ALL CHARACTER @ Masashi Kishimoto
Warning : OOC, YAOI!, Mature Content, Harsh Words, Typo (s)
.
.
.
.
DIA bukanlah sosok hero yang dihormati dan selalu dinanti oleh banyak orang, tetapi dia mampu membuat orang-orang di sekitarnya merindukan kehadirannya. Dia bukan tipe anak yang pintar dalam bidang akademik, tapi ia sangat jeli dengan sekitarnya. Dia mungkin ceroboh dan nekat, tapi dia tidak sebodoh yang orang-orang kira. Memang sangat berbeda jauh dari anggota keluarganya yang terkenal perfeksionis.
Yeah.. Jika diibaratkan, maka ia dan anggota keluarganya itu seperti dua mata koin yang saling bersisian. Berdekatan namun dengan arah yang berlawanan. Berbeda tapi tak bisa saling dipisahkan. Sebab memang seperti itulah semesta. Akan selalu ada perbedaan yang menyertai setiap individunya.
Setidaknya itulah yang ia pelajari dari masa ke masa selama perjalanan hidupnya. Tidak hanya sekali dua kali ia menemui orang yang sangat berseberangan dengannya, itu sudah tak terhitung lagi bahkan jika ia menggunakan seluruh jari tangan dan kakinya yang syukurlah lengkap. Dan dari keseluruhannya, ada hal yang selama ini ia yakini dari hasil mengamati. Bahwa perbedaan itulah yang membuat keberlangsungan suatu arus kehidupan terasa lengkap dan seimbang.
"NARUTOOO."
Oh ya, ngomong-ngomong dia juga punya cara tersendiri untuk membuat anggota keluarganya bertingkah di luar jalur mereka. Contohnya saja seperti saat ini, ia dengan mudah membuat sang ayah yang terkenal kalem berteriak seperti ibu-ibu kompleks.
"Ada apa ayah?" tanyanya kalem.
Sang ayah menggeram, menatap tajam anak lelaki yang tengah berdiri tak jauh darinya dengan raut tak berdosa. Di tangan kanan sang anak ada sebuah kuas berlumuran cat air, sedangkan di tangan kirinya tengah memegang palet.
"Kamu ini benar-benar,"–sang ayah, Minato, memijit pelipisnya pelan–"ah, ibumu pasti akan mengamuk saat pulang nanti."
Naruto cengengesan. Ia melempar kuasnya ke sembarang arah, menyebabkan Minato melotot keji ke arahnya. Tapi Naruto tetaplah Naruto, walau sang ayah kini sudah memasang wajah paling menyeramkan pun ia sama sekali tidak perduli.
"Aku cuma berlatih melukis kok," ujarnya.
Minato merasa kepalanya semakin berdenyut kencang mendengarnya. Ia mendekati Naruto yang tengah mengipasi hasil karyanya yang sungguh mengerikan dengan sebuah buku tulis. Memang benar kalau kemampuan melukis Naruto itu di bawah rata-rata dan butuh diasah, namun ini benar-benar keterlaluan. Kini Minato hanya mampu menatap miris selimut putih kesayangan istrinya yang terbentang bagai kanvas di sebuah jemuran. Dan oh! jangan lupakan coretan tak berbentuk yang terpampang di sana.
Minato merasa jika sebentar lagi musibah akan melanda kedamaiannya.
"Melukis itu ada tempatnya son, apa kamu nggak tahu apa itu kanvas?" tanya sang ayah.
Naruto mengerjap beberapa kali sebelum menjawab, "tahu kok, tapi aku lupa beli."
Minato meremas rambutnya. "Astaga! Terus kenapa menggambar di selimut kesayangan Ibu?"
"Soalnya aku gemas Yah lihat kepolosan selimut yang berkibar-kibar." Naruto tersenyum lebar.
Minato menghela napas, entah dosa apa yang telah diperbuatnya di masa lalu hingga ia harus menghadapi kelakuan nakal anak keduanya yang super menyebalkan. Meski ini bukan pertama kalinya, ia masih tetap belum terbiasa. Bahkan anak pertamanya itu pernah menangis saking kesalnya dengan sang adik. Dan istrinya pernah menyiram diri sendiri dengan segelas air dingin saking emosinya pada si bungsu.
