About Last Night
Summary: distraksi akibat kehilangan hilang ingatan selama sehari membuat hidup Kuroko Tetsuya seakan diputar-balikkan keadaan secara sadis.
Pair: Aka x Kuro. Slight another suprising pair.
Rate : M for adultery and explicit content.
Disclaimer: Kuroko No Basuke ©Tadatoshi Fujimaki. This fic is purely mine.
Warning: Yaoi. Absolutely OOC. Abal. Alay. Gaje. Garing. Roman gagal. Lemon fail. Mengandung hal-hal yang tidak patut dan istilah lain yang kurang lazim. Tidak memenuhi Kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dapat menyebabkan mual, muntah, bosan dan ketagihan berkelanjutan. Membaca kebawah diuar tanggung jawab author. You've been warned. Don't like? Please click BACK.
BIIIP BIIIP BIIIP
Suara itu berasal dari jam weker digital yang disetting untuk berbunyi pada jam 6 pagi. Tetapi suara jam weker itu dimatikan oleh sebuah tangan ramping seputih salju yang terjulur keluar dari dalam bed cover dan terkulai begitu saja di sisi ranjang. Pagi itu, pertengahan musim gugur di bulan Oktober. Sinar matahari menyeruak tipis menembus celah-celah jendela di dalam kamar yang remang-remang. Udara luar terasa dingin dan kering. Siapapun pastinya ingin terus bergelung di dalam selimut dan menikmati hangatnya ranjang.
Tunggu...
Si pemilik tangan ramping seputih salju itu mengangkat kepalanya dari balik bed cover setelah beberapa detik kemudian menyadari bahwa ia sebenarnya tidak pernah punya jam weker digital di kamarnya.
Juga tidak pernah memakai bed cover.
Seharusnya ia bergelung dengan selimut bulu besar bergambar chibi jerapah super lucu yang dibelikan Kise waktu ia bertandang ke Amerika.
Ini dimana?
Pandangannya masih kabur, dan kepalanya berdenging. Seluruh tubuhnya terasa remuk dan nyeri. Pinggulnya linu dan beberapa bagian di bahu, leher dan punggungnya terasa perih. Si pemilik tangan ramping seputih salju, yang juga memiliki surai biru pupus berantakan itu-hanya bisa terhenyak telentang kembali ke kasur dengan pandangan buram.
Ia tidak ingat apa-apa semalam.
Dan ia merasa, dari hawa ruangan ini, ini juga bukan kamarnya.
"Ummh..."
Lenguhan pelan itu memberikan distraksi lain di kepala bersurai biru pupus itu. Sepasang lengan kokoh menariknya perlahan lebih dalam ke ranjang dan memeluknya. Ada orang lain di ranjang ini. Si pemilik surai biru pupus itu memucat ketika menyadari orang lain itu juga lelaki, dan menyadari bahwa mereka berdua tidak berpakaian sama sekali.
"Tetsuya..." pria itu menggeram lembut sambil memeluk si pemilik surai biru pupus layaknya guling.
Tunggu dulu...
Ia tahu siapa yang memanggilnya begitu. Dan hanya satu orang yang memanggilnya begitu.
"GGGYYYYAAAAAAAAAA!"
Dan si pemilik rambut biru pupus itu menjerit sekeras-kerasnya.
"Tetsuya, dengar dulu..."
"Nggak mau! Pulangkan aku sekarang, dasar bajingan!"
"Hey, tapi ini tidak seperti yang kau bayangkan..."
"Ini seperti yang kubayangkan! Akashi-kun cabul, mesum, pemerkosa, tukang sodomi!"
Akashi Seijuro hanya bisa menghela nafas. Pagi harinya yang indah dirusak oleh teriakan histeris pemuda manis super rapeable yang bernama Kuroko Tetsuya. Akashi berusaha menjelaskan kejadian semalam versi dirinya kepada Kuroko, namun ditolak mentah-mentah sementara Kuroko sendiri tidak ingat apa-apa tentang semalam dan tidak punya bukti apa-apa kalau semalam mereka berdua melakukan hubungan intim sesama jenis atas dasar sama-sama suka.
