Kehidupan perkuliahan?
Uhm...yah...
"Kalo aku bawa cewek ke kamar, kau tidur di sofa depan dulu, ya!"
"Gausah berlagak ganteng, dasar muka kuda!"
"Tenggat bayar wifi tanggal 6 setiap bulan. Jangan lupa bayar."
"Apa aku cari kerja paruh waktu aja kali ya?"
Kira-kira begitu.
Fajrikyoya, proudly present
ADOLESCENTS' AFFAIR
Main pair: mostly Levi x Eren, and any other pairs
Disclaimer: Shingeki no Kyojin Hajime Isayama. This fanfiction is purely mine and made for noncommercial purpose.
Warning: college life alternate universe. Definitely OOC. Abal. Alay. Typo(s). Gajelas. Mengandung banyak istilah yang bisa jadi disalahartikan. Receh. Unexpected twist. Tidak mengikuti Kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dapat menyebabkan kegundahan virtual. You have warned. Don't like? Please click back.
Eren Jaeger. 18 tahun. Mahasiswa semester 2 program studi Desain Komunikasi Visual di International University by Wings of Freedom (atau bekennya disebut dengan IUWF).
Berdiri mematung di depan sebuah mesin penarik uang dengan tatapan merana.
Sisa saldo : 52.0
Apa ini?
Hanya dalam seminggu, uang jajannya dalam sebulan sudah mencapai limitasi saldo tertahan? Yang benar saja? Ia masih punya 23 hari yang harus ia jalani sebagai mahasiswa—yang berarti ia butuh uang untuk makan, beli bensin untuk motor koplingnya yang gahar, bayar tagihan binatu, ditambah tagihan wifi dan suplai makanan dan juga biaya tidak terduga yang bisa jadi tercetus tanpa pemberitahuan semacam iuran kebersihan kelas, atau beli peralatan gambar.
Beriring senyum pedih, Eren menarik kembali kartu ATM-nya dan berjalan menjauhi mesin. Saat ia membuka dompetnya, ia menarik keluar semua tumpukan kertas-kertas kecil yang selalu ia jejalkan tanpa sadar setiap kali ia melakukan transaksi—baik sekedar beli soda di minimarket, beli peralatan gambar dan sisa-sisa transaksi debit karena Grisha Jaeger tidak memberikannya kartu kredit dengan alasan yang kurang dimengerti.
Dua gelas ice americano seharga €8. Makan di Thompson's, zigeneurschnizel dan sachertorte ditambah sebotol sparkling water seharga €18.50. Belanja peralatan mandi semisal sabun cuci muka, sabun mandi, shampoo dan vitamin rambut habis €25. Dua hari berikutnya makan lagi di Thompson's, roast chicken, potato salad, grapefruit juice ditambah dua potong berliner rasa Nutella habis €39. Lalu pergi ke klub bernama Altair, Eren memesan 3 botol bir, 4 shot tequila, 3 gelas minuman cocktail dan 2 botol vodkaI yang totalnya seharga €100. Belanja di Petriplus, dua buah buku sketsa besar, dua pak cat akrilik, satu pak cat air, lima buah drawing pen aneka ukuran dan satu buah novel fiksi fantasi dengan total pembelanjaan €190.33. Lalu pagi berikutnya, sarapan di Jules' Boulangerie; dua buah bear claw pastry, satu gelas besar caramel milk tea habis €14.22. Dan kemarin, akhir pekan acara karaoke ditambah minum-minum, Eren ingat membayar €50 secara tunai.
Tunggu!
Kalau ditotal, ia sudah menghabiskan nyaris €450 dalam seminggu!