Wajah Naruto memang seperti malaikat, tapi jangan salah! Wajahnya merupakan wujud nyata dari sebuah ketidak sinkronan. Karena sesungguhnya sosok asli yang ada dibalik itu adalah titisan iblis yang sulit ditaklukkan bahkan oleh mereka yang merupakan keluarganya. Tapi meski demikian, ada satu hal yang Minato syukuri dari Naruto. Dia bukanlah anak manja yang hobi memanfaatkan kekuasaan orang tuanya.
"Apa-apaan itu? Kenapa nggak pinjam Dei saja? Dia kan berkecimpung di dunia seni juga, mungkin dia menyimpan kanvas di kamarnya," saran Minato.
Naruto memutar bola matanya yang sebiru lautan itu. "Ayah, kak Dei itu berkecimpung dalam seni pahat bukan seni lukis. Jadi mana mungkin dia punya kanvas? Ayah lupa ya?"
Minato terbahak, ia baru menyadari kebodohannya sendiri. Berhadapan dengan Naruto memang menyebalkan, ia selalu berhasil menjatuhkan image-nya. Minato mendekati sang anak, kemudian mengacak surai yang sewarna miliknya itu dengan gemas.
"Ayah, berhenti mengacak rambutku! Ayah membuatnya gagal terlihat keren," protes Naruto.
Ia melangkah mundur, berusaha menghindari tangan sang ayah yang masih berusaha meraih rambutnya yang menurut Naruto paling keren se-Tokyo.
"Hahaha baiklah baiklah." Minato mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
"Ayah, ngomong-ngomong Ibu pulang arisan jam berapa?" tanya Naruto.
"Hm, mungkin sebentar lagi. Kenapa?"
Naruto mulai mengambil ancang-ancang. "Kalau begitu—"
"Bye ayah."
Minato melongo, menatap kepergian Naruto yang semakin menjauh. Ia kemudian menatap sekelilingnya, benar-benar kacau. Keadaannya sudah seperti kapal pecah saja. Kalau begini apa yang harus ia katakan pada istrinya? Ia yakin, saat istrinya pulang nanti ia pasti akan diamuk secara ganas oleh wanita yang sering Naruto sebut macan betina itu.
Naruto menghentikan larinya begitu sampai di luar gerbang rumahnya. Ia membungkuk, kemudian tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. Membuat jengkel ayahnya adalah kegiatan yang menyenangkan, dan ia tidak pernah bosan untuk mengulanginya.
"Hahaha.. senangnya," katanya sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
Untuk merayakan kebahagiaan yang hari ini masih senantiasa menghampirinya. Naruto menendang sebuah kaleng bekas minuman ke sembarang arah. Matanya terus mengikuti arah kaleng tersebut melayang. Bersiul pelan ketika menyaksikan hasil dari aksinya. Namun naas, sepertinya Dewi Fortuna sedang ngambek padanya. Buktinya sekarang ia malah mendapat kesialan yang tak terduga.
BRUUK
Motor beserta pengendaranya jatuh terjerembab setelah kepalanya terhantam kaleng terbang milik Naruto. Naruto panik, ia pasti akan habis kalau orang itu membawa perkara ini ke kantor polisi. Bagaimana pun juga tindakannya tadi memang sedikit berbahaya, bahkan ia sempat mendengar suara hantaman yang keras akibat beradunya helm dan kaleng tersebut.
Naruto berlari ke arah orang tersebut.
"Uhm, ma—maaf,"–Naruto gelagapan–"aku benar-benar tidak sengaja!"
Orang itu bangkit dengan susah payah, kemudian secara kasar mencopot helm-nya. Tampaklah wajah dingin tersebut. Naruto mengenalinya, itu Uchiha Sasuke. Senior-nya di sekolah. Naruto semakin shock, dan seketika kepalanya terasa berdenyut. Ini sih sudah jatuh tertimpa tangga, pikirnya. Bisa-bisanya ia malah terlibat masalah dengan manusia yang paling banyak dimusuhi oleh murid lelaki di sekolah. Benar-benar hari yang buruk.
"Kamu—" Sasuke menggeram marah.
"Se–senior, ampuni aku." Naruto buru-buru membantu sang senior mendirikan motor yang menurut Naruto, sumpah berat banget.
"Kamu tahu?"–orang itu menatap tajam Naruto–"kamu benar-benar idiot."
