PERTEMUAN SELANJUTNYA
Mereka bertemu di persimpangan jalan menuju sebuah hunian elit di masing-masing pinggiran jalan. Jalanan itu terlihat becek, juga basah akibat air yang sedari tadi sore turun bagai badai kecil yang menerjang ombak lautan dingin. Sesaat mereka diam, saling terkejut dengan sepatu berbeda jenis yang mereka kenakan basah, mereka mencoba diam dan memikirkan langkah selanjutnya yang harus mereka lakukan.
"Hai," sapa si pria tampan itu.
Jalanan lumayan basah itu terlihat licin dengan trotoar yang melekat, menjadi pembatas pejalan kaki seperti mereka dengan kendaraan yang pelan berlalu lalang, di sebelah kanan mereka terparkir mobil merah yang begitu mewah juga mengkilat akibat lelehan hujan. Jas si pria tampan itu memberat akibat tak ada payung yang melindungi dirinya.
"Tunggu!" Pekik pria itu menahan lengan seseorang, wajah tegasnya menjelaskan tak banyak yang berubah, garis matanya yang tajam, rambutnya yang menawan dan sekarang lebih seksi nampak tak banyak membuat dia lupa dengan pria ini.
"Aku mencarimu, tempat tinggalmu, aku beruntung sekali bisa melihat dan bertemu denganmu di sini. Kau kelihatan lebih cantik, apa kau baik?"
Kyungsoo mengangguk mendengar itu, tetapi dia sama sekali tidak terkesan dengan apapun tentang apa yang dikatakan pria itu sebelum dia menanyakan kabar. Kyungsoo mencoba melepaskan genggaman pria itu di lengannya. Dia membawa payungnya lebih tinggi, berbelok ke arah berlawanan untuk kembali pulang dan membiarkan pria itu menatap kepergiannya dengan sendu. Pria itu mengejarnya dengan berlari kecil, menahan Kyungsoo yang baru saja ingin menggeser pagar sendiri. Tak ada siapapun yang membukaakan pagar itu untuk mereka, membuat Kyungsoo menghela napas, membiarkan dirinya dilihat lagi oleh pria itu.
Pagar itu masih tertutup dengan Kyungsoo masih membelakangi pira itu. Pria yang dulu dia kenal baik, pria yang begitu tampan dan memposana, bahkan masih sampai sekarang. Terdengar bunyi benda digeser, membuat mereka berdua terlonjak sedikit, ternyata pagar itu terbuka dengan cengiran penjaga ingin meminta maaf akibat keterlambatannya.
"Maaf Nona, silahkan masuk." Ujar penjaga itu setengah membungkuk.
Sebuah rumah mewah yang sama yang terlihat oleh pria itu, dia tersenyum kagum atas kesederhanaan wanita yang dicarinya belasan tahun itu, yang masih menjadi sifat terfavoritnya. Dia menepuk bahu si penjaga, membalas senyum, mengikuti Kyungsoo masuk dengan berjalan melewati halaman yang begitu luas dengan bunga-bunga bermekaran.
"Kenapa kau ikut masuk?" Tanya Kyungsoo yang berhenti tanpa membalikkan badan.
Pria itu tersenyum, berjalan melewati Kyungsoo yang berdiri kaku di hadapannya sekarang. Kyungsoo melihat pria itu menahan gairah kuat di dadanya untuk melakukan sebuah pelukan. Kyungsoo bergegas untuk menanyakan pertanyaan yang sama pada pria itu yang sama sekali tidak terganggu dengan basahnya.
"Aku ingin bertemu dengan Ayahmu," jawab pria itu dengan suara beratnya. "Aku ada janji sekaligus ingin bertemu denganmu."
Kyungsoo memejamkan matanya, lalu melewati bahu pria itu dengan sedikit bergeser agar tidak bersentuhan. Sosok pria lain yang sepuluh tahun lebih tua darinya muncul, mengenakan sebuah jas berwarna merah maroon dengan polesan rambut yang dibiarkan menyentuh dahi, badannya yang sudah tua kelihatan gemuk dan penuh guratan di dahi dan juga pipinya. Pria paruh baya itu tersenyum melihat Kyungsoo yang menyerahkan payung kuningnya kepada pelayan.