"Jadi maumu apa?" Tanya Akashi dengan raut wajah jengkel.
"Pulangkan aku. Sekarang." Gumam Kuroko dengan tubuh gemetar.
"Kalau aku tidak mau gimana?"
Kuroko menatap Akashi dengan pandangan membunuh yang malah terlihat seperti bayi kucing yang tengah merengut. Akashi yang gemas karenanya serta merta mencondongkan badannya ke arah Kuroko seakan-akan hendak menerkamnya. Kuroko terperanjat dan refleks menggelinjang menjauhi Akashi.
"Hahaha, Tetsuya...Tetsuya..." Akashi tertawa lepas. "Baiklah, baiklah. Tetapi setelah kita berdua mandi dan sarapan bareng, ya?"
"Tidak sudi." Balas Kuroko pedas. "Aku tidak mau makan semeja dengan pemerkosa sepertimu."
Tiba-tiba Akashi kembali menerjang Kuroko, kali ini hingga si pemilik surai biru pupus terjerembab ke lantai. Dikuncinya kedua tangan Kuroko di atas kepalanya dengan satu tangan, dan ia mendekatkan tubuh bugilnya ke tubuh Kuroko.
"Bilang sekali lagi kalau aku cabul, pemerkosa dan tukang sodomi lagi. Biar sekalian saja kuperkosa kau sampai mati disini!" Desisnya.
Kuroko membeku seketika. Tatapan
Akashi menyiratkan keseriusan dalam nada bicaranya. Ia mencolek dagu Kuroko dan menegadahkannya agar kedua mata mereka bertemu.
"Ayo, bilang. Bilang kalau kau punya nyali."
Kuroko membungkam mulutnya erat-erat. Ia memejamkan mata, bahkan gemetar saking takutnya. Tidak, ia tidak ingin diperkosa sampai mati oleh Akashi. Rasa takut Kuroko membuat Akashi luluh. Ia melepaskan kunciannya pada pemuda berkulit putih mulus itu dan mengecup pipinya.
"Cuma bercanda." Bisiknya dengan seringai miring khas Akashi.
BUAKH!
Akashi terpelanting beberapa langkah. Ia merasa rahang dan wajahnya di bagian kiri menebal. Mulutnya mendadak terasa asin dan titik-titik merah turun mengalir melalui sudut bibirnya.
Kuroko menendangnya.
Sang pemuda merah hanya terkekeh pelan. Ia menyeka darah di bibirnya. Diraihnya sehelai brief warna hitam dan Akashi mengenakannya. Kuroko masih memandanginya dengan dingin. Akashi merentangkan badannya sejenak sebelum berjalan keluar kamar.
"Mandilah. Setelah itu sarapan denganku. Aku berani sumpah akan mengantarmu sampai rumah."
Setelah mandi dan memastikan badannya benar-benar bersih (meski banyak bekas cupangan yang tidak bisa hilang dari badannya), Kuroko mengenakkan pakaiannya semalam, berupa sebuah kaos lengan panjang kelabu dengan sweater merah marun dan celana jeans cokelat tua, serta sepasang sandal karet. Akashi mengenakkan kaos longgar rumahan dan membuatkan Kuroko menu sarapan istimewa: sebuah roti yang dibentuk menjadi mangkuk dengan cetakan muffin yang berisi potongan bacon dan telur mata sapi setengah matang. Tak lupa ditemani segelas jus apel segar. Kuroko menyantap sarapannya dengan tidak selera. Pikirannya masih setengah mengambang. Ia juga tidak mengetahui kenapa ia bisa terdampar di rumah Akashi.
"Tetsuya, hari ini tidak ada kelas?" Tanya Akashi.
