menikam wanita itu tepat di jantung.
Tak lama kemudian, kakaknya, yang dipanggil sang ibu dengan sebutan Sehun, masuk ke ruang dapur dan mengecup pipi ibunya, mengacak rambut Luhan, sebelum duduk di kursinya.
Luhan melemparkan pandangan ke sekitar, vas bunga akan sangat indah jika berhias darah mereka di pecahannya. Luhan mengguncangkan pikiran itu, mencoba menahan diri. Tak ada gunanya jika dia membunuh mereka sekarang, dia juga masih belum bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya, dia masih baru lahir.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Sehun dan gadis itu menggeleng, menyeruput susu coklat yang baru saja ibunya sediakan. Remaja itu ikut menyantap sarapannya dan mengajaknya ke sekolah.
Dua makhluk yang mengantarnya tak pernah menyebutkan apa itu sekolah, mereka bilang akan ada dua manusia yang mengurusnya, mereka tak pernah menyebutkan apa definisi sekolah yang harus dia jalani. Dengan enggan, gadis itu memakai sepatunya dan berjalan di depan kakaknya.
Sementara Sehun menatap punggung adiknya, menggoyangkan tas pink-nya seolah menimbang-nimbang apakah dia harus melarikan diri atau tidak. "Hani, awas!" dia menarik adiknya spontan ketika anak 12 tahun itu berjalan tanpa melihat keadaan.
Sebuah mobil nyaris saja menabraknya. Sehun menatapnya kesal, dan dalam dua hari dia bertemu remaja itu, Luhan tak pernah melihatnya menatapnya dengan kilatan seperti itu. "Kau tak pernah seperti ini," gumamnya, "kau benar-benar coroboh, Hani! Bagaimana jika kau tertabrak tadi, hah?!"
Luhan mundur selangkah atas teriakan Sehun, merasa ketakutan dan terintimidasi akan raungan marah dari manusia di hadapannya. Jika dia tertabrak, akankah dia mati? Tapi makhluk yang mengantarnya berkata hanya mereka yang dapat mencabut hak hidup Luhan, atau Changeling itu sendiri, jika dia menginginkannya.
Tak masalah jika dia tertabrak, bukan?
Namun Luhan menundukkan kepala, tak mau menatap remaja marah di depannya, tak terasa setetes air mata terjatuh dari pipinya. Sehun melihat itu, dan dengan penuh rasa bersalah berjongkok dan memeluk sang adik.
"Hei, Oppa minta maaf." Bisiknya sambil masih merengkuh tubuh Luhan, "Aku hanya khawatir kau terluka." Laki-laki itu menjauhkan dirinya, menghapu air mata yang terjatuh di pipinya, dan tersenyum lembut. "Kita bisa terlambat, ayo."
Dan kali ini, Luhan membiarkan Sehun menggenggam tangannya.
Terlalu banyak manusia.
Luhan menatap anak-anak yang nampak seumuran dengannya duduk dengan diam dan manis sambil membuka buku mereka, sementara dirinya sendiri menatap kosong pria yang mereka panggil guru, tak mengerti apa yang dia jelaskan.
Andai saja dia membawa otak anak yang dia tiru bersamanya, mungkin dia akan dengan mudah menghafal dan mempelajari apa yang diterangkan di kelas. Tapi tidak, sayangnya, bukan kepala yang diambil melainkan lutut.
Karena tanpa lutut ke bawah, mereka takkan mampu berkeliaran kemana-mana, dan mereka hanya mampu merangkak untuk melakukan apapun, itupun dengan amat sangat susah payah. Luhan menyaksikan bagaimana anak manusia yang sangat mirip dengannya terkurung di sebuah sel dari tulang, dielus seolah dia adalah hewan peliharaan oleh sebuah makhluk bersayap kelelawar, matanya tertutup tak sadarkan diri.
Luhan pernah merasa iba ketika melihatnya, tapi kedua makhluk yang membawanya kesana mengingatkan bahwa selama manusia itu terisolasi dari dunia manusia, dia akan terus bisa hidup. Dan Luhan suka hidup.