Eren mengerang kesal, meremas semua bon-bon yang tadi mengganjal dompetnya dan melemparnya dengan murka ke tempat sampah. Jatah uang jajan dari ayahnya adalah €500 sebulan, dan itu adalah jumlah yang memang tidak banyak—namun cukup untuk hidup dengan layak dan sederhana sebagai mahasiswa yang tinggal di asrama dengan fasilitas lengkap dan jatah makan dua kali sehari. Selama 18 tahun hidupnya, Eren Jaeger baru pertama kali memiliki kartu debit dan hal itu malah menjadi bumerang baginya. Dengan dalih berhemat, ia menarik uang tunai €200 sebagai pegangan dalam sebulan. Akan tetapi, kehidupan kuliah sebagai remaja tanggung membuatnya gelap mata. Setiap kali ia berkumpul dengan teman-temannya, tanpa pikir panjang ia akan gesek kartu debit. Karena merasa masih punya uang banyak, ia beberapa kali jajan ke restoran yang cukup mahal. Belum lagi memuaskan ketamakannya akan alat-alat menggambar yang ia yakini dapat membantu kelancaran perkulihannya.
Namanya juga penyesalan, pasti datang terlambat.
TRING! TRING! TRING!
Ponsel pintar di saku berdering. Sebuah panggilan masuk dari Jean Kirschtein, salah satu teman kuliahnya. Layar sentuhnya ia usap, lalu panggilan itu bersahut dengan suara serak pemuda brunette di sebrang sana.
"Oy, brengsek! Kami mau ke Dionysus. Ikut, nggak?" suara serak menyapanya dengan nada bersahabat, tak lain tak bukan adalah Jean Kirschtein.
Eren menghela nafas. "Pass. Duitku tipis."
"Hah? Tumben banget! Ini beneran Eren Jaeger bukan, sih?"
"Memangnya siapa lagi, muka kuda bajingan?"
"Oy, oy, oy! Jangan galak gitulah. Aku heran aja, sih. Raja minum macam kamu nolak ikut. Mau tobat?"
"Mati sana, kuda lumping! Sudah kubilang duitku tipis!" sentak Eren kesal.
"Eren?" suara serak Jean berubah, menjadi suara berat yang terdengar akrab. "Kalau cuma satu-dua botol nggak masalah, kan? Kita semua minumnya share, lah."
"Nggak cukup, Reiner. Kau tahulah aku." Eren masih mengelak.
"Iya, tahu. Kau akan minum dengan serakah sampai muntah. Lalu antara Jean, aku atau Bertolt akan mengendarai motormu." Jawab Reiner berselang kekehan.
"Hentikan, ah." Eren terdiam sebentar. "Aku kali ini pass."
"Yah, sudahlah kalau kau tidak mau. Padahal kalau ada kau, meja kita selalu didatangi wanita, lho."
"Kan sudah kubilang aku nggak akan main perempuan. Itu biadab."
"Diamlah, bocah bau kencur. Kalau sampai kau ketagihan goyang cewek, kuguyur mukamu pakai air toilet nanti, ya!"
"Coba saja." Eren menghela nafas. "Dah."
TUT!
Ponsel pintar masih ia genggam. Layar sentuhnya ia usap, lalu ia ketuk-ketuk pelan merangkai sebuah pesan yang ia tunjukkan kepada salah satu orang yang paling pintar menangani masalahnya.
"Kalau mau makanan, silakan. Kalau uang, nggak akan kukasih."
Eren memberengut. Ia melahap kentang rebus berbalur mentega leleh dan sosis-sosis kecil goreng dengan perasaan tak senang. Mikasa Ackerman adalah pertolongan darurat Eren, posisinya seperti 911 baginya dalam hajat hidupnya, seperti ketika ia tidak dapat merapikan lemari pakaiannya, saat ia lapar dan malas masak atau malas beli makanan dan sebagai teman ngobrol yang menyenangkan dan pengertian dikala tidak ada seorangpun yang mau bicara dengan Eren Jaeger si kepala batu.
"Kau bodoh." Mikasa duduk di sebelah Eren. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Pria dewasa tidak seharusnya boros."
"Iya, tahu!" sentak Eren. Ia menggigit sosis dan mengunyahnya penuh kekesalan. "Lagian, aku—"
"Tetap saja bodoh." Kilah Mikasa. "Kau tahu kau tidak kuat minum alkohol banyak, lalu kau minum banyak sampai muntah. Bukankah itu sama saja dengan buang-buang uang?"
