Direct sequel dari One Second Fate. Oke, Rina agak bo'ong kalo ndak akan buat kelanjutan cerita itu, karena ini ada~ XDDDD Rina dedikasikan ini buat para readers yang baru saja terbebas dari UN terkutuk, khususnya dan minna semua yang telah membaca cerita Rina selama ini. Hontou ni arigatou gozaimasu! Oke, disclaimer disclaimer…

Disclaimer: Vocaloid bukan milik author Rina selamanya.


? ? ? POV


Aku mendarat di balkoni sebuah kastil yang berwarna gelap dengan sedikit penerangan dari bulan purnama yang sangat indah. Kemudian aku menggerakkan kakiku untuk memasuki ruangan kamar yang merupakan kamarku, saat sebuah suara menyambutku.

"Ah, anda sudah kembali rupanya?" ujar seorang gadis dengan rambut silver dengan sedikit campuran warna pink, yang panjangnya hingga kaki. Sebagian dari rambutnya yang tampak dari depan, dikepangnya di bagian kiri dan kanan. Warna matanya adalah biru aquamarine yang sangat indah. Namun yang terlihat mencolok adalah telinga runcing yang tampak dari sela-sela rambutnya yang indah itu. Dia memang bukan manusia namun merupakan bangsa Elf.

Aku tahu, meski dia berkata begitu, sebenarnya dia pasti sudah menduga bahwa aku akan kembali saat jam segini dan menungguku.

"Aku pulang IA. Bagaimana denganmu sendiri?" jawabku sambil menanyakan tentang keadaan saat ini padanya. IA adalah… semacam asisten bagiku. Kalian tidak perlu mengetahui apa yang kulakukan sekarang ini.

"Semuanya baik-baik saja saat anda pergi untuk jalan-jalan ke tempat itu. Saya menganggap, bahwa anda menemukan sesuatu yang menarik saat perjalanan?" ujar IA dengan lembut seraya menanyakanku apa yang terjadi padaku.

"Iya, aku menemukan sebuah permata yang sangat indah. Mungkin kau bisa mengatakan aku jatuh cinta pada permata itu," jawabku dengan melihat IA dengan tatapan secara serius.

IA hanya tersenyum melihat reaksiku. Dia kemudian berkata, "Saya akan melaporkan lebih lanjut di ruang baca. Saya juga ingin mendengar bagaimanakah permata yang anda maksud dan apakah permata itu pantas, seperti yang anda janjikan. Lalu… saya mohon gantilah pakaian Tuan yang tidak pantas itu…" ujarnya sambil meninggalkan ruanganku.

Aku hanya tersenyum dan mengingat permata yang kutemui tadi. Permata itu memiliki cahaya yang sangat kuat, cahaya yang melebihi kecantikan bunga Celes disekelilingnya. Matanya yang melihatku, terlihat sangat sempurna dan membuat nafasku terhisap karenanya. Suaranya yang indah berputar terus di dalam kepalaku meski kami sekarang terpisah. Lalu rambutnya… ah, aku tidak bisa mengatakan hal yang lebih dari kata-kata indah, meski indah itu sebenarnya hanyalah penurunan dari kenyataannya. Rambutnya sempurna. Saat aku menyentuhnya, terasa sangat halus seakan yang kusentuh hanyalah angin yang sangat lembut. Warnanya yang sangat tegas, terlihat seperti bulan purnama di malam hari.

Saat aku mencengkram tangannya, kulitnya yang dingin itu terasa sangat halus seperti sutra. Lalu bibirnya yang lembut dan manis itu sungguh sangat memabukkan, membuatku ingin menciumnya lebih dari sekali. Lalu saat matanya mulai menemukan cahaya sedikit demi sedikit, keindahannya seperti pelangi yang terindah. Postur tubuhnya dan cara berjalannya sangatlah elegan, menampakkan bahwa dia adalah seorang bangsawan yang terhormat.

Bagiku dia… adalah permata yang sangat sempurna.

"Aku menginginkannya…" gumamku sambil merebahkan diri di tempat tidur milikku yang sangat luas dan dihiasi bagaikan sebuah tempat tidur kerajaan. Hah, bahkan ruanganku memiliki tampilan yang sama seperti ruangan kerajaan dengan emas dan lain sebagainya itu.