Walaupun dia tak mengerti perasaan manusia yang campur aduk dan terus menyeruak di dadanya. Entah itu rasa takut, sedih, dan bahagia. Walaupun dia merasa asing ketika berada di luar negeri orang mati, dia suka hidup.
"Oh Hani," tegur gurunya, membuatnya menegakkan tubuh dengan spontan, memberanikan diri menatap lautan murid yang memperhatikannya, "Jauhkan pandanganmu dari jendela dan perhatikan ke depan."
"Ya, Sonsaeng-nim." Jawabnya sopan dan mengalihkan pandangan ke bukunya. Namun dia tak dapat menahan untuk tak melirik jendela dan sekelebat wuud kakaknya mengejutkannya.
Sehun tengah bermain bola di lapangan, tertawa bersama teman-temannya, tak menyadari pandangan yang menatapnya. Kenapa Oh Hani memiliki kakak yang sangat tampan?
Luhan mengerjapkan mata, ini adalah salah satu perasaan aneh yang sering dia rasakan ketika melihat manusia itu. Campur aduk. Berdebar. Changeling itu menghela nafas, jantung Oh Hani sangat lemah.
Seperti biasa, Sehun akan berjalan di belakangnya sementara dia berjalan dengan perlahan di depan. Dia dapat merasakan tatapan kakaknya menusuknya dari belakang, membuat Luhan merasa terintimidasi.
Dia tahu, Sehun adalah orang yang lembut dan baik, berbanding terbalik dengan mata tajam dan wajah mengintimidasinya. Namun sesuatu dalam dirinya menciut ketika remaja itu menatapnya, entah kenapa.
Luhan berbalik ketika melihat sosok yang terus mengawasinya dari kejauhan, menutupi wajahnya dari sosok itu. Dia berdoa Sehun tidak melihat apapun dan hanya terus berhadapan dengannya. Dia dapat merasakan seringai roh itu walau dia berjarak sangat jauh dari tempat mereka berada/
"Ada apa?" tanya kakaknya dan Luhan menggeleng, "Kenapa? Kau pucat." Tanyanya, menyentuh wajah anak umur 12 tahun itu yang sudah memucat karena ketakutan.
"Oppa," Panggilnya, suaranya melemah, "Ayo pulang." Dengan enggan, Luhan menggandeng tangan sang kakak, mengabaikan sensai listrik yang dia rasakan setiap kali tangan itu menyentuh tubuhnya.
Sehun sendiri nampak kaget. Sudah berhari-hari adiknya terus bersikap dingin, jangankan memegang, dia bahkan tak mau mengobrol dengannya lagi. Dan perubahan sikap Hani membuatnya keheranan. Ada apa dengan sikapnya yang bipolar sekarang?
Namun remaja itu hanya tersenyum, menggenggam erat tangan mungil yang meraihnya tadi, "Ayo kita pulang."
Sementara Luhan berusaha untuk merengsek dekat-dekat ke Sehun, agar tubuhnya tertutupi dari bayang-bayang dinding, dari sepasang mata milik roh bergigi taring, matanya yang hitam kosong membayangi pikiran Luhan.
Dia bahkan tak sadar bahwa sosok itu erus mengikutinya sejak pagi tadi, dia baru menyadari ketika tanpa sengaja menatap bayangan gelap sisi dinding yang tertutup dari matahari. Luhan sama sekali tak mengerti kenapa sejak dia lahir, makhluk itu terus mengikutinya.
Tanpa sadar, gadis itu meremas tangan Sehun, membuatnya menoleh dan berjongkok menghadap anak yang ketakutan. "Kau sangat aneh, kau tahu itu, kan?" ujar Sehun dan Luhan sedikit mendongak, menatap mata kakaknya.
"Kau tak mau aku menyentuhmu, dan sekarang kau menggenggamku erat," Sehun mendeskripsikan, jemarinya masih terselip di antara jemari Luhan. "Hani, kau tak pernah bercerita kenapa kau seperti ini."
Luhan menatap kakaknya, kilatan mata Sehun menyiratkan rasa ingin tahu dan harapan, seolah jauh darinya setelah beberapa hari terasa berat. "Aku tak bisa memberitahumu."