Naruto tidak terima, memangnya siapa orang ini? Beraninya mengatai Naruto idiot. Baru saja Naruto akan menghantam wajah tanpa ekspresi itu dengan tinjunya, ia segera tersadar.
Tentu saja dia kakak kelasmu yang patut kamu hindari Naruto, ia merutuk dalam hati.
Naruto tidak boleh macam-macam kalau tidak mau semakin terlibat dengannya. Jadi ia kembali menenangkan diri sendiri setelah beberapa kali menghirup dan menghembuskan napasnya.
"Sebagai pertanggung jawaban, izinkan aku mengobati lukamu senior." Naruto tersenyum paksa.
Orang itu menjawab singkat, "tidak perlu."
"Tapi—"
Orang itu mendekat, kemudian berdiri tepat di hadapannya. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Naruto. Kemudian berbisik, "hari ini kamu kulepaskan, tapi ingat satu hal! Aku selalu mengawasimu, Naruto."
Naruto membeku, oh tidak.. senior-nya ini tahu namanya. Ia sungguh tidak pernah tahu kalau ia seterkenal ini, hingga orang paling fenomenal karena tabiat buruknya pun mengenali dirinya. Naruto merutuki pikiran absurd-nya yang muncul tiba-tiba. Naruto berniat akan menjauhkan jarak mereka, tapi aksinya sudah terhenti lebih dulu bahkan sebelum sempat terlaksana. Orang itu menjilat telinganya, membuat sang pemilik berjengit kaget ketika sesuatu yang lembab itu menyentuhnya. Gila, orang ini menjilat telinganya. Sekali lagi, MENJILAT. Naruto histeris seketika. Ia mundur beberapa langkah, kemudian menuding Sasuke dengan kurang ajarnya.
"Dasar homo brengsek," umpatnya, "fuck you!"
Sasuke menyeringai melihat Naruto yang berlari tergopoh-gopoh memasuki halaman rumah sembari mengacungkan jari tengahnya tinggi-tinggi.
Lucunya, pikir Sasuke.
Sore ini Naruto memutuskan untuk bersantai di sebuah taman yang letaknya tak jauh dari rumah. Mood-nya memburuk setelah kejadian yang menimpanya tadi pagi. Naruto mengedarkan pandangannya, mengamati tempat yang terasa lebih ramai dari biasanya itu dengan tidak bersemangat. Oh tentu saja, ini kan hari libur.
Melihat beberapa pasangan kekasih yang bertebaran di sekitarnya, ia jadi terpikirkan sesuatu. Seharusnya ia ke sini mengajak kekasihnya juga, tapi tak lama kemudian ia merengut kesal begitu ingat kalau ia ini single. 'Jomblo buluk' kalau kata Deidara—kakak laki-lakinya. Jadi ya begitulah, ia hanya mampu menatap mencemooh setiap pasangan kekasih yang dilewatinya.
"Hih apa-apaan sih mereka? Mengganggu pemandangan tahu nggak," gerutunya sambil menendangi kerikil-kerikil kecil yang menghadang langkah kakinya
Ia berhenti di sebuah bangku taman yang kosong, duduk santai sembari mengamati dua orang bocah yang tengah berebut sebuah boneka barbie. Boneka yang selalu terlihat konyol di matanya. Dan dua anak itu terlihat lebih konyol lagi. Karena, hei.. mereka berdua itu kan laki-laki. Kenapa harus memperebutkan benda seperti itu? Sungguh menggelikan.
Ia terkikik melihat mereka yang saling mendorong manja. Kalauyang ada di posisi salah satu anak itu Naruto, mungkin lawan berebutnya sudah menangis dari tadi. Soalnya Naruto tidak akan ragu untuk menendang. Katakanlah Naruto itu kasar dan barbar, tapi memang seperti itulah cara bertahan hidup seorang laki-laki a la Naruto Namikaze. Selama ia tidak bertindak kasar pada seorang perempuan, Naruto rasa itu tidak masalah.
"Kita bertemu lagi, manis."
Sebuah suara bergema di indera pendengarannya. Berat serta seksi. Benar-benar terdengar sangat manly. Dan hal tersebut jelas saja membuat Naruto iri setengah mati. Habis mau bagaimana lagi? Ia kan tidak memiliki suara yang seperti itu. Bahkan teman-temannya bilang, suara Naruto itu sedikit cempreng dan mengganggu. Ketika dia berbicara, orang akan menganggap bahwa ia sangat berisik. Meskipun hanya satu kalimat yang keluar.
