Kehidupan itu monoton, ya?

Selalu berulang dan berulang...

Terus dan terus...

Selalu seperti itu...

Dan...

Tanpa kau sadari kau telah melakukan hal yang sama berulang kali...

Hal yang sama...

Sampai —terkadang— membuatmu jemu...

Lelah...

.

.

.

Aku ingin bertanya sesuatu...

Apa kau percaya dengan takdir?

Apa kau percaya dengan adanya reinkarnasi?

Aku pernah mendengar dari seseorang bahwa, katanya setiap orang yang pergi ke alam sesudah kematian akan kembali ke dunia ini suatu saat nanti...

.

Apa kau percaya itu?

.

Entah pada generasi keberapa dalam keluarga mereka. Dengan wujud yang sama sifat yang sama pula. Mereka akan dilahirkan kembali ke dunia di zaman yang berbeda.

Itu kata mereka.

.

Apa kau percaya akan hal itu?

.

.

Kalau kau bertanya padaku..

Aku akan menjawab...

Antara percaya...

Dan tidak percaya...

Kau tanya 'Mengapa?'

Karena...

.

.

Kalau kau mau tahu...

Aku sering mengalami'nya'...

.

.

Melihat seseorang yang begitu mirip denganku...

.

.

.

Hal itu bermula beberapa bulan lalu...

Ketika aku tidur, aku selalu melihat diriku —yang lain— disana. Wajahnya begitu mirip denganku. Tubuh mungil untuk ukuran seorang lelaki. Dan surai biru langit —yang anehnya— persis seperti yang aku miliki sekarang.

.

.

Aku selalu melihatnya...

.

.

Di sana dengan ke lima pemuda dengan surai warna-warni...

.

.

Aku tahu semua kebiasaannya...

.

.

Selalu membaca buku —atau apapun— di bawah pohon...

Atau sekedar merenung sambil menatap bias langit sore di dekat danau...

.

.

Semua kegiatannya...

Memasak, membersihkan rumah, berkebun...

.

.

Semuanya aku tahu...

.

.

Bahkan saudara-saudaranya...

.

.

Aku bisa melihat dia memiliki sekitar lima saudara. Dengan surai warna-warni. Merah, kuning, hijau, biru dan ungu. Mereka juga memiliki tinggi yang berbeda. Itu ciri khas mereka.

.

.

Contoh saja sang kakak yang berambut ungu, dia memiliki tinggi yang lumayan jauh dari saudaranya yang lain. Disusul pemuda yang berambut hijau, biru dan kuning. Dan terakhir yang berambut merah, yang paling pendek diantara mereka berlima. Namun bisa kulihat, dialah yang paling dewasa di banding yang lainnya.

Dan bisa kusimpulkan sang kakak berambut kuning dia memiliki kepribadian yang penyayang dan manja...

.

.

Kau Tanya mengapa?

.

.

Karena saat setiap kali aku—yang ada dalam mimpiku itu—berpapasan dengannya dia pasti langsung menerjangku dan memelukku sampai aku yang disana kehabisan napas. Namun untungnya beberapa saat kemudian sebelum diriku yang disana kenapa-kenapa sang kakak yang berambut biru tua segera menarik pemuda blonde itu menjauh dariku setelah itu si pirang langsung berlinang air mata. Kemudian muncullah pemuda surai lumut kemudian. Sambil membenarkan kaca matanya dia langsung menceramahi sang kakak pirang dengan berbagai macam nasihat yang tentu saja didukung dengan adanya sang kakak scarlet yang melihat kejadian itu dengan santai di kursi di pojok sana. Lalu beberapa saat kemudian sang kakak akan menyuruh ku duduk disampingnya sambil melihat pembullyan itu. Kemudian disusul pemuda berambut ungu dengan serangkaian makanan yang ada di nampanb di dekapannya, yang tentunya selalu memberiku sebagian walaupun terkadang aku tolak.

.

.

Aku rasa dia hidup bahagia. Keluarganya selalu penuh canda tawa.

.

.

Namun itu semua berubah saat aku bertemu dengannya lagi, sekitar tiga bulan lalu...

.

.

.

Saat aku melihat dia sedang berjalan-jalan di sekitar danau.

Aku melihat dia terbatuk beberapa kali sambil terus bersandar pada batang pohon di belakangnya. Dan beberapa saat kemudian dia tumbang.