Aku bangkit lagi dari tempat tidurku setelah membayangkan kembali permata yang kutemukan, dan mengganti pakaianku sehingga lebih pantas, seperti yang IA sarankan sebelum dia pergi menungguku lagi, untuk menemuinya di ruang baca. Kuganti pakaian pencuriku dan menggantinya dengan pakaian royalty berwarna dasar hitam dengan hiasan berwarna kuning. Kupakai jubahku yang berwarna hitam dan kuganti sepatuku dengan sepatu berwarna hitam mengilap. Rambutku yang berwarna blonde terang, yang tadi kubiarkan terurai bebas, kuikat menjadi ponytail kecil yang rendah dengan menggunakan pita berwarna hitam polos.

Setelah berpikir bahwa aku sudah cukup 'pantas' aku bergerak menuju ruang belajar untuk menemui IA. Selain sebagai asistenku, IA adalah penasihat sekaligus guruku dalam segala hal. Dia adalah seorang pengasuh yang sempurna, atau itulah kata mendiang ibuku dulu. Dia adalah orang yang menemukan IA dan IA sangat patuh padanya karena itu, dan karena itu pula, meski ibuku sudah meninggal dan aku naik tahta, IA tetap setia disampingku tanpa berpikir untuk berkhianat, itulah ciri-ciri seorang Elf. Loyalty yang tidak akan pernah tergeser apapun.

Aku kini sampai di pintu ruang baca dan aku membuka pintunya, menampakkan banyak rak buku tinggi yang berjejer-jejer. Aku memang memiliki cukup banyak koleksi buku, sehingga tempat ini cukup luas. Tapi itu tidaklah penting sekarang ini.

Aku menemukan IA yang duduk di meja ruang baca dengan menutup matanya. Meski aku sedikit tidak tega untuk mengganggu ketenangannya, aku tetap saja menyapanya, "IA, apa kau sudah kembali?" ujarku untuk menyapanya.

IA membuka matanya dan segera mengayunkan jarinya sehingga di belakangku terdapat sebuah kursi. Sebagai info, IA merupakan seorang penyihir yang sangat handal dan disegani karena itu. Aku juga diajari olehnya.

"Jika anda maksud dari tempat itu, iya. Dan saya sudah menyelediki tentang permata yang anda sebutkan tadi. Dan memang, dia merupakan sebuah permata yang pantas dipertaruhkan dalam perang," ujar IA dengan tenang dan nyaris tanpa nada.

"Heeh, jadi kau memikirkan untuk mengobarkan api dengan negeri itu sekarang? Kita akan menghancurkan aliansi kecil mereka sekarang?" tanyaku dengan berusaha untuk menyembunyikan rasa kesenanganku di dalam pikiran. Entahlah, tapi sepertinya tidak terlalu berhasil.

"Benar tuanku. Saya berpikir seperti itu. Sudah cukup lama kita berdiam diri memandang betapa kotornya negeri mereka terhadap negeri yang bukan aliansi mereka. Saya heran, bagaimana bisa ada permata seindah itu di tempat sekotor itu. Tapi, itu justru menambah alasan permata itu harus segera diambil. Saya juga sudah mendapatkan laporan dari beberapa negeri lain, yang siap mengobarkan api di aliansi kecil itu," jelas IA dengan nada yang terdengar mengantisipasi rencana ini.

"Jadi, bagaimana dengan kemungkinan kemenangan kita?" tanyaku kepada IA yang hanya membalas dengan senyuman di wajahnya.

"Sudah dipastikan. Kekuatan prajurit kita sudah jauh diatas mereka. Lalu ditambahkan dengan tehnologi aliansi kita yang lebih maju dan kemampuan kita dengan sihir. Kemenangan sudah bisa ditentukan," ujar IA dengan bangga. Dia berani berkata begitu bukan karena melihat diri kami sendiri, tapi juga melihat tentang mereka.

"Lalu, bagaimana dengan negeri-negeri lain. Bagaimana dengan kekuatan tempur mereka?" tanyaku kepada IA.