"Oy!" Eren menoleh. "Tapi kan aku suka minum!"
"Kalau limit minummu seperti Ymir atau Reiner, tidak masalah."
"Mereka sih bukan manusia!" Eren membalas. Reiner dan Ymir adalah teman-teman sepermainannya yang konsumsi alkoholnya benar-benar tidak wajar. Keduanya memegang rekor zero jackpot alias tidak pernah sekalipun muntah, tidak peduli berapapun banyaknya mereka minum.
"Lagian, kau butuh uang untuk apa, memang?" tanya Mikasa lagi. "Kalau cuma untuk makan, datang saja ke tempatku. Kuberi kau makan sampai mati kekenyangan."
"Makasih." Eren mengulum senyum. "Beli bensin?"
Mikasa menghela nafas. "Cuma untuk beli bensin, ya."
Tangan ramping Mikasa menyelipkan selembar €50 ke dalam kantong jaket Eren. Pemuda bermanik toska itu berbinar bahagia, lalu raut wajahnya berubah menjadi canggung. Mikasa mencubit pipi montok Eren dengan wajah gemas.
"Aku kenal kau sejak masih kumal dan ingusan. Senang-senang itu boleh. Tapi jangan sampai kesenangan yang kau nikmati itu menjadikanmu hedon. Gaya hidupmu terlalu tinggi. Merendahlah. Ke tempat seharusnya kau berada."
Nasehat Mikasa sangat lembut, hingga Eren tidak merasa seperti sedang didikte. Ia menyeruput air minumnya dan mengangguk pelan.
"Kuliahmu bagaimana?" tanya Mikasa.
"Gitu-gitu aja." Balas Eren enggan. "Kau bagaimana? Memang enak kerja di taman kanak-kanak?"
"Enak." Balas Mikasa. "Banyak bocah-bocah sepertimu. Sok jagoan. Keras kepala. Banyak gaya. Tapi lucu dan bikin gemas ingin kucium."
"Aku bukan bocah!" hardik Eren. "Dan lagi...aku nggak lucu."
"Masih lucu. Aku masih simpan fotomu waktu SD kok."
"Mikasa!"
Gadis berambut hitam itu mencengkram lembut wajah Eren dan meremas-remas pipi kenyal itu dengan pandangan senang.
"Lucu." Ia tersenyum, dan menepuk-nepuk pipinya penuh kasih.
"U...ukh..." Eren merasa pipinya memanas. Ia memilih melahap tandas makanan yang disajikan Mikasa untuknya.
Mikasa Ackerman adalah kakak perempuan bagi Eren. Gadis itu merupakan saudara angkatnya, yang dibaw apulang sang ayah— Jaeger pada suatu malam di musim dingin. Mikasa adalah anak dari teman ayahnya. Pada malam itu, keluarga kecil Ackerman saat itu sedang dalam perjalanan menuju rumah keluarga Jaeger. Naas, mobil mereka tergelincir dan menabrak pembatas jalan hingga bagian depannya hancur total. Ayah Mikasa mati seketika, sementara ibu Mikasa yang sekarat masih sempat menelpon polisi dan ambulans untuk menyelamatkan putri kecilnya. Mikasa terjepit puing-puing mobil. Kakinya patah dan beberapa luka bersarang di tubuhnya. Ibu Mikasa meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit akibat syok berat karena kehilangan banyak darah. Mikasa kecil dengan tenang meminta polisi menelpon untuk menjemputnya.
Ketika Mikasa datang dalam keadaan cedera, Eren adalah orang pertama yang datang menyambutnya. Ia berusaha membantu sang ibu merawat Mikasa. Ia akan terjaga lebih larut, menemani Mikasa membaca buku bergambar atau bermain ular tangga. Eren juga dengan gigih menggendong Mikasa ke sekolah dan memukuli setiap anak yang berani mengejek bahwa Mikasa itu cacat. Semakin bertumbuh, saat sekolah menengah mereka digosipkan sebagai imprint—pengantin cilik yang sengaja dijodohkan sejak kecil. Jarak mulai merentangi mereka, namun gosip itu terpatahkan sejak identitas Mikasa sebagai yatim piatu terungkap. Ketika lulus sekolah, Eren mengikuti kata hatinya untuk menjadi seorang desainer grafis dan memutuskan kuliah seni sementara Mikasa yang jenuh bersekolah mendaftarkan diri sebagai guru TK setelah melalui pelatihan khusus dari sebuah yayasan peduli anak-anak.
