Hyaaaaaaaa...! Bertemu lagi dengan author gila bin gaje ini! Seperti sebelumnya, saya akan kembali mencoba membuat fic humor garing dari trio favorit author. Yaaahhh... anggap saja ini adalah sequel dari 'Shut Up, Eren!' *sekalian promosi*
Saya selaku pemilik fic ini sama sekali tidak mendapat keuntungan apapun kecuali kepuasan karena dapat menyalurkan hobi menulis.
'Shingeki no Kyojin' © Hajime Isayama
Warning! Typo(s), AU, alur absurd, OOC greget (serius, ini karakternya author bikin nista semua *plak), (T) untuk spontanitas percakapan dan berbagai poin minus lainnya. Mohon dimaklumi karena author gila ini juga manusia biasa.
Brunette's Choice
"Kak Levi!"
"Apa?"
"Temani aku beli baju baru, ya?"
"Tidak."
"Kak Levi!"
"Apa lagi, Mikasa?"
"Please kak, temenin aku cari baju baru, ya?"
"Tidak."
"Kenapa nggak bisa?"
"Udah janji sama Kak Eren."
"Yaahh... yaudah deh."
Dan ajakan putri muda Ackerman itu harus berakhir dengan penolakan sang kakak. Dan tanpa diketahui oleh si gadis muda, sang kakak dengan tinggi badan dibawah rata-rata tersebut pergi sembari menyunggingkan senyum yang super mikroskopis!
'Mendingan sama si bego itu daripada nemenin Mikasa belanja!'
Di tempat lain...
"Jean, papa boleh minta tolong sama kamu nggak?"
"Apa?"
"Temenin papa cari stik golf, ya?"
"Males, ah!"
"Ayo dong, Jean. Kolega papa yang ngajak, nggak enak kalau papa tolak."
"Sama mama 'kan bisa?"
"Mama masih dirumah bibi, baru pulang dua hari lagi."
"Emangnya stik golf papa yang biasanya kenapa?"
"Udah rusak."
"Maaf pa, tapi Jean nggak bisa."
"Kenapa?"
"Jean udah janji sama Eren mau nemenin dia cari buku."
"Eren? Ya udah, kalian hati-hati ya. Papa pergi dulu."
Dan papa Flagon yang malang itu harus menghabiskan harinya sendirian di toko olahraga, sama sekali tidak menyadari bahwa putra tunggalnya yang terlihat sedang asyik dengan game yang baru saja dibelinya kemarin itu tersenyum lebar. Begitu sang tuan besar Kirschtein tersebut menghilang dibalik pintu, Jean langsung membanting control gamenya ke lantai beralas karpet merah itu dengan televisi datar besar didepannya yang menunjukkan tulisan 'Pause'.
'Maafin Jean, ya. Abisnya papa kalau beli stik golf pasti sampai 2 jam!'
Di tempat lain...
"Kak Ereeeennn~"
"Iya, Isabel."
"Tiga hari lagi temani aku ya, kak!"
"Temenin? Emang kamu mau kemana?"
"Ke Universal Studio Trost sama temen-temen. Cuma kata mama, aku dibolehin kalau ada orang dewasanya."
"Terus kamu sama temen-temen kamu mau minta tolong ke kakak buat nemenin kalian, gitu?"
"Ahahaha... Kak Eren emang pinter deh!"
"Jadi maksud kamu kakak udah tua?"
"Emangnya aku bilang kak Eren tua? 'Kan aku bilangnya kak Eren udah dewasa."
"Kakak baru 17 tahun kali."
"Yang penting 'kan udah gede, udah punya KTP, udah boleh bawa mobil sendiri."
"Iya—iya! Nanti kakak ajak kak Jean sama kak Levi, boleh?"
"Jangan kak! Temen-temenku maunya kak Eren aja!"
"Kalau gitu kakak nggak jadi nemenin kalian."
"Eh, jangan!"
"Kalau gitu kak Jean sama kak Levi harus ikut. Masa kamu pergi sama teman-teman kamu terus kakak sendirian sih?"
"Kakak nggak ikhlas nih bantuinnya?"
"Bukannya gitu. Masa kakak jadi supir kalian aja sih? Kakak juga ingin senang-senang kali."
"Yaudah deh, tapi satu aja ya, kak!"
"Hah? Nggak bisa. Kak Eren, kak Levi, sama kak Jean udah sahabatan dari lama—udah kesepakatan kita untuk kemana-mana selalu bareng."
"Jangan bilang kalau kakak ke kamar mandi masuknya bertiga juga?!"
"Iya lah, kan kita selalu ba—EEEEHHHH?! YA KAGAKLAH, ISABEL!"
"Ahahaha... Mukanya santai aja dong, kak!"
"Kamu juga sih, kasih pertanyaan kok ngawur gitu!"
"Ahahaha—maaf kak!"
"Udahlah, kalian pergi aja sendiri!"
"Yah kak, jangan marah dong! Temenin kita ya, kak! Pleaseeee..."
"Nggak!"
"Kak Ereeeeennnn~"
"Apa?!"
"Kakak baik deh!"
"Bodo!"
"Kakak ganteng deh!"
"Nggak mempan!"
"Kalau kakak nemenin kita, uang jajanku sehari buat kakak deh!"
"Nggak butuh!"
"Dua hari?"
"Males!"
"Tiga hari?"
"Nggak tertarik!"
"OKE, SEMINGGU!"