Aku bisa mati.
"Apa ada yang mengganggumu?" desak Sehun, namun dia hanya terus menggeleng, menolak untuk bicara. Hingga akhirnya remaja itu menyerah dan berdiri, menggandeng tangannya untuk memimpinnya berjalan menuju rumah mereka.
Dan Luhan harus terus menyangkal bahwa sengatan listrik itu mendebarkan jantungnya.
Sudah tiga hari Luhan berada disini, dan hal yang mengejutkan adalah bahwa makhluk yang mengawasinya sejak kemarin menghilang tanpa jejak. Dia benar-benar sendirian di dunia manusia.
Dua makhluk yang mengirimnya mengatakan bahwa butuh waktu lama untuk sebuah Changeling untuk membunuh anggota keluarganya, dan itu bukanlah beban jika dia tak sanggup melakukannya dalam kurun waktu tiga hari.
Tapi Luhan merasa perlu untuk segera pergi dari sini. Dia merasa wujud manusianya memiliki sesuatu yang mereka sebut dengan hati. Hal itu membuat Luhan ketakutan dan khawatir dia tak sanggup menunaikan misinya.
Dia bahkan tak sampai hati menggoreskan cutter yang tak sengaja dia temukan ke nadi kakaknya, lalu bagaimana dia bisa membunuh mereka?
Gadis umur 12 tahun itu mengawasi kakaknya yang tengah memasak karena ibu mereka berkata akan pulang terlambat. Ketika dia melihat anak-anak lain di sekolahnya, akan ada satu orang pria yang mereka panggil ayah, lalu kenapa Oh Hani tak memiliki sosok itu? Hanya ada satu orang laki-laki di rumah mereka, Sehun.
Kemana perginya ayah mereka?
Tapi bukankah akan sangat aneh jika Luhan menanyakan itu, Sehun mungkin akan curiga bahwa dia memang bukan adiknya. Tapi Changeling itu benar-benar penasaran, sehingga dia nekat menanyakan hal itu pada remaja di depannya, bersiap-siap akan seluruh konsekuensinya.
Namun Sehun hanya menatapnya dingin, "Kenapa kau menanyakan itu?" tanyanya dan Luhan merasa mati kutu, apakah mungkin jika Oh Hani tak mengerti kemana ayahnya pergi? "Bukankah aku sudah bilang dulu kalau Appa terkena serangan jantung?"
Serangan jantung?
Luhan memikirkan kata itu, tak terlihat mengerikan, itu adalah hal yang terjadi ketika kau merasa kaget, bukan? Pikiran Luhan menerka-nerka.
"Dia meninggal." Ucap Sehun, meletakkan mangkok berisi kuah mengepul di depan anak itu, "Makanlah, jangan bicarakan Appa."
Luhan mengangguk dan menyeruput kuah itu, tapi dia terus memikirkan perkataan Sehun. Jika mungkin serangan jantung bisa menimbulkan kematian, mungkin dia bisa mencobanya.
"Bodoh." Bisik sesuatu di telinganya dan gadis itu nyaris menumpahkan minumnya ketika melihat anak yang mengikutinya sejak dulu menyeringai tepat di depan matanya, benar-benar di depan matanya, bahkan hidung mereka seolah bersentuhan.
"Hani," Sehun menegang, melihat bagaimana adiknya membeku ketika ada sosok yang muncul di sampingnya. Dia pasti berbohong jika dia mengatakan bahwa dia tak melihatnya. Dengan cepat, Sehun beranjak dari duduknya dan menarik adiknya hingga berdiri. "Jangan ganggu dia, kau brengsek." Geramnya dalam dan roh itu menyeringai, berdenyar menghilang.
Sementara Luhan masih terpaku di tempatnya, matanya membelalak lebar dan tangannya dingin gemetaran. Sehun yang melihat ini langsung berjongkok dan memeriksa anak 12 tahun itu.
"Kau tak apa? Apa yang kau lihat? Kau tak lihat apa-apa, kan?" Sehun membombardirnya dengan berbagai pertanyaan, dan Luhan hanya dapat mengangguk dalam diam.