Dan aku tidak melihat apa-apa lagi...

Semuanya gelap seketika.

Dan aku kembali tersadar dari tidurku di tengah malam dengan napas terengah dan keringat yang membanjiri tubuhku. Dan jangan lupa cairan lengket anyir di sekitar bantalku.

.

.

.

Dan itu terus terjadi hingga seminggu berlalu...

.

.

Dan begitu terkejutnya aku ketika mengetahui banyak bercak merah abstrak di tempat tidurnya...

Ketika aku kembali melihat diriku itu...

.

Sama seperti yang aku alami.

.

.

.

.

Hanya satu kata yang bisa aku gambarkan untuknya..

Kasihan...

.

.

Ya, kasihan...

Melihat dia selalu berakhir di dalam genangan darah miliknya sendiri...

Tubuhnya pucat dan semakin kurus...

Dan jangan lupa dia selaku dikelilingi wajah panik saudara-saudaranya.

.

Sebenarnya, aku selalu tahu kalau dia mempunyai tubuh lemah...

Tapi dia tidak pernah nampak serapuh itu sebelumnya...

.

.

Miris...

Aku tidak sanggup melihatnya seperti itu lagi...

Dan kau tahu...

Entah mengapa aku selalu tahu apa yang dia rasakan.

Rasa sakit itu...

Perih...

Panas...

Dan penderitaan itu...

Entah mengapa aku merasa aku pernah mengalami itu semua dalam hidupku...

Entah kapan, aku lupa.

Yang pasti...

Aku 'merasa' pernah mengalaminya...

.

.

Jauh...

Sebelum aku mengenal dirinya itu.

Sebelum semua mimpi buruk ini terjadi.

.

.

.

Jadi...

Apakah itu semua bisa disebut sebagai...

...

...

...

...

... Reinkarnasi?

Suara pelan ketukan pintu perlahan mengusik atensi sang pemuda yang tengah berkutat dengan laptop putih di meja belajarnya. Manik yang senada dengan langit musim panas itu melirik sekilas ke arah benda kayu yang tak jauh di belakangnya. Menghela napas sejenak. "Masuk saja, tidak dikunci!" Ujarnya dengan separuh berteriak.

Selang berapa lama, pintu kayu itu perlahan terbuka dan masuklah seorang pemuda lain bersurai scarlet. Langkah mantap menuntunnya mendekati pemuda biru tadi. "Bukankah harusnya kau istirahat Tetsuya?" Ujarnya tegas sambil bersandar di dinding dengan tangan bersedekap. "Tubuhmu masih lemah. Kembalilah ke tempat tidurmu." Kalimat perintah kembali mengudara yang hanya dibalas delikan oleh si surai langit.

"Aku baik-baik saja, Akashi-nii. Lagipula aku hanya mengerjakan tugas sekolah ku yang tertinggal kemarin, karena absen satu minggu," Tangan ramping itu kembali mengetikkan sebaris kalimat yang belum dirampungkan saat Akashi Seijuro, sang kakak, datang barusan. "Sedikit lagi selesai,"

Keheningan melanda ruangan itu. Hanya terdengar suara keyboard laptop yang saling beradu sampai suara nyaring dari pemuda lain yang sebelumnya — sekali lagi—menjeblak pintu kasar. "Kuroko-cchi..." dekapan erat diterima Kuroko setelah teriakan nyaring berkumandang dari pemuda pirang.

"Lepaskan dia, Kise! Kau mau membunuhnya?!" Suara bariton seorang pemuda tan yang datang sembari mencak-mencak dan segera menarik kerah Kise Ryota, si pirang, agar menjauh.

Kise mulai merengek bak anak kecil. "Jahat... Aku kan rindu pelukan Kuroko-cchi, Aomine-cchi," tapi tetap tidak memperoleh simpati dari pemuda surai biru gelap itu. Aomine Daiki.

"Kise-nii tolong lepas... sesak..." ujar Kuroko lemah.

"Lepaskan Tetsuya, Ryota!" Perintah mutlak dijatuhkan. Mau tak mau Kise Ryota melepaskan pelukan —atau cekikan— mautnya dari sang adik. "Kau ingin mengirimnya lagi ke rumah sakit?!"

"Tapi..."