"Jongin, di sini," kata Ayahnya, Do Junmyun, menunjuk pria yang mendekat dengan jas basahnya pada mereka. Kyungsoo tak bergeming masih menatap Ayahnya dengan sudut matanya. "Kenapa tidak kau ajak masuk?"
"Selamat sore, Ahjussi."
"Selamat sore, Kim Jongin. Masuklah dan biarkan Kyungsoo membantumu dengan pakaian yang kering."
Minat Kyungsoo sudah tidak bisa dipertegas lagi, dia membiarkan kedua pria itu di teras tanpa peduli lagi, membuat Jongin yang mengikutinya tadi membungkuk dan berterima kasih pada Ayahnya.
"Apa yang sebenarnya ingin kaulakukan?"
Jongin menghentikan langkahnya. Rumah dengan interior yang sama itu selalu berhasil menghangatkan hatinya. Dengan tatanan lukisan-lukisan replika milik Pablo Picasso yang menempel di dinding kokoh ruang itu. Mereka mendengar Do Junmyun terbatuk di ujung pintu, mengambil tongkatnya untuk berjalan mendekat.
"Jongin baru pulang dari Manhattan, dia membawakan Ayah banyak sekali kopi Amerika, padahal Ayah sudah tidak bisa meminumnya," gelak Junmyun dengan batuk kecilnya.
"Dia akan berada di sini sampai pernikahan kalian tiba."
"Apa?!" Tanya Kyungsoo dengan suara lengkingannya. Dia akhirnya membalik badan dengan emosinya yang berada di ujung kepala.
"Apa maksud Ayah tentang pernikahan?"
Jongin melepas jas basahnya, meminta Kyungsoo untuk berbicara setelah mereka berganti pakaian, dia meminta itu dengan kelembutannya yang begitu luar biasa. Menatap sekeliling dan memberi tahu salah seorang pelayan dengan sopannya untuk membawa Kyungsoo berganti pakaian.
"Ahjussi seharusnya tidak bicarakan ini dulu, Kyungsoo benar-benar terkejut tadi."
"Kau tahu sendiri dia itu penipu ulung, aku tahu dia sudah merindukanmu di batas wajarnya. Aku sudah tidak tahan dengan sikapnya yang kekanakan, dia mabuk di malam hari dengan beberapa pria yang melambai aneh ke arahnya, tentu aku khawatir, Jongin-ah."
Jongin memahami keresahan yang dirasakan Junmyun yang menatapnya sendu. Dia berpamitan untuk mengganti pakaiannya yang begitu basah, pelayan wanita yang menghampirinya mengerling atas timbulnya otot-otot jantan milik Jongin di balik kemeja basahnya. Dia mengantar Jongin ke lantai atas untuk berganti pakaian yang kering.
Jongin menutup pintu, membayangkan bagaimana tadi dia mengikuti Kyungsoo yang berada di boncengan motor seorang pria. Untung saja hujan membuat mereka berhenti di persimpangan, memberi Jongin kesempatan dengan rela meninggalkan kendaraannya di pinggir jalan demi bertemu dengan Kyungsoo yang begitu dirindukannya.
Terkadang sulit untuk menerima kenyataan bahwa dirinya benar ditolak dari tatapan wanita itu. Jongin menghela napas lagi-lagi, melepas kemejanya yang basah, kemudian masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian.
Dia mengganti dengan kemeja hitam yang baru karena masih ada tag yang menggantung di kerah kemeja itu, juga celana yang kemungkinan besar agak kebesaran di kakinya, dia melihat pantulan dirinya yang membiarkan kemeja itu tidak masuk ke celananya. Dia menekan kenop pintu yang begitu dingin, berjalan pelan dengan rambutnya yang kembali sedikit mengering juga menyentuh dahinya. Dia membalas senyum pelayan tadi yang ternyata masih berdiri di depan ruangan itu. Jogin menatap pintu kamar di depan kamar yang dipakainya tadi, tertutup rapat dengan satu ukiran yang dia kenali menggantung kuat di tengah pintu itu. Sebuah ukiran kayu yang dia buat untuk wanitanya dulu, dengan penuh kehati-hatian sebagai hadiah ulang—tahunnya, dengan tulisan 나비야,큥1.
Dia mengalihkan pandangannya pada tangga yang sebelumnya dia lewati. Melangkah penuh ketentraman dalam hatinya, dia akan membawa lagi cinta pada rumah ini, melihat lagi lukisan-lukisan yang menggantung di dinding penuh perhatian juga ketertarikan luar biasa mengikat.