Kuroko melirik jam dan tanggal di ponselnya. Rabu. Hari ini jadwalnya kosong. Kuroko meneguk jusnya perlahan.
"Tidak ada." Balas Kuroko apa adanya.
TRING TRING
Sebuah pesan masuk menghadiri ponselnya yang sepi. Saat ia membuka ponselnya kembali, ada 20 SMS, 50 missed call, dan ratusan pesan dari LINE, BBM dan Whatsapp dari satu orang yang sama. Kuroko memutuskan membuka LINE-nya dulu.
Kiseryota: kurokocchiiiii~
Kiseryota: dimana?
Kiseryota: udah malem, lho. Mau nginap di rumah teman?
Kiseryota: kurokocchiiii jawab akuuuu
Kiseryota: kurokocchiiiii~
Kiseryota: kurokocchiiiii~ kenapa nggak jawab? Low battery?
Kiseryota: kurokocchiiiii~
Kiseryota: kurokocchiiiii~ PING PING
Kiseryota: kurokocchi lagi dimana, sih?
Kiseryota: kurokocchiiiii~ TET TOOOOOT
Kiseryota: kuotamu habis?
Kiseryota: kurokocchiiiii~
Kiseryota: aku khawatir tahu.
Kiseryota: kurokocchiiiii~ ih balas dong aku bete ah.
Kiseryota: kurokocchi sudah makan?
Kiseryota: kurokocchiiiii~
Kiseryota: pintunya nggak kukunci kalau kurokocchi mau pulang malam
Kiseryota: kurokocchiiiiiii
Kiseryota: kurokocchi nggak diculik, kan?
Kiseryota: kalau besok kurokocchi nggak pulang aku lapor polisi, nih.
Kiseryota: kurokochiiiii jawab aku...
Kiseryota: hiks...
Kiseryota: kurokocchiiiii~
Kiseryota: kurokocchiiiii~
Kiseryota: kurokocchi ngambek padaku ya? Aku salah apa? Cerita dong.
Kiseryota: kurokocchiiiii~
Kiseryota: kurokocchi….
Kiseryota: sedih lho. Di read aja nggak…..
Kuroko tersenyum kecil. Kise benar-benar mengkhawatirkannya.
"Wuah, manis sekali wajahmu kalau sedang tersenyum begitu."
Kuroko mengangkat muka dari ponselnya. Ekspresinya sedatar tembok Cina. Akashi duduk di seberang meja, mengulum garpunya. Makan paginya baru ia santap setengah. Ia menggigit bibirnya pelan dan seduktif sementara tatapan tajamnya diarahkan sepenuhnya pada Kuroko.
"Dasar cabul." Sembur Kuroko datar.
"Terus kenapa? Kamu mau aku cabuli?"
Kuroko tidak menanggapi ucapan itu. Ia menatap Akashi dalam-dalam tanpa makna.
"Aku mau pulang." Gumamnya.
"Sepuluh menit lagi. Aku belum memanaskan mobilku."
"Aku tidak minta diantar."
"Oh, aku harus mengantarmu pulang, Tetsuya. Dengan wajah manis dan tubuh mungil begitu, resiko dirimu bakal menjadi korban pencabulan diluar sana besar, lho." Akashi terkekeh.
"Terima kasih atas makanannya. Aku pulang."
Kuroko menarik tas selempangnya yang ia taruh di bawah kursi dan beranjak pergi. Akashi yang merasa wibawanya dilecehkan langsung melompat turun dan kursi tempatnya duduk dan menjegal lengan Kuroko.
"Kau tidak dengar, heh? Aku. Akan. Mengantarmu. Pulang." Ucap Akashi dengan penuh penekanan.
"Tidak usah repot-repot. Aku bisa pulang sendiri."
Akashi menghela nafas. Ia mengangguk pelan tanda setuju.
"As you wish, my princess."