Luhan tak bisa tidur malamnya, dia terus berputar di bawah selimut. Jika biasanya malam membuatnya merasa aman, seolah dia kembali menyatu dengan bayang-bayang setelah sekian lama berada di tempat terang, kali ini dia merasa gelisah.
Matanya melirik dinding di kamarnya, biasanya akan ada ular yang memiliki kepala di dua sisinya – amphisbaena – bergelung di lantai setelah bosan melata mengitari kamarnya. Namun keadaan sunyi senyap, hanya sedikit teriakan banshee yang terdengar.
"Sebentar lagi akan ada sirene ambulans." Ucap Luhan, mengingat banshee hanya menjerit seperti itu ketika ada orang yang hendak mati. Namun itu tak menenangkannya, bahkan mata bersinar seekor strix – makhluk berwujud burung hantu pembawa mimpi buruk – yang melesat membuatnya ketakutan.
Tidak, tidak, dia adalah salah satu dari kehidupan malam, kenapa dia merasa ketakutan ketika kegelapan menghujani kamarnya, ketika hanya ada cahaya terang bulan dari jendelanya yang kordennya tak tertutup.
Tangan Luhan sudah gemetaran dan dirinya mencoba menetralisir rasa takut yang melingkupi dirinya. Dia tak tahu kenapa, tapi tatapan menyeramkan sosok yang mengikutinya – yang tak pernah dia ketahui namanya – terus muncul di kepala, menakutinya ketika dia memejamkan mata.
"Boo!" Dan suara jeritan Luhan menginvasi ruangan, dia menutup rapat-rapat tubuh sampai kepalanya dengan selimut, memejamkan mata erat-erat. Dia tak tahu siapa yang datang tadi, tapi dia yakin bahwa sosok itu sangat menyeramkan.
Dia menjerit lagi ketika ada yang memaksa untuk menyingkap selimutnya, "Hani!" Sehun tak menghiraukan teriakan sang adik dan terus menarik selimut, memeluk adiknya yang gemetaran. "Apa yang terjadi? Jangan menangis, tolong."
Luhan sesenggukan di pelukan Sehun, mencoba menghilangkan apa yang muncul di tatapan matanya tadi. dia membalas rengkuhan remaja itu, tangan mungilnya mendekap erat punggungnya. "Aku takut." Bisiknya dan Sehun menepuk kepalanya pelan.
"Oppa disini, tenanglah, Oppa disini." Dia menenangkan anak umur 12 tahun itu, mencoba membuatnya tak menangis lagi. Sehun ingin bertanya apa yang terjadi, tapi adiknya pasti sangat ketakutan dan tak mau menceritakannya.
Jadi dia hanya menunggu anak itu tertidur dan merebahkannya di atas kasur, menyelimutinya sebelum beranjak untuk mematikan lampu. Namun kemudian matanya memicing melihat sosok yang mengganggunya dari kemarin muncul lagi, kali ini di atas meja belajar Hani, dengan seringai dan wajah yang sama.
Dengan ragu Sehun menatap kembali ke adiknya yang tertidur lelap, sepertinya bakat melihat apa yang tak seharusnya tak hanya turun kepadanya.
Luhan turun dari tempat tidur dengan wajah yang masih tampak lelah. Dia ingat tak tidur nyenyak semalaman, gadis itu mengusap wajahnya dengan tangan sebelum beranjak dari-
Tunggu.
Ini bukan kamarnya, ini bukan kamar dari Oh Hani. Changeling itu menemukan dirinya berada di tempat ketika dia pertama kali dilahirkan, di negeri orang mati. Luhan menatap sekelilingnya, dinding stalaktit gua mendominasi tempat itu dan suara bisikan menyeruak di telinganya.
Bisikan itu sangat pilu, betapa mereka merasa hidup itu tak berharga, betapa mereka beranggapan bahwa mati adalah cara terbaik untuk mendapatkan ketenangan-
"Itu berbahaya." Ucap sebuah sosok ketika Luhan tanpa sadar hendak mencelupkan tangannya ke sebuah danau di tengah gua. "Satu sentuhan dan kau akan hilang selamanya."