Sekarang, keduanya sudah keluar dari rumah keluarga Jaeger. Eren menempati asrama putra di komplek IUWF sementara Mikasa menyewa sebuah apartemen murah yang dekat dengan tempat kerjanya. Pasutri Jaeger sempat sedih karena kini rumah mereka kesepian. Namun, terkadang Mikasa masih pulang-pergi. Eren terlalu gengsi untuk pulang cepat di tahun pertamanya kuliah, melampiaskan kangen pada orangtuanya via video call seminggu sekali.
"Eren, temanmu masih sering mengontakku." Gumam Mikasa.
"Oya?" Eren menoleh. Ia tengah membantu Mikasa mengelap piring-piring yang telah dicuci gadis itu. "Siapa."
"Jean."
"Pfft!" tawa sinis Eren menyembur. "Aku nggak tahu kalau kau ini suka beastiality."
"Apanya? Dia manusia." Balas Mikasa santai.
"Hah?! Kau tahu beastiality itu apa?!" Eren melongo.
"Aku cari tahu hal macam itu biar nggak dibodoh-bodohi." Balas Mikasa tenang. "Apa itu genre kesukaan Eren?"
"Enak aja!" Eren menghardik. "Ma..maksudku...jangan maulah sama Jean. Mukanya kayak kuda. Mending cari cowok lain yang lebih ganteng. Dan lebih baik."
"Aku masih belum tahu tipeku yang kayak apa." Balas Mikasa dengan nada mengambang. "Kalau Eren?"
"Uhmmmm..." Eren merenung sejenak. "Aku sukanya oriental. Yang ramping dan kecil, tapi kencang berisi. Jutek dan dignified oke banget, tuh. Tapi ternyata diam-diam manja-manja horny gitu. Ukh! Merinding sampai tulang sumsum."
Mikasa meliriknya malas. "Eren cabul."
"Namanya juga cowok." Kilah Eren. "Wajar kan kalau soal fisik pasti nomor 1."
"Sifatnya juga penting." Mikasa menambahkan.
"Sifat ya..." Eren kembali menerawang. "Asal dia menerimaku apa adanya, itu cukup."
Mikasa mengangguk. "Itu berarti dia mencintaimu, kan? Sulit menjalin hubungan asmara dengan orang yang tidak menerimamu apa adanya."
"Jangan bicara cinta, ah. Jadi sedih." Eren melengos.
Meskipun memiliki wajah dan tubuh yang memang menggoda, nyatanya Eren Jaeger nol besar soal cinta. Sifatnya yang keras kepala, mudah emosi dan kurang sabar membuatnya sulit atau bahkan tidak terpikir untuk mencari kekasih. Terbersit penasaran soal seks tentu saja pernah, tetapi Eren menegaskan bahwa ia tidak akan bermain-main dengan perempuan—baik tubuh atau perasaannya. Terlepas bahwa menurutnya itu biadab, Eren hanya takut kena karma. Laki-laki brengsek tukang main perempuan hidupnya tidak akan beres, begitulah yang ia takutkan.
"Kan kau duluan yang mulai." Balas Mikasa. "Bilang temanmu untuk tidak menggangguku lagi. Aku risih."
"Oke." Eren mencuci tangan, dan melirik jam. "Aku pamit, ya. Sudah larut. Kau besok kerja, kan?"
Mikasa mengangguk.
"Segitu nggak punya duit?"