"DEAL!"
Dan sepasang kakak-adik Jeager itu mendeklarasikan kesepakatan mereka dalam sebuah sesi jabat tangan yang cukup menarik perhatian para semut yang berbaris di dinding. Eren menyeringai penuh kemenangan sementara Isabel merana dibawah iming-imingnya pada sang kakak yang langsung saja keluar dari mulutnya tanpa diproses terlebih dahulu.
Isabel lupa!
'Kenapa aku harus punya saudara matre kayak kak Eren sih? Hwwaaaaaaaa...!'
XXXXX
Tap tap tap...
Deru pantofel hitam menggema diatas trotoar jalan, sebelah utara pusat distrik Maria. Matahari bersinar dengan sangat terang, menambah panas akhir pekan yang sebenarnya baru menunjukkan pukul sembilan pagi. Sang pengguna sepatu berkilat dengan surai sehitam arang tersebut melihat sinis pantulan dirinya pada jendela pertokoan disisi kanan. Tangannya terkepal kuat didalam saku celana jeansnya sembari merapalkan kata-kata pedas andalan si pria dingin itu dalam hati.
'Sial! Kenapa gua harus sependek ini?!'
Mengumpat dirinya sendiri memang bukanlah kebiasaan seorang Levi Ackerman. Namun tak dapat dipungkiri lagi bahwa pria cebol itu merasa sesak harus bersanding dengan puluhan warga lain distrik Maria. Tingginya yang dibawah rata-rata membuat pemuda itu terpaksa tenggelam dalam lautan manusia—terbenam dalam hiruk-pikuknya kota dengan daftar penduduk melebihi daya tampung tersebut.
'Kayaknya gua emang perlu konsultasi sama Berthold deh'
Dan untuk pertama kalinya seorang Levi yang keras kepala setuju dengan saran sahabatnya yang memiliki wajah tak jauh beda dengan makhluk hidup bernama kuda tersebut. Pemuda pendek itu lantas tersenyum miris, terus melangkahkan kakinya menuju kediaman sang sahabat bermanik zamrud cerah. Pandangannya menyisir para makhluk laknat yang membuatnya minder dan saat itu juga dia tersenyum dalam hati —merasa beruntung karena tingginya yang menyedihkan itu telah membawa berkah tersendiri padanya, terhindar dari sengatan sang raja siang! Ya, Levi mendapat tameng gratis dari para warga yang berjalan disekitarnya!
'Kayaknya gua harus mikir dua kali buat konsultasi sama Berthold deh'
Dan untuk pertama kalinya juga seorang Levi yang selalu mengutuk tinggi badannya itu merasa bersyukur terlahir dengan tubuh yang bahkan lebih kecil dari adik perempuannya sendiri.
'Pantesan kulitnya si Berthold tan gitu, kebakar matahari! Tapi keren juga sih'
Dan sekali lagi untuk yang pertama kalinya, seorang Levi dengan harga diri tinggi tersebut telah membanggakan temannya! Tidak! Dia justru sedang mengagumi temannya yang nyaris setinggi dua meter itu! Entah setan apa yang merasuki tubuh mahkluk kerdil ini hingga berhasil membuat seorang Levi merasa rendah diri dihadapan temannya yang memiliki sikap terlalu lembut tersebut.
"Oi!"
Dan sejurus kemudian, sebuah tepukan keras yang sangat amat tidak bersahabat menyadarkan si kecil Levi dari ilusi yang dibuat para iblis bawahannya. Levi menoleh dengan gerakan patah, takut-takut yang menepuknya itu adalah siluman jadi-jadian yang mencari mangsa di siang hari.
"Jean?!"
Levi kaget mendapati apa yang diperkirakannya ternyata benar —siluman dengan wajah menyerupai kuda! Untung saja keterkejutannya itu berhasil disembunyikan oleh topeng datarnya, ia jadi tidak perlu repot untuk ber-OOC ria diawal fic ini.
"Yo!"
Si tersangka, Jean Kirschtein, menunjukkan cengiran lebarnya, sukses membuat Levi yakin sebentar lagi mungkin mulutnya akan sobek. Ia hanya mendesis tak suka lalu kembali menghadap depan, terus berjalan kearah tempat yang menjadi tujuannya. Jean yang masih nyengir hanya mengikuti si pendek dan berjalan disampingnya, menatap tubuh bertinggi 160 CM itu dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Kenapa?" Levi yang menjadi objek pengamatan seekor kuda liar akhirnya merasa risih juga. Dengan nada dingin si cebol bertanya dan hanya ditanggapi cekikikan dari Jean, membuat Levi mengernyit heran.
"Lu kenapa, kuda?"
"Kagak. Lu mau kemana?" Jean masih menunjukkan cengirannya —yang menurut Marco Bodt terlalu berbahaya. Kenapa? Tentu saja karena beberapa pengendara nyaris saja mengalami kecelakaan akibat kaca mobilnya yang terpantul sinar maut gigi kuda Jean!
"Rumah Eren. Lu?" jarang sekali Levi bertanya balik seperti ini. Mungkin menurutnya sedikit mengobrol dengan sahabat yang merangkap partner adu jotosnya itu tidak akan menurunkan harga dirinya juga.
"Whoa! Gua juga mau kerumah si kampret itu! Kebetulan banget, ya!"
