Haikyuu sepenuhnya adalah mahakarya Haruichi Furudate. Fiksi ini diperuntukkan hanya dan hanya untuk kesenangan batin. Sama sekali tidak berupaya meraih hasil dalam bentuk apapun selain senyum pembaca.
Warning: typo(s), Indonesian!au
Mana yang Bilang Menjadi Pelayan Itu Mudah?! © Imorz
Akaashi Keiji hanya perlu doa agar dia selalu sabar!
1—Selamat Datang!
Menurut buku sakral Menteri Keuangan Bu Akaashi, keluarga mereka sedang dilanda paceklik uang warna merah muda dengan nominal seratus ribu. Belanja ke pasar menjadi sangat kritis, penggunaan listrik dan air sangat dikurangi, termasuk hal yang tak terduga, sebut saja: kuota, peralatan mandi, atau tagihan tipi kabel.
Bau apek, sudah menjadi ciri khas jika keluarga mereka mulai dilanda kejadian serupa. Sang kepala keluarga, memilih tidak mandi beberapa hari agar sabun batangan aroma lemon (kesukaan istri) bisa dipakai untuk beberapa hari kedepan, sayangnya dengan kejam ia diminta tidur di dapur.
Anak semata wayang mereka, Akaashi Keiji, diberi pertanyaan yang sama, terus menerus, selepas ia meraih gelar sarjana. Kapan kerja? Kapan nikah? Kapan punya anak? Kapan mati? Yang terakhir tentu saja hanya bercanda. Tapi sekarang, pertanyaan kapan kerja menjadi yang numero uno ditanyakan bibir sang ibu. Pasalnya, beliau sudah lelah ditagih tetangga sebelah bayaran arisan bulanan ibu-ibu komplek.
Akaashi sudah pontang-panting mencari kerja. Gelar sarjana itu ibarat ikan nila di pasar, banyak, klepek-klepek, berhamburan. Sayang, banyak orang memilih ikan salmon atau tuna sebagai santapan.
(padahal nila juga enak, apalagi kalau digoreng kering).
Pernah menjadi tukang cuci di salah satu restoran Jepang, pernah juga menjadi pengendara ojek online, menjadi tukang sedot wc pun pernah ia lakukan! Kurang apalagi kerja keras Akaashi Keiji?! Namun hati tak bisa berbohong, sebulan sampai dua bulan kemudian ia memilih resign. Alasannya beragam. Tangan lecet lah, dilecehin orang lah, bau lah, macam-macam!
Memang benar apa kata orang, doa anak sholeh itu cepat kabulnya.
Beberapa hari yang lalu, kenalan ayahnya memberikan brosur cantik lowongan pekerjaan sebagai pelayan di kediaman keluarga Bokuto. Dengan gajih wow wow wow, ibunya segera meminta Akaashi mengikuti ajang pemilihan pelayan terbaik.
Disiarkan di salah satu saluran televisi ternama, ajang kompetisi pelayan tadi akhirnya dimenangkan oleh Akaashi, membuat dua juta empat ratus tujuh puluh satu ribu peserta lainnya tereliminasi. Pesona Akaashi Keiji bukan main!
Hingga akhirnya, jam berapa, hari apa ini, Akaashi lupa, ia berdiri di depan kediaman keluarga Bokuto dengan koper dekil di tangan kanan dan topi jerami sebagai aksesoris tambahan (agar orang kasihan).
Ia melongo.
Rumah di depannya ini sejuta kali lebih besar dari pada rumahnya sendiri. Ibaratnya, lapangan terbang disanding dengan lahan parkir pasar malam.
Pedih. Ingin sekali menangis meratapi ketidak adilan ini.
Akaashi melangkahkan kakinya gemetar. Rasanya enggan mengotori pintu besar berbahan ulin kualitas terbaik dengan tangannya yang hina. Ada bekas bau ikan asin lagi.
"Ah! Anda Akaashi Keiji, ya? Selamat datang! Anda sudah saya tunggu!"
Dari belakang, seorang wanita paruh baya dengan setelah pelayan masa kini membawa seperangkat dedaunan di pangkuannya. Ia menghampiri tergesa-gesa, senyum secerah sinar blitz kamera terukir asoy. "Sebentar, saya bukakan pintunya, ya."
"I-iya, maaf."
"Hoho, tidak usah sungkan begitu, sayang. Anggap saja rumah sendiri."
Mana bisa.