"Ikuti saja, daripada kau dapat sial, nodayo!" Tanpa di duga seorang pemuda surai hijau yang baru datang segera menimpali. Sembari membenarkan letak kacamatanya.

"Mou... Midorima-cchi..."

Kepala dari pemuda surai ungu menyembul dari pintu kamar. "Akachin makanannya sudah siap..." manik ungunya menatap malas pada Kuroko. Manik Ametyst Murasakibara Atsushi yang menatap malas beralih ke pemuda baby blue. "Ne, Kurochin harus banyak makan supaya tidak sakit lagi..."

Kuroko mengangguk. "Baiklah, Murasakibara-nii,"

Suara deham dari Midorima Shintaro mengalihkan atensi mereka. "Aku baru saja dapat hasil pemeriksaan Kuroko dari rumah sakit," di tariknya selembar bertas dari dalam kantong jaketnya. "Ada berita buruk yang harus ku sampaikan."

"Kalau melihat hasil cek darah Kuroko di lab kemarin. Ini sedikit mengkhawatirkan, nodayo." kacamata didorong ke pangkal hidung sekali lagi.

"Katakan yang jelas, Shintaro. Tidak perlu basa basi." Mutlak. Akashi Seijuro menatap jengah sang anak ke dua.

Menghela napas singkat. "Baiklah," jeda sejenak, "Bila Kuroko masih mengalami gejala seperti kemarin dalam seminggu ini. Dia akan dinyatakan...

positif...

...penderita

...Leukimia."

Sudah ku bilang 'kan? Kehidupan itu selalu terulang

Lagi...

... dan lagi...

-oOo-

Sore itu seorang pemuda pirang tengah menunggu seseorang di depan gerbang sekolah salah satu SMA di wilayah Tokyo. SMA Seirin.

Hampir satu jam pemuda yang berasal dari sekolah di Distrik Kanagawa, SMA Kaijo, itu menunggu di samping mobilnya —sampai sekolah itupun mulai sepi— dan keluarlah seorang pemuda lain berambut Baby blue dengan sedikit terhuyung.

Si pirang—Kise Ryota— melambaikan tangan riang. "Kuroko-cchi! Disini!" Sang surai Baby blue menoleh dengan pandangan sayu. Kise langsung menerjang dan menghadiahkan pelukan mautnya.

Kurangnya tenaga untuk melawan —minimal mendorong sang kakak menjauh. Kuroko hanya pasrah. Dan berujar pelan. "Kise-nii bisa lepaskan aku. Pusing." Tubuh kecil itu merosot mengkuti gravitasi. Kise sigap menangkap.

"Eh? Kuroko-cchi? Kau kenapa?" di guncang pelan tubuh adiknya. Namun tidak kunjung mendapat respon. Tanpa banyak bicara lagi dia langsung mengangkat tubuh lemas adiknya masuk ke dalam mobil. Dan segera melaju ke rumah mereka.

-oOo-

"Kuro-chin sudah tidak apa-apa?" Manik Ametyst menatap malas kepada pemuda yang jauh lebih kecil darinya. Tapi tetap tersirat nada kekhawatiran dalam suaranya. "Kalau tidak bisa tidak apa-apa, tidak perlu memaksakan diri,"

Tangannya berhenti memotong wortel di depannya. Manik Baby blue itu terbuka setelah terpejam sebentar. Menghela napas untuk kesekian kalinya. "Untuk —entah keberapa kalinya, Murasakibara-nii. Aku baik-baik saja. Kemarin aku hanya kelelahan, tidak perlu khawatir lagi."

Mata Murasakibara Atsushi terbelalak —sekilas kemudian kembali normal. "Tapi hidungmu berdarah sejak tadi, Kuro-chin," Jari lentik itu menunjuk Kuroko.

Kuroko segera menyeka hidungnya. Cairan lengket itu banyak menempel di tangan dan mengenai sebagian bajunya. Dia segera berlari ke kamar mandi, tidak jauh dari dapur.

-oOo-

Kejadian itu terus terjadi selama lima hari terakhir.

Minggu pagi, terlihat sang kakak ganguro tengah semangat mendribel bola oranye di tangannya. Satu lompatan melawan gravitasi dan melempar bola itu ke ring di atasnya. Telak. Satu seringai kemenangan tercipta di paras tampannya. Manik Saphirenya hanya menatap pemuda Baby blue yang menjadi lawan tidak imbang di belakangnya —yang sedang terengah dan menatapnya sayu— sesekali.