"Mereka siap pergi kapan saja. Ah, tapi saya lupa mengatakan bahwa ada seseorang yang mungkin… akan berguna bagi anda untuk mendapatkan permata yang anda inginkan itu, dan dia merupakan orang dalam yang membenci penguasa negaranya sendiri. Dia datang menemui saya dan menyumpahkan sebuah sumpah kesetiaan tersakral yang jika dia melanggar maka dia akan mati," jelas IA lagi dengan tersenyum.

"Siapa orang itu?" tanyaku dengan sedikit penasaran. Aku tidak tahu bahwa ada seseorang di dalam yang cukup normal untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di balik layar kebahagiaan yang dipasang oleh pemimpin negara itu.

"Saya akan membawa orang-orang itu… lusa," ujar IA dengan tersenyum.

Aku hanya melihat IA yang tampak sangat tenang membicarakan masalah ini. Aku heran bagaimana dia bisa tenang seperti itu, tanpa mengeluarkan aura kebencian, sementara dia merencanakan rencana balas dendam terhadap negeri yang merupakan pembunuh dari pemiliknya.

"Baiklah, aku mengerti. Kita akan mengobarkan api perang, 2 tahun setelah pembicaraan kita sekarang ini. Kita butuh lebih banyak informasi tentang kemampuan musuh," ujarku dengan tersenyum licik ke arah IA. Dia membalas senyumanku dengan sebuah anggukan, seakan dia mengerti apa yang ada di pikiranku saat ini. 2 tahun, benar, dalam waktu itu, akan kuhancurkan aliansi itu di saat mereka seharusnya paling berbahagia.

IA kemudian meninggalkanku setelah mengucapkan sumpah kesetiaan sakral yang juga diucapkan oleh orang-orang yang disebutkan oleh dia tadi. Aku menerimanya dan dia baru mau pergi. IA memang hanya mau meninggalkanku setelah mengucapkan itu.


Lily POV


Aku melatih permainan pedangku terhadap salah satu komandan payah yang ada di tatanan pasukan kerajaan. Aku juga melatih sekelompok prajurit belum jadi dengan tidak berniat. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi setelah ini, dan melatih prajurit yang hanya akan menjadi boneka sama sekali tidak membuatku tertarik.

Beberapa waktu yang lalu, sekitar 4 bulanan, aku mendengar strategi yang akan dilakukan serta waktunya, sekaligus tugas yang sekarang ini kuemban. Mengerti semuanya yang terjadi membuatku malas lama-lama berada disini. Tapi…

"Lily-nee!" aku mendengar suara panggilan merdu yang sangat kukenal, dari sisi luar tempat aku latihan bertanding.

Aku melihat kesamping dan melihat gadis tercantik di negeriku ini, alias adikku sendiri yang bernama Rin. Dia sedang melambaikan tangannya yang kecil, kepadaku dengan tangan lainnya membawa sebuah keranjang rotan. Dia terlihat senang dan lebih… hidup akhir-akhir ini. Dia juga lebih sering menemuiku dibandingkan pulang ke rumah. Bukannya dia bisa keluar dari wilayah istana sih…

"Rin! Kau datang juga hari ini ya," ujarku sambil berlari mendekatinya.

Rin hanya mengangguk ringan dan dengan gerakan yang sangat teratur, dia membuka keranjang rotan di tangannya dan menampilkan makanan yang… tampak sangat enak. Adikku yang satu ini memang sangat ahli memasak dan makanannya sungguh menggiurkan.

Tiba-tiba perutku berbunyi dengan cukup keras, meski hanya sedikit lebih keras untuk didengar oleh Rin. Wajahku memerah saat aku mendengar Rin tertawa kecil dengan sangat lembut, yang secara langsung menyatakan bahwa dia memang mendengarnya. Adikku ini merupakan satu-satunya yang aku sayang disini…

"Ayo Lily-nee, kita makan siang bersama. Karena cuacanya cerah, lebih baik kita makan di luar ruangan saja. Aku sudah banyak memasakkan makanan kesukaan Lily-nee hari ini," ujar Rin sambil tersenyum. Senyumnya yang seperti matahari itu begitu menyilaukan.

"Ah, iya, ayo kita cari tempat yang jauh lebih sepi dibanding disini," ujarku sambil mengajak Rin pergi dari arena. Aku tidak mau membiarkan adikku yang pure dikotori oleh pandangan orang-orang rendahan disini.