Naruto menoleh. Di sana, hanya berjarak beberapa cm dari wajahnya sesosok lelaki menyeringai angkuh pada dirinya. Entah kesialan apalagi ini, untuk yang kedua kalinya dalam satu hari ia kembali dipertemukan dengan sosok tersebut. Sosok tersebut melompati bangku taman, kemudian duduk dengan seenak pantatnya di sebelah Naruto. Manik hitam yang tampak gelap sekelam langit malam itu terus mengarah padanya. Dan tatapan itu benar-benar.. terasa begitu menusuk. Naruto risih, jadi ia melotot ke Sasuke. Tapi sayang, hal tersebut sama sekali tak dihiraukan oleh Sasuke.
"Senior, aku tidak tahu apa yang kamu rencanakan. Tapi lebih baik kalau senior tidak mendekatiku lagi. Bukankah sebelumnya kita tidak pernah saling menyapa?" ujar Naruto.
Sasuke mendengus, nampak sekali kalau ia tidak suka dengan perkataan Naruto. Ia mencengkram dagu Naruto, kemudian mengarahkannya untuk menatap wajahnya.
"Aku tidak akan melepas apa yang sudah ku bidik," desis Sasuke.
Naruto melengos. "Aku bukan buruan, sialan. Dan kamu pun bukan pemburu dengan laras panjang. Jadi hentikan saja!"
"Tidak akan," tolak Sasuke.
Naruto sudah habis kesabaran. Segera saja ia berdiri dari posisi duduknya, lalu mencengkram kerah kemeja Sasuke. Tinjunya melayang begitu saja, menyentuh wajah putih tersebut dengan kencang. Sasuke terdorong sedikit ke samping. Kemudian Naruto menatap tajam Sasuke yang sudah kembali menegakkan tubuhnya sembari mengelap darah di ujung bibirnya.
"Hei dua kakak itu sedang berkelahi," ujar salah satu anak yang tadi sibuk berebut boneka.
"Wah iya, apa kita harus melapor pada tuan polisi?" tanya anak satunya lagi.
Naruto menoleh ke mereka. Menatap mereka dengan tatapan menusuknya. Kedua anak itu mengkerut ketakutan sebelum berlari sambil berteriak histeris.
"Mamaaa, ada kakak galak. "
"Kamu menakuti mereka, manis," kata Sasuke.
"Berhenti menyebutku manis, Teme," protes Naruto tak terima.
"Baiklah, Dobe."
"Aku bukan dobe, sialan." Naruto menendang kaki Sasuke.
"Oke, sayang."
"Diam atau kurobek mulut busukmu itu," ancam Naruto.
Sasuke tersenyum meremehkan. Begitu puas melihat wajah kesal Naruto yang menggelikan. Sedikit seram namun lucu di saat yang bersamaan. Apalagi ketika bibir itu bergerak-gerak menyerukan protesnya, sungguh menggoda. Sasuke jadi ingin menciumnya, kemudian menghisapnya sampai puas.
"Hn."
Perkataan Sasuke yang tak jelas apa maksudnya itu membuat Naruto ingin mengubur laki-laki itu sesegera mungkin. Naruto jadi berpikir, mungkinkah ini balasan atas segala perbuatannya yang sering mengganggu orang lain selama ini? Sungguh, Naruto sama sekali tidak menyesal. Tapi Sasuke itu benar-benar memuakkan.
Seandainya membunuh itu tidak dosa, dan Naruto merupakan seorang psychopat gila haus darah. Ia pasti sudah memutilasi lelaki tersebut sampai tidak bersisa.
.
.
.
.
.
"Berharga atau tidaknya sebuah kenangan, tidak dinilai dari bagaimana hal tersebut terjadi di awal.
Melainkan, lebih kepada seberapa sulitnya hal tersebut luruh dari ingatan kita."— (Chapter 1, selesai.)
.
.
.
To be Continued
.
.
.
Hello semuanya.. mungkin cerita ini masih acak-acakan, tidak masuk akal, alur kecepetan. Morat-marit. Amburadul. Atau apapun itu. Yang jelas gue makasih banget buat siapapun yang baca cerita ini.
—Kritik dan saran akan gue terima dengan lapang dada. Tapi tolong sampaikan secara sopan!
(Ok, see you in next chapter guys!)