Sang pangeran merah melepaskan jegalannya dari lengan Kuroko. Si pemuda mungil itu berjalan cepat keluar dari pintu rumahnya dan menghilang. Akashi tersenyum kecil dan mengusap dadanya perlahan.
Si biru muda mungil itu membuatnya tertantang.
Sangat tertantang.
"Kira-kira kapan selesainya?"
"Kurang tahu. Bisa saja satu atau dua jam. Namun bisa juga lebih cepat atau lebih lama."
Kuroko menarik garis pensil 2B-nya dengan halus, dan memulai menggambar sketsa perempuan bugil yang berbaring di sofa sebagai objek gambarnya. Bidang yang digunakannya adalah kertas gambar ukuran A2. Ia menatap gadis yang kini menjadi objeknya sekian lama, lalu bergumam lembut.
"Nona, apakah bisa rambutmu dikesampingkan? Tidak, tidak. Poninya saja. Sedikit juntaikan beberapa helai menuruni bahumu. Yak."
Kuroko melanjutkan gambarnya. Ia mendecak kesal ketika warna rambut gadis yang digambarnya satu tone lebih terang karena pensil warna saktinya tidak memiliki warna tersebut. Dalam sekejap, bagian tubuh wanita itu sudah tergambar dari bahu sampai ujung kaki dengan sempurna. Kuroko langsung menggunakan pensil berwarna crimson untuk menggambar seulas bibir tipis dan pensil baby pink untuk mewarnai sepasang puting gadis itu.
"Hey, kau hebat bisa tahan menggambar dengan pemandangan begitu."
"Berisik. Jangan tatap modelku seperti itu, Aomine-kun. Tidak sopan."
Aomine hanya bisa merengut dan memalingkan muka. Bagaimanapun, oppai gadis itu merupakan pemandangan indah. Terlebih, Kuroko bisa melukiskannya dengan pensil warna saktinya dengan begitu sempurna. Pemuda berambut biru pupus itu terlihat tenang, tidak ada hasrat sama sekali dalam proses melukisnya. Apakah Kuroko itu gay? Bisa jadi, tapi ia juga sebegitu tenangnya saat menggambar Kise dalam pose yang lebih menantang dari si gadis model. Kalau sudah urusan lukis-gambar, Kuroko berubah menjadi sangat dingin.
"Aku tidak mengerti kenapa kau mengambil tema perempuan bugil untuk ujian tengah semestermu." Gumam Aomine. "Sudah begitu, kalau tidak ada aku, kalian hanya berdua. Kalau tiba-tiba khilaf bagaimana?"
"Itu namanya professional." Balas Kuroko datar. "Lagipula, nona ini dikontrak untuk berpose saja. Kalau ada yang memegang atau melakukan hal senonoh, ia berhak menuntut."
"Gambarmu yang Kise sedang telanjang itu..."
"Aku harus mentraktir Kise-kun karena itu." Kuroko menoleh, menaruh semua alat gambarnya dan merentangkan kesepuluh jarinya. "Gambarku yang itu dikirimkan ke Patrigde Art Competition yang bakal diadakan Desember nanti."
"Tidak dinilai?"
Kuroko menggeleng. Ia melanjutkan kembali proses menggambarnya. "Aku diberi tawaran, harus menggandakan gambar itu, atau menggambar objek lain yang serupa. Tetapi kepala jurusanku bilang gambarku yang Kise-kun sebaiknya tidak digandakan, dan dia menyuruhku menggambar nona ini sebagai formalitas saja."
"Kenapa?"
"Karena gambarku yang Kise-kun tidak bisa diarsipkan di kampus, dan kepala jurusanku tidak suka menyimpan atau memamerkan gambar atau lukisan duplikat. Gambar itu sudah di kirim ke pihak panitia lomba. Kalau aku terpilih, gambar itu akan dipajang di National Art Gallery dan menjadi properti mereka. Kalau aku kalah, gambar itu dikirim kembali ke rumahku."
Aomine terkekeh. Ia mengucek-ngucek pelan kepala Kuroko.