Eren menoleh. Ia meletakkan penggarisnya di meja dan menyapu remah-remah penghapus dari kertas gambarnya. Tugas mata kuliah Rupa Dasar 2D kali ini mengharuskannya menggambar pemandangan latar belakang di selembar kertas ukuran A3. Teman-teman sekelasnya banyak yang tidak mau ambil pusing dengan menggambar kamar mereka sendiri atau keadaan jalan. Namun Eren Jaeger adalah bocah kelebihan imajinasi. Alih-alih menggambar sesuatu yang nyata, ia menggambar interior dalam dari ruang utama sebuah rumah pohon khayalan. Lengkap dengan kursi-kursi yang dibentuk menyerupai sulur-sulur tanaman yang saling membelit, meja pendek berbentuk jamur, lampu yang seakan terbuat dari sebuah bunga dan dinding beraksen kulit kayu. Entah gambar semacam ini diperbolehkan atau tidak. Namun Eren memilih untuk terus menggambar. Bisa jadi dosennya tergerak untuk memberikannya nilai A atas apresiasi kreativitas.
"Woy, Eren! Jawab, dong!" tegur Marco, yang kala itu tengah memperhatikan Eren menggambar dan tak sengaja mendengar rutukan pemuda berkulit sawo matang itu soal mirisnya keadaan finansialnya bulan ini.
"Hmm." Eren menggeram singkat. "Kenapa? Mau kasih aku uang?"
"Nggak." Marco menggeleng. "Mau coba kerja sambilan?"
"Kerja apa?" Eren nampak tak terlalu tertarik.
"Kasir minimarket 24 jam? Ambil yang shift malam. Mulainya jam 11 sampai jam 4 pagi."
Eren melongo. "Hah? Nggak mau! Bisa berantakan kepalaku pas kuliah nanti."
"Lagian kuliahmu benar-benar banyak portofolio, sih." Marco mendengus. "Nggak mau kerja yang berhubungan sama bakatmu? Jadi asisten komikus atau ikutan toon challenge?"
"Nggak, deh. Aku nggak ada waktu untuk begituan. Mubazir umur." Balas Eren ketus.
Marco merenung sejenak. Eren kembali menunduk untuk merapikan gambar portofolionya. Jean Kirschtein keluar dari kamarnya dengan wajah kusut, kaus tanpa lengan dan celana pendek kumal yang berkerut-kerut. Teman sekamar Marco itu adalah mahasiswa kedokteran, meski tampangnya kurang meyakinkan.
"Jean, Eren bilang mau kerja sambilan yang nggak nguras waktunya." Ungkap Marco tiba-tiba. "Apa, ya?"
"Hah? Kenapa tanya aku?!" sergah Jean sambil menggaruk perutnya.
"Kau kan mahasiswa kedokteran. Pasti saranmu cerdas dan cemerlang."
Kilat bangga terpancar dari mata Jean. Ia mengusap dagu sejenak, seakan terlihat berpikir. Eren sudah masa bodoh, dan lebih memilih mempertegas garis-garis gambarnya.
"Jadi joki POLL aja." Jawabnya bangga.
"Hah?" Eren melongo. "POLL—maksudmu Police of Lagoona Lagoon?"
"He'eh." Balas Jean. "Saking ngehitsnya game itu, banyak yang rela beli akun atau menyewa jasa pendompleng ranking."
Eren mendecih. "Nggak mau. Pekerjaan hina. Kurasa jual badan lebih terhormat daripada jadi joki akun game online."
"Jadi joki akun game duitnya banyak, tahu." Jean mencibir.
"Hina." Eren bersikukuh. "Itu sama aja kayak jual beli followers di instageram kan?"
"Bodo amat, bangsat!" hardik Jean. "Kalau mau uang banyak tapi nggak ribet, ya caranya cuma dua! Kalau nggak jual selangkangan, ya pesugihan!"
"Oy, oy, Jean! Bicaramu dijaga, dong!" lerai Marco.
BRAK!
Eren menggebrak meja, meninggalkan pekerjaan portofolio yang semula dikerjakannya dan berjalan ke kamarnya. Ia menyalakan laptop dan segera mengetik kata kunci yang dia tuju di mesin pencari online.
"BENERAN ADA YANG JUAL TUYUL ONLINE?! YANG BENAR AJA!"