"Kau sudah selesai?" Tanya Junmyun yang ternyata masih setia duduk di ruang keluarga rumah ini. Junmyun meminum air putih lewat cangkir keramik mahal di tangannya, menyesap air itu layaknya minuman manis yang menyegarkan dahaga.
"Kumohon, bantu aku untuk merawat anakku, Kim Jongin."
"Apa dia mau menerimaku kembali, Ahjussi?"
"Yakinlah padaku, semua akan baik-baik saja, aku ingin melihat senyumnya lagi."
Jongin duduk dengan ekspresi bersalahnya akibat masa lalu yang seharusnya sudah ditutup rapat. Memandang betapa lelahnya Junmyun yang sudah menua, sendirian dengan istrinya yang sudah terkenang dua tahun yang lalu, membuat keadaan keluarga ini begitu hambar atas hilangnya orang-orang yang mereka cintai. Namun, Jongin bersikeras untuk membuat cinta lamanya kembali tersenyum, kembali menjadi cintanya yang mekar seperti bunga di halaman, meski dia terlambat akibat pekerjaannya yang harus ditekuninya selama sembilan tahun di Manhattan, juga terkadang kembali ke Korea beberapa hari untuk menanyakan kabar Junmyun dan cinta lamanya.
Jongin menyadari, merekalah satu-satunya keluarga miliknya. Orangtuanya sudah meninggal lima—tahun yang lalu akibat kecelakaan tunggal, itu juga yang menjadi alasan Jongin tidak ingin kembali tinggal di Korea bersama kenangan pahit tentang orangtuanya. Jongin adalah pengusaha minyak yang sukses dengan puluhan cabang di seluruh Asia.
Dia melipat tangannya pada perut, ikut bersedih teringat beberapa bulan yang lalu, Junmyun memohon padanya untuk kembali pada Kyungsoo yang disakitinya. Bukan, maksudnya adalah Jongin pergi dengan alasan orangtuanya, bukan untuk menyakiti Kyungsoo yang ditinggalnya dulu. Dia mengangguk-ngangguk ketika melihat air mata Junmyun, waktu itu, berlinang dengan kuatnya, memintanya untuk menjaga Kyungsoo yang sudah sangat jauh berubah akibat putus cintanya itu.
"Aku akan bicara nanti, Ahjussi, sepertinya dia masih belum bisa menerimaku di sini," ujar Jongin dengan tatapan putus asa tapi meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia bisa melakukan itu.
"Apa Kyungsoo memiliki kekasih, Ahjussi?"
Junmyun menatap pria itu, meletakkan cangkir yang dibawanya tadi, dia tersenyum melihat pancaran mata pria itu dengan begitu kuatnya. Menyampaikan sinar-sinar penasaran juga takut akan jawaban yang harus di terimanya nanti.
"Ya, dia punya, namanya—"
"Apa itu penting bagimu untuk tahu kehidupanku, Tuan?"
Kyungsoo tiba-tiba datang dengan tatapan marahnya. Dia membiarkan rambut panjangnya terurai dengan begitu anggun. Panjang sekali, begitu panjang. Jongin berdiri, menyeringai, bermaksud mengantarkan sebuah kenyataan bahwa Kyungsoo tak bisa melupakan seorang Kim Jongin, meski ini sudah sangat terlambat bagi Jongin untuk menyesal.
"Hai, Kyungsoo, duduklah di sini. Kita bicarakan semua dengan baik-baik—"
"Jika ini ada sangkut pautnya tentang rencana konyol Ayah yang ingin mendoktrinku atas pernikahan, lebih baik aku pergi, oke?"
"—kau bisa dengarkan.."
Jongin menghentikan ucapannya dengan menatap sedih mata Kyungsoo yang berkilatan marah. Kyungsoo mengikat rambut lurusnya yang sudah kering, berjalan dengan ketukan hak tingginya, meninggalkan dua pria berbeda sepuluh tahun itu dengan rasa kesalnya.
"Do Kyungsoo, mau ke mana lagi kau?" Tanya Ayahnya dengan pekikan kuat. Mengacau dengan hadangan dua orang penjaga rumahnya sendiri, Kyungsoo berkacak pinggang sambil menyumpah serapah dengan kata-kata tak pantas. Membuat Jongin yang memperhatikan wanita itu terkejut bukan main. Kyungsoo memang sudah mutlak berubah terlalu jauh baginya.