Lalu pintu dibuka. Akaashi diterpa angin imajiner dari depan. Membawanya pada kemasyhuran keluarga Bokuto lebih intim.
Ia melongo, lagi.
"Ayo, masuk!"
Akaashi mengerjap.
"Saya boleh masuk?"
Wanita tua tadi tersenyum, "Tentu saja."
"Tapi nanti kalau jadi najis gimana?"
"Gak gitu juga, sayang. Ayo udah masuk, gak papa."
Kakinya melangkah masuk pelan-pelan. Mengitari isi ruang tengah dengan bola matanya. Mendadak banyak godaan dari bisik kiri.
"Saya senang sekali akhirnya ada yang menemani saya di rumah ini. Saya dengan orang-orang rumah sudah seperti keluarga."
Akaashi tersenyum mendengarnya, "Ibu sudah lama di sini berarti, ya?"
"Iya. Kira-kira sebelum tuan muda lahir saya sudah bekerja di sini."
"Kalau boleh tahu, kenapa mendadak mencari pelayan, bu?"
Wanita tadi mendadak terdiam. Aura kegelapan berada di atas kepala. Akaashi mendadak merinding.
"Sebenarnya, kami ingin mencarikan pelayan pribadi untuk tuan muda. Sayangnya, mereka selalu berhenti."
"Loh, kenapa bu?"
Ia menatap Akaashi sendu.
"Katanya, 'Kami sudah lelah dengan ujian ini.'"
Akaashi merasa bodoh untuk suatu alasan.
2—Ruang Rahasia
"Mari, saya antarkan ke ruangan anda. Oh, namanya siapa?"
"Akaashi Keiji."
Beliau tiba-tiba senyam-senyum.
"Kenapa bu?"
"Kalau dilihat-lihat, kamu ini cantik ya? Cewek apa cowok sih kamu?"
Senang sih, tapi kok kesel ya.
"Ibu bisa aja, cowok lah bu." Akaashi menjawab kalem dengan tangan terkepal.
Wanita paruh baya itu menuntun Akaashi menuju kamar pelayan. Ya, benar. Akaashi memang mengatakan rumah keluarga Bokuto ini super besar, yang justru membuatnya kelelahan bak habis lari maraton. Pantas ibu-ibu di depannya ini mukanya muda. Sering olahraga, sih.
Ia membukakan pintu kamar elite dengan kuncinya yang juga elite. Mendadak, aroma elite menguar ketika pintu terbuka. Akaashi lagi-lagi merinding elite. Luas kamarnya saja mirip kebun jambu yang elite. Bagaimana kamar penghuni aslinya? Seelite apakah gerangan? Akaashi bisa gila dengan hal elite-elite ini.
"Nah, ini ruangan kamu. Silakan ganti baju habis itu langsung bereskan kamar tuan muda, ya? Soalnya, tuan muda datang jam empat nanti."
"Oh, oke! Siap bu!"
Beliau kemudian beranjak. "Kamar tuan muda ada di lantai dua paling pojok sebelah kiri. Yang ada gantungan buayanya. Kesetnya bertulisan welcome."
"Eh, iya bu. Makasih atas setiap perinciannya. Bermanfaat sekali."
"Dan juga …," mendadak beliau mendekat dengan aura kegelapan (lagi). "… di sayap kanan kamar tuan muda, ada ruang rahasia. Jangan ke sana, ya."
Berasa Beauty and The Beast, pake sayap kanan-sayap kanan segala.
"Siap, bu. Siap."
"Kamu ga mau tahu itu ruangan apa?"
"Emang ruangan apa, bu?"
Akaashi terpancing.
Wanita itu berbisik, "Ruangan berisi peninggalan barang-barang mantan."
Informasi yang sangat berfaedah.
"Wah, mantan pacar, ya?"
"Bukan. Mantan anak."
Akaashi tidak tahu kalau ternyata selain kaya, keluarga Bokuto juga menyimpan plot sinetron di dalam lingkup rumahnya sendiri.
"Saya bercanda doang, mah. Santai."
Yah, gak lucu. Akaashi gak ketawa. Kepala pusing sih, iya.
.
.
.
Bersambung.
a/n: saya terinfeksi pengen bikin humor chapteran juga. Semoga terhibur, ya. Sekian deh. Hooh. Akaashi lagi sibuk, kepalanya pusing katanya. Hooh. /bikin apa sih dinda ini/