Setelah berkeliling sejenak, akhirnya kami menemukan tempat yang sepi dan jarang dilewati oleh para penduduk istana. Rin segera menggelar kain yang cukup besar, lalu meletakkan makanan yang dibawanya di atasnya. Aku tidak terlalu bisa membantu karena hal-hal seperti ini adalah kelemahanku. Rin memang yang lebih feminim diantara kami berdua.

"Ayo, duduklah Lily-nee," ujar Rin sambil memposisikan dirinya untuk duduk.

Aku hanya mengangguk dan duduk sekenanya. Aku mulai memperhatikan fisik kami saat Rin mulai menuangkan secangkir teh yang baunya seperti lemon. Rin dan aku memiliki warna rambut yang sama Honey Blonde. Warna mata kami juga sama-sama biru sapphire, dilihat dari banyak sisi, kami memang terlihat kembar. Belum lagi, Rin yang akhir-akhir ini menjadi lebih tinggi sehingga mata kami sudah segaris. Mungkin yang membedakan adalah Rin menggunakan poni di pinggir, sementara aku tidak begitu memikirkannya. Lalu aku memiliki ukuran yang sedikit lebih besar dibandingkan Rin. Dan umur kami yang terpaut 2 tahun.

"Lily-nee, ini tehnya…" ujar Rin sambil memberikanku secangkir teh, dan membuatku sadar akan sekelilingku sedikit.

"Iya, terimakasih…" jawabku sambil menerima teh dari tangan Rin. Aku tidak bisa tidak menyadari sesuatu yang melingkar di jari manis tangan kanan Rin, sebuah cincin perak.

Benar, itu adalah satu lagi perbedaan diantara kami. Rin sekarang tidak lagi bebas, karena dia sudah ditunangkan dengan pangeran negeri ini. Dan aku… benci akan itu. Tapi, setidaknya mereka tidak akan pernah menikah. Dan aku sudah menemukan kandidat yang jauh lebih baik dibandingkan Rei untuk Rin. Karena itu, apapun yang terjadi, tidak akan kubiarkan Rin diambil olehnya. Aku pasti akan melindungi Rin.

"Ayo Lily-nee silahkan dipilih yang mana yang Lily-nee suka," ujar Rin sambil menggelar makanan buatannya yang… glek, sangat menggiurkan. Aku bisa merasakan air liurku menetes karena melihat makanan yang dijejerkan dihadapanku itu.

"Rin… aku harus makan dari mana dulu ya? Makanan buatanmu selalu terlihat lezat hingga membuatku bingung," ujarku sambil menunjuk-nunjuk untuk memilih yang mana yang harus kuambil.

Rin hanya tertawa, lalu dia berkata, "Jika itu untuk kakakku yang tersayang, masakan seperti ini hanyalah sesuatu yang mudah. Tapi, mungkin kurekomendasikan mengambil dari sini dulu," ujar Rin sambil menjelaskan dan menunjuk salah satu masakan buatannya.

Dalam hati aku hanya bisa berteriak kegirangan sambil mengambil makanan yang direkomendasikan oleh Rin. Yang jelas… 'ITADAKIMASU!'


Rin POV


Aku hanya tertawa kecil memperhatikan kakakku, Lily-nee yang makan masakanku dengan wajah yang tersenyum lebar. Aku senang melihat senyuman Lily-nee yang sangat bebas. Lagipula, semenjak aku tinggal di istana, aku hanya memiliki Lily-nee untuk menemaniku disini. Aku juga sangat mengagumi Lily-nee yang tampak sangat serius saat dia memegang pedang dan melakukan latihan. Lily-nee merupakan kakak yang kubanggakan.

"Bagaimana Lily-nee?" tanyaku dengan sedikit khawatir. Takut jika ada sesuatu yang salah dengan masakanku sehingga Lily-nee memalsukan senyumnya.

"Hewnagh heharui!" ujar Lily-nee dengan masih mengunyah makanannya.

Aku hanya sweatdrop mendengar bahasa makanan Lily-nee. Tapi setidaknya aku masih bisa mengerti perkataannya jadi itulah yang kupikirkan.