Pekikan tidak percaya Eren membuat Marco dan Jean merangsek masuk ke kamarnya. Eren memainkan jarinya di touchpad dan menelaah banyak situs mistis yang menyediakan jasa makhluk ghaib pendompleng kekayaan. Marco dan Jean saling berpandangan. Raut wajah Marco sudah memucat, ngeri membayangkan bocah seusia Eren nekad menggunakan hal semacam itu untuk mendapat uang. Sementara Jean hanya melayangkan tamparan ke kepala Eren.
"Aww! Sakit, tolol!" sentak Eren.
"Kenapa yang kepikiran di kepalamu malah pesugihan? Katamu jual badan lebih terhormat daripada jadi joki akun game." Tanya Jean sinis.
"Ah? Soalnya...aku nggak ngerti gimana caranya harus jual badan." Balas Eren polos. "Aku harus telanjang terus berdiri di pinggir jalan, terus berharap ditawar tante-tante? Mana mau mereka sama bocah keling nggak berpengalaman kayak aku?"
"Oh, jadi kau betulan tidak pengalaman soal perempuan?" Jean menyeringai.
"Berisik!" tukas Eren.
Marco menghela nafas. "Nggak mau jadi joki portofolio saja? Kuliahmu banyak tugas begituan, kan?"
Eren menggeleng. "Ymir sudah melakukannya. Aku nggak mau saingan dengannya. Selain karena gambarnya lebih bagus, aku nggak mau berebut lapak dengan teman sendiri."
KRIEEETT!
DUK!
Suara itu datang dari pintu depan. Marco melongok dari pintu kamar Eren dan hanya menggumam singkat.
"Siapa?" tanya Eren.
"Bertolt." Jawabnya singkat.
Eren melirik jam. Pukul 10 pagi. Hari ini memang jadwal kuliahnya kosong. Marco baru saja pulang karena dosennya tidak hadir dan Jean ada kelas jam 2 siang nantinya. "Dia nggak kuliah, memang?"
"Pasti bolos, lah!" Jean terkekeh. "Orang habis di'bungkus' semalam."
"Masa?" Eren mengerenyit. "Bertolt itu segede jerapah! Siapa yang bisa-bisanya 'bungkus' dia?"
"Tanya aja sendiri kalau nggak percaya."
Eren keluar dari kamarnya dan mendapati Bertolt Hoover—penghuni kamar asrama lain yang juga salah satu teman dekat Eren, tengah berbaring menggelosor di sofa dengan wajah letih. Rambutnya kusut, dan tampak ada bekas lipstick di kemeja luaran yang dipakainya.
"Capek...air minum..." ia menggumam.
"Mau minum?" Eren mengangguk dan memberikannya segelas air. Bertolt beranjak bangun dan menegak air minumnya perlahan.
"Reiner kuliah?" tanyanya dengan suara parau. Eren menjawab dengan anggukan singkat. Ia memang melihat Reiner pergi keluar dan pamit hendak menghadiri kelas pagi katanya.
"Jean bilang katanya kau di'bungkus'." Tanya Eren. "Sumpah?"
Bertolt mengacak-acak rambutnya. Ia tampak limbung. "Aku cuma minum 2 gelas. Lalu aku mengantar Ymir ke toilet. Terus...ngg..." Bertolt menggaruk pipinya. "Aku...kenalan dengan cewek. Dia namanya Annie. Cantik. Terus...nggg...Stanford Inn...extra soft...Hitch minta diatas...nggg..."
"Dia dibawa ke table-nya cewek cantik itu. Minum banyak sampai mabuk.. Aku dan Reiner mencarinya kemana-mana sampai klub tutup. Motornya masih ada di parkiran. Saat kutanya security, ternyata dia di'bungkus' dua orang cewek." Jelas Jean dengan seringaian aneh.
"Humm." Bertolt mengangguk.
"Seram. Untung mereka nggak macam-macam, ya." Marco bergidik ngeri.
