Disclaimer

YAMAHA

.

.

LuixRing

Fic by: Spectra29

Special thanks: Asaichi23

Langit Senja Tanpa Matahari.

.

.

Chapter 1 : Sangkar Tanpa Jalan Keluar


Ring's POV

Namaku Suzune Ring. Aku hanya perempuan biasa yang selalu berada di dalam sangkar. Segala takdir sudah diatur bagaikan sebuah buku diary yang penanya dipegang oleh orang tuaku. Apa yang ingin kulakukan selalu mengikuti keinginan mereka. Melawan? Kau bercanda. Bukankah ini yang harus dilakukan seorang anak? Menjadi sesuatu yang diinginkan orang tuanya? Tidakkah jika aku melawan hanya akan membuat mereka sedih? Aku tak menginginkan hal itu. Sebelum aku bertemu dengannya.

"Ring-san? Kau Ingin menjenguk kakak?" dia tersenyum riang. "masuk saja, kakak pasti senang kalau Ring-san datang." tangannya membimbingku ke dalam rumah. Rasanya hangat, sudah lama sekali aku tidak merasakannya. Bahkan, orang tuaku tidak pernah memberikan kehangatan yang setara dengan yang dia berikan. Entah kenapa, aku merasa tertarik. Ya… tertarik untuk ke luar dari dalam sangkar emas yang dibuat sekelilingku.

Aku jatuh cinta. Itulah yang baru kusadari. Helaian rambutnya yang berwarna senja, senyumnya tulus, dan suaranya yang ceria selalu membayangiku. Segalanya membuatku terpesona. Tapi, dia mungkin hanya menganggap aku sama seperti kakaknya. Aku harus mulai mengubur perasaan cinta ini, jika tidak, akan ada masalah antara kami. Tidak apa-apa… cukup dengan aku berada di sisi orang itu, kebahagiaan akan selalu datang. Pasti.

Tapi, hal itu tidak pernah terkabul.


Aku kembali ke Jepang saat musim dingin. Senja seharusnya lebih indah saat itu, namun... senja ketika aku sampai ke Jepang ini tidak seindah senja waktu itu. Mungkin musim dingin yang tidak mengijinkannya.

"Ringggg~! Astaga, kau jadi cantik sekali!" riang IA seraya memelukku. Aku hanya pasrah, karena kami memang sudah lama tidak bertemu. Dia adalah satu-satunya sahabatku, Hibiki Aria atau sering dipanggil dengan nama IA. Dia bekerja menjadi seorang guru TK—tentu saja itu cita-citanya dari dulu. Bajunya yang berwarna hijau terlihat kompak dengan guru-guru yang lain. Aku tidak sengaja melewati TK ini dan melihat IA sedang mengajar beberapa anak kecil. Yah… beginilah kelanjutannya.

"I… IA, kau juga sama. Jadi lebih dewasa." aku tersenyum mencoba mengingat bagaimana wajahnya yang dewasa saat sedang mengajar.

Wajah perempuan yang bersurai merah muda ini memerah. "Apa?!Tadi kau melihatnya, ya!" lalu dia berusaha memegang wajahnya. "tidaaaaakkk! Wajahku pasti sangat jelek!" hinanya kemudian. Aku menatapnya dengan seksama. Dia masih sama seperti dulu, tidak sepertiku yang mulai hancur di dalam sangkar emas. Senyumnya selalu menolongku, sampai hari inipun tetap begitu.

"Kak… apa kau bisa tidak melakukan hal itu di depan umum? Kau seperti anak kecil." sebuah suara yang sedikit familiar keluar tepat dari belakang. Tubuh bagian belakangku tegang secara spontan. Apakah ini suaranya? … Suaranya sedikit agak berbeda.

"Lui!" marah IA dengan wajah khasnya. "berprilakulah sedikit hormat pada kakakmu ini! Aku tahu, kau sudah delapan belas tahun. Tapi, itu bukan berarti kau tidak lagi menghormatiku!" nasehat panjang mulai berdatangan setelah itu. Aku hanya tetap mematung di tempat, tidak berani menoleh apalagi ke arah belakang tempat dia berada. Aku … tidak tahu harus berbuat apa, karena tidak kusangka secepat ini akan bertemu lagi dengannya sejak enam tahun berlalu.

"Ya, aku tahu ,kak.." Lui memotong dengan suara rendah yang terkesan malas."Oh iya, hari ini… Eh? Ring… -san?"

Sepersekian detik kemudian aku menyesali bertemu IA di sini.