Lily-nee menelan satu gelombang makanan sebelum kemudian berkata, "Riiiin~ dibandingkan menjadi pengantin Rei, lebih baik kau menjadi pengantinku saja! Dengan begitu, aku tidak usah memakan makanan yang dibuat koki istana setiap hari," ujar Lily-nee dengan mata berbinar.

Aku sweatdrop untuk yang kedua kalinya. Lily-nee memang terkadang sangat kekanakan…

Tapi, mendengar kata pengantin Rei-sama, aku merasa dadaku menjadi sesak. Aku sudah tidak pernah memikirkan Rei-sama karena di hatiku sudah ada yang lain. Semakin lama kami tidak bertemu, hatiku menjadi semakin sakit dan perasaanku semakin berkembang dengan kuat. Tapi, tapi… Len dan aku… tidak mungkin bersama lagi… aku… tapi meski begitu… aku tetap mencintainya sepenuh hatiku…

"Mu-mungkin itu akan kulakukan… ahaha," ujarku dengan berusaha keras untuk menertawakan candaan dari Lily-nee. Aku berusaha menyembunyikan hatiku yang terluka.

Lily-nee sepertinya menyadari bahwa aku menjawabnya dengan terpaksa, sehingga dia menghentikan makannya. Aku melihatnya dengan pura-pura heran, namun sebenarnya aku takut bahwa dia melihat langsung ke dalam hatiku. Beberapa saat kemudian Lily-nee bergerak untuk duduk di sampingku.

Lily-nee meletakkan pedang dan pisau yang masih ada di pinggangnya, lalu memeluk kepalaku dan mengarahkannya ke dadanya yang besar. Perlakuan Lily-nee ini membuatku 100% terkejut sehingga aku tidak bisa melakukan apapun. Tapi… dipeluk seperti ini membuat dadaku hangat dan membuatku ingin menangis dan menceritakan semuanya…

"Kalau kau ingin menangis. Lakukanlah. Tak akan kubiarkan orang lain melihatnya. Tak akan pernah kubiarkan orang yang membuatmu sedih berjalan dengan bebas…" ujar Lily-nee yang berusaha menghiburku.

"Lily…-nee…"

"Rin… Lily-nee sangat menyayangimu. Karena itu, jika kau ada masalah pergilah pada Lily-nee terlebih dahulu…" ujar Lily-nee dengan lembut.

Mendengar hiburan Lily-nee, akhirnya tangisku jebol juga. Aku memeluk Lily-nee erat-erat dan menangis keras-keras, sehingga hatiku bisa sedikit lebih lega. Aku sudah berusaha untuk melupakan Len, tapi entah kenapa perasaanku makin sakit memikirkan bahwa kami tidak akan pernah bertemu. Hatiku tersayat mendengar orang-orang membicarakan pernikahanku dengan Rei-sama.

Ini adalah pertama kalinya… pertama kalinya aku memiliki keinginanku sendiri. Aku tidak mau menikah dengan Rei-sama. Aku tidak mau berpisah dari Len. Aku ingin bertemu dengan Len sekali lagi. Apapun yang terjadi… aku ingin bertemu dengannya.

"Rin, aku tidak tahu apa yang membuatmu sedih. Tapi, jika kau ingin menceritakannya, aku bersedia mendengarkan kapanpun kau mau," ujar Lily-nee sambil membelai kepalaku dengan lembut.

Pelukan Lily-nee terasa sangat hangat dan nyaman, lalu perkataannya membuat hatiku hangat. Apa boleh… aku menceritakan ini kepada Lily-nee? Apa Lily-nee akan menerimaku tetap seperti sekarang ini setelah aku menceritakannya? Tapi… siapa lagi yang bisa kuajak bicara selain Lily-nee?

"Aku… tidak mau menikah dengan Rei-sama…" ujarku dengan memeluk Lily-nee dengan erat. Takut jika Lily-nee akan mendorongku dari pelukannya yang hangat.

"Kenapa? Bukannya dulu… kau terima-terima saja menikah dengan Rei?" tanya Lily-nee masih dengan memeluk dan membelai rambutku dengan lembut. Aku senang Lily-nee tidak mendorongku meski hanya sedikit.