"Kau ini kalau soal lukisan akan jadi sangat-sangat bawel, ya?"
Kuroko menghela nafas. Beberapa goresan lagi dan gambarnya akan sempurna. Kuroko mengambil pensil warna beige dan peach, menggunakannya dua sekaligus sehingga menciptakan efek opaque warna kulit gadis itu, light toast.
"Selesai. Terima kasih, nona."
Gadis itu menghela nafas dan mengenakkan kembali pakaiannya. Aomine bersyukur, sepertinya Kuroko betulan selesai kali ini. Si cowok mungil itu tengah membereskan peralatan gambarnya ketika si gadis model melongok melihat seperti apa hasil setelah sekitar sejam lebih berpose tanpa pakaian.
"Wah, hasilnya keren banget. Tapi warna rambutku agak beda."
Kuroko mengangguk. "Maaf. Tidak ada warna rambutmu di pensilku."
"Tidak apa." Gadis itu tertawa maklum. "Lagipula, sepertinya aku cocok juga dengan warna ini. Apa namanya?"
"Cokelat Raw Sienna."
"Seperti warna karamel?"
Kuroko menggedikkan bahunya. "Mirip."
Gadis itu mengecup kedua pipi Kuroko sebelum berpamitan. Aomine yang masih mematung disana menatap gadis itu dan Kuroko dengan pandangan mupeng.
"Mana profesional? Dasar bocah mesum!" Hardiknya.
"Aku profesional dan nggak mesum." Kuroko menggulung gambarnya dan memasukannya dalam tabung. "Gadis itu yang menciumku dan sesi gambar sudah selesai. Dilihat dari segi manapun, aku tidak bersalah."
Kuroko menaruh tabung tersebut di sebuah rak di sudut ruangan. Tak lupa ia menamai tabung tersebut dengan label, kemudian berjalan pergi. Aomine yang merasa ditinggalkan berlari menyusul si pemuda mungil itu. Ia teringat awalnya ia mengejar Kuroko sampai kampusnya adalah karena ia ingin makan bareng dengan si pemuda nearly invinsible ini.
"Oy, tadi katanya mau makan bareng." Ucap Aomine sambil memiting kepala Kuroko.
"Aduuh..." si pemuda berambut biru pupus itu meringis. "Ayo. Makan apa?"
"Sudah pasti, teriyaki burger di Majiba!"
"Itu sih, Aomine-kun yang makan." Kuroko membalas. "Hari ini Takao yang giliran masak. Dia mau buat dolsot bibimbab. Mau ikut?"
"Boleh, boleh. Gratis, kan?"
Kuroko menggedikan bahunya. Ia berjalan ke halte dan menaiki bus yang akan mengantarnya menuju rumah bersama Aomine.
Sudah satu setengah tahun Kuroko, Takao dan Kise tinggal serumah sebagai housemate. Alasan ini berdasar kepada Takao yang merupakan seorang waiter di restoran berkelas seringkali pulang malam dan Kuroko juga sering singgah di rumah yang dikontrak Kise karena lebih dekat dari kampus. Kise sendiri jarang pulang karena pekerjaannya sebagai model menuntut jam kerja tak menentu. Karena rumah kontrakan Kise lumayan besar dan seringkali menjadi basecamp, tercetuslah ide agar Takao dan Kuroko tinggal juga bersama Kise. Takao dan Kuroko hanya membayar biaya listrik, air, wifi dan anggaran bahan makanan perbulannya sementara uang sewa rumahnya sepenuhnya ditanggung Kise.
Aomine yang merupakan teman mereka bertiga juga sering singgah untuk numpang makan. Tetapi ia menolak untuk tinggal bersama mereka karena ia mengklaim flat yang ia tempat jauh lebih nyaman.
"Nee..Tetsu," Aomine membuka suara. "Dua pekan yang lalu Kise uring-uringan mencarimu. Takutnya kau diculik atau apa. Lagi musim penculikan dan pembunuhan, jadinya dia agak lebay begitu. Sebenarnya kau kemana?"