"I… iya, apa kabar, Lui-kun?" tanyaku hambar. Kutolehkan kepalaku agar dapat bertemu denganmu lagi. Tapi, kenapa kau berubah dengan sangat signifikan? Bukan hanya suaramu yang berubah, segalanya yang melekat pada dirimu kecuali rambut yang berwarna jingga senja itu. Tinggimu yang melebihiku beberapa belas senti, wajah dewasa, dan pundak yang tegap itu… membuatku seakan bermimpi bertemu denganmu di masa lalu.

"Baik. Ring-san sudah lama di kota ini?" suaramu memecahkan lamunanku. Mata yang sedikit tersembunyi di balik poni dan senyuman yang mengembang itu, membuatku kembali ke masa sekarang. Masa dengan dirimu yang berbeda.

"E… eh? Tidak juga, aku baru datang kemarin. Karena kupikir sekarang adalah waktu yang tepat untuk berlibur, jadi aku pulang ke Jepang." Aku tertawa di akhir kalimat, entah apa yang lucu. Kau tetap mempertahankan senyummu yang bagaikan ekstasi bagiku.

"Ring-san tidak berubah, ya? Tetap bersemangat," katamu. Senyuman itu masih bisa kulihat hingga kau pamit dan pergi meninggalkan kami berdua di taman ini.

Aku tidak berubah?

Omong kosong. Aku sudah sangat hancur. Kerangka emas yang diberikan orang tuaku semakin sempit, membuatku sesak dan tidak dapat bernafas. Rasa kesal menguasaiku dan berniat keluar, tapi sangkar itu tetap tidak memiliki kunci bahkan pintu untuk keluar. Dimana aku harus mencari jalan keluar?

Amerika adalah nama tempat paling terburuk untukku. Berbeda dengan di Jepang, seluruh orang-orang yang ada di tempat itu sangat asing. Tidak ada pohon sakura yang berjejer indah atau bahasa yang kusukai. Bahkan, langit negara inipun terasa sangat berbeda dengan langit Jepang. Karena apa, akupun tidak tahu.

Aku tidak ingin mengakuinya, tapi aku berhasil lulus dan menjadi dokter spesialis di Amerika ketika umurku yang ke dua puluh tiga tahun ini. Tentu saja, bukan hal yang mudah. Butuh banyak kerja keras dan kesabaran yang harus kukumpulkan. Dengan bangga ayah memamerkanku di depan temannya saat pesta, benar… memamerkan seekor burung yang ada di dalam sangkar.

Saat itulah ide gila ayahku keluar.

Aku bertunangan dengan seorang laki-laki yang bahkan tidak pernah kulihat wajah ataupun mendengar suaranya. Mereka—orang tuaku dan orang tuanya—melakukannya secara sepihak. Aku tahu itu… tapi aku tidak boleh menolak.

Beberapa minggu kemudian aku berada di sebuah Restauran Amerika yang katanya sangat terkenal, entah apa namanya aku lupa dan tidak ingin mengingatnya. Yang kuingat hanya, tempat itu gelap dengan beberapa lampu redup yang menerangi, warna dindingnya krim kecoklatan. Aku duduk menunggu tunanganku dengan gaun pendek biru yang memperlihatkan kakiku dengan sepatu berhak berwarna putih. Rambutku yang berwarna es ini dibiarkan sama—lurus dan rapi walau ada bagian rambutku yang lebih pendek dari yang lainnya. Aku memakai riasan yang tidak tebal, karena kupikir untuk apa aku tampil spesial jika yang ingin kutemui… bukan dirimu?

Saat menunggu tunanganku bagaikan menunggu bumi berevolusi. Hingga akhirnya dia datang. Wajahnya tampan, matanya berwarna sakura yang kusukai begitupun tiap helai rambutnya. Suara rendahnya memanggil namaku dengan sangat hati-hati.

Megurine Yuuma, itulah namanya.

"Ring!" teriak seseorang yang tidak lain tidak bukan adalah IA.

"Iya! Aku mendengarkanmu, kok!" sahutku tanpa sadar. Kulihat IA berkacah pinggang, wajahnya agak kesal.

"Kau melamunkan apa, sih? Padahal aku sudah meminta waktu istirahat agar bisa mengobrol denganmu, tapi kau malah membuat duniamu sendiri," kesalnya. Aku tersenyum tanda meminta perdamaian. Astaga… kenapa aku bisa mengingat itu sekarang? Apa ini karena efek samping bertemu dengamu tadi?

Aku sudah bertunangan dan tinggal menunggu waktu agar aku bisa menikah dengan orang itu–Yuuma. Karena itulah, berhubungan lagi denganmu tidak akan memperbaiki apapun.