"Aku… jatuh cinta… pada orang lain… dan itu bukan Rei-sama…" ujarku dengan menangis.

Lily-nee terdiam untuk sesaat. Lalu dengan lembut dia bertanya, "Apakah dia seseorang dari kalangan biasa? Apakah kau tahu namanya? Lalu, bagaimana kalian bisa bertemu? Terlebih lagi, apakah orang itu tahu?" tanya Lily-nee secara beruntun.

Aku ingin tertawa mendengar pertanyaan dari Lily-nee. Aku senang Lily-nee masih tetap mengkhawatirkanku meski dia tahu bahwa aku tidak bisa menikah dengan Rei-sama. Lily-nee memang kakakku yang sangat baik…

"Dia… kalangan bawah. Dia bilang, namanya Len. Aku tidak tahu apakah Len tahu bahwa aku jatuh cinta padanya. Cerita ini sendiri… sudah 4 bulan yang lalu… tapi… aku masih bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi. Apa Lily-nee akan mendengarkan?" jawabku sambil bertanya apakah Lily-nee akan benar-benar mendengarkan ceritaku.

Lily-nee hanya mengangguk sambil membelai kepalaku dengan lembut. Aku kemudian mulai bercerita tentang Len, dan juga pertemuan kami pada malam itu.


Lily-nee mendorongku dari pelukannya dan menatapku lekat-lekat saat aku selesai bercerita padanya. Dia kemudian bertanya, "Apa kau benar-benar yakin dia kalangan bawah Rin?" tanya Lily-nee sambil menatapku tajam.

Aku menjadi heran melihat sikap Lily-nee. Tapi, aku mengangguk saja, lalu aku menjelaskan ciri-ciri dari Len yang bisa kulihat dibalik topeng yang dipakainya saat itu.

Lily-nee tampak berpikir dengan sangat keras saat aku selesai menceritakannya. Lily-nee kemudian bertanya lagi, "Kau benar-benar yakin bahwa dia itu benar-benar seorang pencuri Rin?" tanya Lily-nee dengan wajah serius.

Aku hanya mengangguk, karena itulah yang kulihat dari Len. Tidak kurang, tidak lebih. Oke, kecuali dia tampak sangat tampan dan perbedaannya dari Rei-sama yang membuatku jatuh cinta padanya.

Lily-nee mengambil pedang dan pisau yang tadi diletakkannya dan segera berkata, "Ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku… tentang Len ini. Aku merasa bahwa Len yang kau maksud adalah Len yang kukenal Rin. Tapi, Len yang ini merupakan seorang Raja muda dari negeri lain, bukan seorang pencuri, meski deskripsinya sama persis," jelas Lily-nee sambil memakan makanannya yang tersisa.

"Eh?"

Lily-nee dengan cepat menghabiskan makanannya, sementara aku menyerap perkataan Lily-nee dengan pelan-pelan. Len yang kukenal… mirip dengan Len yang Lily-nee kenal? Dan terlebih lagi, merupakan seorang Raja?

Lily-nee meminum air yang kusediakan untuknya tadi sebelum berkata, "Yang jelas. Aku akan menyelidiki tentang ini. Tapi, Rin berjanjilah dua hal kepadaku sekarang," jelas Lily-nee.

"Janji?" ulangku dengan heran. Lily-nee tampak serius dan cukup menyeramkan sekarang.

"Iya, janji. Pertama, jangan ceritakan tentang ini pada siapapun setelah aku. Lalu, jangan katakan pada siapapun bahwa aku mengenal Len. Kau bisa janji padaku bukan, Rin?" ujar Lily-nee sambil menyodorkan jari kelingkingnya kepadaku.

Aku hanya mengangguk dan membalas kelingking Lily-nee saat jari kami berkaitan. Aku mengulang janji yang harus kujaga dari siapapun dan Lily-nee juga berjanji bahwa dia akan menyelidiki tentang Len dan jika dia menemukannya, maka Lily-nee akan membawaku kepadanya.

"Ah, iya, satu lagi Rin. Kau jangan sering-sering datang ke arena setelah ini," ujar Lily-nee sambil membenarkan pakaian latihannya sedikit.

"Kenapa?" tanyaku dengan heran.