Mata Kuroko membulat sejenak sebelum akhirnya kembali ke wajah datar permanennya. Ia benar-benar tidak ingat apa yang dilakukannya sehari itu hingga akhirnya ia terbangun keesokan harinya di ranjang Akashi dalam keadaan bugil.
"Ngalor ngidul. Cari bahan buat ujian." Balas Kuroko dusta. Ia merasa menjelaskan kejadian yang tidak ia tahu perihal dia dan Akashi kepada Aomine bukanlah sesuatu yang pantas.
"Kau tidak membalas pesannya, Tetsu."
Kuroko melirik Aomine."Aku bukan sosialita dunia maya seperti Kise-kun."
"Benar juga. Kalau nggak ada dia juga ponselmu pasti bakalan sepi banget, ya. Tetapi tidak baik seperti itu, bodoh! Gunanya kau punya ponsel adalah benda itu seharusnya membuatmu lebih mudah dicari."
Kuroko mengangguk.
Saat Kuroko dan Aomine sampai, tercium bau harum yang luar biasa bahkan sampai beberapa meter dari rumah kontrakan Kise yang lumayan besar itu. Di dapur, Takao tengah menumis daging sementara Kise sibuk ber-selfie ria dengan bahan-bahan untuk bibimbap lain. Kuroko sudah kebal sekali dengan kelakuan Kise yang ini. Ia pasti akan menulis di postingan foto itu dengan kalimat berikut: cooking for dinner today. Bibimbap. Tidak lupa dengan hastag : #homecook #dinner #housematebrotherhood dan hastag- hastag lain yang diikut-sertakan.
Darimana Kuroko mengetahui itu semua?
Satu setengah tahun bukan hal yang sebentar untuk menganalisa semua kebiasaan orang lain.
"Kurokocchi, okaeri. Ada Aominecchi juga? Wah, mangkuk batunya kurang, ssu."
"Kau tidak niat memberiku makan, ya? Dasar brengsek." Gerutu Aomine kesal.
"Sudah, sudah. Lagipula kami cuma punya satu mangkuk batu." Lerai Takao.
Mangkuk batu keramat itu dikeluarkan dari dalam oven. Kemudian dialasi dengan sehelai lap dan ditaruh ditengah meja makan. Takao mengolesi dasarnya dengan minyak wijen sebelum memasukkan nasi, potongan wortel, bayam, tauge, jamur shitake dan daging bulgogi yang tadi ditumisnya. Semua bahan itu ditata melingkar diatas nasi dan ditengahnya ditaruh sebuah telur utuh mentah dan parutan keju mozzarella.
Takao mempersiapkan sumpitnya.
"Ayo makaaan." Ucap Aomine buas.
"Stoooooopp!" Kise melerai Takao dan Aomine yang terlihat begitu lapar. "Foto dulu, ssu."
"Cepet! Aku lapar!"
"Nasinya nanti gosong!"
CKREK!
"Update ke Path, ssu."
"kayaknya enak."
"Hajaaaar!"
"Aduuuk! Nasinya keburu gosoooong!" Takao dengan brutal mengaduk-aduk si nasi campur Korea itu dan membagi-baginya jadi empat mangkuk sama rata dan membagikannya ke semua orang.
Mereka semua makan dengan nikmat. Kuroko agak kesulitan menyuap makanannya karena lelehan keju mozzarella itu membentuk benang-benang dan melekat di dasar mangkuknya. Namun rasa makan malam hari ini lezat sekali. Pekerjaan Takao sebagai waiter membuatnya terkadang ingin mencoba memasak makanan yang pernah dipelajarinya dari buku tebal berbahasa Inggris berjudul Holy Bible of Hospitality Service.
TING! TONG!
Keempat pemuda itu menoleh ke arah pintu.