Levi menaikkan satu alisnya bingung. Ada apa dengan Jean? Tidak biasanya dia memanggil Eren dengan sebutan 'kampret' atau kosakata lainnya yang bersifat mengejek, bahkan mungkin menghina secara terang-terangan. Kenapa? Apa mungkin Jean sudah menyadari bahwa seorang Eren Jeager adalah bocah yang memang dan paling pantas diberi embel-embel 'kampret', 'sialan', atau mungkin 'bego'? Ah, sudah terlambat, Jean! Kau terlambat menyadarinya, Kirschtein muda!
"Lu masih dendam?" dan akhirnya Levi mengerti maksud dari pemberian gelar 'kampret' pada sahabat brunettenya.
"Lu pikir?"
Jean memutar kedua bola matanya. Mendengar ucapan Levi tadi membuat rasa kesalnya pada sang sahabat beriris emerald itu kembali, padahal ia sudah berusaha setengah hidup untuk melupakan kejadian itu. Jean sama sekali tidak ingin persahabatannya dengan Eren dari kecil tandas begitu saja karena kawan seperjuangannya itu yang terlalu —entahlah. Kau bisa menyebutnya terlalu bego, terlalu polos, atau terlalu ingin tahu. Yaaahh... Kejadian beberapa minggu yang lalu tentu saja masih dikenang baik oleh Jean. Kejadian yang membuatnya harus rela diseret paksa oleh sang ayah keluar dari kediaman Ackerman! Terkutuklah kau, wahai Eren Jeager!
"Tch! Lebay banget lu," Levi berdecih, membuat Jean yang senyum mautnya telah hilang kini justru kembali dengan perempatan imaji pada keningnya.
"Bukannya lu juga kena dampratnya?" memang terdengar seolah Jean memutarbalikkan fakta. Tapi, hey! Levi juga kena imbasnya 'kan? Dan bukan hanya Levi, bahkan Mikasa juga ikut kena hukuman papa Flagon karena emosi sang kakak yang tidak bisa ditahan! Bukan hanya harus bersihin rumah besar Ackerman, bahkan lebih buruk lagi! Itu loh, yang bikin Mikasa ingin keluar dari kediamannya karena sang kakak cebol yang diduga adalah seorang pe—Ah, sudahlah! Lupakan saja!
Dan saat itu juga, baik Jean maupun Levi, keduanya sangat ingin membekap mulut Eren andai saja pemuda itu akan kembali berkoar dengan topik pembicaraan yang mungkin saja akan menjatuhkan harga diri mereka. Ya, tentu saja! Mereka tidak akan membiarkan si polos itu bercuap-cuap dengan entengnya! Ini sudah menyangkut masa depan mereka! Menyangkut harga mereka di pasaran! Hey, tunggu! Jean dan Levi bukan barang dagangan!
"Udahlah, kita lupain aja. Anggap kejadian sial itu nggak pernah ada."
Jean pasrah, begitupun dengan Levi. Tidak baik memendam benci kepada sahabat sendiri. Dan mungkin akibat tragedi mengenaskan dulu, Jean dan Levi sepakat untuk memberikan Eren kursus gratis agar sohibnya itu nggak polos-polos banget. Yah, minimal sang kawan bisa menahan segala keingintahuannya yang terkadang menjurus kepada hal-hal tidak manusiawi. Sebut saja kasus penyeretan Jean dulu serta penyalahgunaan kekuasaan oleh Levi pada adiknya sendiri.
"Hn."
Levi menjawab singkat, sangat setuju dengan sang sohib. Mereka terus berjalan menuju kediaman kawannya tanpa berbicara sepatah katapun, mungkin efek dari meredam emosi yang membuat keduanya harus ekstra tenang dan sabar untuk berhadapan dengan bocah ngeselin itu. Ingat 'kan bagaimana Jean dan Levi mengeluarkan semua sumpah serapahnya pada si polos bermanik zamrud tersebut hari itu?
Tak perlu waktu lama bagi keduanya untuk tiba dirumah Eren. Mereka diam diluar pagar, menunggu Jean menelpon Eren agar membukakan gerbang untuk mereka. Ingatlah, keduanya terlalu malas untuk berteriak memanggil nama sang sahabat yang sudah melunturkan mood mereka hari ini. Lagipula itu bukanlah gaya mereka, meraung-raung hingga sang pemilik rumah membukakan pintu. Persis seperti anjing yang menunggu tuan rumah keluar membawakan sepiring tulang sisa makanan mereka.
"Kak Jean! Kak Levi!"
Suara seorang gadis membuyarkan angan-angan keduanya yang sedang memikirkan persamaan mereka dengan hewan yang disebut anjing. Isabel berlari kecil dihalaman, menuju pagar yang tingginya sekitar dua meter. Jean dan Levi lantas menoleh pada si pemilik suara melalui celah pagar yang cukup besar, menemukan sosok wanita muda bermanik hijau cerah tersebut tengah tersenyum penuh semangat pada mereka.
"Halo, Isabel!" Jean balas tersenyum, menatap Isabel dengan penuh kehangatan. Ia senang sekali melihat gadis itu karena dari dulu Jean memang ingin sekali memiliki adik perempuan seperti kedua rekannya. Sayangnya, ia adalah putra tunggal keluarga Kirschtein! Sial!
"Kak Eren ada?"