Terkadang aku berpikir, masih ingatkah dirimu pada saat senja indah itu?

Jingganya langit waktu itu terlihat seperti terbakar. Awan-awan berjalan pelan seakan ingin mengingat terus langit. Tapi, berbeda dengan matahari... Dia menyelinap masuk di antara awan-awan itu. Seakan Dia memberitahu, Dia tidak ingin melihat kita berdua yang akan berpisah. Kau ingat? Pastinya tidak. Umurmu waktu itu, meragukan untuk mengingat hal ini.

Tapi satu hal yang perlu kau ketahui, aku menyukai senja waktu itu.

"Konbanwa, Ring-san."

Kau tersenyum di sebelahku dan tetap masih memakai seragam musim dingin sekolah. Beberapa perempuan di tempat ini memperhatikanmu … oh, aku tahu kau pasti tidak sadar. Tunggu… tunggu… bukankah sekarang aku berada di sebuah market dan ingin membeli sayuran? Lalu, kenapa ada dirimu?

"Ah… konbanwa," balasku sambil melihat jendela besar mereflesikan langit yang memang sudah gelap. Astaga, sudah berapa lama aku di sini?

"Sedang berbelanja?" kau mengambil brokoli dan memasukkannya ke keranjang yang kau pegang. Aku mengangguk dan mulai memilih sayuran dengan hati yang berisik, seakan seseorang sedang berkaraoke ria di sana. Sesaat kemudian kau tertawa, "tak kusangka, Ring-san ternyata suka paprika."

Kulihat apa yang tangan ini ambil.

"Gyaaaa~!" spontan kulepas paprika itu dan dia kembali ke tempatnya tadi. Suara tawa renyahmu mulai terdengar agak keras dan sukses membuat wajahku panas—entah merah atau sekalian saja hijau. Pokoknya aku benar-benar malu.

"Jangan menggoda orang yang lebih tua darimu, Lui-kun." kukatakan itu karena dia tidak puas tertawa. Matanya berair, karena terlalu banyak tertawa. Tapi tetap tampan di mataku. Tangannya yang besar itu menutup mulut sebelum mengangguk tanda setuju.

"Maaf… maaf. Tapi bagaimana cara Ring-san pulang? Bukankah sudah malam, gelap pula," tanyamu saat kita berdua sudah sampai di kasir.

"Aku sudah meminta jemput."

"Pacar?"

"Tunangan," jelasku beberapa saat kemudian. Menjauhlah… setelah aku berkata seperti ini menjauhlah. Kumohon, jangan buat diriku ingin kabur dari sangkar emas lagi, aku ingin mencoba tetap tenang di dalam sangkar sempit ini. Jangan buat aku seperti orang bodoh yang menginginkan cintamu.

"Selamat, Ring-san." senyuman itu masih mengembang saat aku menatapmu. "oh iya, aku kelupaan barang titipan kakak, kalau begitu aku kembali ke sana lagi, ya, Ring-san? Hati-hati di jalan nanti. Salam juga untuk tunanganmu!" kemudian kau berlari menjauh. Entah kenapa sebagian dariku seakan mengikutimu dan ikut menghilang.

Ada apa denganku sebenarnya?


Aku dan Yuuma, sama sekali tidak saling mencintai. Yuuma mencintai teman masa kecilnya, sedangkan aku menyukai Lui-kun. Kami berdua sama-sama beraada dalam sangkar, namun, Yuuma mampu keluar-masuk sangkar itu sesukanya. Mungkin, karena kekuatannya yang mampu mengalahkan sangkar itulah, aku menatapnya sebagai kakakku.

"Hm... jadi kau menjual namaku untuk membuat Lui merasa cemburu."

"Eh? Aku tidak bermaksud begitu!" sangkalku. Yuuma sudah menjemputku. Kami berdua sudah berada di dalam mobil dan dia akan mengantarku pulang sekarang. Saat mobil sudah berjalan, tanpa sadar aku menceritakan kejadian tadi. "kupikir, jika dia tahu aku memiliki tunangan, dia akan menjauh dan aku dapat melupakannya."

"Kau sanggup?" tanya Yuuma, walau tatapannya tetap ke arah depan.

"Apa maksudmu, Yuuma?"

Yuuma menatapku. Kali ini roda mobil mulai berhenti di suatu tempat yang terlihat seperti pinggir taman. Dia menghela nafas dan menaikkan satu alisnya. "Berhentilah berpikir bahwa kau tidak ingin bersamanya. Matamu jelas-jelas menginginkan Lui."