"Yo, Tetsu bagaimana kalau— "

Brrukk!

Tubuh kecil itu terhuyung dan jatuh. Aomine Daiki —sang kakak— tergesa menghampiri tubuh sang adik yang kini tergeletak tak berdaya.

"Tetsu! Bangun!" Darah kembali mengalir. "Astaga! Ada apa denganmu? Tetsu!"

Frustasi karena tidak mendapat balasan. Aomine segera menggendong sang adik pergi dari lapangan Street Basketball itu dan meninggalkan bolanya teronggok di sudut begitu saja. Menjadi saksi bisu kejadian tadi.

-oOo-

Erangan pelan meluncur mulus dari bibir mulutnya ketika merasakan cahaya panas matahari menghujam kulit putihnya. Pandangannya menyapu wilayahnya saat ini berbaring. Kedua alisnya bertaut samar. Hanya satu yang dapat ia simpulkan. Ruangan putih ini menjengkelkan.

Belum puas dirinya dirinya merutuki ruangan ini, pintu kayu di pojok saja perlahan terbuka. Masuklah seorang pemuda bersurai hijau berkacamata lengkap dengan setelan khas dokter yang saat ini dia kenakan.

"Oh, syukurlah kau sudah bangun Kuroko," Kacamata didorong ke pangkal hidung setelah menyapa.

Manik Baby blue itu menatap heran kepada sang kakak nomer dua. "Midorima-nii kenapa aku di sini?"

Midorima Shintaro menghela napas. Dilihatnya klipboard ditangannya setelah —lagi-lagi— mendorong kacamata yang bahkan tidak bergeser. "Kise lagi-lagi menemukanmu mimisan dan pingsan di kamar mandi kemarin. Karena itu kau dibawa kemari, Kuroko," Itu bisa menjelaskan kenapa dirinya sekarang ada di sini. Pasti rumah sakit, pikirnya. "Lagipula, sekalian kau sudah disini Akashi juga menyuruhku untuk memeriksamu lebih lanjut, nodayo."

"Akahsi-nii tahu aku disini?"

Midorima mengangguk sekali. "Dia yang membawamu pagi kemarin sebelum pergi ke kantor, nodayo."

Pagi? "Kemarin?" Selama itukah dia tidak sadarkan diri?

"Iya, dan selama itu juga Kise selalu merengek ingin menemanimu," Pelipis dipijat pelan sembari mendengus kesal. "Dia itu merepotkan, nodayo."

"Maaf..."

Hening. Sunyi yang begitu lama hingga suara Modorima memecahnya.

"Jadi, sudah berapa lama?"

Kuroko menatap sang kakak. Mengerti maksud pertanyaan itu. Namun, hatinya menolak untuk menjawab.

Setelah keheningan panjang. Antara ingin memberi tahu atau tidak. Akhirnya, egonya pun kalah. Kuroko menghela napas pasrah. Tahu kalau pertanyaan seperti ini pasti akan terdengar kapan pun itu. Suatu saat nanti. Lebih baik dia mengaku saja. "Mungkin, " Satu kata di gantung, ragu. "Satu bulan?"

Memalingkan wajah sembari —lagi-lagi— membenarkan kacamata, Midorima mendengus. "Sudah ku duga..."

Disclaimer :

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

Genre :

Family

Rated :

K+

Warning :

AU, OOC, Typo(s), gaje, alur kecepatan, dan kekurangan lain sehingga tidak bisa disebutkan satu-satu.

a/n:

Cuma tulisan iseng akibat mimpi 'berseri' setiap hari (/: kayak sinetron aja -3-)

Saya belum begitu tahu cara penamaan dalam 'budaya' Jepang.

Jadi, jangan dianggap serius.

Anggap saja Kuroko dan seluruh anggota GOM itu 'saudara' kandung berbeda ibu. Jadi mereka masih menggunakan marga dalam 'pemanggilan nama masing2

(/: kayaknya gk mungkin deh..-3-)

Tapi biarlah…

Terima kasih telah menyempatkan membaca cerpen abal saya…

Mind For Review?

Tnk's ^^