Perlahan penjaga itu mendengar suara Jongin yang menginstrupsi mereka untuk tidak menghalangi keinginan wanita itu. Dia mendekat untuk membuat dua pria lain itu menjauh, dia berdiri dengan keadaan sedikit canggung di belakang Kyungsoo yang terdiam menatap pintu rumahnya sendiri. Bayangan masa lalunya, tujuh tahun silam sedang bermain-main di pikiran wanita cantik itu. Dia menjawab sendiri untuk menentang ingatan yang menyakitinya itu kembali datang. Jongin berdeham, sejenak Kyungsoo kembali mengingat masa lalunya dengan menutup mata.
"Kau pergi demi pekerjaanmu, kan? Aku sudah tak tahan lagi dengan hubungan hambar ini, kau membuatku lupa siapa sebenarnya dirimu, aku sudah lelah bertahan seperti ini."
"Aku, maafkan aku, ya kau benar, kita memang harus berpisah, Kyungsoo."
"Bagus, jika keputusanmu seperti itu. Jangan pernah temui aku lagi."
Tangisan itu membuat Jongin sadar, dia tak bisa biarkan hidupnya tanpa wanita yang dicintainya itu meski hatinya sudah tak bisa mentolerir negara ini. Negara di mana dia lahir dan bertemu dengan cintanya.
Itu yang dipikirkan Jongin ketika mereka berdua sama-sama terlihat tak mau bersinggungan kembali. Jongin menggerakkan tangannya, mencoba mendekat dengan kedua tungkai yang dia langkahkan pelan. Kyungsoo sudah tak bisa lagi berharap ingatan itu lenyap. Dia juga yang salah karena masih mengingat dan mencoba mencari sebuah pelarian untuk sekadar menghibur diri selama tujuh tahun ini. Semua berawal dari Jongin yang pergi ke Manhattan sepuluh tahun silam setelah mereka resmi menjalin hubungan cinta lebih dari dua tahun sebelumnya. Upacara kelulusan jenjang ke—dua mereka menjadi sebuah pukulan telak bagi Kyungsoo yang sadar Jongin sudah tak bisa lagi bertahan di negara ini, alasannya memang masuk akal bagi Kyungsoo waktu itu, namun Jongin yang membuat janji akan kembali dianggapnya sebagai bualan semata. Selama empat tahun mereka terpisah, pada akhirnya Jongin sendiri yang meminta hubungan itu berakhir.
Selagi pintu itu tertutup di depannya, lampu-lampu ruang tamu mulai meyala akibat malam sudah sampai waktunya, menebarkan kesan sejuk dengan limpahan cahaya kuningnya yang bersinar memperindah dinding dengan warna gading itu. Ruangan itu tampak seperti yang diingat Jongin dulu: menghangatkan, penuh dengan kenangannya bersama Kyungsoo, lukisan-lukisan tergantung rapi dengan makna seni yang begitu tinggi. Jendela-jendela yang dibiarkan tertutup sepanjang waktu membuat debu terhalang masuk dengan leluasa. Satu-satunya barang yang tak pernah berubah letaknya adalah sebuah vas bunga dari keramik yang pernah Jongin hadiahkan pada mendiang Ibu Kyungsoo masih terletak di sudut ruangan itu dengan meja kecil sebagai penyongkongnya.
"Jangan berpikir aku akan terkesan dengan apa yang kaulakukan baru saja," bisik Kyungsoo, tanpa membalikkan badan.
"Aku tidak bermaksud begitu, kita tidak bisa seperti ini selamanya, kan?" Tanya Jongin dengan penuh percaya diri.
"Kim Jongin, jangan membuatku memaki lagi, kau sendiri yang pergi," kata Kyungsoo yang mulai membalikkan badannya dengan tatapan marah.
Dia mengepal tangan, "Dan aku sudah berkomitmen untuk lupa denganmu."
Kedua mata Jongin terturup rapat, menyesali apa yang dilakukannya tiga tahun lalu, yang memutuskan hubungan mereka. Dia membukanya lagi dengan tatapan lebih serius kali ini. Dia menggulung kain di lengannya sebatas siku. Mengambil sebuah kalung dari sakunya, dia mendekat membuat Kyungsoo memundurkan langkahnya lagi. Jongin mengeluarkan desahan lelah lewat hidung dan mulutnya; Kyungsoo bergumam, "Jangan mendekat!"