"Kau tidak mengerti." kutatap matanya seakan mengancam.

"Aku yang paling mengerti di sini," balas Yuuma.

"Jangan sok mengerti! Kau bahkan tidak tahu bahwa umur Lui-kun jauh lebih muda lima tahun dariku! Aku hanya ingin menjadi sosok kakak yang bisa dia andalkan. Bukan yang bisa dia cintai! Aku harus mengerti posisiku, aku harus sadar tentang perbedaan umur kami. Kami tidak pantas untuk bersama!" entah kenapa setelah berteriak penuh emosi itu, air mata meleleh dan mulai menuruni pipiku.

"Siapa yang sebenarnya pantas untuk Lui, menurutmu?" Yuuma mulai menjalankan mobil. Mungkin dia sadar, bahwa sekarang sudah terlalu malam untuk kami berada di sini.

"Entahlah... itu adalah keputusan Tuhan."

"Tuhan hanya memberikan 'pilihan'. Dia memberikan kita dua pilihan," kata Yuuma sambil tersenyum ketika mulai melihat rumahku di ujung sana. "pilihan pertama: ingin bersamanya dan pilihan kedua tidak ingin bersamanya. Kau pasti juga tahu bahwa Tuhan memiliki hati baik dan maha adil. Jadi, untuk kelanjutannya tergantung pada pilihanmu."

Kunci pintu mobil ini terbuka.

Tanpa kusadari mobil Yuuma sudah berhenti tepat di depan rumahku. Senyumannya mengembang, tapi tetap tidak semanis dirimu. Tangannya mengelus pelan kepalaku dan kemudian mengacak-acak rambut ini.

"Yup... kita sampai Oujo-sama," ejeknya.

End of POV

.

.

"Kak, ini barang belanjaannya," kata pemuda dengan rambut jingga. Di rumah yang terlihat cukup besar ini mereka hanya berdua. Kakak-adik yang selalu dikatai ketidak-miripannya. Mereka semua mengejek. Tapi kedua orang ini tak pernah peduli. Mungkin.

"Oh, ya? Huaaa~ Yokatta nee. Aku akan buat Nabe malam ini, bagaimana?" tanya sang kakak yang memiliki rambut berwarna merah muda. Wajahnya yang ceria tak mampu membuat wajah malas adiknya luntur.

Adikknya mengangguk.

Kemudian, dia berjalan ke arah tangga. Matanya tampak kosong saat berhenti sejenak sebelum menaiki tangga menuju kamarnya. Dibukanya pintu itu dan masuk, tanpa memperdengarkan kelanjutan suara pada kakaknya. Sang kakak hanya memiringkan kepalanya dengan manis. Ratusan pertanyaan membumbung tinggi di atas kepalanya. Namun sang kakak mengurungkan niat bertanya.

Di kamarnya, laki-laki itu membuka jendela dengan perlahan. Matanya tertuju pada bintang-bintang di langit luas sana. Dia memang berada di sini... tapi kira-kira dimanakah hatinya?

"Aku ... ingin apa sebenarnya?" gumam laki-laki itu. "apa yang tidak kusukai sebenarnya? Kenapa aku jadi kacau saat tahu kebenarannya? Kenapa... kenapa kebenaran itu cepat sekali kuketahui?"

Matanya terpejam, berpikir. "Ya... benar. Jika Ring-san memiliki takdir bersama orang itu, untuk apa aku tidak setuju?"

"takdir tidak akan berubah, meskipun aku mencintainya."

To Be Continued


Spectra's Skecth

Huaaaaaa~ #guling-guling. Cuma fic satu ini aja yag berani saya publish. OTL karena saya masih belajar menulis dan kadang juga suka dikatain Aniki. QAQ Awas aja! Mana Paradoks Cinta, wuoyy! Tulis dong. Penasarankan.

Oh, iya. Saya mau minta maaf karena banyaknya kesalahan di fic ini, entah Typo atau saudara sepupunya itu. Mohon maaf, ini bukan salah fic-nya tapi salah saya. *yaiyalah.

XDD Maaf juga buat Aniki yang cover-nya nungguin gambarku terus wahahahahaha... #keselek

Terima Kasih buat Author atau Guest sekalian yang membaca fic saya. #cium satu-satu. Saya akan sangat senang dengan review-nya. Kyaaaa~ XDDD Siapapun boleh kok. Sumpah. Asal ikhlas aja. =w=" #plak

Yak, kalau begitu saya pamit. Terima Kasih.