"Siapa yang mau buka pintu?" Tanya Aomine sekenanya.
Tanpa diminta, Kuroko beranjak dari kursi dan membuka pintu depan. Betapa kaget dirinya ketika melihat sosok tinggi semampai berambut merah, dengan setelan jas kelabu yang sudah pasti sangat mahal, dan sepasang mata heterokromatik yang memandang wajah Kuroko dengan pandangan yang begitu sulit diartikan.
"Selamat malam, Tetsuya." Sapanya manis.
Laki-laki itu menjulurkan kepadanya sebuah keranjang piknik dari rotan. Benda itu lumayan berat ketika Kuroko menerimanya. Si biru muda hanya menatap pemuda bernama Akashi Seijuro itu dengan pandangan tidak mengerti.
"Itu menu makan malammu. Kau ini kurus dan rapuh. Harus banyak makan makanan yang bergizi." Tuturnya.
"Takao-kun sudah masak untukku." Balas Kuroko datar.
"Kau bisa makan itu nanti. Dan mulai sekarang, kau tidak perlu khawatirkan perutmu. Karena setiap hari, akan kuantarkan menu makanan spesial buatmu."
"Se..." Kuroko tercekat tak percaya.
"Ya, setiap hari. Tiga kali sehari."
Kuroko menghela nafas. "Tidak usah repot-repot. Aku bisa mengurus diriku sendiri."
"Aku tidak repot." Balas Akashi dengan senyum miring khasnya. "Untukmu, tuan puteri. Ke neraka sekali pun akan kusanggupi."
Kuroko terperanjat. Ia merasa wajahnya memanas.
"Betul?"
Akashi mengangguk.
"Kalau begitu..." Kuroko menjejalkan keranjang piknik itu ke dada Akashi. "Ke neraka saja sana, dasar pecundang!"
BLAM!
CEKREK!
Pintu dibanting dan dikunci tepat di depan hidungnya. Normalnya, Akashi akan menendang pintu rumah itu dan menggeret Kuroko Tetsuya yang begitu manis dan menggairahkan ke gang-gang sepi dan melampiaskan rasa kesalnya melalui hubungan intim versi hardcore.
Tapi tidak.
Akashi menatap keranjang piknik yang isinya berupa full course masakan Perancis yang susah payah bahannya ia persiapkan sendiri, dibuatnya sendiri, ditatanya sendiri dan diantarkannya sendiri.
"Berarti Tetsuya nggak suka masakan Perancis."
"Nee, nee! Kalian punya rencana apa setelah lulus dari sini, ssu?"
Kise berbaring meringkuk, menikmati lembutnya rumput halaman belakang sekolah mereka yang empuk dan terawat. Pohon mangga super besar dengan bangku pancang besi dan ayunan di daham terbesarnya ini adalah basecamp bagi Kise, Kuroko, Aomine, Murasakibara, Midorima dan Akashi.
Murasakibara berbaring di bangku pancang, memonopoli semua wilayahnya secara sepihak oleh tubuhnya yang seakan-akan mengidap gigantisme. Midorima berdiri sambil bersandar di batang pohon mangga keramat itu. Aomine sibuk membaca majalah dewasa yang memuat salah seorang model kesukaannya mengenakkan pakaian renang. Sementara Kuroko, yang seringkali terabaikan masyarakat karena keberadaannya yang nyaris tembus pandang duduk nyaman di dahan pohon, tengah menggambar buah mangga setengah masak yang masih bertengger di rantingnya.
"Aku mantap mau ambil kedokteran, nanodayo. Apapun yang terjadi." Balas Midorima datar. Ia menaikkan kacamatanya. Hari ini ia mengenakkan bando kelinci warna pink, benda keberuntungan hari ini menurut ramalan horoskopnya.
"Aku belum kepikiran. Semua kemungkinan bisa terjadi." Jawab Murasakibara acuh. "Kau, hitam keling?"