Levi tak mau kalah. Ia juga menunjukkan senyuman yang mungkin saja apabila dilihat para fansnya tentu akan menyebabkan kejang-kejang dan mati ditempat karena kehabisan darah. Jujur saja, dari dulu ia selalu membayangkan bagaimana jika adiknya ditukar dengan Isabel. Mungkin saja kediaman Ackerman akan lebih berwarna! Bukannya dia tidak sayang adiknya, hanya saja Mikasa bukanlah tipe adik penurut yang selalu mengumbar hawa positif seperti Isabel! Demi Dewa Jashin yang ada di fandom sebelah, author kesemsem kalau ngeliat bang Levi nunjukin senyum mautnya!
"Kak Eren ada didalam! Ayo masuk, kak!"
Isabel dengan manis membuka gerbang, membiarkan dua pemuda yang lebih tua darinya itu masuk lalu menutup pagarnya. Jean dan Levi langsung mengekor Isabel menuju ke dalam, melewati taman luas tempat favorit papa Grisha membaca koran dipagi hari. Isabel membuka pintu utama, memperlihatkan ruangan besar yang rapi dan didominasi oleh wewangian aromatherapy.
"Kak Jean sama kak Levi langsung aja ke kamarnya kak Eren. Terakhir sih katanya kak Eren mau mandi dulu."
Isabel kembali tersenyum. Jean dan Levi mengangguk paham dan langsung menaiki tangga menuju kamar sang tuan muda Jeager. Diketuk beberapa kali, tidak ada yang menjawab. Merasa sang kawan sungguh sedang mandi, keduanya langsung masuk begitu saja. Dan benar! Suara air mengalir dari shower terdengar oleh mereka! Tanpa basa-basi Jean langsung berteriak didepan pintu kamar mandi yang berada didalam kamar Eren —entah apa maksudnya.
"OI, EREN! CEPETAN MANDINYA!"
GUBRAAAKK...!
"Eh?"
Jean dan Levi hanya saling pandang begitu mendapati suara ribut dari dalam kamar mandi yang disinyalir sebagai tempat Eren berada sekarang. Dengan sigap Jean langsung menggedor pintu dengan brutal, takut-takut sang sohib sejak kecil tersebut sedang berada dalam masalah di kamar mandi.
"EREN! LU KENAPA?"
Jean semakin sadis menggedor pintu tak kala bukannya jawaban yang ia dapat namun justru rintihan menyakitkan si surai brunette. Sebagai sahabat baik yang sudah bersama dari kecil —bahkan mungkin sejak mereka masih di surga— Jean tentu sangat mengkhawatirkan Eren. Apalagi mengingat Eren adalah pemuda 17 tahun yang —sayangnya, terlalu polos, lemah, bego, dan rapuh.
Oh, apakah tadi Jean bilang Eren bego? Bersiaplah, kuda!
"JEAAAAAAAAAANNNNNNN...!"
Dan suara Eren yang besar mengguncang seisi kamar, cukup membuat Jean meloncat beberapa langkah ke belakang sementara Levi sedikit membolakan matanya, terkejut. Eren berteriak dari dalam kamar mandinya, merapalkan nama sang kawan kuda dengan nada marah yang kentara —walau jelas dalam suaranya itu terselip erangan penderitaan.
"SEJAK KAPAN LU ADA DI KAMAR GUAAAAA?!"
Levi cengo, apalagi Jean. Mereka kembali bertukar pandang untuk yang kedua kalinya. Levi hanya mengangkat bahu seolah tidak peduli. Ia berjalan ke sisi lain kamar Eren —duduk diatas kursi belajar sang sobat sambil bersedekap dan ongkang-ongkang kaki layaknya bos besar. Jean memutar bola matanya. Kampret memang, Levi! Padahal dia datang bersama si cebol ini! Gimana kalau Eren sampai mikir yang aneh-aneh tentangnya? Bisa makin hancur martabatnya sebagai kuda yang ter—maaf! Maksud author tuan muda Kirschtein yang terhormat! Lagipula Jean sedang mengkhawatirkannya, kenapa si Eren somplak itu malah berteriak ketakutan begitu?
"LU MAU NGAPAIN DI KAMAR GUA?! KELUAR, JEAAAAAAANNNNNN...!"
Tuh, benar 'kan! Eren udah mikir yang aneh-aneh! Mungkin semenjak dia tahu arti sebenarnya dari papa Grisha tentang pertanyaannya dulu, Eren jadi mawas diri. Ya, benar! Memang sejak saat itu Eren selalu menjaga dirinya baik-baik, memberi ruang yang cukup jauh antara dirinya dengan kedua sobatnya, Jean dan Levi. Eren sama sekali tidak ingin kepolosannya hancur karena dua orang laknat yang menyamar sebagai sahabat karibnya!
"KERJA KELOMPOK KITA 'KAN BESOK! KENAPA LU DATANGNYA SEKARANG?"
Nampaknya Eren mulai panik, terdengar dari nada kalimatnya yang bergetar —walau tertutupi oleh suara lantangnya.
"KOK LU SENDIRI? MANA BERTHOLD SAMA REINER? SUARA ARMIN JUGA NGGAK ADA?!"
Oke, darimana Eren tahu kalau Jean datang tanpa Berthold, Reiner, dan Armin? Karena Eren hanya mendengar suara Jean, jadi pemuda itu menyimpulkannya begitu? Sungguh! Sekarang Eren benar-benar paranoid dengan Jean!
"LU NGGAK PERLU NAGIH HUTANG GUA SEKARANG, 'KAN?!"
