Yo, minna! :D
Ini adalah fic pertama saya di fandom SnK... Entah kenapa saya kepincut habis sama JeanMarco setelah nonton episode 13-14 ;_;
Jadi... eh... Selamat membaca~
Seorang mahasiswa tengah berlari-lari kecil di sepanjang peron, menghitung urutan gerbong satu persatu hingga tiba di depan gerbong terakhir—secarik tiket yang dipegangnya menunjukkan tempat duduknya di dalam sana. Dimasukinya gerbong itu, kemudian ia ambil kursi terdekat dengan pintu.
Jean menghela nafas lega. Ia periksa arlojinya; pukul setengah sepuluh malam. Beruntung masih ada kereta yang masih mau melayani penumpang larut malam begini, tepat pemberangkatan terakhir pula.
Stasiun radio dimana dia bekerja sambilan malam ini memintanya untuk menggantikan posisi salah satu rekan penyiarnya, Connie, yang terpaksa absen untuk merawat ibunya yang opname di rumah sakit. Jam siarannya dari pukul enam sampai delapan pun harus ketambahan satu seperempat jam. Setelah selesai, Jean langsung berlari menuju stasiun kereta yang untungnya tidak begitu jauh dan segera memesan tiket.
Jean membaca tiketnya lagi kemudian melihat ke sekelilingnya. Tidak seperti gerbong-gerbong di depan, gerbong keempat ini tergolong sepi. Seorang bapak-bapak kantoran yang duduk di kursi seberang, dua wanita yang duduk sedikit lebih jauh dari bapak tadi dengan buku di tangan mereka masing-masing, seorang pemuda berpakaian serba hitam yang tertidur di pojok serta dirinya lah yang menjadi penumpang saat ini. Seorang kernet memasuki gerbong untuk memeriksa tiket mereka masing-masing, kemudian berlalu setelah tugasnya selesai.
Tak lama kemudian kereta pun melaju. Karena melewati dua kali berhenti, perjalanan membutuhkan waktu lima belas hingga dua puluh menit untuk mencapai Distrik 3 Kota Trost yang menjadi tempat tujuan Jean di mana apartemennya berada.
Bosan menunggu, mahasiswa berambut cokelat susu dengan potongan bawah yang tipis itu mengeluarkan sebuah manga dari tas ranselnya yang dibeli sepulang kuliah tadi siang. Ia pun terlarut dalam ceritanya yang menegangkan, sayang konsentrasinya buyar setelah pria kantoran yang duduk di seberangnya tadi memanggil, "Hei, nak."
"Ya, pak?"
"Pulang kuliah malam?" tanya pria itu.
"Ah, tidak..." Jean membatasi halaman terakhir yang dibaca sebelum menutup manganya. Ia lalu melanjutkan, "Barusan saya selesai kerja sambilan. Harusnya selesai jam delapan tadi, tapi saya terpaksa mengganti posisi teman saya. Ada apa memangnya, pak?"
Pria kantoran berambut pirang bermata sipit itu terenyum singkat, "Bukan apa-apa. Jarang saja saya lihat mahasiswa mau pulang malam naik kereta. Biasanya mereka lebih memilih menginap di rumah teman—akh!"
Jean meringis miris melihat pria di hadapannya mendadak berhenti bicara setelah lidahnya tergigit keras. Pria itu cepat-cepat mengambil sapu tangan dari kantong jasnya untuk menyeka darah yang menetes.
"Yang barusan abaikan saja."
Jean tertawa kaku, "Eh—baiklah..."
"Ah, iya. Saya jadi ingat sesuatu."
Jean menaikkan salah satu alisnya. Pada saat itu juga, kereta berhenti dan pintu keluar pun terbuka. Pria yang mengajaknya berbincang sejenak tadi berdiri dari tempat duduknya, begitu pula dengan dua penumpang wanita tadi yang memutuskan untuk keluar duluan. Kini hanya Jean dan orang yang masih tidur di pojok gerbong yang masih menetap di kursinya masing-masing.
"Tetaplah berdo'a, nak. Hati-hati kalau di sini sendirian. Apa lagi kalau malam," dengan itu, si pria kantoran pun turun dari gerbong.
. . .
Unfinished Business
Warning: Horor gagal. AU. OOC possibility: positive. Shonen-ai
Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime
Cover art by F_Crosser
. . .
1. Memori
. . .
Jean berkedip sebelum mengangguk ragu. Apa maksudnya? Sudah menjadi pengetahuan umum kalau pulang malam itu memang harus hati-hati. Perampok? Penculik? Jean mendengus. Ia sudah belajar ilmu bela diri sejak SMP dan masih berlanjut sampai sekarang. Belum lagi ditambah parkour yang ia tekuni mulai SMA. Jean menyeringai untuk dirinya sendiri; pengacau tengik kelas teri seperti mereka pasti sudah lari tunggang-langgang setelah menerima beberapa tonjok dan tendangan darinya saja.
"Bapak tadi benar."
Jean tersentak kaget dan menoleh ke kanan, mendapati pemuda berpakaian serba hitam yang tertidur tadi kini sedang menatap langit-langit gerbong.