Sosok itu merangkak ke sumber cahaya dan Luhan melihat roh yang paling dia takuti muncul di depannya, spontan, gadis itu merengsek mundur. "K-Kau, apa yang kau lakukan disini?"
Dia menyeringai, "Kita belum berkenalan ya, kan?" ujarnya dan mengitari Luhan, tubuhnya sudah berdiri tegak dan dari pencahayaan yang Changeling itu dapatkan, dia dapat melihat semburat keemasan rambut hitam roh itu. Dia tersenyum, sangat manis membuat Luhan merasa bahwa sosok itu mirip koin siling.
"Aku Xiumin." Dia mengulurkan tangannya, masih tersenyum dengan manis. "Itu nama yang kupilih untuk diriku sendiri. Aku sudah membunuh keluarga Kim Minseok."
"Itu keluarga dari kembaranmu?" tanya Luhan dan Xiumin mengangguk, dengan ragu, Changeling muda itu menerima jabatan tangan dari sosok di depannya. "Aku tak pernah berada disini." Ucap Luhan, dengan gugup menatap sekeliling.
Xiumin mengibaskan tangannya, "Aku sengaja membawamu kesini, kau belum pernah berkeliling selain di sel." Ucapnya dan menarik tangan Luhan untuk mengikutinya ke sebuah terowongan.
Hanya api obor yang menerangi jalan mereka sekarang, dan terkadang dua Changeling itu menemukan tulang belulang sisa spartoi yang sudah mati. Spartoi, mesin pembunuh mengerikan yang terbentuk dari tulang naga, bentuknya, secara harfiah, hanyalah susunan kerangka tanpa daging ataupun kulit.
Luhan sudah pernah melihat satu, ketika dia melihat keadaan Oh Hani di sebuah sel, penjaganya adalah satu dari bermacam banyak spartoi. Mengingat itu, Luhan ingin tah bagaimana keadaan kembaran manusianya, dia hanya berharap, makhluk bersayap kelelawar itu tak menyakitinya.
"Kita mau kemana?" tanya Luhan, memberanikan diri untuk bertanya kepada yang lebih tua di depannya. Dengan gugup, gadis itu melirik lukisan yang ada di dinding terowongan.
Seketika Luhan menyesal, gambar di dinding terasa sangat mengerikan dan menyakitkan. Pembunuhan, kesepian, ketidaksetiaan, kesombongan, keserakahan, Luhan harus mengalihkan pandangannya agar tidak merasa dihantui.
Xiumin membawanya ke sebuah celah sempit, dengan susah payah Luhan merangkak masuk ke dalam sana dan menemukan dirinya di sebuah ruangan luas, becek karena air terjun, dan kosong bergema.
Changeling muda itu mengikuti yang lebih tua untuk menatap sebuah bola kristal berwarna putih pekat, berdenyar lembut di kehampaan gelap ruangan itu.
"Apa ini?" tanya Luhan ketika Xiumin menyerahkan sebuah serum kecil berwarna hitam ke tangannya.
"Kau akan tahu nanti." Dan dengan hati-hati Luhan menuangkan cairan itu ke bola kristal, yang ternyata bukan sepenuhnya bola, melainkan kabut yang berputar membentuk bola, dan ketika Changeling itu menuangkan isi serum hitam tersebut, cairan akan menyatu dengan kabut, secara harfiah berubah menjadi kabut itu sendiri, entah bagaimana caranya.
Dan dengan hati-hati, Luhan melihat bola yang berdenyar samar tersebut.
So, it's Hunhan, y'all!
Aku kan minta saran sama teman-temanku, enaknya habis ini buat apa, terus kata mereka Hunhan, yaudah Hunhan, LOL.
Jadi gimana? Sesuai ekspektasi atau tidak? Atau masih ada yang perlu diperbaiki? Kritik dan saran, anyone?
You can say them in the reviews, juseyo /\
And one more thing, aku buat ini dengan sistem kebut jadi aku gatau kapan aku bisa update dan aku akan mengusahakan tiap minggu aku bakalan update dan itupun kalo pr-ku gak banyak. Sekolah, oh, sekolah.
Anyway, that's all for the first chapter,
Yoon Soo Ji, out!
