Aku Harus Berangkat
Oleh: DeBeilschmidt
Kuroko's Basketball © Fujimaki Tadatoshi
I'm not making any profit from this fanfiction.
Ia terbangun saat cahaya matahari pagi yang menyelinap melalui kisi-kisi jendela menyapanya. Begitu terang, begitu hangat, bahkan membuatnya merasa seperti anak matahari karena, yah, dia bau matahari. Begitu pula semua hal di sekelilingnya. Seprai, bantal, dan… Aomine.
Kise membuka matanya dengan malas. Perlahan tetapi pasti—ogah-ogahan tapi kelak akan terbuka juga. Ini bukan negeri dongeng, sehingga alih-alih mendengar kicau burung, yang ditangkap oleh pendengaran Kise tak lebih dari suara deru mesin sahut-menyahut dan juga klakson. Buana telah memulai hari.
Dia harus sekolah.
Kise sudah terlalu familiar dengan ruangan ini, sehingga ia refleks menolehkan kepalanya untuk melihat jam dinding yang tergantung di atas pintu. Dan, oh—
"Aku bisa terlambat!" teriaknya pada diri sendri, dan dengan gerak terburu-buru segera bangun lalu mengenakan bajunya.
Ia sudah melangkahkan kakinya untuk pergi dari kamar Aomine sebelum merasakan ada sesuatu yang membebani kemejanya, menariknya sehingga hampir jatuh terjengkang kalau saja ia tidak memiliki refleks yang bagus. Kise menoleh, menggembungkan pipinya. Hanya ada dia dan satu orang di ruangan ini, sedangkan ia percaya bahwa hantu tidak ada di pagi dan siang hari.
"Aominecchi!" rengeknya, "Jangan menarik bajuku seperti itu dong!"
Tetapi Aomine tetap diam, berpura-pura tidur dengan mata terpejam dan seringai di wajah.
"A-O-MI-NE-CCHI!" Sekali lagi Kise memanggil nama orang itu, lebih keras dan lebih galak. "Lepaskan aku! Aku mau sekolah!"
Kise kemudian diam. Menunggu balasan dari Aomine sembari berjuang melepaskan ujung kemejanya dari genggaman Aomine yang—kau sudah gila?—sangat erat.
Aomine hanya menggumamkan sebuah kalimat pendek. "Tidak usah sekolah, di sini saja."
Memiliki makna tersirat: ayo kita lanjutkan yang semalam.
Kise tak bisa menahan pipinya agar tidak bersemu merah. Namun ini sudah pagi dan dia berusaha untuk berpikir rasional. Seberapapun sukanya dia pada Aomine, setidaknya Kise masih lebih cinta basket dan dia masih memiliki sebuah impian bodoh untuk meningkatkan nilainya. Ia tahu itu tidak mungkin, tapi ini Kise yang kita bicarakan; dia ingin mencoba.
Kali ini dia tidak tahan lagi. Genggaman Aomine semakin erat dan Kise semakin marah. Walau agak takut kemejanya akan sobek, dia tetap menyentakkan garmen tersebut. Dan—sudah bisa diduga: lepas begitu saja.
"OI, KISE—"
Sebelum ia membanting pintu kamar Aomine, Kise masih sempat mengucapkan kata pamungkas.
"AOMINECCHI, AKU HARUS BERANGKAT SEKOLAH!"
Karena Kise tahu kalau dia agaknya banyak membolos dan kalau dia tidak masuk sekali lagi, maka dia presensinya tidak akan mencukupi dan dia terpaksa harus ikut kelas tambahan di musim panas.
-tamat-
Afterwords: Entah apa yang saya buat. Padahal aslinya saya hanya menulis kalimat 'Aku harus berangkat' di Micros*ft Word karena masih mengumpulkan niat untuk kuliah pengganti di hari Sabtu. Menulis ini, memosisikan Kise dengan kondisi yang sama dengan saya, dan… Saya harus berangkat kuliah. Terkutuklah dosen yang terlalu sibuk dan terkutuklah hari Sabtu—3 mata kuliah dan semuanya bukan favorit saya.
Geez, saya terlalu banyak bercerita. Mari berangkat dan maaf kalau ini… tidak jelas. (menggowes motor)
140426—rdb