Eren mengganti pembicaraan, berkoar dari dalam kamar mandi dengan topik yang sangat absurd. Memang benar Eren memiliki hutang kepada Jean beberapa hari yang lalu karena ia lupa membawa dompetnya. Tapi Jean tidak perlu datang kerumahnya untuk menagih hutang, 'kan? Apalagi memasuki teritorinya!
"PLEASE, JEAN! JANGAN RUSAK HIDUP GUA!"
Eren mulai ngaco. Teringat olehnya tragedi mengenaskan dimana ia harus terjebak dengan kedua sohibnya yang ternyata memiliki kepribadian ganda. Eren berteriak panik layaknya orang gila di dalam kamar mandi, seolah ini adalah hari terakhirnya melihat dunia.
Jean dan Levi memang sudah tidak aneh lagi dengan perubahan sikap Eren. Mereka tahu bahwa kesalahpahaman waktu itu memang belum diluruskan oleh mereka berdua. Baik Jean maupun Levi sangat yakin bahwa sir Jeager sungguh memberikan dinding tinggi yang kokoh sebagai pemisah antara mereka dengan putranya. Dan dengar apa yang dikatakan Eren tadi? Semua itu membuktikan bahwa asupan-asupan Eren beberapa minggu terakhir ini bukanlah buku-buku tebal yang biasa dibacanya bersama Armin Alert di perpustakaan, melainkan didikan Isabel sebagai adik yang baik untuk membantu sang kakak agar tidak terlalu polos menjurus bego!
"Eren, ada beberapa kesalahan dalam teori lu," Jean memulai pembelaan dirinya.
"Pertama—" Jean memperlihatkan telunjuk kanannya pada Eren, tidak sadar bahwa sang sobat bermanik emerald itu tidak dapat melihatnya dari dalam kamar mandi. Oke fix, Jean terlalu bodoh!
"Gua nggak datang kesini buat kerja kelompok. Dan gua nggak datang sendiri, ada Levi disini," Jean memberi kode pada Levi untuk bersuara, namun nampaknya Levi tidak tertarik untuk membuka mulutnya. Tapi begitu Jean menunjukkan tatapan memelasnya, seperti anak kucing yang kehujanan dan mengharapkan sisa makanan dari orang-orang yang berlalu lalang —begitu menurut Levi— pemuda pendek itu menjadi tak tega.
"Ekhm~"
Levi berdehem keren, namun sayangnya Eren yang berada didalam kamar mandi tak mendengarnya dan Levi tahu itu. Akhirnya sang pria dengan tinggi badan menyedihkan tersebut angkat suara, memperdengarkan baritonnya yang khas dengan kalimat super yang menyakitkan telinga —seperti kebiasaannya.
"Cepat keluar, Eren. Berapa lama lu mandi, tetap aja lu nggak akan se-putih Historia."
Eren yang mendengar kalimat rasis dari mulut Levi di dalam kamar mandi langsung membulatkan matanya —yang tentu saja tidak dapat dilihat kedua rekannya. Eren marah.
"LEVI! LU JUGA ADA DISINI?!"
Entah itu adalah sebuah pernyataan atau pertanyaan, tetap saja Eren terkejut bukan main! Ini tidak bagus! Dua orang yang ingin dijauhinya justru sekarang berada di kamarnya!
"ISABEEEEEEELLLLLLLLL...!"
Eren meraung murka. Ini pasti ulah adiknya yang menyuruh Jean dan Levi untuk menunggu dikamarnya —tempat yang paling ingin dijauhi Eren bila sedang bersama dua sahabatnya. Baiklah, nampaknya pemikiran Eren sudah benar-benar kacau!
"Oi, Eren! Lu bisa diem dulu nggak sih? Gua belum selesai ngomong nih!" nampaknya Jean tidak terima karena pembelaan dirinya terpotong.
"PLEASE, JEAN-LEVI—"
Terdengar menyakitkan. Mungkin Eren benar-benar sakit di kamar mandi?
"—JANGAN KOTORIN GUA!"
Oke, Eren ambigu.
"Kotorin apaan sih? Jangan mentang-mentang lu lagi mandi, jadi lu songong bilang gua bau! Gua juga sebelum kesini udah mandi dulu kali!" Jean kesal sendiri.
Hening.
"Eren?" Jean memanggil. Aneh. Kenapa setelah dia selesai bicara, Eren justru tidak menjawab?
"Oi, Eren? Lu bisa dengar gua 'kan?" kembali memanggil, namun Eren sama sekali tidak menjawab.
"Eren? Lu nggak kenapa-kenapa 'kan?" nadanya terdengar khawatir. Jean semakin merapat pada daun pintu, menempelkan telinganya disana untuk mendengar apapun yang bisa ditangkap indranya tersebut. Sayang, hasilnya nihil. Apa Eren pingsan mendadak didalam sana?
"Eren?"
Sekarang Levi yang memanggil. Dalam sekejap makhluk yang terkenal sadis ini sudah berdiri ganteng dibelakang Jean, lengkap dengan tatapan tajam seolah menembus pintu dan tangan yang telah bersedekap syahdu. Oh, apa tadi author bilang 'makhluk sadis'? Tentu saja! Mana ada orang yang menjadikan adik serta sahabatnya babu dirumah sendiri?
"...Jean—Levi..."
'Ini suara Eren! Tapi kok nadanya begini ya? Mirip korban yang pasrah dibully?'
'Ini orang beneran pengen putih? Lama amet mandinya! Pake kembang berapa rupa nih?'