Dengan amat hati-hati Jongin maju satu langkah lagi. Menangkap bahu mungil milik Kyungsoo agar tak menjauh lagi. Selama sepersekian detik Jongin melupakan tentang masa lalu di antara mereka dan semakin mendekat ke arah Kyungsoo. Dia bahkan lupa dengan Kyungsoo yang memakinya barusan karena sentuhan pria itu membuat hati Kyungsoo tersentuh: Jongin masih menjadi pria yang sama. Jongin yang lembut, perhatian dan segala tatapan penuh cinta itu masih dimilikinya. Dia menatap ke dalam mata pria itu dengan kebencian luar biasa lagi, mengingat bagaimana dia diakhirkan dengan begitu tega. Mata itu masih tak bergerak dari mata Kyungsoo, memandang penuh kasih ke dalam sana, membeku.
"Aku melamarmu, mantan kekasihku." Ucapnya penuh kesungguhan dengan memasang kalung berlian yang dibawanya tadi ke leher wanita itu.
Kyungsoo terdiam lesu dengan kata-kata itu. Dia mengatupkan lebih rapat lagi mulutnya, merasa dipermainkan betul. Walaupun begitu Kyungsoo tak berbuat apapun bahkan ketika Jongin selesai dengan kalung itu, dia langsung mendekap Kyungsoo begitu erat, namun Kyungsoo menepis kedua tangan Jongin dengan kasar. Menarik kalung yang sudah terpasang di lehernya dengan paksa. Kalung itu putus di bagian belakang, dibiarkan terjatuh dengan sadisnya ke lantai dekat sepatu hak yang dipakai Kyungsoo.
Jongin memandang kaki Kyungsoo.
"Lebih baik?" Tanya Kyungsoo.
"Tidak sama sekali!"
"Jongin-ssi," kata Kyungsoo, berjongkok untuk mengambil liontin yang sudah terlepas dari kalung itu. Jongin menatap Kyungsoo yang kembali berdiri dengan tatapan kecewa begitu pekat di wajah cantiknya, "menurutmu kau tidak kerasukan, kan?"
Jongin tersenyum kecut, "tidak sama sekali!" Dia menghela napas, ingin melanjutkan apa yang tertunda tadi.
Dia mendekat, membuat Kyungsoo melempar liontin berlian itu ke lantai hingga retak di bagian tengah. Jongin terkekeh lemah menerima perlakuan itu dari Kyungsoo.
"Hm, aku rasa, baru saja kau memakiku, Sayang." Ujar Jongin dengan tatapan sama.
"Jangan memanggilku dengan panggilan menjijikkan itu, it's all just over. Neo ara?!" Teriak Kyungsoo yang meninggalkan Jongin, dia membuka pintu rumahnya tanpa melihat ke belakang lagi.
Jongin merasakan sebuah sentilan di hatinya, begitu kuat, begitu menyakitkan. Dia memang tipikal pria yang tak mau basa-basi karena memang dia masih mengharapkan wanita yang dicintainya itu mau kembali padanya. Meski harus menanggung sebuah perasaan aneh yang berujung membuat nyeri. Dia akan bertahan sampai cintanya itu kembali dalam dekapannya. Meski dia nanti harus tersakiti, Jongin takkan menyerah semudah itu.
Junmyun berjalan tanpa tongkatnya dan menepuk, "aku akan bantu kau, calon menantuku." Ujarnya tegas.
To be continued
DESCLAIMER : DEBBY JONGONG
DO NOT REPOST! DO NOT DO PLAGIARISM!
KAISOO DEDICATED.
GENDER SWITCHED.
HELOOOOO READERSNIM!
YO~~ Cerita ini bakal balik lagi hewhewww, mungkin yang sudah pernah baca tolong jangan kecewa wkwk karena De bakal agak banyak rubah alurnya…. (Yaelah siapa juga yang kecewa THOR eww) wkwkwkwk *amppppuuuun
REVIEWS AND FAV AND FOLLOW JUSEYOOOO!
THANK YOU AND ENJOY #MUCHLOVE
Debby Jongong, 2019.