"Bukannya tadi kau tidur?" tanya Jean.
Dengan suara halus dan pelan si pemuda menjawab, "Aku tidak tidur... Sebenarnya aku hanya mengistirahatkan mataku saja. Maaf sudah menguping..."
"Tak apa lah. Bukan hal besar, juga. Aku bisa mengurus diriku sendiri, tahu?" balas Jean sambil menggaruk tengkuknya.
Pemuda tadi tertawa singkat. Hening menyapa mereka sementara kereta kembali melaju ke tempat pemberhentian ke dua. Merasa sudah tak ada yang dibicarakan lagi, Jean kembali membaca manganya.
Tujuh halaman kemudian, pemuda di pojok tadi bergumam, "Kenapa..."
Jean melirik sejenak kepadanya dengan salah satu alis terangkat.
"Kenapa... Aku merasa kita sudah bertemu sebelumnya...?" tanya pemuda tadi pelan, pandangannya masih menerawang ke atas dan kepalanya disandarkan di kursi.
Jean melongo. "Kamu salah orang, kali. Jujur saja, aku juga sering lihat orang yang ciri-cirinya mirip dengan sahabatku yang meninggal ditabrak kereta lima tahun lalu. Tapi setelah diperhatikan baik-baik, orang itu tetap saja bukan dia," katanya kemudian.
"Hm..." Pemuda tadi menggumam.
Jean menghela nafas lesu, pandangannya diarahkan ke sepasang sepatu kets yang ia kenakan. "Heh. Setiap itu terjadi, ingatanku melayang ke masa lalu dan perasaanku pun campur aduk. Aku sangat menghargainya. Dia hanya satu-satunya orang yang bisa memahamiku, kau tahu. Kusadari kalau aku ini egois dan mau enaknya sendiri, tapi... Dia menganggapi itu semua hanya dengan senyuman dan tawanya. Dia selalu ada di sampingku entah apapun keadaannya. Dia bisa untuk tidak menilaiku dari luar dan... Jujur, semakin lama aku menjadi orang yang lebih baik karenanya. Tapi gara-gara aku... Semuanya hilang begitu saja..."
"Kenapa... bisa begitu?"
"Waktu itu masa SMA... aku dan dia berangkat sekolah bersama. Kami terburu-buru. Kalau saja aku mau sabar menunggu kereta untuk lewat lebih dulu... Aku takkan menerobos palangnya dan membiarkan dia mendorongku ke seberang tepat sebelum dirinya disambar..."
Setelah itu tak ada satupun yang berbicara, hingga Jean menggagap, "Eh—AARGH! M-Maaf! Aku k-kelepasan... A-aku tidak bermaksud untuk—"
Satu tawa kecil dari pemuda di pojok itu memotong Jean dari ucapannya. "Tidak apa-apa... Kau nampaknya sangat dekat dengannya, ya..."
Jean pun mengiyakan. Ia menoleh pada si pemuda asing berambut hitam pendek yang masih saja menatap langit-langit, kini dengan sebuah senyuman kecil yang tetap terlihat meskipun dari samping.
Tunggu sebentar.
Jean memicingkan matanya. Ada sesuatu dari pemuda itu yang agak... Aneh.
Pertama, ia perhatikan pakaiannya. Kemejanya hitam legam, berlengan panjang dan berkerah shanghai, berhiaskan aksen putih berupa kancing dan ornamen-ornamen melengkung yang terdapat di kerahnya. Ia mengenakan celana panjang hitam dan sepatu yang serasi pula. Biasa. Tapi entah mengapa Jean seperti melihat rentetan kata 'tidak normal' keluar sedikit demi sedikit dari tiap bagiannya.
Kedua, perilakunya. Ada apa dengan orang ini? Kenapa ia tidak menoleh padanya sedikitpun ketika berbicara dan memilih untuk tetap memandang ke atas? Pemuda itu juga terlihat lemah seperti orang sakit, terdengar dari cara bicaranya dan kulit yang pucat. Untuk apa orang sakit pergi malam-malam begini? Sendirian, pula!
Maka, Jean pun memutuskan untuk menyelidikinya sedikit lebih jauh. "Kau... tidak apa-apa, kan?"
Pemuda itu mengangkat tangan kirinya sejenak menandakan bahwa ia baik-baik saja.
"Kau nampak... Tak sehat," lanjut Jean.
"Haha... Perasaanmu saja, mungkin?" balas si pemuda itu santai. Ketenangan pun kembali mengisi gerbong yang sepi itu.
Sayang Jean tidak merasakan demikian. Hawa tidak menyenangkan mulai bermunculan di sekitarnya. Ia pun teringat kalimat si bapak-bapak kantoran tadi.
.
'Teruslah berdo'a, nak. Hati-hati kalau di sini sendirian. Apa lagi kalau malam.'
.
Jean menatap lurus ke arah jendela kereta yang menampakkan lampu-lampu bangunan yang mulai mati satu per satu. Bayangan dirinya yang terpantul memperlihatkan raut mukanya yang semakin lama semakin tegang, menunjukkan bahwa ia tidak sabar untuk segera meninggalkan gerbong ini.