Pemikiran Jean masuk akal. Nada suara Eren memang menyedihkan. Tapi Levi? Kenapa dia malah salah fokus? Sepertinya semua pemain di fic ini mulai gila *author ngacir, mau dirajam Jean—Eren—Levi*
("Woy, author sialan! Balik sini! Selesain nih fic!")
"Lu turunin dulu itu gergaji mesinnya, Jean!"
("Halah, banyak ngomong lu! Cepetan balik! Bisa masuk angin kalau gua nggak keluar-keluar dari kamar mandi!")
"Sabar ya, dek Eren sayaaanngg~"
("Woy, author! Pegel nih gua berdiri mulu!")
"Oh, mau diurut bang Levi?"
*dan author berakhir dibakar massa yang mengatasnamakan 'Rivaille Fans Club'*
Kembali ke kamar Eren setelah author berhasil diselamatkan dari maut...
"...gua mau keluar..."
"Terus kalau lu mau keluar, apa hubungannya sama kita?" Levi bertanya, nadanya terdengar tidak peduli.
"LU BERDUA KELUAR DARI KAMAR GUA! SEKARAAAAAANNNNGGGGG...!"
Eren nampak ngos-ngosan —walau jelas tak terlihat baik oleh Jean maupun Levi. Namun tentu saja teriakan Eren yang disertai nada amarah itu menunjukkan bahwa dia serius, sangat serius hingga urat-urat pada lehernya terlihat lebih jelas dibanding biasanya —yang sekali lagi tidak dapat dilihat Jean dan Levi.
"Lu udahan mandinya? Mau keluar?" Oke, otak Jean lemot.
"IYA! MAKANYA LU BERDUA JUGA CEPAT KELUAR DARI KAMAR GUA!"
Eren mengamuk, mengepalkan kedua tangannya hendak meninju pintu kamar mandi. Kenapa dua temannya itu tidak mengerti kondisinya sih? Dia 'kan masih trauma! Ya, trauma dengan dua sohibnya yang ternyata—ah, sudahlah! Kalau mau tahu, baca saja prekuelnya.
"Lebay banget lu. Kita sama-sama cowo kali. Santai aja," Jean tidak sadar bahwa pernyataannya barusan justru membuat Eren semakin kalang kabut.
"LU BERDUA SIH SANTAI! GUA YANG KAGAK BISA SANTAI!"
Dan acara teriak-teriakan yang dilontarkan trio absurd distrik Maria itu berakhir dengan penandatanganan penyerahan tanpa syarat antara Jean—Levi dengan Eren. Keduanya mengalah dan keluar dari dalam kamar —yang sebenarnya author sendiri juga bingung, kenapa mereka ngotot ingin tunggu dikamar Eren? Apa jangan-jangan mereka itu sungguh—ah! Positive thinking sajalah!
XXXXX
"So Eren, apa masalah lu sampai paranoid gitu ama gua dan Levi?"
Jean bersandar pada dinding kamar Eren, menatap sang empunya dengan sinis yang kelewat kurang ajar —sebelas duabelas sama yang namanya 'jijik'. Eren mengernyit, tanda tidak menyukai perlakuan sang sahabat kuda. Bagaimana dengan Levi? Dia sudah anteng diatas kursi.
"Bisa nggak natapnya jangan kayak gitu?" Eren melayangkan protes.
"Emang gua natapnya gimana?"
"Sinis."
"Terus?"
"Gua nggak suka."
"Apa hubungannya sama gua?"
"Kan lu yang natap gua."
"Dih! Najis banget gua natap lu!"
Oke, Eren benar-benar berhasrat untuk membakar Jean hidup-hidup!
"Jean, ribut yok! Lapangan kosong tuh didepan!"
"Lah, lu ngapa? Didepan rumah lu itu ada rumahnya paman Oluo. Lu mabok ya?"
Baiklah, sekarang Eren bernafsu menjadikan Jean kuda panggang spesial!
"Ah, males gua ngomong sama lu. Langsung aja, ngapain lu berdua kerumah gua? Langsung ke kamar gua lagi!" Eren memulai topik yang sedaritadi membelenggu pikirannya —berusaha melupakan fakta bahwa didepan rumahnya memang berdiri bangunan milik sang tetangga, sama sekali bukan lapangan yang ingin ia jadikan tempat eksekusi pasien rumah sakit jiwa yang sekarang sedang menyamar sebagai sahabat kudanya.
"Emangnya kenapa? Nggak boleh?" Jean meniru teman alaynya disekolah —sebut saja Hana (nama disamarkan).
("Woy, author! Hana itu bukan nama samaran!")
"Lah? Emang ada pemain SnK yang namanya Hana?"
("Ada! Pacarnya si Franz! Yang sama-sama bego!")
*Dan masuklah Hana ke fic ini*
("Siapa yang bilang gua bego, hmm?")
*Semua pemain nunjuk Jean*
("Oh, muka kuda ya?")
*Jean yang malang. Ia harus berakhir di rumah sakit karena dihajar secara brutal oleh Hana*
"Turut berdukacita, Jean."
("Anjir, author kampret!")
*sekembalinya Jean dari rumah sakit, fic ini dilanjutkan*
"Ya kagaklah! Ini 'kan kamar gua! Privasi gua!" Eren mencak-mencak.