"Kurang ajaar!" Aomine menendang Murasakibara karena kesal. "Karena aku tahu di dalam darahku mengalir semangat seorang pahlawan, aku akan jadi polisi!"
"Jiwa pahlawan dari Hongkong." Cibir Kise. "Sudah, ah ngibulnya, ssu. Kalau Akashicchi?"
"Terserah ayahku. Tapi kalau bisa memilih, aku mau masuk Julliard." Balas Akashi dengan senyum tipis. Ia bersandar di batang pohon sambil meneguk minuman isotonik kalengnya.
"Wuaaaa, keren. Akashicchi anak orang kaya, sih. Tinggal daftar juga semua beres, ssu."
"Julliard itu apa? Nama makanan?" Tanya Murasakibara polos.
Kise dan Akashi tertawa. Si pemuda merah dengan murah hati menjelaskan bahwa Julliard adalah salah satu institusi pendidikan musik di Amerika.
"Kurokocchi gimana? Eh? Kurokocchi dimana, ssu?"
"Tetsu nggak ada di kantongku." Balas Aomine sarkastis.
Murasakibara bangun dan melongok ke bawah bangku pancang yang ditidurinya. "Nggak ada di kolong bangku juga."
"Coba cek di hatimu, mungkin dia ada disitu, ssu." tukas Kise dengan gaya gombalannya yang khas.
"Disini."
Kuroko memanjat turun dari dahan pohon. Akashi dengan sigap menahan pinggang si pemuda mungil itu dan menurunkannya dengan hati-hati.
"Ngapain nangkring di atas pohon? Kayak monyet aja." Tawa Aomine.
"Ada mangga." Balas Kuroko polos.
"Dasar bocah aneh. Mangga aja diperhatiin." celetuk Murasakibara apatis.
"Hey, hanya kau yang belum menjawab pertanyaan masa depan, Kurokocchi."
"Apa?"
" Punya rencana apa setelah lulus dari sini, ssu?"
Kuroko merenung sejenak. Ia belum merencanakan apa-apa. Nilai pelajarannya biasa saja. Stabil. Fisiknya juga so far so good. Mungkin jawabannya akan seperti Murasakibara.
Tapi jika yang dimaksud Kise adalah cita-cita, Kuroko dengan mantap menjawab,
"Aku mau melukis masa depan."
Haaaai. Fajrikyoya disini. Disini aku mau mencoba membuat multichap di Kuroko no jangan anggap ini sebagai pelarian dari fic-fic fandom lain yang terabaikan olehku karena jadwal kuliahku sebagai mahasiswa managemen tata boga benar-benar selalu diliputi surprise.
mungkin kalian para readers merasa ini pendek banget, ya? Tapi percayalah aku akan apdet secepat yang aku bisa karena sebentar lagi aku LIBURAN SEMESTER hehehe. Dan jangan meng-underestimate bahwa fic yang ini gampang banget ditebak. Percayalah para readers, bagi yang sudah membaca sampai tahap ini, kalian semua sudah terjebak dalam roller coaster emosi yang berjudul About Last Time.
dan jika anda sudah sampai pada paragraf ini, saya berikan selamaaaat #tebarbunga #champagneshowers dan sebagai hadiah, saya akan memberikan clue yang sangat berharga untuk seluruh cerita. Tetapi clue mana yang akan dipakai di chapter mana akan tetap jadi rahasia:
judulnya, fic ini akan bercerita tentang about last night atau tentang semalam. Tetapi semalamnya TIDAK HANYA satu malam.
2. Akan ada last suspect yang memegang kunci cerita apa-apa saja yang dilakukan Kuroko dan Akashi yang menjadi inti cerita.
3. Ada latar belakang kenapa Kuroko awalnya memilih Kise sebagai model bugil gambarnya.
sekian dari saya. Mohon tinggalkan review agar saya tahu apa yang anda inginkan. Terima kasih sudah menyempatkan membaca.
see you in next chapter.