Tunggu...
Bayangan?
Jean melirik ke arah si lelaki muda yang tetap saja di posisi yang sama sebelum kembali melirik ke arah jendela.
Tak ada pantulan siapapun di bagian terpojok gerbong.
Jean menelan ludah, frekuensi detak jantungnya meningkat, Keringat dingin pun bercucuran.
Kereta pun berhenti. Ia tersadar kalau ia sudah tiba di tujuannya setelah terdengar pengumuman dari intercom. Cepat-cepat ia menyelempangkan tas ranselnya sebelum berdiri. Tinggal selangkah lagi berada di ambang pintu, ia merasakan tangan kirinya ditahan oleh orang lain.
Perlukah disebutkan juga kalau tangan itu begitu... Dingin?
Suara halus pemuda misterius tadi terdengar jelas tepat di belakang Jean, "Maaf... siapa namamu?"
Debat internal pun terjadi dalam diri sang mahasiswa. Harus atau tidakkah ia memberitahu namanya saja kepada orang asing di belakangnya? Pemuda tadi tak terlihat seperti orang kriminal, hanya saja memiliki kehadiran yang semakin lama semakin mengusik ketenangannya.
Dia asing, Jean! Namun di saat yang bersamaan, dia terasa begitu... familiar.
Dasar lidah kelewat jujur, Jean pun menjawab, "J-Jean." Suaranya sedikit gemetar. "Jean... K-Kirschtein."
"Ah... Ternyata benar itu kau."
"A-apa maksudmu?! Kau semakin lama semakin—!" Jean berbalik dan detik itu juga ia benar-benar menyesalinya.
Kini Jean bisa melihat jelas bagaimana rupa pemuda berpakaian serba hitam tadi. Tinggi lebih tiga senti dari dirinya. Rambut hitam pendek belah tengah. Rahang yang tegas namun juga lembut secara bersamaan. Tak lupa juga dengan senyuman manis serta bintik-bintik di pipi yang Jean rindukan sejak lama.
Tapi bukan itu yang menjadi masalah...
Matanya. Pancaran hangat iris hazel yang biasa Jean rasakan kini begitu redup, seakan-akan tidak bisa menerangi sklera mata si pemuda yang segelap lubang hitam.
Jean mundur selangkah dengan kaku, mencoba memastikan kenampakan penuh seseorang di hadapannya kini.
"T-tidak mungkin..." gumam mahasiswa berdarah Perancis-Jerman itu.
Mata coklat keemasaannya membulat horor setelah menangkap bahwa si pemuda telah kehilangan wajah dan badan sisi kanannya. Semacam benang-benang hitam yang melayang-layang layaknya asap keluar dari dalam tubuhnya.
Senyuman lebar pun merekah perlahan di wajah setengah utuh pemuda itu. Suaranya yang parau-halus-basah mampu membuat bulu kuduk leher berdiri. "Jean... Ini aku, Marco."
Jean kehilangan suaranya. Dia ingin melepas tangan kirinya yang masih dipegang oleh 'sesuatu' yang mengaku sahabat lamanya yang meninggal lima tahun lalu itu, namun tidak bisa. Dinginnya tangan 'pemuda' itu membekukan persendiannya di tempat.
Sorotan mata 'Marco' yang masih utuh berubah sendu. "Kamu sudah lupa, Jean...? Marco... Marco Bodt... Sahabatmu!"
"B-b-bukan..." Jean pun mendapatkan suaranya kembali meskipun tersendat-sendat. "K-kau b-bukan M-Marco!"
"Apa...?"
Jean menggeleng-gelengkan kepalanya panik. "J-jangan—Jangan, k-kumohon—a-ampun—menjauh dariku—"
"Jean, apa maksudmu...?"
Adrenalin memuncak. Hal berikutnya yang terjadi adalah teriakan penuh teror yang membahana di seluruh penjuru stasiun dari seorang mahasiswa yang keluar dari gerbong kereta, mengambil langkah seribu menjauhi tempat itu.
Sementara itu 'orang' yang ditinggalkan hanya bisa menatap pintu keluar yang Jean lalui dengan tatapan sayu. "Maaf... Sepertinya aku harus membuatmu terbiasa..." bisiknya sebelum melebur menjadi kepulan asap hitam dan menghilang.
# # # # # TBC? # # # # #
Inspirasi fic ini sebenernya hasil stalk TL-nya (arwah) santri Al-Sekoting arwahmarkonah...something tentang arwah Marko yang gentayangan habis mati ditabrak H*monorail bangkit lagi dalam keadaan separuh utuh dan hobi ngikutin orang—dan pendapat teman saya tentang bagaimana reaksi Joko—eh, Jean kalau dia diikutin arwah sahabatnya sendiri. Ya sudah, jadilah fic gaje ini :'D
Matur nuwun sudah menyempatkan membaca. ^^
Mohon review/kritik/saran-nya, saya masih belajar. :D