"Udah dikasih izin kok sama Isabel," Levi ikutan nimbrung dari sudut ruangan. Eren menghela nafas dengan kasar. Percayalah, pasti ada sesuatu yang mengganjal pada saluran respirasi si pemuda bermanik nefrit itu! Entahlah, mungkin pasta gigi yang salah dimasukkan Eren? Yang seharusnya di gigi justru di hidung?
("Oy, author sialan! Gua nggak setolol itu ya!")
"Jangan marah dong, Eren sayaaannggg~ Ini kan demi fic~"
("Lagipula sejak kapan odol langsung ditaruh di gigi? Emang gua nggak pake sikat gigi?")
"Kan ini cuma bercanda, Eren sayaaaanngggg~"
("Hn, terserah lu.")
*kembali ke kamar Eren setelah beberapa kali terpotong oleh protes gaje para pemainnya*
"Sekarang gua tanya ke lu berdua, siapa yang punya kamar ini?" Eren berusaha sabar.
"Bokap lu?" Jean nyengir watados.
"INI KAMAR GUA!" nampaknya Eren mulai stres.
"Tapi 'kan bangunnya pake duit bokap lu!" Jean malah nyolot.
"TAPI YANG NEMPATIN GUA! ARTINYA INI KAMAR GUA!" Eren emosi.
"Pertanyaan lu kurang spesifik. Seharusnya 'Siapa yang pakai kamar ini?' bukannya 'siapa yang punya kamar ini?'" Levi mulai ceramah.
"Kalau 'siapa yang punya kamar ini?' udah jelaskan 'kan kalau bokap lu yang punya? Jangankan kamar lu, rumah ini aja jelas atas nama sir Jeager," Levi melanjutkan ceramah cerdasnya.
Oke, Eren diam. Levi memang murid yang paling pandai dikelasnya. Tidak! Bahkan mungkin diseluruh Maria Internasional High School! Ya, benar! Levi Ackerman diperingkat satu. Armin Alert diperingkat dua. Eren Jeager diperingkat tiga. Sempurna! Eren kalah adu argumen dengan Levi yang mulia!
"Ya pokoknya gitulah! Intinya lu berdua nggak boleh masuk kamar gua sembarangan!" Eren angkat tangan tanda menyerah.
"Kalau udah terlanjur?" cuma perasaan Eren aja atau emang Levi mulai nyolot?
"Ya, mau gimana lagi?" Eren berusaha tenang.
"Langsung aja, lu berdua mau ngapain ke rumah gua? Kita 'kan nggak ada uru—"
"Rumah bokap lu."
"—iya, rumah bokap gua. Jadi lu berdua mau ngapain ke rumah bokap gua? Kita 'kan nggak ada urusan?" sabar Eren, sabar! Orang sabar disayang mama Carla!
"Gua kabur. Bokap minta gua nemenin dia cari stik golf," Jean menjawab santai.
"Males nemenin Mikasa cari baju," Levi berujar begitu sepasang manik caramel dan emerald menembus obsidiannya.
"Jadi gua tempat pelarian lu berdua?" dan pertanyaan Eren hanya dibalas dengan cengiran kuda ala Jean dan ekspresi datar ala Levi.
"Emang sohib kampret lu berdua!"
Keheningan diantara ketiganya diisi oleh hembusan cepat napas Eren, jengah dengan tingkah kedua sahabatnya yang makin kesini justru makin kurang ajar —setidaknya begitu menurutnya. Dan sekali lagi Eren berucap terimakasih dalam hati pada adik satu-satunya tersebut. Setidaknya berkat didikan Isabel, dia bisa menjaga diri andai saja keadaan laknat seperti dulu tak terhindarkan. Ah, mungkin dia juga harus mengajari Armin? Jelas tampang bishounen seperti itu sangat berbahaya bukan? Armin memerlukan perhatian khusus!
"Kak Ereeeennn~"
Belum beberapa menit Eren Jeager sedang memikirkan metode efektif untuk mengajari seorang Armin Alert, Jean Kirschtein dengan rasa penyesalan yang luar biasa karena telah membohongi ayahanda tercinta, serta khawatir berlebih seorang Levi Ackerman yang membiarkan adik perempuannya pergi berbelanja sendiri —sebuah suara lembut seorang gadis menggema diruangan itu. Dan tanpa mengetuk pintu, Isabel Jeager langsung memasuki teritori sang kakak tersayang.
"Isabel, udah berapa kali kakak bilang kalau mau masuk harus ketuk pintu dulu?" Eren masih berusaha sabar. Urusan sama dua sobatnya saja belum kelar, udah datang aja manusia lain yang tak diundang! Yah, Eren masih sayang mama Carla kali! Jadi harus sabar!
"Ahahaha—maaf kak!" Isabel nyengir dengan wajah tanpa dosa. Sabar Eren, sabar.
"Kamu mau ngapain ke kamar kakak?" Eren to the point.
"Kakak ingat perjanjian kita kemarin 'kan?" Isabel mengedipkan satu matanya pada sang kakak, memberi kode yang bahkan tak dimengerti oleh Eren sendiri. Jean dan Levi hanya saling pandang.
"Isabel sakit mata?" —Jean.
"Matanya Isabel kemasukan debu?" —Levi.
"Kamu godain kakak?" —Eren.
5 detik...
10 detik...
15 det—
"SIAPA YANG GODAIN KAK EREN, SIH?!"