"..." Bertolt hanya melirik teman-teman asramanya dengan wajah hampa. "Entahlah. Apa menurutmu...umm... dipaksa bercinta dengan dua orang nnn...perempuan yang tak kau kenal...umm...saat mabuk...ngg...itu bisa dibilang 'tidak macam-macam'?"
"Jangan kepedean. Emang beneran diajak 'ena-ena'?" Jean mencibir.
"Jean..." Bertolt melirih. "Aku bangun tidur...umm...di sebuah losmen. Bajuku semua di lantai. Di sebelahku ada dua perempuan telanjang. Menurutmu apa?"
"Maksudnya, kau nggak dibunuh atau dirampok. Jean bilang motormu masih di klub itu, kan?" tukas Eren.
Bertolt lagi-lagi mengangguk singkat. "Uhm. Mereka yang bilang tadi pagi. Aku diantar pulang sama Annie. Naik mobil."
"Lebih baik kau istirahat. Ngomongmu masih ngaco. Kalau jalan ke kamar dan ganti baju sendiri sih sanggup, kan?" Eren menepuk-nepuk punggung Bertolt.
Bertolt Hoover mengangguk lemah. Cowok jangkung itu beringsut bangun dan menyeret jaketnya. Baru dua langkah saat ia meninggalkan sofa, dari saku jaketnya jatuh lembaran-lembaran kesat berwarna oranye metalik. Tidak hanya Bertolt, namun Eren, Jean dan Marco dibuat menganga dengan uang yang berserakan di lantai tersebut.
"Oy, kau habis menarik uang buat apa? Banyak banget!" Marco berlutut, memungut lembaran uang yang jatuh dan memberikannya pada Bertolt.
"Uang?" Lelaki jangkung itu mengerenyit. "Buat apa, ya? Aku nggak ingat..."
Jari-jari panjang itu menghitung lembaran-lembaran €50 yang tadi dipungut Marco untuknya. Jean, Eren dan Marco sudah tak lagi peduli, sibuk dengan urusan masing-masing. Eren kembali ke kamarnya cuma sekedar mematikan laptop, lalu saat hendak keluar lagi ia tak sengaja menubruk dada Bertolt. Pemuda jangkung itu nampak kikuk, terlihat antara bingung, canggung dan juga bercampur takut.
"Aduh!" Eren yang terpental selangkah memekik. "Apa, sih?"
"Aku masih mabuk, kayaknya. Hitungin buatku, dong. Kayaknya aku nggak mungkin uang sebanyak ini..." ucapnya dengan suara bergetar.
Eren menarik kasar uang di tangan Bertolt dan menghitungnya dengan seksama. 50, 100, 150, 200, 250, 300, 350, 400, 450, 500...dan setelah tiga kali dihitung ulang, jumlah uang pecahan €50 itu sebanyak 25 lembar, yang berarti sejumlah €1250.
"Ini hampir 3 kali lipat uang jajanku! Aku nggak nyangka kalau kamu kaya ju—"
Ucapan Eren terputus ketika Bertolt menunjukkan secarik kertas berisi sebuah nomor ponsel dan catatan kecil yang terbilang rapi.
Dear Bertie,
Thank you, last night was splendid. Is there another cute boy around your peer? Invite him next time, kay? Here's for your breakfast~
"...apa ini...dari Annie?" Bertolt nampak tak percaya. "Eren?"
Tangan ramping berkulit sawo matang itu menjambak kemeja luaran Bertolt.
"KAPAN KAU MAU KETEMU ANNIE LAGI?! AJAK AKU! POKOKNYA AJAK AKU!"
Yo, minna. Saya pemain baru di fandom SnK. Salam kenal semua. Ditengah kesibukan kerja, saya sempat-sempatnya menonton ulang 2 season SnK dan ajaibnya, keinginan menulis timbul lagi. Beberapa fanfic yang sudah berdebu dan penuh sarang laba-laba, tapi saya nekad nulis fic baru huahahahahaha. Anyway, saya janji fic ini nggak akan jadi fic-fic lain yang menjadi korban discontinue.
Sudah, bacotannya sekian dulu. See you on the next chapter~~~