"Err… bisa dibilang aku tidak akan ada disana selama beberapa bulan untuk menyelidiki tentang wilayah kerajaan yang lain. Tapi jangan khawatir, aku akan pulang saat tahun baru. Aku takut terjadi apa-apa padamu. Oh, dan satu lagi, jangan biarkan Rei menyentuhmu lebih dari ciuman di bibir," ujar Lily-nee dengan wajah seram saat mengatakan tentang Rei-sama. Aku jadi sweatdrop sendiri mendengarnya.

"Aku mengerti Lily-nee. Memang Lily-nee akan berangkat kapan?" tanyaku sambil membereskan makanan yang sudah dihabiskan oleh Lily-nee ke dalam keranjang yang kubawa.

Lily-nee hanya tersenyum lalu berkata, "Besok," ujarnya dengan tenang.

Aku merasa sesuatu memukul kepalaku dengan keras. Jadi, selama setengah tahun ini, aku akan berada di istana sendirian tanpa Lily-nee… di istana yang dingin ini… tanpa satu orang pun yang kukenal dengan baik…

Lily-nee menepuk kepalaku dengan lembut. Dengan nada suara yang membuatku tenang dia berkata, "Tak usah khawatir Rin. Setengah tahun merupakan waktu yang singkat jika kau jalani…" ujar Lily-nee dengan lembut.

Aku hanya mengangguk. Berusaha mempercayai perkataan dari Lily-nee… iya, setengah tahun tidaklah lama… bukan?


IA POV


"Yang Mulia, rakyat sudah menunggu kedatangan tuan," ujarku sambil memasang tudung yang selalu kupakai jika aku harus keluar dari tempat gelap dan berada di bawah matahari yang terang. Penyebabnya adalah rambutku yang merefleksikan cahaya sama seperti kaca, dan itu mengganggu.

Yang Mulia hanya mengangguk dan tersenyum penuh arti kepadaku. Hari ini, adalah hari dimana Ratu dulu dibunuh oleh negeri itu. Tapi, untuk meninggalkan rasa duka yang masih terasa, kami akan mengumumkan sebuah keadaan yang sangat penting. Sudah cukup lama kami tinggal diam, sudah saatnya kami membalas permintaan perang mereka.

"Aku mengerti, pergilah terlebih dahulu IA," ujar Yang Mulia dengan wibawanya. Aku tahu bahwa orang ini nanti akan membawa negeri ini ke saat terbaiknya. Dan aku akan berada di sampingnya sebagai tangan kanannya setelah gadis yang akan menjadi Ratu kami.

Aku mengangguk dan berjalan menuju balkoni, menuju tempat dimana matahari bersinar dengan terang. Aku melihat dari wilayah balkoni, bahwa sudah banyak rakyat yang menunggu. Rakyat biasa maupun bangsawan bercampur menjadi satu dalam sebuah harmoni.

"Wahai rakyat negeri Ragnavenia, hari ini merupakan sebuah hari duka. Tapi, Raja kita akan mengubah hari ini menjadi hari yang sangat penting bagi kita semua. Mari kita sambut Raja negeri kita, Yang Mulia Len,"

Dan dalam sekejap para rakyat bertepuk tangan dengan bersemangat seakan dunia ini akan berakhir besok. Aku melihat ke belakang dan aku melihat orang yang kusebut sudah berjalan menuju balkoni dan kemudian dia tersenyum ke arah rakyat yang sudah menunggu. Dia memang seseorang yang dicintai oleh semua rakyatnya.

Aku melihatnya dan bersumpah bahwa apapun yang terjadi, akan kulindungi orang ini dan juga orang-orang yang disayanginya. Saat itu, aku merasakan tepukan ringan dari belakang. Aku spontan melihat ke belakang dan melihat seorang teman dari kerajaan kami dan dia tersenyum padaku.

Aku tersenyum kepadanya dan berkata, "Kau terlambat Lilia… atau lebih baik kusebut… Lily…"


Mwahaha. Oke, One More Fated Fate memang bukan cuman OS, tapi mungkin Two-Shot ato kalo gak ya Three-Shot. Yah, tergantung mood sih. Oke, karena sudah susah-susah bikin, tolong jangan lupa RnR!