Isabel berteriak murka. Kepulan asap abu membumbung tinggi diatas kepalanya —andai saja ini adalah sebuah animasi tentu akan terlihat demikian. Sepertinya trio absurd distrik Maria ini salah persepsi, saudara-saudara! Nampaknya tingkat kecepatan mengolah data mereka saat ini terbilang buruk, bahkan untuk Levi sekalipun!
"Lah, tadi 'kan kamu main mata sama kakak?" Eren lola.
"Ish! Kak Eren kenapa sih?" Isabel mencak-mencak didepan pintu kamar sang kakak.
"Pede banget lu! Isabel tuh godain gua kali!" Jean dengan sengaknya mengakui diri.
"Apaan sih, kak Jean! Nggak lucu tau!" Isabel malah emosi sendiri. Bulu kuduk Eren seketika berdiri, perkataan Jean tadi sungguh tak bisa ditolerir!
"Denger ya, siluman kuda—" Eren menjeda perkataannya dengan menarik napas. Tahan beberapa detik lalu dihembuskan. Eren juga masih sayang nyawa kali!
"—sekalipun lu jadi milyuder se-distrik Maria, bahkan lebih kaya daripada sir Zackley, gua nggak akan sudi Isabel jadi istri lu! Bisa suram masa depan adik gua!"
Eren melotot dari ranjangnya, menatap sang sohib yang tengah bersandar pada dinding kamarnya dengan murka. Jean jelas tidak terima. Memangnya siapa Eren Jeager? Peramal? Dukun? Darimana bocah kurang ajar itu bisa tahu kalau masa depannya bakal suram? Lagipula Jean masih sayang Mina kali! Yah, walaupun kenyataan pahit menyapa tak kala cintanya bertepuk sebelah tangan. Seorang gadis manis nan lugu seperti Mina Carolina lebih memilih spesies abstrak bernama Milius Zeramusky! Sungguh! Jean sangat yakin bahwa wajahnya sudah ganteng maksimal daripada rekan bersurai pirang pucatnya tersebut.
"Kak Eren tenang aja. Kak Jean jauh dari kriteria aku kok."
JLEB!
'Kenapa kokoro ini sakit dengernya?'
Akhirnya Jean merasakan apa yang selalu diutarakan teman seperjuangannya, Connie Springer. Jean akhirnya tahu bagaimana rasanya ditolak mentah-mentah oleh sang pujaan hati —walau dalam kasus kali ini Isabel mengatakannya secara tidak langsung dan fakta bahwa sebenarnya Jean tidak memiliki perasaan apapun pada nona muda Jeager tersebut. Terbayang dalam otak kudanya bagaimana perasaan sang rekan plontos dari kuil Trost tersebut saat harus mengalami penolakan Sasha Blouse, adik kelas mereka yang menjadi incaran Connie sejak lama.
'Bener kata Connie, penampilan tidak menjamin semuanya'
Puk puk puk...
Jean menoleh dengan wajah melas yang menyayat hati, mencari siapa yang menepuk pundaknya —yang diterjemahkan sang kuda sebagai bentuk penghinaan. Levi disana, berdiri tepat disampingnya dengan menarik tipis bibirnya keatas —mengejek Jean dengan senyum meremehkan.
"Berterimakasihlah pada Isabel."
Jean dan Isabel mengernyit bingung sementara Eren cengengesan diatas ranjang. Levi menarik lengan sang sohib menuju cermin besar dikamar itu. Jean heran namun menurut. Levi memposisikan sang Kirschtein muda itu tepat didepan cermin, membuat sahabatnya dapat melihat dirinya sendiri secara utuh. Levi bergeser, membiarkan Jean melihat pantulan dirinya dalam bayang cermin.
'Gua ganteng'
"Ngaca yang bener!" Eren berteriak kecil, membuat Jean yakin pemuda yang tengah tertawa dengan brutal tersebut dapat membaca pikirannya.
"Apa yang lu liat?" Levi bertanya, masih dengan senyum yang membuat Jean lebih memilih menatap dirinya sendiri pada cermin besar milik Eren daripada harus memandang Levi yang mengejeknya secara terselubung!
"Pemuda tampan idaman seluruh gadis distrik Maria. Calon pengusaha sukses yang berintegritas dan terpercaya. Simbol dari mereka yang berjuang untuk masa depan!"
GUBRAK!
Terdengar suara sesuatu yang terjatuh dengan keras. Jean menoleh, masih dengan tangan terkepal kuat didada kirinya —yang menurutnya adalah lambang tekad dan keyakinan kuat. Namun sayang sekali, perkenalan singkatnya dengan semangat membara tersebut tidak menarik perhatian ketiga orang yang berada satu ruang dengannya sebab—
"LEVI—ISABEL—EREN?!"
—ketiganya telah terkapar tak berdaya akibat penuturan Jean Kirschtein yang terdengar membual.
'Sialan!'
To be continue...
Terimakasih untuk para readers yang sudah dengan rela menuangkan waktu dan tenaganya demi mampir di fic gaje berisi penistaan karakter ini (khususnya Mikasa. Sungguh, saya tahu Mikasa sebenarnya gadis yang ceria—hanya mungkin masa kecilnya yang nggak bisa dibilang menyenangkan itulah penyebabnya). Mohon maaf kalau fic ini nggak lucu ataupun garing. Tak pernah bosan author ingatkan bahwa saya bukanlah seorang komedian, jadi humornya jelas kurang terasa.
Akhir kata, arigatou minna-san! Bagi yang berkenan, jangan lupa tinggalkan jejaknya ya!
